Hosting Unlimited Indonesia

Tokoh Pendidikan

BAB  I

PENDAHULUAN
            para ulama dan pemikir islam yang secara khusus menekuni masalah pendidkan da menuangkan pemikiran dan pemikirannya dalam karya tulis yang khusus, memng begitu banyak, apabila disbanding dengan karya-karya tulis mereka dalam bidang keilmuan islam yang lain, seperti hadist, tafsir, fiqih, kalam dan tashawuf. Sebagian pemikiran mereka tenyang pendidikan islam bercampur dalam karya tulis mereka yang membahas masalah-masalah ke-islaman yang lain, seperti Al-Ghazali dengan ihya’nya dan ibnu khaldun muqaddimahnya. Pemikiran-pemikiran mereka itu ternyata masih banyak yang relevan dengan masalah pendidikan yang kita hadapi kita sekarang, mereka telah mewariskan gagasan-gagasan yang perlu kita kaji dan kita lanjutkan.
            Posisi manusia sebagai homo educandum (makhluk yang dapat didik), homo education (makhluk pendidik), dan homo religious (makhluk beragama) mengindikasikan bahwa perilaku keberagamaan manusia, dapat diarahkan melalui pendidikan. Pendidikan yang dimaksud di sini adalah pendidikan Islam, yakni dengan cara membimbing dan mengasuhnya agar dapat memahami, menghayati ajaran-ajaran Islam, sehingga tampak perilaku keberagamaan secara simultan dan terarah pada tujuan hidup manusia. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang sangat ideal. karena menyelaraskan antara pertumbuhan fisik dan mental, jasmani dan rohani, pengembangan individu dan masyarakat, serta dunia dan akhirat.[1]






BAB II
PEMBAHASAN
        I.            Biografi Al-Qabisy  Tokoh Pemikir Pendidikan Islam.

a)      Biografi Al-Qabisy dan Pandangan Umumnya tentang Pendidikan
Nama lengkap Al-Qabisiy  adalah Abu Al-Hasan Muhammad  bin Khalaf Al-Ma‘arifi Al-Qairawaniy.  Al-Qabisiy adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy. Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia  pada tahun 324 H-935M.[2] Literatur-literatur tidak menyebutkan  perihal kedudukan  orang tuanya. Barangkali Al-Qabisiy bukan dari keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal setelah ia menjadi  ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam.
Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari Al-Qur’an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira’at dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-‘Abbas Al-Ibyani yang  amat menguasai fikih mazhab Malik. Al-Qabisiy pernah mengatakan tentang gurunya ini: “saya tidak pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-‘Abbas. Guru-guru lain  yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah  Abu Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan  Abdullah bin Abi Zaid.
Al-Qabisiy pernah sekali melawat ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama 5 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus  menuntut ilmu. Ia pernah menetap di bandar-bandar besar  seperti  Iskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia  pernah belajar pada Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam meriwayatkan hadits Imam Malik dan  mendalami mazhab fikihnya,
Al-Qabisiy mengajar pada  sebuah madrasah yang diminati oleh penunut-penuntut ilmu. Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di madrasah ini banyak yang datang  dari Afrika dan  Andalus.  Murid-muridnya yang terkenal adalah  Abu Imran Al-Fasiy, Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar ‘Atiq Al-Susiy dan lain-lain.
Al-Qabisiy terkenal luas pengetahuannya dalam bidang hadits dan fikih di samping juga sastera Arab.[3]
  Ia menjadi rujukan ummat dan dibutuhkan untuk menjawab masalah-masalah hukum Islam, maka ia diangkat menjadi mufti dinegerinya. Sebenarnya, ia tidak menyukai jabatan ini, karena ia memiliki sifat tawadlu‘ (merendah diri), wara‘ (bersih dari dosa) dan zuhud (tidak mencintai kemewahan hidup duniawi).[4] Salah satu karyanya dalam bidang pendidikan  Islam yang sangat monumental adalah kitab “Ahwal al-Muta’allim wa Ahkam Mu’allimin wa al-Muta’allimin”, sebagai kitab yang terkenal pada abad 4 dan sesudahnya.
Konsep pemikiran tujuan pendidikannya Al-Qabisy secara umum, sebagaimana dirumuskan oleh al-Jumbulati, yaitu: (1) mengembangkan kekuatan akhlak anak, (2) menumbuhkan rasa cinta agama, (3) berpegang teguh terhadap ajarannya, (4) mengembangkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang murni, dan (5) anak dapat memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuan mencari nafqah. Sedangkan Abudin Nata memahami tujuan pendidikan Islam al-Qabisy bercorak normatif, yaitu mendidik anak menjadi seorang muslim yang mengetahui ilmu agama, sekaligus mengamalkan agamanya dengan menerapkan akhlak mulia. Dengan demikian, dipahami bahwa pandangan intisari pendidikan al-Qabisy menurut Abudin Nata bukan hanya pada ranah pengetahuan kognitif, namun sekaligus pada ranah afektif dan psikomotorik.
b)      Konsep Pendidikan Al-Qabisy,  Koedukasi dan Kurikulum
1.      Koedukasi Pendidikan
Koedukasi. berasalal dari kata “co” yang berarti sama, sedangkan “ducation” adalah proses latihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan, keterampilan dan karakter. Utamanya dilaksanakan oleh lembaga formal melalui pengajaran dan latihan. Ali Al-Jumbulati lebih detail menjelaskan bahwa koedukasi berarti “co educational class” yang berarti percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam suatu kelas.  Dengan demikian, koedukasi yang dimaksud adalah sistem pendidikan yang dilakukan melalui proses belajar mengajar yang menggambungkan pria dana wanita dalam suatu ruangan (kelas), atau sering pula dikenal dengan pendidikan campuran.
Munculnya sistem koedukasi pendidikan dilandasi oleh diizinkannya keberadaan lembaga-lembaga Asing di negeri-negeri Islam, dan biasanya melaksanakan pendidikan melalui kebebasan penuh, tanpa pengawasan dari pihak pemerintah. Artinya, segala sistem operasional yang dijalankan terselubung ke dalam sistem pendidikan dan berkedok sebagai sistem pendidikan Islam.
Al-Qabisiy menyatakan bahwa anak mempunyai hak sepenuhnya untuk belajar. Anak-anak tidak boleh disibukkan dengan pekerjaan sehingga mereka tidak sempat belajar Al-Qur’an dan menuntut ilmu pengetahuan. Ketika seorang laki-laki  melapor kepada  Sahnun (seorang pendidik abad III), bahwa ia tidak  menghambat anaknya  yang sedang menuntut ilmu dengan pekerjaan, tapi semua pekerjaan diselesaikan sendiri, Sahnun berkata kepadanya: “sesungguhnya fahala engkau  lebih besar  daripada fahala  menunaikan ibadah haji dan ibadah jihad”. Demikian Al-Qabisiy mengutip pendapat Sahnun tentang pentingnya pendidikan bagi anak remaja.
Al-Qabisiy tidak menyetujui materi pelajaran diberikan kepada anak perempuan selain pelajaran agama. Mengajar  menulis  dan syair bagi mereka dapat merusak kehidupan masa depan mereka. Ia memisahkan antara ilmu-ilmu yang patut diajarkan kepada anak perempuan dan ilmu-ilmu yang tidak boleh diberikan kepada mereka. Sebagian ilmu, kalau diajarkan kepada anak perempuan, dapat membawa kepada  fitnah dan  membahayakan kehidupannya sendiri. Al-Qabisiy melihat bahwa syair-syair pada zaman kemajuan pendidikan Islam banyak yang  mengarah pada pujian kecantikan perempuan, ghazal (cumbu rayu) dan kisah-kisah cinta muda-mudi. Maka ia melarang anak perempuan diberikan pelajaran mengarang syair-syair yang dikhawatirkan terjerumus ke dalam bahaya semacam itu.
Namun demikian, Al-Qabisy berpendapat bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya. Hal yang demikian dapat memperburuk tingkah laku anak-anak. Maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari  penyimpangan-penyimpangan akhlak.
Tidak diketahui secara pasti tentang batasan umur tentang tidak bolehnya anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, namun al-Qabisy hanya mengatakan bahwa anak yang berusia muharriqah (masa pubertas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul dorongan yang kuat untuk mempertahankan jenis kelaminnya hingga ia sampai pada usia dewasa. Jika demikian, berarti anak dewasa dapat saja diadakan koedukasi pendidikan. Dapat dipahami pula, bahwa al-Qabisy dapat saja menerima koedukasi, hanya saja dengan syarat koedukasi diterapkan dalam batas kewajaran dan tidak menjadikan kerusakan moral.
2.      Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan Islam merupakan bagian integral yang sangat vital dalam capaian hasil atau tujuan pendidikan. sehingga kemudian menghasilkan mutu pendidikan,[5] yang lebih konfrehensif dan paripurna sebagai wujud penghambaan kepada Sang Pencipta dan Pemelihara terhadap keutuhan alam-ilmiyah. Kurikulum adalah sejumlah pengalaman, pendidikan, kebudayaan, sosial, keolaragaan dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid di dalam dan diluar sekolah dengan maksud menolong mereka untuk berkembang dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan. Bahkan Hasan langgulung menggambarkan pada tiga materi yang harus ada dalam kurikulum yaitu, pertama, ilmu yang diwahyukan yang meliputi al-Qur’an dan Hadits serta bahasa Arab. Kedua, ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia. Ketiga, adalah sains tabi’I yang meliputi fisika, biologi, astronomi dan lain sebagainya. Hanya saja menurut Hasan Langgulung pada esensinya ilmu itu satu yang membedakan adalah analisa.[6]
Pada dasarnya, implementasi kurikulum pada suatu sekolah merupakan suatu alat atau usaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan sekolah tertentu yang dianggap cukup tepat dan krusial untuk dicapai. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah meninjau kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah. Dalam pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut harus dicapai secara bertahap yang saling mendukung. Sedangkan keberadaan kurikulum disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sebagaimana substansi obyek bahasan ini, Al-Qabisiy membagi tujuan pengajaran kepada dua tujuan utama; yaitu tujuan agama dan tujuan akhlak. Ini dipahami dari tulisan-tulisan yang dikemukakannya  yang dianalisis kemudian  oleh para peneliti yang mengkaji ide-idenya di kemudian hari.
Al-Qabisiy selalu menyeru, di manapun ia berada, agar ummat Islam harus berpegang teguh pada dasar-dasar agama. Ia selalu mengisyaratkan pada ummat Islam untuk memperhatikan kelebihan para pemimpin periode pertama ummat Islam ini. Ummat Islam pertama amat memperhatikan Al-Qur’an, mencari guru-guru yang mengajar Al-Qur’an  dan mendalami maksud kandungan isi Al-Qur’an. Setelah mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak, diberikan pengajaran praktis yaitu cara-cara berwudluk dan praktek shalat. Anak perlu dilatih secara kontinyu untuk melaksanakan shalat sampai ia merasa senang mengerjakan ibadah dan merasa bersalah jika ia meningalkannya. Pengajaran Al-Qur’an, menurut Al-Qabisiy, adalah suatu ilmu yang kekal yang harus dimiliki oleh anak-anak dan itulah kejayaan yang paling abadi jika anak memperolehnya. Pernyataan Al-Qabisiy di atas dapat dipahami bahwa kalau anak-anak menghafal Al-Qur’an dan memahami maksudnya, maka  itu kelak akan menjadi inspirasi berharga untuk mengembangkan sejumlah ilmu pengetahuan  islami yang dikuasainya dan tidak akan melenceng dari tujuan-tujuan Islam. Anak dapat saja menekuni matiq, filsafat, Ilmu Pengetahuan Alam, matemateka dan lain-lain sebagainya sementara ia memilki asas Al-Qur’an yang kuat. Maka bidang apa saja yang dikembangkannya kelak ia selalu berlandaskan  pada asas yang kuat yaitu dengan berorientasi pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Menyangkut dengan pendidikan akhlak, Al-Qabisiy  meminta para pendidik agar berpegang pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang  didasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.  Ia berkata: ”siapa yang mengajar anaknya dan memperbagus pengajarannya dan siapa saja yang mendidik anaknya  serta memperbagus pendidikannya, orang tersebut telah berbuat baik kepada anaknya dan akan mendapat fahala di sisi Allah”. Al-Qabisiy menyatakan bahwa antara pendidikan dengan pengajaran saling mengisi. Akhlak mesti dibina oleh keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat umum. Kalau anak menyimpang ataupun melakukan hal-hal yang buruk, itu lebih  disebabkan oleh keluarga yang tidak melaksanakan kewajiban mereka. Anak-anak yang telah  menyimpang dari prilaku agama  perlu diberikan hukuman serta mendidik ke arah yang benar.[7]
Ketika membahas isi sebuah kurikulum pendidikan, Al-Qabisi  mengklasifikasi pengajaran ke dalam dua  bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Ilmu-ilmu tersebut meliputi  ilmu-ilmu  berikut:
1)    Al-Quran. Al-Qur’an merupakan mata pelajaran yang asasi dan wajib dipelajari oleh setiap anak pada setiap ma‘had. Al-Qur’an wajib diperhafalkan kepada anak-anak, karena Al-Qur’an merupakan modal dasar dalam upaya mengembangkan pengetahuannya di masa yang akan datang.
2).   Fiqih. Fiqih yang dimaksudkan oleh al-Qabisiy adalah dasar-dasar hukum Islam yang wajib diketahui oleh setiap anak agar ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya. Guru wajib membebankan kepada mereka  untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, demikian juga mengajarkan cara berwudluk yang benar. Selain itu perlu juga diberikan dasar-dasar tauhid kepada mereka agar mereka mengagumi Allah sebagai  Tuhan mereka.
3).Akhlak. Akhlak sangat penting diberikan kepada anak-anak, karena sisi ini ada yang menyangkut dengan Allah sendiri dan ada juga terkait dengan sesama manusia. Anak-anak perlu ditanam dalam diri mereka sifat-sifat yang baik sejak dini dan  diarahkan tingkah laku mereka pada jalan yang benar.
4). Khat, Mengeja dan Membaca. Anak-anak sangat perlu mempelajari khat serta dapat mengheja dan membaca Al-Qur’an. Hal ini penting sekali dalam pengajaran Al-Qur’an. Guru, menurut Al-Qabisiy, wajib menuntun anak-anak pada dasar-dasar cara membaca Al-Qur’an sesuai dengan cara bacaan yang benar sampai mereka dapat membaca dengan bagus.
5).  Bahasa Arab.  Yang dimaksud dengan bahasa Arab  di sini adalah dasar-dasar ilmu nahwu, namun bukan pembahasannya yang mendetil. Tujuannya adalah agar anak-anak dapat membaca setiap teks dengan benar dan dapat memahami kesalahan bacaan.
Sedangkan ilmu-ilmu yang tidak termasuk dalam katagori asasi (ikhtiyariy), sebagai berikut:
1)  Ilmu Hisab (berhitung). Al-Qabisiy tidak menuntut pada guru untuk mengajar mata pelajaran ini sebagai mata pelajaran yang wajib, tapi guru boleh  memberi pelajaran ini sebagai pilihan pada murid-muridnya. Ia  mengaitkan urgensi pelajaran ini dengan tujuan keagamaan, karena mempelajarinya akan membantu untuk memahami ilmu faraidl (pembagian pusaka). Nampaknya, Al-Qabisiy menjadikan mata pelajaran ini diberikan pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2)  Sastra Arab. Kalau dasar-dasar bahasa Arab dianggap asas, tapi  mengkaji sastra  adalah ilmu yang bukan asasi lagi. Mempelajari syair, prosa dan pidato tokoh-tokoh Arab  merupakan  mata pelajaran pilihan. Menghafal syair-syair dapat membantu anak-anak untuk memngembangkan kemampuan bahasanya dan dapat berbicara dengan bahasa yang santun. Faedah lain dari syair adalah menjadi hiburan pada waktu-waktu sengggang.
3) Sejarah. Sejarah bukan materi pelajaran yang asasi menurut Al-Qabisiy, tapi pelajaran sejarah  dapat melatih anak-anak untuk bertingkah laku yang baik dan berperilaku mulia. Sejarah orang-orang yang baik sangat berguna bagi anak-anak untuk menjadi pedoman hidup bagi mereka. Jadi pelajaran sejarah, menurut Al-Qabisiy lebih ditekankan pada agar anak-anak bercermin pada perbuatan-perbuatan yang baik.

     II.            Ibnu Maskawih
a). Riwayat hidap ibnu makawih
Maskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memuaskan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat Yunani, sangat luas.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar ini juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan Adhud al Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.[8]
Maskawaih dilahirkan di Ray (Teheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan berbeda-beda, MM Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya, para tokoh sepakat pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M.[9]
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas.[10]
Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al Daulah (tahun 367 H – 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam
2. Pemikiran Filsafat Ibnu Maskawaih
a. Filsafat Jiwa (al nafs)
Menurut Ibnu Maskawaih, Jiwa berasal dari limpahan akal aktif (‘aqlfa’al). jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera.
Jiwa tidak bersifat material, ini dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan yang lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang indrawi maupun yang spiritual. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh jangkauannya dibanding daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan dunia materi semuanya tidak akan sanggup memberi kepuasan kepada jiwa.
Lebih dari itu, di dalam jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar berkaitan dengan hal-hal yang diperoleh panca indera. Perbedaan itu dilakukan dengan jalan membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain dan membeda-bedakannya.
Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing panca indera dan membetulkan kekeliruan yang dialami panca indera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subyek yang berpikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketiga-tiganya merupakan sesuatu yang satu.
Ibnu Maskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Lebih jauh menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut:
1) Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
2) Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang
3) Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.[11]
Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya jika ia memiliki jiwa yan cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan.
Berkenaan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Maskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat ‘ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta.[12]
b. Filsafat Akhlaq
Sebagai “Bapak Etika Islam”, Ibnu Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (al Mu’allim al tsalits), setelah al Farabi yang digelari Guru Kedua (al Mu’allim al tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (al Mu’allim al awwal) adalah Aristoteles. Teori Maskawaih tentang etika dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Tahzib al Akhlaq wa That-hir al ‘Araq (Pendidikan budi pekerti dan pembersihan watak).
Kata akhlaq adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Ibnu Maskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya.[13]



Dengan kata lain, khuluq merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan secara spontan. Keadaan jiwa tersebut bisa merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula berupa hasil latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan baik. Dari pengertian itu dapat dimengerti bahwa manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.
Ibnu Maskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula Ibnu Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq.[14]
 III.            Ibnu sina
a). Biografi ibnu sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman,[15] Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya.[16] Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab..

Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi. [17]
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit.[18] Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak  pernah dikecewakan. Sering - sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya[19]
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu.[20] Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.



1)      Konsep dan pemikiran kependidikan ibnu sina
a.       Pendidikan anak supaya di mulai dari hal-hal yang mendasar, yakni belajar membaca al-quran, menghafal huruf atau dengan kata lain belajar menbaca dan menulis, kesopan santunan, pengertahuan serta pengamalan agama, dan menghafal syair-ayair yang bagus isinya.
b.      Mamberikan dasar-dasar keterampilan dan keahlian (as-shina’ah wa al-mihnah) yang sesuai dengan bakat dan minat peserta didik, bukan atas hobi atau kesenangan semata.
c.       Tujuan pendidikan yang komprehensif (untuk dunia akhirat) tersebut memerlukan komponen kurikilum yang terpadu, oleh karena dalam pendidikan islam disamping pembelajaran ilmu-ilmu agama, juga harus di ajarkan ilmu umum.
d.      Perlu memperhatikan kualitas dan profesional guru, menurut ibnu sina, syarat-syarat menjadi guru itu harus: pandai dan bijak, saleh, agamis dan taqwa, berpakaian bersih dan rapi penampilannya, ihlas dan kompeten balajar, bersikap adil dan jujur dalam profesinya.

  IV.            Biografi Al-Ghazāli
a). Biografi Al-Ghazāli
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ath-Thousy. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1059 M di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia mendapat gelar Imam Abu Hamid al-Ghazali Hujjatul Islam.[21]Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya mereka hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dan menenun wol.[22]
Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan seringkali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka. Dia sering berdoa kepada Allah agar diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan pengabulan Allah atas doanya, dia meninggal dunia pada saat anaknya masih usia anak-anak.



Sebelum dia meninggal dunia, dia menitipkan kedua anaknya kepada seorang sufi (sahabat karibnya) sambil mengungkapkan kalimat bernada menyesal: ”Nasib saya sangat malang, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka dan pergunakanlah sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar mereka.”[23]
Akan tetapi hal ini tidak berjalan lama. Harta warisan yang ditinggalkan untuk kedua anak itu habis, sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di madrasah inilah al-Ghazali bertemu dengan Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan pada saat itu, dan dari sini pulalah awal perkembangan intelektual dan spiritualnya yang kelak akan membawanya menjadi ulama terkenal di dunia Islam bahkan sampai disebut sebagai Hujjatul Islam dan Zain ad-Dîn.[24]
Dia mulai memasuki pendidikan di daerahnya yaitu belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razkani al-Thusi. Setelah dirasa cukup, dia pindah ke Jurjan dan memasuki pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nashr al-Isma’ili dengan mata pelajaran yang lebih luas meliputi semua bidang agama dan bahasa. Setelah tamat di sini, dia kembali ke Thus dan mengkaji ulang atas semua yang telah dipelajarinya sambil belajar tasawuf dengan syekh Yusuf al-Nassaj (wafat 487 H). Al-Ghazali belajar pada gurunya tersebut selama 20 tahun.[25]
Setelah dua atau tiga tahun dia di Thus, dia berangkat kembali melanjutkan pelajaran ke Nisyapur dan belajar pada Abul Ma’al al-Juwaini (wafat 478 H) yang bergelar Imam al-Haramain, dalam beberapa ilmu keislaman. Di Nisyapur dia juga melanjutkan pelajaran tasawwuf  kepada Syekh Abu Ali al-Fādhil ibnu Muhammad ibnu Ali al-Farmadi (wafat 477 H). Di samping belajar tersebut dia juga mulai mengajar dan menulis dalam ilmu fiqhi. Pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali pergi ke kampus Nizam al-Mulk, yang menarik banyak sarjana dan di sana dia diterima dengan kehormatan dan kemuliaan. Pada suatu saat yang tidak bisa dijelaskannya secara khusus, tetapi dapat dipastikan sebelum perpindahannya dari Baghdad, al-Ghazali mengalami fase skeptisisme, dan menimbulkan awal pencarian yang penuh semangat terhadap sikap intelektual yang lebih memuaskan dan cara hidup yang lebih berguna. Paham ini kemudian dianut oleh para sarjana Eropa pada masa berikutnya.[26]
Setelah Imam al-Juwaini wafat dan pelajaran tasawuf sudah cukup dikuasainya, dia pindah ke Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar di kalangan ulama dan intelektual. Pada tahun 483 H/1090 M, dia diangkat menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu dia laksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan batiniyah, ismailiyah, filsafat dan lain-lainya.[27]
Para mahasiswa sangat menyukai kuliah-kuliah yang disampaikan oleh al-Ghazali oleh karena begitu dalam dan luas ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Para mahasiswa yang jumlahnya ratusan tersebut sering terpukau dengan kuliah-kuliah yang disampaikan. Bahkan para ulama dan masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya, sehingga tidak heran jika dia menjadi sangat masyhur dan popular dalam waktu yang relatif tidak lama.
Al-Ghazali mencapai kejayaan tertinggi sebagai ulama dilihat dari segi lahirnya saja, tetapi dari segi batinnya ia mulai mengalami krisis intelektual dan kerohanian yang amat dalam. Keraguannya pada persoalan-persoalan yang ada mulai muncul dan ilmu-ilmu yang tadinya diajarkan mulai dikritiknya. Dia merasa kekosongan dalam uraian-uraian dan pikiran-pikiran di kalangan para fuqaha. Pemikiran di kalangan ahli kalam mengenai perkara-perkara doktrinal tidak memberinya keyakinan karena hal tersebut hanya membawa agama pada sistem ortodoksi dan perbincangan yang ada menjadi sangat dangkal.[28]
a.       Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan islam:
        i.            Al-Ghazali berpendapat, bahwa profesi guru merupakan profesi yang sangat mulia, dan hal tersebut didasarkan pada acuan tekstual maupun rasional, diantara dasar atau dalil tekstualnya adalah sabda nabi saw. Yang artinya:…..”saya ini sebenarnya diutus sebagai seorang guru”….
       ii.            Jadi profesi guru merupakan warisan dari misi kerosulan.Pendidikan merupakan sebuah wasilah untuk mencapai kemulian dan menserahkan jiwa, pendidikan yang benar merupakan jalan mendekat kepada tuhan, al-ghazali menyatakan: selama ilmu itu dimiliki seorang itu lebih banyak dan lebih sempurna, maka seharusnya ia menjadi lebih dekat kepada Allah.
     iii.            Guru harus memiliki rasa kasih sayang kepada peserta didiknya, memandang mereka seperti anaknya sendiri, karena nabi bersabda:…”sebetulnya saya ini bagimu semua adalah seperti kedudukan orang tua terhadap anaknya.
     V.            Ibn Taimiyah
a.      biografi Ibn Taimiyah

Ibnu taimiyah dilahirkan pada tanggal 10 R. Awal tahun 661 H. Dengan nama Ahmad bin Abdul Halim bin Abd Salam bin Taimiyah. Dia tumbuh dengan kecerdasan yang luar biasa, mula-mula dia belajar pada Ibn Abd Daim, al-Qasim al-Irbili, Muslim bin `Allan dan pada Ibn Abi Amr. Selanjutnya Ibnu Taimiyah mebaca sendiri ilmu keislaman tampa bimbingan seorang guru.[29] Namun dengan berbekal kecerdasan yang tinggi Ibnu Taimiyah mampu mengalahkan yang lain. Adz-Dzahahabi menceritakan bahwa Ibnu Taimiyah sudah mempunyai kemampuan munâzharah (berdebad) sebelum masa baligh, dan mampu mengarang, mengajar serta berfatwa padahal umurnya belum memasuki 20 tahun, sehingga dalam usianya yang masih belia dia sudah di anggap sebagai pembesar Ulama?[30]

Keilmuan Ibnu Taimiyah:

Tidak heran kalau saat dewasa Ibnu Taimiyah menjadi seorang yang berpengaruh karena kesalehan dan kemampuan intelektualnya melebihi kebanyakan manusia. Ibnu Hajar Al-Asqalani menuturkan panjang lebar tentang ilmu Ibnu Taimiyah melalui tulisan Al-Hafid Al-Dzahabi, murid Ibnu Taimiyah. Menurut adz-Dzahabi seorang yang melihat kehebatan Ibnu Taimiyah dalam masalah khilafiyah, maka ia akan heran dan kagum, Ibnu Taimiyah mampu mentarjih dan membandingkan segala perbedaan dengan argument yang kuat, dia berhak berijtihad sendiri karena syarat-syarat mujtahid telah dipenuhi. Tidak kutemukan seorang yang lebih cepat melebihi Ibnu Taimiyah dalam mengeluarkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai dalil dalam suatu masalah, hadits-hadits Nabi seakan akan berada di depan mata dan di ujung lidahnya, disamping itu ia mampu mentafsiri Al-Qur’an dengan luas. Adapun falam masalah ideologi berbagai aliran maka dia tiada berdebu. Sedang sifatnya sangat dermawan, pemberani dan tidak pernah menyimpan dendam. Kata-kataku ini akan dianggap kurang oleh pendukungnya dan akan dianggap berlebihan oleh para penentangnya.[31]
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu
diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an. Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan.

Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam.

            b. Pemikiran Ibn Taimiyah  tentang pendidikan islam:

Menurut ibn Taimiyah bahwa menuntut ilmu itu merupakan ibadah dan memahaminya secara mendalam merupakan sikap ketakwaan kepada Allahdan mengkajinya merupakan jihad, mengajarkan kepada orang yang belum tau dan mendiskusikanya merupakan tasbih.
dasar “tauhid” yaitu keyakinan yang benar tentang ke-mahaesaan Allah, yang mengandung kepercayaan yang mendalam, bahwa tidak ada kekuatan dak kekuasaan selain-nya yang beleh disembah, tidak ada harapan dan permohonan yang diajukan kecuali kepadanya. Tauhid ini mencangkup tiga dimensi yaitu:

1. Tauhid rububiyah Meyakini bahwa Allah itu esa, yang menciptakan semua mahluq, mengatur dan membimbingnya.
2.Tauhid uluhiyyah Meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya tuhan yang pantas disebut tuhan, di taati dan dipatuhi segala perintahnya serta menjauhi segala laranganya.
3. Asmma dan sifat Meyakini bahwa segala yang berjalan dalam kenyataan di alam raya ini merupakan aturan Tuhan.
[32]


  VI.            Ibnu Khaldun
a.      Beografi Singkat Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M.  Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga,
karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir. Adapun asal-usul Ibnu Khaldun menurut Ibnu Hazm ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, disebutkan bahwa: Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut di Yaman, dan kalau ditelusuri silsilahnya sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal meriwayatkan kurang lebih 70 hadits dari Rasulullah, yaitu Wail bin Hujr.  Nenek moyang Ibnu Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol) bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M., karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia.
Pada abad ke VII M, anak cucu Khaldun pindah ke Sevilla yang pada masa pemerintahan Amir Abdullah Ibnu Muhammad dari Bani Umayyah (274-300 H.) Andalusia dalam suasana perpecahan dan perebutan kekuasaan dan yang paling parah adalah Sevilla. Dalam suasana seperti itu anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib mengadakan pemberontakan bersama Umayyah Ibnu Abdul Ghofir, dia berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan (sebagai Amir) di Sevilla. Akan tetapi karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak disenangi rakyat dan akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H.Banu Khaldun tetap tinggal di Sevilla selama pemerintahan Umayyah dengan tidak mengambil peranan yang berarti sehingga datangnya pemerintahan raja-raja kecil (al-Thowalif) dan Sevilla berada dalam kekuasaan Ibnu Abbad. Pada masa itulah bintang Banu Khaldun meningkat lagi sampai pada masa pemerintahan Al-Muwahidun.  Setelah raja-raja Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja Muwahhidin menggeser kekuasaan raja-raja Murabbith. Pada pemerintahan Muwahhidun inilah Banu Khaldun menjalin hubungan dengan keluarga pemerintah, sehingga mereka mempunyai kedudukan yang terhormat.  Tatkala kerajaan Muwahhidin mengalami kemunduran dan Andalusia menjadi kacau balau, maka Banu Khaldun pindah ke Tunisia pada tahun 1223 M. nenek moyang Ibnu Khaldun yang pertama mendarat ke Tunisia adalah al-Hasan Ibnu Muhammad (kakek keempat Ibnu Khaldun), kemudian disusul oleh saudara-saudaranya yang lain seperti Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar Muhammad dan lain-lain. Kakek Ibnu Khaldun itu rata-rata menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan waktu itu. Sedangkan anaknya Abu Abdillah Muhammad (ayah Ibnu Khaldun) tidak tertarik kepada jabatan pemerintahan, akan tetapi ia lebih mementingkan bidang ilmu dan pendidikan, sehingga ia dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih, meninggal tahun 749 H/1349 M. Ia meninggalkan beberapa orang anak diantaranya: Abu Yazid Waliuddin (Ibnu Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Pada waktu itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun.

b.      Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan Islam
Pendidikan menurut Ibnu Khaldun intinya bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek- aspek pragmatis dalam kehidupan labih jelasnya pendidikan bukan harus dibatasi dalam hal belajar mengajar melainkan suatu proses dimana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
Tujuan pendidikan islam menurut Ibnu Khaldun adalah meliputi lima hal:
            a) Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan.
            b) Menyiapkan seseorang dari segi akhlak
            c) Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan dan sosial
            d) Menyiapkan seseorang dari segi pekerjaan
            e) Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran dan kesenian supaya bisa berkreasi.
Jadi tujuan pendidikan bukan hanya untuk mencapai ilmu pengetahaun saja, namun lebih jauh dari pada itu semua yaitu seseorang harus mengamalkannya dalam akhlak sehari-hari serta memiliki kemampuan untuk bisa berkreasi dan bekerja demi kehidupannya.
2)      Metode Pengajaran

Metode pengajaran yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun melalui tiga
langkah pokok:
1.      Didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan pengetahuan dan problem secara umumnya saja secara menyeluruh.
2.      Anak didik ikut interaktif dalam pemecahan masalah dan pengetahuan yang bersifat umum tadi dengan bantuan pendidik.
3.      Pendidik menyampaikan pengetahuan secara detaial dan lebih terperinci serta menyeluruh agar anak didik mendapat pengetahuan yang lebih sempurnah.
Maka dari keterangan itulah, Ibnu khaldun menawarkan metode yang bersifat diskusi, dimana dalam penyampaian pembelajaran, pendidik bukanlah satu-satunya orang yang berperan aktif namun anak didik juga diikut sertakan dalam proses pembelajaran dan pemecahan masalahnya.

KESIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa tokoh2 di atas adalah seorang yang cinta terhadap ilmu pengetahuan dan dapat menyikapi hakekat kehidupan secara baik. Beliau mempunyai keberanian untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan mayoritas ulama. Atas pemikiran dan keberaniaannya inilah, beliau telah menorehkan sejarah perjuangan filsuf muslim. Singkatnya semua upaya mereka  yang betul-betul ikhlas telah mewujudkan keteladanan. Beliau sangat berakhlak, zuhud, sederhana, toleran, dan pemaaf. Itulah hal-hal yang membuatnya begitu terhomat dalam sejarah manusia.




















DAFTAR PUSTAKA
Al- Jumbulati, Ali. Dirasatun Muqaranatun Fit Tarbiyyatil Islamiyyah, Terj. M. Arifin, Dengan         Judul Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir Al-Manar, Mesir, Dar Al-Manar, Iv/1373, Juz I.
M. Luthfi Jum’ah, Tarikh Falsafah Al Islam, (Mesir: T.P., 1927),
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. Arab Oleh Edward Jurji Et.Al., (Beirut: T.P., 1952),
Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: T.P., 1970),
Hsution, Harun, Prof., Dr., Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1996
Hanafi, Ahmad, Ma, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet.Iii; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Mubarak, Zaky. Al-Akhlāk “Inda Al-Ghazāli. Mesir: Dar Al-Kitab Al-Arabiy Al-Taba’at Al- Nasyr, 1968.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihyā ‘Ulūm Al-Dîn. Juz I; Beirut: Dar Al-Fikr, 1991.



[1] Pendidikan Islam mencakup kehidupan manusia seutuhnya, memperhatikan segi akidah, ibadah, serta akhlak, bahkan pendidikan dapat bermakna merubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada masayarakat dan individu. Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisa Sosio-Psikologi, (Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1985,), h. 3. Lihat juga Mappanganro, Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah (Ujungpandang: Yayasan Ahkan, 1996), h. 10.

[2] Ali al-Jumbulati, Dirasatun Muqaranatun fit Tarbiyyatil Islamiyyah, terj. M. Arifin, dengan judul Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 76. Menurut data yang ada, bahwa ia lahir pada bulan Rajab, 224 M (13 Mei 936 M), dan wafat di negeri asalnya pada tanggal 3 R. Awal 403 H (23 Oktober 1012 M).
[3] Selain dikenal sebagai pemikir dalam bidang pendidikan, ia pun dikenal sebagai ulama hadis dan fiqih yang terkemuka di samannya, bahkan dalam bidang hadis sebagai ulama terkemuka dalam menghafal hadis dan alim dalam sanad dan matan. Abuddin Nata, loc.cit.
[4] Setelah wafat Ibnu Syilun, mufti negeri Tunis, ia terpaksa mengisi jabatan yang kosong ini karena dialah yang pantas mengisinya. Keluasan ilmunya pernah dipuji oleh Ibnu Syilun di hadapan orang banyak: bukalah pintu fatwa kepadanya, karena ia termasuk orang yang wajib memberi fatwa. Ia lebih berilmu dari orang lain yang ada di Qairawan, maka setelah wafatnya, ia menerima jabatan tersebut.Ibid.
[5] Mengenai tujuan pendidikan kita tak dapat menarik satu kesimpulan saja. Sebab tujuan pendidikan yang secara umum di tentukan oleh zaman dan kebudayaan di tempat kita hidup dan ditentukan oleh pandangan hidup. Karena pandangan hidup manusia itu berlain-lainan, berbeda-beda pula apa yang hendak dituju berbeda-beda pula. Menurut al-Abrasyi menghendaki tujuan pendidikan haruslah orang yang berakhlak mulia menurut Munir Marsyi berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah manusia sempurna. Abdul Fattah Jalal berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah.  Ahmad Tafisr, “Perkembangan Sisteim Pendidikan Islam”, Dinamika, 8 (Edisi Mei-Juni 1998), h. 20.
[6] Sedangkan dalam Undang-Undang RI., Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 19, disebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, tambahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Lihat Mashur Mushlich, Seri Standar Nasional Pendidikan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan) Dasar Pemahaman dan Pengembangan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 1
[7] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Mesir, Dar al-Manar, IV/1373, Juz I, h. 262.
[8] M. Luthfi Jum’ah, Tarikh Falsafah al Islam, (Mesir: t.p., 1927), h. 304-305
[9] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 166
[10] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. Arab oleh Edward Jurji et.al., (Beirut: t.p., 1952), h. 566
[11] Ibid., h. 173
[12] Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: t.p., 1970), h. 150
[13] A. Mustofa, Filsafat…, h. 177
[14]. Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 163
[15]. Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia), 1996, hal. 50
[16]. Dr. Ahmad Daudy, MA, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1986, hal. 60
[17].  H. Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang), 1949, hal. 49
[18]. Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1996, hal. 115, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, hal. 65
[19]. Ibid
[20]. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1992, hal. 34
[21] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 77.
[22] Zaky Mubarak, Al-Akhlāk “Inda al-Ghazāli (Mesir: Dar al-Kitab al-Arabiy al-Taba’at al-Nasyr, 1968), h. 47.
[23] Ibid.
[24] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, (Juz I; Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 3.
[25] Ibid.
[26] Hasyimsyah Nasution, op.cit.,  h. 78.
[27] A. Hanafi, Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 197.
[28] Muhammad Uthman el-Muhammady, Pemurnian Tasawuf oleh Imam Al-Ghazali, www/Scribd/com/doc/2917072/ (19 November 2010).
[29] Ibnu Hajar al-Asqalani Addurarul kaminah. Hal 88
[30] Ibid Hal 95
[31] Ibid hal 19
[32] . ibnu taimiyah, fatawah ibnu taimiyah, jilid 1, hal.23-24.
Previous
Next Post »