Hosting Unlimited Indonesia

ILMU MUKHTALIFUL HADITS



A.    Definisi Mukhtaliful-Hadits
Mukhtalif artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Mukhtaliful-Hadits adalah hadits yang sampai kepada kita, namun saling bertentangan maknanya satu sama lain. Sedangkan definisi secara istilah adalah : “hadits yang diterima namun pada dhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya”.
ü  Apa yang Harus Dilakukan untuk Mendudukkan Dua Hadits Maqbul yang Mukhtalaf Ini ?
Para ulama menggunakan dua jalan :
1.      Thariqatul-Jam’I, yaitu bila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya, maka keduanya dikompromikan dan wajib diamalkan.
2.      Thariqatut-Tarjih, yaitu bila tidak memungkinkan untuk dikompromikan, maka :
·         Jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lain mansukh, maka kita dahulukan yang nasikh lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang mansukh.
·         Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat di antara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang lemah.
·         Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat.
Sumber :
Ditulis oleh Abu Al Jauzaa




Mukhtaliful Hadits
Saturday, 09 August 2008
Ilmu mukhtaliful hadits adalah ilmu yang membahas hadits- hadits yang menurut lahirnya saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanan itu atau mengkompromikan keduanya sebagaimana halnya membahas hadits- hadits yang sukar difahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.
Sasaran ilmu ini mengarah pada hadits- hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (takyid) kemutlakannya dan seterusnya. Metode dalam ilmu ini adalah tentang :
1.      Mentahshis hadits yang umum.
2.      Mentaqyid hadits yang mutlak.
3.      Memilih sanad yang kuat atau yang lebih banyak jalan datangnya.
Urgensinya dalm ilmu ini memberikan pengetahuan yang mendalam tentang hadits, pemahaman yang kuat, mengetahui keumuman dan kehususanya, mengenal akan kemuqoyyatan dan kemutlakannya.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan.
                 Pada mulanya yang menghimpun adalah imam As-syafi'I. Dalam perkembangannya, banyak ulama yang mengikuti jejak Syafi'I,sehingga lahirlah kitab-kitab yang membahas ilmu mukhtaliful hadits, antara lain Ta'wilu Mukhtaliful hadits karya Al-hafidz Abdullah bin Muslim bin Kuthaibah Ad-dainuri.
(Fathur Rohman, Ikhtitsar Mushtolatul hadits)



ILMU MUKHTALIFUL HADITS
Ilmu Mukhtaliful Hadits yaitu ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang lahirnya bertentangan, dan untuk menyelasikannya maka digunakan dengan ilmu mukhtaliful hadits.
Ingkar Sunnah Adalah seorang atau sekelompok agama islam yang tidak mengunakan sunnah sebagai hukum islam.
Salah satu contoh orang yang ingkar sunnah adalah Muhammad Ilham Sutarto yan berasal dari jawa.



Metode Yusuf al-Qardawi dalam Menyelesaikan Hadis-hadis Mukhtalif
Dalam pandangan al-Qardawi, jika ada hadis Nabi yang bertentangan dengan hadis Nabi yang lain, maka perlu dicari solusinya, sehingga hilanglah pertentangan tersebut. Adapun tahap-tahap penyelesaian yang dilakukan al-Qardawi adalah sebagai berikut:
1.      al-Jam’ (penggabungan atau pengkompromian)
Bagi al-Qardawi, hadis yang tampak bertentangan dengan hadis yang lain dapat dihilangkan pertentangannya dengan cara menggabungkan atau mengkompromikan antara keduanya. Hal demikian lebih utama dari pada men-tarjih-kan. Namun demikian penggabungan itu berlaku pada hadis-hadis sahih  yang tampak bertentangan.  Sedangkan hadis-hadis yang tidak diketahui asal-usulnya, atau hadis tersebut maudu`/palsu maka tidak perlu dihiraukan, kecuali untuk menjelaskan kepalsuan dan kebatilannya.
Ada tiga kasus hadis yang tampak bertentangan yang dibahas al-Qardawi, yaitu: hadis tentang hukum bagi wanita melihat laki-laki; hadis ziarah kubur bagi wanita; dan hadis `azl (senggama terputus). Adapun penjelasannya sebagai berikut:
Pertama, hadis tentang wanita melihat laki-laki, yaitu:
jskhds
حَدَّثَنَا سُوَيْدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ نَبْهَانَ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ حَدَّثَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُونَةَ قَالَتْ فَبَيْنَا نَحْنُ عِنْدَهُ أَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَدَخَلَ عَلَيْهِ وَذَلِكَ بَعْدَ مَا أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ هُوَ أَعْمَى لَا يُبْصِرُنَا وَلَا يَعْرِفُنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا     أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya:
“Dari Ummu Salamah r.a., katanya: Aku bersama Rasulullah SAW. serta Maimunah, ketika datang Ibnu Ummi Maktum. Waktu itu telah turun perintah agar kaum wanita berhijab. Maka Rasulullah SAW.berkata: berhijablah kalian berdua di hadapannya. Kami pun berkata, Ya Rasulallah, bukankah ia seorang yang buta, tidak mampu melihat dan mengenali kami. Maka beliau berkata: Apakah kalian berdua juga buta?Bukankah kalian bisa memandangnya?”

    Hadis di atas bertentangan dengan hadis.
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ عَنْ عِيسَى عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ   عَنْهَا قَالَتْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ.

Artinya:
“Dari ‘Aisyah r.a., katanya: Rasulullah menutupi diriku dengan kain selendang beliau, sementara aku menonton orang-orang Habasyah menunjukkan kemahiran mereka di masjid”.
    Hadis pertama --meskipun dianggap sahih oleh al-Turmuzi-- sebenarnya lemah, karena di dalam sanadnya terdapat Nabhan maula Ummi Salamah, yang majhu>l, tidak dianggap s|iqah (terpercaya) kecuali oleh Ibnu Hibban.  
    Hadis pertama tersebut bertentangan dengan hadis kedua yang bernilai s}ah}I>h}. Meskipun demikian, menurut al-Qardawi, tidak ada salahnya  --demi mempermudah permasalahan-- untuk berusaha menyesuaikan antara hadis yang d}a’I>f dan yang s}ah}I>h}, meskipun bukan merupakan suatu keharusan.  Dalam hal ini, sebenarnya bila al-Qardawi ingin konsisten dengan prinsipnya, tidak perlu memaksakan diri dengan menggabungkan dua hadis yang berbeda kualitasnya.
    Al-Qardawi dalam melakukan penggabungan terhadap hadis di atas dengan menukil pernyataan Imam al-Qurtubi, bahwa hadis pertama itu menunjukkan kenyataan betapa Nabi saw. lebih memperberat atas diri istri-istri beliau, demi menjaga kehormatan diri mereka, sebagaimana beliau juga memperberat atas mereka tentang urusan hijab.
  Kedua, hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur bagi wanita, yaitu:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ      وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ .
    Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. melaknati wanita-wanita yang terlalu sering berziarah kubur”.(HR.Tirmidzi)

    Hadis  di atas bertentangan dengan hadis:
      زوروا القبور فإنها تذكر الموت.
Artinya:
“Berziarahlah kubur, sesungguhnya berziarah kubur itu mengingatkan tentang kematian”.

    Kedua hadis  di atas berkualitas s}ah}I>h.  Pada hadis pertama, dianggap bertentangan dengan hadis kedua. Hadis pertama berisi ketidaksenangan Nabi --yang bisa diartikan sebagai larangan-- kepada wanita-wanita yang terlalu sering berziarah kubur. Sedangkan hadis kedua berisi perintah secara umum baik untuk laki-laki dan perempuan untuk berziarah ke kubur, karena hal tersebut dapat mengingatkan manusia terhadap adanya kematian.
    Menurut al-Qardawi, sebagaimana ia menukil pendapat al-Qurtubi, bahwa hadis pertama di atas dapat dikumpulkan dengan hadis kedua. Pada hadis pertama disebutkan bahwa yang dilaknat adalah zawwarat (wanita-wanita yang terlalu sering berziarah kubur). Ini berarti ada kemungkinan wanita tersebut telah meninggalkan kewajibannya yang lain, hanya karena terlalu sering berziarah. Itulah yang menyebabkan mengapa dilarang oleh Nabi.  Analisis seperti merupakan suatu analisa yang digunakan oleh Ilmu Mukhtalif al-Hadis, yaitu pertentangan yang terjadi antara hadis-hadis dibawa kepada perbedaan peristiwa masing-masing. Karena peristiwanya berbeda, maka tuntunan terhadap peristiwa itu juga berbeda.
    Ketiga, hadis-hadis tentang `azl (senggama terputus). Adapun hadisnya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ حَدَّثَنَا مُعَاذٌ يَعْنِي ابْنَ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ         عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَنْهَنَا.

Artinya:
“Kami melakukan `azl pada masa Nabi SAW. Kabar tersebut sampai kepada beliau, tetapi beliau tidak melarangnya”.
    Hadis di atas bertentangan dengan hadis:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ رَبِيعَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ مُحَرَّرِ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعْزَلَ    عَنْ الْحُرَّةِ إِلَّا بِإِذْنِهَا.

Artinya:
“Dari ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b berkata: Nabi melarang perbuatan `azl terhadap wanita merdeka kecuali seizinnya”.

    Hadis pertama secara eksplisit menunjukkan kebolehan `azl. Kemudian hadis kedua menunjukkan ketidaksenangan Nabi pada perbuatan `azl.
    Dalam hal ini al-Qardawi menganalisis hadis-hadis di atas dengan mengemukakan pendapat para ulama. Ada ulama yang melemahkan hadis-hadis tentang dibolehkannya melakukan `azl dan menguatkan hadis-hadis yang melarangnya. Namun ada pula yang berpendapat sebaliknya, melemahkan hadis yang melarang dan menguatkan hadis yang membolehkan melakukan `azl.
    Yusuf al-Qardawi tidak memilih salah satunya, namun cenderung untuk menggabungkannya, seperti pendapat Ibnu al-Qayyim dan al-Baihaqi. Al-Baihaqi menyatakan bahwa perawi yang membolehkan `azl jumlahnya lebih banyak dan secara kualitas lebih terpercaya, di samping bahwa perbuatan tersebut juga banyak dilakukan para sahabat, Sa’ad bin Abi> Waqqa>s, Zaid bin S|abit, Jabir bin ‘Abdillah, Ibnu ‘Abbas, Abu Ayyub al-Anshari dan lain-lain. Sedangkan keengganan sebagian sahabat untuk membolehkannya adalah karena `azl itu termasuk makruh tanzih, tetapi tidak makruh tahrim.
    Dilihat dari analisis di atas, tampak bahwa Yusuf al-Qardawi berusaha sebaik-baiknya agar hadis yang kualitasnya sahih dapat diamalkan secara bersama-sama tanpa mengabaikan salah satunya. Kalaupun harus mengabaikan salah satu hadis yang ada, semata-mata disebabkan kualitas dua hadis yang berbeda, sehingga beliau memilih untuk mengikuti yang lebih kuat dan meninggalkan hadis yang lebih rendah kualitasnya.
    Adapun tahap kedua yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardawi ialah Na>sikh wa al-Mansu>kh dan Tarjih. Adapun  rinciannya adalah sebagai berikut:

2. Na>sikh wa al-Mansu>kh dan Tarji>h
    Menurut Yusuf al-Qardawi, --dengan menukil pendapat al-Hafiz al-Baihaqi dalam kitabnya Ma’rifah al-Sunan wa al-As|ar--  apabila dua hadis yang tampak bertentangan tidak dapat dilakukan penggabungan, maka dapat ditempuh dua jalan: (1) kemungkian nasikh wa al-mansukh dan (2) kemungkinan tarjih.
a. Na>sikh wa al-Mansu>kh
    Di kalangan ahli hadis terjadi perbedaan pendapat tentang adanya naskh  (penghapusan). Sebagian menyatakan tidak ada naskh, sedangkan yang lain menyatakan ada naskh dalam hadis Nabi. Dalam hal ini, apabila ada dua hadis yang saling bertentangan tidak bisa digabungkan, sementara diketahui mana hadis yang diucapkan lebih dahulu dan mana yang kemudian, maka hadis yang datang lebih dahulu  di-naskh (dihapus kandungannya) oleh hadis yang datang kemudian.  Hadis yang datang belakangan (na>sikh) yang diamalkan, sementara hadis yang datangnya lebih awal (mansu>kh) ditinggalkan.    
    Namun demikian, menurut Yusuf al-Qardawi , kebanyakan hadis yang diasumsikan mansu>kh (dihapus), apabila diteliti lebih jauh, ternyata tidaklah demikian. Sebab di antara hadis-hadis tersebut ada yang dimaksudkan sebagai `azimah (anjuran melakukan sesuatu walaupun berat), dan adapula yang dimaksudkan sebagai rukhsah (peluang untuk memilih yang lebih ringan pada suatu ketentuan). Karena itu, kedua-duanya mengandung kadar ketentuan yang berbeda, sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Demikian juga adakalanya sebagian hadis bergantung pada situasi tertentu, sementara yang sebagiannya  lagi bergantung pada situasi lainnya. Jelas bahwa adanya perbedaan situasi seperti itu, tidak berarti adanya penghapusan atau naskh.
    Naskh --sebenarnya juga merupakan salah satu cara tarjih-- secara teoritis menjadi kajian Ilmu Hadis, bahkan banyak pakar hadis yang telah menyusun kitab-kitab tentang hadis-hadis yang nasikh maupun mansukh. Istilah na>sikh wa al-mansu>kh juga dipakai dalam Ilmu Us}u>l al-Fiqih. Hanya saja menurut al-Qardawi, hadis-hadis yang diklaim ulama telah mansu>kh, bila diteliti lebih lanjut tidaklah selalu menunjukkan ke-mansu>kh-kannya untuk kurun waktu yang tidak terhingga, tetapi lebih merupakan hadis yang sebenarnya berkait dengan peristiwa tertentu. Pendapat semacam ini telah disebut-sebut baik dalam kawasan Ilmu Hadis maupun Ilmu Us}u>l al-Fiqh.
    Jadi, meskipun secara eksplisit, al-Qardawi tidak menolak adanya naskh, namun agaknya ia lebih condong pada pendapatnya yang terakhir ini --menolak naskh atau mansu>kh-- ditambah lagi bahwa  ia tidak mengemukakan satu contoh pun hadis yang mansu>kh.
b. Tarjih.
    Menurut al-Qardawi, tarjih merupakan tahapan penyelesaian terhadap hadis-hadis yang tampaknya bertentangan, jika al-jam`u atau penggabungan tidak bisa dilakukan. Tarjih berarti memenangkan salah satu dari dua hadis atau lebih yang tampak bertentangan, dengan pelbagai alasan pen-tarjih-an yang  telah ditentukan oleh para ulama.
    Adapun cara-cara atau langkah-langkah tarjih, al-Qardawi tidak menyebutkannya secara rinci. Ia hanya menyatakan bahwa cara-cara itu dapat diketemukan dalam kitab Tadri>b al-Ra>wi  ‘ala Taqri>b al-Nawa>wi>, karya al-Suyuti, yang menyebutkan lebih dari 100 cara-cara tarjih. Cara-cara yang demikian, sebenarnya juga dapat diketemukan dalam kaedah Ilmu Us}u>l al-Fiqih maupun kaedah-kaedah dalam Ilmu Hadis.
    Sebagaimana dalam kasus na>sikh wa al-mansu>kh, al-Qardawi juga tidak mengemukakan satu contoh pun tentang cara tarjih terhadap hadis-hadis yang tampak bertentangan (mukhtalif). Hal demikian barangkali, menurutnya cara yang paling sah dalam menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan hanyalah cara al-jam’u (penggabungan atau pengkompromian).

IV. Kesimpulan
    Berdasar pada pembahasan di atas, maka simpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:
1.    Menurut Yusuf al-Qardawi antara nash yang satu dengan yang lain tidak mungkin saling bertentangan, demikian halnya antara hadis Nabi dengan hadis Nabi. Apabila diandaikan terjadi pertentangan, maka yang terjadi hanyalah dalam lahirnya saja, bukan dalam kenyataan yang hakiki. Adapun solusinya adalah al-jam’u (pengkompromian atau penggabungan), jika antara dua hadis yang bertentangan berkualitas sahih. Sedang apabila da`if atau maudu` maka tidak masuk dalam bahasan hadis mukhtalif. Apabila al-jam’u tidak bisa, baru memakai na>sikh wa al-mansu>kh dan tarjih. Meski sebenarnya al-Qardawi kurang setuju atau menafikannya.
2.    Dalam konstelasi sejarah perjalanan Ilmu Mukhtalif al-H}adi>s|, sebenarnya metode yang ditawarkan al-Qardawi bukanlah hal baru. Cara al-Jam’u sudah jauh hari sebelumnya dipakai oleh Ibn Hazm dan ulama lainnya, demikian halnya tentang na>sikh wa al-mansu>kh, tarjih. Ketidakkonsistenan al-Qardawi dengan menggabungkan atau mengkompromikan antara hadis da’I>f dengan yang s}ah}I>h}, bahkan dengan al-Qur`an sebenarnya lebih didasari pada tuntutan emosional, di mana buku Kayfa Nata’a>mmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah lebih diarahkan pada buku karya Muhammad al-Ghozali yang tidak mentolerir hadis Nabi yang bertentangan dengan al-Qur’an ataupun hadis d}a’I>f yang bertentangan dengan hadis sahih dalam kitab al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H}adi>s|; bukan berdasar keinginan untuk membuat paradigma baru dalam memahami hadis Nabi, khususnya hadis yang mukhtalif.

Previous
Next Post »