Hosting Unlimited Indonesia

TASAWUF (Jalan Mendekat dan Mencintai Allah SWT) Oleh: Khoirul Hafidz Fanani

            Kalau sastra adalah seni bahasa, tari adalah seni gerak, bernyanyi adalah seni suara, musik adalah seni nada, maka tasawuf adalah seni ibadah kepada Allah SWT. Dan kalau ibadah kita maksudkan untuk menjalani hidup ini dengan cinta kepada-Nya, maka tasawuf adalah seni menjalani hidup dengan cinta dan mesra kepada Dzat Yang Maha Indah, Allah Swt.
            Para sufi (pelaku tasawuf) itulah orang yang cinta kepada-Nya. Dan cinta kepada Allah berarti cinta kepada nilai-nilai luhur yang datang dari-Nya, cinta kebenaran, kejujuran, kesetiaan, kemerdekaan, dan sederetan panjang nilai-nilai luhur lainnya.
            Rabi'ah al-Adawiyah (lahir sekitar 95-99 H), misalnya, menyatakan bahwa beribadah kepada Allah, hanya karena cintanya yang mendalam, rindu yang begitu syahdu untuk melihat wajah-Nya. Dalam sya'irnya, ia nyatakan:
"Tuhanku
Kalau aku mengabdi-Mu karena takut akan neraka-Mu
Maka bakarlah aku di neraka jahanam itu
Kalau aku mengabdi-Mu karena ingin surga-Mu
Maka tampiklah aku dari surga-Mu itu
Tetapi kalau aku mengabdi-Mu karena cintaku kepada-Mu
Maka janganlah tampik aku untuk melihat keindahan wajah-Mu"
            Al-Hallaj (244-309 H), ketika akan dibunuh, tubuhnya akan dicincang dan dibakar, dan abunya akan disebarkan ke seluruh penjuru angin, sama sekali ia tak gentar dan takut. Karena ia merasa akan bertemu dengan Sang Kekasih yang sangat dirindukannya.
            Imam al-Qusyairi (376-465 H), penulis kitab al-Risalah al-Qusyairiyah, yang tidak takut menghadapi ancaman fuqaha serta Mutakllimin Muktazilah yang selalu memusuhi dan menjebloskan ke dalam penjara, karena mereka berkuasa pada waktu itu dan menggunakan kekuasaan tersebut sesuai dengan hawa nafsu mereka. Al-Qusyairi tidak takut karena cintanya kepada Allah SWT mengalahkan segala-galanya. Dalam menafsirkan Basmalah pada awal surat Al-Hijr, Al-Qusyairi menyatakan:
"Bismillah, minuman yang diregukkan oleh al-Haq, kepada para kekasih-Nya, Setelah mereka minum, mereka berdendang. Setelah berdendang, mereka beriang gembira, kemudian mereka sama-sama menyaksikan kebenaran-Nya dan pada terbuai mesra oleh kedekatan-Nya. Kesadaran mereka jadi putus lenyap, akal mereka jadi tenggelam dalam kelembutan-Nya, dan qolbu mereka jadi lebur dalam penyingkapan-Nya."
Begitu pula al-Niffari (w.354 H), penyair sufi yang begitu kental penyerahan dirinya kepada Allah SWT, yang merupakan puncak kepasrahan dan cinta kepada-Nya yang mendalam, katanya:
"Ilmu adalah huruf, yang tak terungkap kecuali oleh perbuatan
Dan perbuatan adalah huruf, yang tak terungkap kecuali oleh keikhlasan
Dan keikhlasan adalah huruf, yang tak terungkap kecuali oleh kesabaran
Dan kesabaran adalah huruf, yang tak terungkap kecuali oleh kepasrahan".

Kanjeng Nabi Muhammad SAW, pernah mengungkapkan dalam doanya:
"Ya Allah, karuniailah aku dengan cinta kepada-Mu, cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu, cinta kepada orang-orang yang mendekatkan aku akan cinta-Mu, dan jadikanlah cintaku kepada-Mu lebih dari cintaku kepada diriku sendiri dan dari kecintaanku akan air yang sejuk."
            Demikianlah sekelumit contoh dari orang-orang yang menjalani hidupnya dengan penuh cinta kepada Allah SWT. Dengan cinta kepada-Nya yang dalam itulah, mereka sanggup mencintai manusia dan kemanusiaan yang sangat dalam. Akar pijakannya begitu dalam dan kuat. Tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah SWT. Sehingga hidupnya tidak akan plin-plan atau munafik dalam hidupnya. Teladan seperti inilah yang kita perlukan terutama di zaman akhir seperti sekarang ini.

Maqamat
            Jika kaum sufi ingin mendekatkan diri kepada Allah, tidak hanya sekedar dekat, tetapi ingin sedekat mungkin, sehingga mereka dapat melihat Allah (ma'rifat), malahan lebih dekat dari itu, mereka bisa mengalami persatuan (ittihad) dengan Allah, maka harus melalui terminal-terminal (maqamat). Karena maqamat adalah landasan tasawuf.
            Sebagai ilustrasi dan contoh untuk mengadakan perjalanan kepada Allah (suluk) adalah sebagai berikut:
            Allah adalah bersifat Immateri dan Mahasuci. Maka unsur dari manusia yang dapat bertemu dengan Allah adalah unsur immateri manusia, yaitu hati, dan hati harus suci. Yang dapat mendekati Mahasuci adalah yang suci.
            Hati manusia, yang masuk ke dalam tubuh manusia, bisa dibuat kotor oleh hawa nafsu. Oleh karena itu ruh harus disucikan terlebih dahulu dari kotoran-kotoran yang melekat dari dirinya.
            Pembersihan itu dapat dilakukan melalui ibadah shalat, puasa, zakat, haji, membaca al-Qur'an, dan selalu mengingat Allah dengan berdzikir. Memang tujuan dari ibadah adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan keji dan munkar. Dan dengan demikian, dapat membuatnya bertakwa, bersih, dan dekat dengan Allah SWT.
            Jika sufi melakukan ibadah shalat, maka shalat yang dilakukan tidak hanya cukup shalat wajib, tetapi juga shalat-shalat sunnah, dan ditambahi dengan dzikir-dzikir. Ia banyak membaca Al-Qu'ran, bahkan mengkhatamkannya dalam waktu satu atau dua hari. Lidahnya selalu dihiasi dengan bacaan-bacaan ayat-ayat al-Qu'an.
            Jika sufi ingin menjauhkan dari dari kotoran dosa, biasanya ia melakukan puasa. Karena puasa tidak hanya sekedar menghindari makan dan minium, tetapi juga dapat mengurangi godaan hawa nafsu. Kalau perut kenyang, orang menjadi kuat dan banyak bernafsu. Tetapi jika perut kosong, maka dapat membuat orang lemah, dan nafsunya mengecil. Dan dalam dunia sufi, biasanya dengan puasa akan dapat mematikan nafsu. Sehingga sufi-pun akan terbebas dari godaan-godaan nafsu, seperti cinta dunia, dan juga terhindar dari penyakit-penyakit hati. Akhirnya hati-nya menjadi suci. Setelah itu, sufi baru dengan mudah mendekatkan diri dengan Allah. Namun untuk menuju dekat dengan-Nya, ia harus menempuh jalan (thariqah) yang panjang dan penuh duri, dan berisi terminal-terminal (maqamat).
            Misalnya maqam pertama, adalah taubat. Taubat dari dosa besar dan kecil. Taubat ini biasanya memakan waktu yang cukup lama, bisa bertahun-tahun. Dan setelah selesai dari taubat ini, calon sufi mulai taubat dari hal-hal yang makruh dan syubhat.
            Untuk memantapkan taubat, calon sufi harus memasuki maqam zuhud, yaitu menghindari dari ketertarikan urusan-urusan duniawi. Biasanya, dengan cara mengasingkan diri dari khalayak ramai. Ia ber-khalwat. Seperti yang pernah dilakukan oleh Imam Ghazali (450-505 H) di menara masjid Damsyik. Di tempat penyendiriannya itu, calon sufi banyak melakukan shalat, dzikir, membaca al-Qur'an, dan lain-lain. Setelah bertahun-tahun berzuhud, ia sudah tidak lagi digoda oleh urusan-urusan duniawi, maka ia kembali ke hidup sebelumnya, bercampur dengan masyarakat dan memberi nasehat- nasehat kepadanya. Imam Ghazali kembali kepada keluarganya setelah sepuluh tahun mengembara untuk ber-khalwat.
            Jadi sufi tidak selamanya mengasingkan diri dari dunia ramai. Ia menjahui masyarakat, hanya dalam waktu sementara.
            Setelah selesai dari zuhud, calon sufi memasuki maqam wara'. Ia menjadi orang wara' dengan meninggalkan hal-hal yang syubhat dan makruh. Menurut literatur tasawuf: tangan sufi tidak bisa mengulurkan tangannya untuk mengambil perkara-perkara yang syubhat.
            Kemudian, ia pindah ke maqam faqr. Di sini ia hidup sebagai orang fakir. Baginya cukup satu atau dua helai pakaian. Kalau ada makanan ia makan, kalau tidak, ia puasa. Ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Tetapi kalau diberi orang, ia tidak menolak pemberiannya.
            Setelah memasuki maqam faqr, ia masuk kepada maqam shabr. Ia sabar menghadapi segala yang datang dari Allah. Ia tidak mengeluh, dan menerima cobaan yang menimpanya. Ia tidak menunggu datangya pertolongan. Ia sabar menderita.
            Selanjutnya ia beralih ke maqam tawakkal. Ia menyerah sebulat-bulatnya kepada putusan Allah. Ia tak memikirkan hari-hari yang akan datang. Apa yang ada hari ini sudah cukup. Ia tidak mau makan kalau ada orang yang lebih membutuhkan terhadap makanan itu darinya. Ia bersikap bagaikan telah mati.
            Akhirnya, calon sufi sampai kepada maqam ridlo. Di sini, ia ridho dan bahkan kadang-kadang merasa senang dengan cobaan yang ditimpakan kepadanya. Ia tidak meminta apa-apa dari Allah, surga pun tidak. Rasa takut dalam hatinya telah hilang, dan sebagai gantinya adalah rasa cinta kepada Allah.
            Dari maqam ridho itulah, seorang sufi merasa dekat dengan Allah. Rasa cinta yang bergelora dalam hatinya, membuatnya sampai ke maqam mahabbah (cinta ilahiyyah). Hatinya telah begitu penuh dengan rasa cinta, sehingga tidak terdapat lagi tempat di dalamnya untuk rasa benci kepada apa dan kepada siapapun. Ia mencintai Allah, dan juga mencintai makhluk Allah.
            Rasa cinta yang tulus di dalam hatinya dibalas oleh Allah, akhirnya ia pun dapat melihat Allah dengan mata hatinya. Tabir antara dirinya dengan Allah telah hilang, dan ia pun akhirnya telah berhadapan dengan Allah. Ia telah mencapai maqam ma'rifat.
            Peralihan dari maqam mahabbah ke maqam ma'rifat telah dirasakan oleh Rabi'ah al-Adawiyyah, seperti tergambar dalam sya'irnya di atas.
            Di maqam ma'rifat, sufi telah dekat sekali dengan Allah. Tetapi itu belum memuaskan baginya. Ia belum puas hanya dekat dan berhadapan dengan Allah, ia ingin dekat lagi, dan menyatu dengan Allah.
Ia berusaha melupakan dirinya dan memusatkan kesadaran pada diri Allah. Ia pun rampai ke tingkat fana', hancur kesadarannya tentang dirinya, dan tinggal kesadarannya tentang diri Allah. Yang terakhir ini disebut baqa'. Fana' dan baqa' adalah kembar dua. Ada yang menyebut baqa' adalah ketika sufi telah sadar kepada kondisi semula. Kembali kepada kesadaran dirinya sebagai manusia.
Dengan hancurnya kesadaran sufi tentang dirinya, dan tinggal kesadarannya tentang diri Allah, berarti ia telah sampai ke tingkat ittihad, bersatu dengan Allah. Akhirnya keluarlah ungkapan-ungkapan ganjil dari seseorang yang telah kasmaran dengan Allah ini. Seperti ungkapan Abu Yazid Al-Bustami:
"Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku
Melalui diri-Nya, aku berkata: Hai Aku". [hafana-des 2010]
           

Previous
Next Post »