Hosting Unlimited Indonesia

Hermeneutika al-Qur'an


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 
       Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk mempelajari dan memahaminya, melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat maupun yang tersirat. Namun kenyataannya, untuk mendapatkan petunjuk itu tidaklah mudah dan membutuhkan metodologi penafsiran terlebih dahulu.
       Metodologi penafsiran pada dasarnya sudah di bentuk oleh ulama’-ulama’ salaf sebagai upaya untuk mendialogkan al-Qur’an dengan konteks mereka. Ketika metodologi itu dibawa ke konteks yang berbeda, maka tidak mampu lagi mendialogkan al-Qur’an sebagaimana kebutuhan konteks yang baru yang sesuai dengan keadaannya. Jadi, untuk menjadikan al-Qur’an tetap berbicara sesuai dengan keadaannya, maka dibutuhkanlah metodologi baru yang bisa menyesuaikan perkembangan zaman sehingga al-Qur’an menjadi s}a>lih li kulli> zama>n wa maka>n (menjadi elastis dan fleksibel). 
       Untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas, telah ditemukan oleh para intelektual Muslim dengan metodologi yang merumuskan apa dan bagaimana cara memahami al-Qur’an yang akurat, tepat, layak dan benar. Metodologi tersebut bisa dikatakan sebagai upaya menjadikan al-Qur’an untuk mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian dan mampu mengakomodasi perubahan dan perkembangan zaman. 
       Berdasarkan asumsi inilah selanjutnya hermeneutika menemukan posisinya yang strategis, karena sebagai sebuah disiplin metodologi yang menggarap wilayah pemahaman dan penafsiran manusia terhadap realitas hidupnya. Dengan hermeneutika tersebut menegaskan bahwa konteks dalam setiap horison kehidupan manusia, baik pada dataran individu, sosial, budaya maupun politik, sangat bermain dan mempengaruhi pola pemahaman dan juga ekspresi hasil pemahaman tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik dengan adanya metodologi hermeneutika al-Qur’an tersebut untuk dibahas. Pembahasan di dalam makalah ini, ruang lingkupnya adalah pengertian hermeneutika, kegunaan hermeneutika terhadap al-Qur’an, aliran hermeneutika, kontribusi hermeneutika terhadap al-Qur’an dan hermeneutika al-Qur’an dan persoalan kontemporer. Selain itu, penulis akan membahas tentang studi al-Qur’an dalam konteks keindonesiaan di dalam makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian  Hermeneutika 
       Kata hermeneutika (hermeneutic) diambil dari kata Yunani, hermeneuin, yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. Istilah ini diasosiasikan dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes, yang bertugas untuk menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang Dewa. Berhasil atau tidaknya misi itu tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan, dan bila manusia yang semula tidak tahu menjadi mengetahui pesan itu, maka itulah indikator keberhasilannya. Dengan demikian, definisi hermeneutika adalah proses mengubah sesuatu ketidaktahuan menjadi tahu.  
       Definisi yang dikemukakan di atas, sebenarnya adalah definisi hermeneutika yang masih umum, sebab hermeneutika bila dilihat dari arti terminologinya dapat diderivasikan menjadi tiga definisi : 
1. Mengungkapkan pikiran dalam kata-kata, penerjemahan dan tindakan sebagai penafsir.
2. Usaha untuk mengalihkan bahasa asing yang artinya tidak dimengerti ke bahasa yang dapat dimengerti oleh si pembaca.
3. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas. 
       Menurut Zygmunt Bauman, hermeneutika dapat didefinisikan sebagai  upaya untuk menjelaskan, menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi para pendengar atau pembaca.  
       Beberapa definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian hermeneutik secara terminologi adalah upaya untuk menginterpretasikan sesuatu yang kurang jelas menjadi jelas yang dapat dipahami oleh pembaca dan pendengar.
B. Kegunaan Hermeneutika Terhadap al-Qur’an
       Hermeneutika digunakan sebagai teknik untuk memperoleh pemahaman al-Qur’an yang benar dan hermeneutik dipergunakan untuk :
1. Membantu mendiskusikan bahasa dalam teks al-Qur’an. 
2. Membantu mempermudah menjelaskan teks al-Qur’an. 
3. Memberi arahan terkait dengan masalah hukum. 
C. Aliran Hermeneutika
       Problem hermeneutis pada intinya terkait dengan penafsiran teks yang timbul ketika seseorang mengalami alienasi terhadap teks dan maknanya. Akan tetapi, problem hermeneutis tersebut telah direfleksikan lebih jauh sehingga tidak saja mencakup metode memahami teks asing, tapi juga hakikat penafsiran itu sendiri, dan bahkan hal-hal di luar teks dan penafsir (atau bahasa) yang turut mengatur hasil-hasil penafsiran. Dalam konteks inilah, kita harus menjelaskan tiga aliran atau perspektif dalam menyikapi apa yang dirumuskan sebagai problem hermeneutis di atas, yaitu hermeneutika teori, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis. 
1. Hermeneutika Teoretis
       Hermeneutika teori yang berisi aturan metodologis untuk sampai kepada pemahaman yang diinginkan pengarang (author) dan memusatkan perhatian bagaimana memperoleh makna yang tepat dari teks atau sesuatu yang dipandang sebagai teks.  Menurut Schleiemacher, wakil aliran ini, ada dua bagian yang perlu diperhatikan dalam kegiatan menafsirkan teks, yakni penafsiran gramatikal dan psikologis. Prinsip yang paling urgen dalam penafsiran grametikal ini adalah, pertama, “ segala sesuatu yang membutuhkan ketetapan (makna) dalam sesuatu teks tertentu hanya dapat diputuskan dengan merujuk pada lapangan kebahasaan yang berlaku antara pengarang dan publik pendengarnya”. Kedua, “makna dari sebuah kata dari sebuah batang tubuh teks ditetapkan dengan merujuk pada koeksistensinya dengan kata-kata lain di sekelilingnya”. 
       Jadi, penafsiran melalui hermeneutika teoritis ini selalu bersifat holistik dan parsial. Seorang penafsir tidak mungkin memahami suatu objek, seperti teks atau kalimat, sebagai sebuah bagian partikular tanpa merujuk kepada keseluruhan konteksnya. Sebaliknya, kita juga tidak dapat memahami keseluruhan tanpa merujuk kepada bagian-bagiannya. 
2. Hermeneutika Filosofis
       Hermeneutik jenis kedua ini, fokus pembahasannya bukan lagi untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif, tetapi lebih jauh mengupas seperti apa kondisi manusia yang memahami itu, baik dalam aspek psikologisnya, sosiologisnya, historisnya dan lain sebagainya termasuk dalam aspek-aspek filosofis yang mendalam seperti kajian terhadap pemahaman dan penafsiran sebagai pra syarat eksistensial manusia. 
       Hermeneutika dalam dimensi filosofis ini lebih tepatnya diartikan epistemologinya itu sebagai pemahaman terhadap pemahaman.  Hal ini bertujuan untuk meletakkan hasil pemahaman yang dimaksud dalam porsi dan proporsi yang sesuai dan untuk melakukan suatu produksi makna baru dari pemahaman terdahulu tersebut dalam bentuk kontekstualisasi. 
3. Hermeneutika Kritik
       Hermeneutika jenis ketiga ini, pengembangannya lebih jauh dengan hermeneutika jenis kedua. Jadi yang membedakan hermeneutika jenis ketiga dengan hermeneutika jenis kedua adalah penekanan hermeneutika jenis ketiga ini terhadap determinasi-determinasi tersebut sering memunculkan alienasi, diskriminasi dan hegemoni wacana, termasuk juga penindasan-penindasan sosial-budaya politik akibat penguasaan otoritas pemaknaan dan pemahaman oleh kelompok tertentu.  
       Ketiga hermeneutika yang telah disebutkan di atas, bisa dikatakan bergerak dalam tiga horizon, yaitu horizon pengarang, horizon teks dan horizon penerima atau pembaca, sementara secara prosedural, langkah hermeneutika itu menggarap wilayah teks, konteks dan kontekstualisasi, baik yang berkaitan dengan aspek operasional metodologisnya maupun dalam dimensi epistemologis penafsirannya. Hermeneutika jenis pertama penekanannya pada aspek horizon pengarang dan teks, sedangkan hermeneutika jenis kedua dan ketiga penekanannya pada horizon pembaca.
D. Kontribusi Hermeneutika Terhadap al-Qur’an
       Kontribusi paling berharga dari hermeneutika dan dapat dikatakan sebagai perspektif baru dalam Ilmu Tafsir al-Qur’an adalah sebuah tawaran teori dan konsep pemahaman yang berasal dari para tokoh hermeneutika filosofis dan kritis. Sumbangan dari para tokoh ini secara umum adalah kesadaran akan adanya berbagai determinasi sebuah proses pemahaman, baik determinasi tersebut berasal dari wilayah sosial, budaya maupun politik, bahkan yang berasal dari wilayah psikologis. Kesadaran akan adanya determinasi-determinasi ini pada akhirnya akan mengelimimasi setiap pemahaman dan penafsiran yang merasa sebagai ‘obyektif’ dan tanpa kepentingan serta pasti benar.  
E. Aplikasi Hermeneutika al-Qur’an dalam Perspektif Filosofis dan Teoretis
       Hermeneutika al-Qur’an merupakan sebuah tawaran yang menarik, ketika  dihubungkan dengan persoalan kontemporer. Sebagai contoh dari hermeneutika al-Qur’an dalam perspektif filosofis yang fokus pembahasannya pada kondisi manusia  baik dari aspek psikologisnya, sosiologinya, historisnya dan lain sebagainya adalah ayat yang membicarakan tentang poligami yaitu pada Q.S, al-Nisa (4) : 3.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
       Ayat di atas turun sebagai respon terhadap perilaku para wali dari anak-anak yatim, baik laki-laki ataupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan mereka. Kemudian al-Qur’an menyerukan agar mereka (para wali) tidak menyelewengkan harta kekayaan itu, dan mereka boleh mengawini (perempuan yatim) sampai empat orang diantara mereka, asalkan mereka dapat berlaku adil.  Seruan ini juga didukung oleh Q.S al-Nisa’ (4) : 127
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْوِلْدَانِ وَأَنْ تَقُومُوا لِلْيَتَامَى بِالْقِسْطِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِهِ عَلِيمًا (127)
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.

       Pernyataan di atas dengan melihat asba>b al-nuzu>lnya menunjukkan bahwa masalah ini muncul dalam konteks perempuan-perempuan yatim.  Tapi kemudian al-Qur’an memperingatkan bahwa “betapapun mereka (para wali) itu berupaya (berkeinginan mengawini sampai empat), namun kalian, kata Allah, tidak akan dapat berlaku adil kepada perempuan-perempuan tersebut. (Q.S. al-Nisa’ (4) : 129.
       Pandangan-pandangan al-Qur’an di atas, menurut Fazlur Rahman terdapat distingsi (antara aspek legal, dan ajaran moral al-Qur’an), yaitu izin untuk beristeri empat orang, dan keharusan untuk berlaku adil kepada mereka. Berdasarkan atas distingsi ini, Rahman kemudian berkesimpulan bahwa :
Yang benar tampaknya bahwa dizinkan poligami adalah pada taraf legal, sementara sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakekatnya adalah sebuah cita-cita moral yang mana masyarakat diharapkan bergerak kearahnya, karena tidak mungkin untuk menghapuskan poligami secara legal sekaligus. 
  1.        Alasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebolehan berpoligami pada dasarnya lahir sebagai jawaban bagi wali yang tidak berlaku adil bagi anak yatim, baik laki-laki maupun perempuan-perempuan. Al-Qur’an membolehkan mereka (para wali) mengawini perempuan yatim itu dijadikan isteri sampai batas empat orang. Tujuan al-Qur’an di sini adalah untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat yang lemah (seperti orang-orang miskin, anak yatim kaum wanita, budak-budak, dan orang yang terjerat utang) sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan egaliter.  Berhubung sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan perempuan yatim, dan kebutuhan berpoligami dengan syarat laki-lakinya harus adil, maka proses poligami ke monogami ini membutuhkan penahapan-penahapan perubahan legislasi Islam seperti fenomena yang sama terjadi dalam kasus perbudakan. Jadi monigami lebih kontektual dalam legislasi Islam.
     Diantara aplikasi hermeneutika al-Qur’an selain hermeneutik dalam perspektif filosofis adalah hermeneutik dalam perspektif teoretis yang fokus pembahasannya adalah bagaimana bisa memperoleh makna yang tepat dari sebuah teks al-Qur’an. Hermeneutik semacam ini digunakan oleh Syahrur terhadap penafsiran surat al-Nisa’ ayat 13-14 yang melahirkan sebuah teori baru dalam penetapan hukum. Ayat tersebut adalah sebagai berikut :
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (13) وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ (14) [النساء : 13 ، 14]
Hukum-hukum tersebut itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. 

       Syahrur menginterpretasikan penggalan ayat yang berbunyi “تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ “ mengindikasikan bahwa yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan batasan-batasan hukum adalah hanya Allah semata. Dia berpendapat bahwa otoritas penetapan hukum (haq al-Tashri>’) hanya dimiliki Allah, sedangkan Muh}ammad saw, walaupun berindetitas sebagai Nabi dan Rasul, pada hakikatnya bukanlah seorang penentu hukum yang memiliki otoritas penuh (al-Sha>ri’). Muh}ammad saw adalah sebagai pelopor ijtihad dalam Islam. 
       Alasan yang dikemukakan di atas adalah berdasarkan pada pemahaman penggalan ayat setelahnya yang berbunyi “وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ”, yang artinya “ dan melanggar batas ketetapan hukum-Nya”. Kata ganti (d}ami>r) “hu” pada penggalan ayat di atas kembali kepada Allah saja. Ayat ini harus dipahami bahwa otoritas penetapan hukum hanya pada Allah saja, seandainya kalau Nabi Muh}ammad memiliki otoritas penuh tashri’, tentulah ayat tersebut akan berbunnyi :  وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهُمَا , yang artinya “ dan melanggar batas-batas penetapan hukum keduanya (Allah dan Rasul-Nya). 
       Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketetapan hukum yang bersumber dari Nabi tidaklah sama dengan penetapan hukum dari Allah. Hukum yang ditetapkan oleh Nabi lebih bersifat temporal-kondisional yang sesuai dengan peradaban masyarakat pada waktu itu, sehingga ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman. 
F. Studi al-Qur’an dalam Konteks Keindonesiaan 
             Studi al-Qur’an dalam konteks keindonesiaan dibagi menjadi dua periode : 
1. Periode pertama : masa penjajahan dan kaum Nasionalis
       Pada tahun 1912-1926 (periode kekuasaan Sarekat Islam) sekolah-sekolah Islam pada waktu itu dalam mempelajari agama bersandar sepenuhnya pada karya-karya Arab klasik. Suatu tinjauan atas buku-buku teks yang digunakan secara luas di seluruh Indonesia pada masa itu menunjukkan bahwa buku-buku teks Arab klasik dari abad pertengahan sangat umum dipergunakan.  
       Pada masa ini, Mahmud Yunus mulai mengerjakan tafsirnya. Dia merupakan salah satu orang diantara mufassi>r Indonesia yang melakukan kegiatan ini. Dia mengemukakan bahwa memulai penerjamahannya dalam tulisan Jawi, yaitu dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang dituliskan dalam bentuk Arab (Arab Melayu) yang umum digunakan pada awal abad ke-20. 
       Pada tahun 1926-1941 (periode pluralisme dalam aktivitas kaum Nasionalis) adalah era generasi al-Qur’an pertama yang ditandai dengan munculnya terjemahan-terjemahan dan komentar-komentar (tafsir) dalam bahasa Indonesia. Karya-karya tersebut sangat dihargai dan digunakan secara luas oleh kaum modernis Muslim. Literatur Persatuan Islam pada tahun 1930-an yang telah menekankan pentingnya usaha, dan salah satunya adalah al-Hida>yah (petunjuk), bersamaan dengan munculnya versi bahasa Sunda, telah muncul dalam daftar-daftar penjualan. 
       Haji Abdul karim Amrullah melanjutkan karyanya dalam bidang al-Qur’an dengan menerbitkan Tafsir Juz ‘Amma bagian terakhir dari al-Qur’an yang diberi judul al-Burhan (kesaksian). Dia memadukan pendapat-pendapat para mufassi>r klasik dan abad pertengahan Islam, seperti al-Baghdad, al-Razi, Ibnu Kathi>r, dan al-T}ibi dengan pendapat-pendapat kaum modernis dari Mesir seperti Muh{ammad Abduh dan Thanthawi Jauhari. Munawar Khalil juga telah mempersiapkan sebuah buku tentang hadith-hadith pilihan yang diberi judul Himpunan-himpunan hadith pilihan, dan Tafsir al-Qur’an yang terdiri dari beberapa jilid dalam bahasa Jawa yang diberi judul Tafsir Qur’an Hidjatur Rahman. Di samping itu, bahasa Belanda telah bertahan sebagai bahasa Ilmiah, termasuk di kalangan intelektual Muslim, sebagaimana terlihat dalam karya Shekh Ahmad Surkati yang berjudul Zedeler uit den Qur’an (Ajaran Kedisiplinan dalam al-Qur’an) dan Ibnu Idrus dalam karyanya Gouden Regels uit den Qoeran (Aturan-aturan yang Indah dari al-Qur’an). 
       Sekitar tahun 1930, Mahmud Yunus dan kawannya, H.M.K. Bakry, telah menerbitkan terjemahan dan tafsir yang diberi judul Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (tafsir al-Qur’an yang mulia) yang merupakan lanjutan dari usaha Yunus yang telah dirintis pada masa sebelumnya. 
       Para pengarang di atas adalah pelopor, karena belum pernah ada terjemahan yang komplet dari para ilmuwan sebelumnya untuk dijadikan bahan perbandingan.
2. Periode kedua : Kemerdekaan dan pembangunan nasional (1945-1987 dan seterusnya)
       Pada tahun 1957-1966, literatur pada masa ini sudah memasuki masa yang baru dan stabil. Karya-karya Hamka dan Ashiddieqy lahir pada periode ini. Tafsir Hamka yang berjudul Tafsir al-Azhar merefleksikan kekacauan politik pada waktu itu, karena tafsir tersebut telah ditulis ketika dia di penjara dan mengekspresikan perhatiannya tentang menyusupnya komunis ke dalam pelaksanaan pemerintah. 
       Setelah generasi Hamka dan Ashiddieqy, maka bermunculanlah berbagai karya terjemah dan tafsir, baik yang dikerjakan secara individual ataupun dikoordinir oleh lembaga atau badan tertentu. Aktivitas ini bahkan juga dilakukan oleh Negara, dalam hal ini Departemen Agama yang kemudian pada akhirnya memunculkan terjemah atau tafsir resmi negara.
       Al-Qur’an dan Terjemahnya dan al-Qur’an dan Tafsirnya adalah dua karya yang disusun di bawah pengayoman Yayasan Penterjemah dan Penafsir pada Tahun 1967 atas instruksi Departemen Agama. Sejumlah target telah dipenuhi dengan penerbitan kedua tafsir tersebut. Pertama, Penyusunan tafsir tersebut menjadi bagian dari rencana pembangunan lima tahunan pemerintah, dan telah dianggap oleh masyarakat Islam sebagai buktyi bahwa Negara telah terlibat dalam menyebarluaskan nilai-nilai Islam. Kedua, para sarjana muslim dari berbagai IAIN telah dilibatkan dalam penyusunan tafsir tersebut, memperlihatkan kemampuannya sebagai para ahli tafsir. Ketiga, Departemen Agama telah merencanakan untuk menciptakan standar-standar dalam penyusunan terjemah dan tafsir lebih lanjut, dan kedua tafsir tersebut telah memenuhi harapan itu. Keempat, salah satu kekuatan sosial-politik Indonesia yang biasa disebut muslim nasionalis, memantapkan diri dengan pandangan ideologis yang tercermin dalam tafsir tersebut. Bahkan Federspiel menganggap pandangan ideologis tersebut cukup mendominasi penafsiran Departemen Agama.  


BAB III
KESIMPULAN
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Pengertian hermeneutika adalah upaya untuk menginterpretasikan sesuatu yang kurang jelas menjadi jelas yang dapat dipahami oleh pembaca dan pendengar.
2. Ketiga hermeneutika teori, filosofis, dan kritis bisa dikatakan bergerak dalam tiga horizon, yaitu horizon pengarang, horizon teks dan horizon penerima atau pembaca, sementara secara prosedural, langkah hermeneutika itu menggarap wilayah teks, konteks dan kontekstualisasi, baik yang berkaitan dengan aspek operasional metodologisnya maupun dalam dimensi epistemologis penafsirannya. Hermeneutika jenis pertama penekanannya pada aspek horizon pengarang dan teks, sedangkan hermeneutika jenis kedua dan ketiga penekanannya pada horizon pembaca.
3. Studi al-Qur’an dalam konteks keindonesiaan terbagi menjadi dua periode : pertama periode penjajahan dan Nasionalis dan kedua periode kemerdekaan dan pembangunan Nasional. 


Daftar Rujukan
Afandi, Abdullah Khozin. Hermeneutika Surabaya: Alpha, 2007.
Fahruddin Faiz. Hermeneutika al-Qur’an : Tema-tema Kontroversial Yogyakarta : LSAQ Press, 2005.

Fahruddin Faiz. Hermeneutika al-Qur’an : Tema-tema Kontroversial Yogyakarta : LSAQ Press, 2005.
Federspiel, Howard M. Kajian Al-Qur’an di Indonesia; dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab. alih bahasa Tajul Arifin, cet. ke-1. Bandung: Mizan, 1996.
Kurdi, dkk. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis.Yogyakarta : LSAQ Press, 2010.
Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hermeneutika dan Fenomologi dari Teori ke Praktik. Surabaya: PPs IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2007.

Ra>zi (al), Al-Fakhr. Tafsir al-Fakhr al-Razi. Ttp: Dar al-Nashr, tth. CD Shoftware Maktabah Sha>milah, Is}da>r al-Tha>ni>.

Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan : Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi. Jakarta : Teraju, 2002.

Sibawaihi. Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta : Jalasutra, 2007.
Syamsuddin,  dkk. Hermeneutika al-Qur’an mazhab Yogya. Yogyakarta : Islamika, 2003. 


Previous
Next Post »