Hosting Unlimited Indonesia

PENDIDIKAN SETENGAH HATI ( Antara Wajah Depan dan Wajah Belakang )



( 1 )
Pada dasarnya, belajar adalah rasa “ingin tahu”. Proses penyadaran manusia dari yang “tidak tahu menjadi tahu” adalah proses yang bisa mudah sekaligus memiliki tingkat kesulitan tinggi. Dalam konteks itulah  diperlukan adanya pelaku pendidikan yang tidak terjebak oleh kepentingan ego individual atau kelompok tanpa memperhatikan kepentingan peserta didik itu sendiri (child centered education atau child friendly school) maupun kepentingan publik. Dengan terma lain, pemangku kepentingan berusaha memahami secara benar makna  pendidikan dari aspek kekuatan (strength), kelemahan (weakness), kesempatan (oportunity), dan tantangan (threat) yang dimiliki peserta didik.
Model friendly schooll inilah yang dilakukan bayi ketika dia memukul-mukulkan bonekanya. Dia juga akan makan apapun yang ada didepannya, agar  mengetahuinya secara rinci dari segala sisinya. Proses “ekploratoris” ini saat ini disebut “belajar global” (global learning). Belajar global adalah cara belajar yang begitu efektif, genuine, dan alamiah bagi jiwa anak. Dalam proses ini guru hanya menambah faktor umpan balik yang positif dan stimulus lingkaran.
Ketika bayi berumur satu tahun, ia mulai belajar berjalan. Walaupun berkali-kali jatuh-bangun dan jungkir-balik, namun ia tidak pernah merasa gagal, dan akhirnya dia mampu berjalan bahkan berlari cepat. Mengapa ? Ya ..... karena dia tidak mengenal konsep kegagalan dan putus asa. Dia yakin bahwa jika mencoba dan mencoba lagi, dia yakin akan berhasil, apalagi orang tua di sekitarnya selalu memberikan dorongan (tasyji’). Setiap keberhasilan selalu mereka sambut dengan kegembiraan yang mendorong si anak untuk lebih banyak lagi meraih kesuksesan. Demikian pula anak yang berumur dua tahun, ia mulai belajar berbicara. Awalnya dia tidak mampu melafalkan setiap huruf dan  kata dengan fashih. Namun melalui proses triar and error, akhirnya dia mampu mengucapkannya dengan baik dan lancar.    
Kemudian, si anak masuk kelas satu  di tingkat dasar, maka pada suatu hari bu guru bertanya :”Siapa yang tahu jawabannya ?” maka hampir semua anak angkat tangan sambil melonjak kegirangan dari tempat duduknya. Bu guru menyebut nama anda. Dengan yakin anda menyebut jawaban tersebut. Tiba-tiba bu guru berkata, “bukan.... , itu salah”. Sejak itulah anda mengalami “kebuntuan belajar” (leraning shutdown).
Lebih lanjut, kita sadar bahwa dunia saat ini menjelma menjadi - menurut Marshal McLuhan - suatu kampung besar (big village), akibat kemajuan teknologi dan komunikasi informasi. Karenanya, telah terjadi interaksi antar manusia secara cepat dan tepat. Gelombang globalisasi ini disamping banyak membawa manfaat bagi manusia, juga berdampak pada timbulnya banyak mudarat. Ia telah mengubah tata kehidupan ekonomi, politik, dan sosial-budaya, serta dengan pasti mempengaruhi proses pendidikan di abad ke 21 ini. Dalam hal ini, sikap manusia dalam menghadapi krisis global dapat mengambil tiga model:
Pertama, mereka hanyut bersama di dalam perubahan global, karena memang sebuah keniscayaan dari pengaruh modal besar (multinational corporation). Modal besar inilah yang telah melahirkan berbagai bentuk liberalisme dalam berbagai sektor kehidupan termasuk pendidikan. Karenanya, kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya dikuasai oleh materialisme atau kekuatan uang dengan mengesampingkan nilai-nilai moral kemanusiaan menuju falsafah Darwinian, yaitu “struggle for life” dan  the survival of the fittest”. Dengan demikian, globalisasi bermakna hilangnya identitas individu, kelompok, negara, budaya; sebab yang ada adalah logika monokultural.    
Kedua, mereka yang mengambil sikap mengharamkan segala bentuk perubahan akibat globalisasi. Dari perlawanan ini lahirlah kembali etnosentrisme dan berbagai bentuk fundamentalisme yang mengarah kepada sikap ekstrimis dan telah melahirkan culture of anarchy, terorisme, dan sangat rasis; serta sudah barang tentu anti sikap atau perilaku “al-hanifiyyah al-samhah”.
Ketiga, mereka yang mengambil sikap menerimanya dengan sikap hati-hati. Sikap tersebut diharapkan melahirkan kesadaran akan identitas diri dan keyakinannya. Sikap inilah yang mampu untuk melepaskan diri dari kekuatan-kekuatan  yang menindas dan mengeksploitasi dirinya dari posisi termarginalisasi menuju martabat manusia yang sejati. Proses penyadaran tersebut hanya dapat diperoleh melalui proses pendidikan yang bermarwah-bermartabat (progressive education), yaitu proses pemanusiaan, termasuk di dalamnya membentuk dan mengarahkan perkembangan manusia itu  dalam menghadapi krisis global yang cenderung anti al-Khaliq.

( 2 )
Manusia adalah makhluk yang selalu bergelut secara intens dengan pendidikan. Itulah sebabnya manusia dijuluki sebagai animal educandum dan sekaligus animal educandus, yaitu makhluk yang dididik dan yang mendidik. Dalam arti inilah UNESCO mencanangkan konsep life long education yang berlangsung sejak di buaian hingga liang lahat (from the cradle to the grave). Karenanya, UNESCO juga mengajukan empat pilar pendidikan, yaitu :(1) Learning to know, (2). Learning to do, (3). Learning to be, (4). Learning to live together.
Dalam perspektif inilah, kita sependapat bahwa pendidikan adalah upaya membimbing peserta didik dalam usahanya mencapai kedewasaan; dan - meminjam istilah KH. Dewantara - mendidik adalah menuntun segala potensi kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Dengan demikian, pendidikan merupakan upaya penggalian ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), pengayaan nilai (transfer of value), pengetahuan tentang karakter kebudayaan (transfer of culture), dan penanaman nilai keagamaan (transfer of religius) yang diarahkan pada upaya untuk “memanusiakan manusia”. Upaya seperti itulah hakikat pendidikan, yaitu berorientasi untuk mengubah perilaku individu agar memiliki nilai-nilai luhur, cerdas dan terampil.
Dari perspektif ini, pendidikan adalah proses pengaderan yang tujuannya adalah kemandirian dengan mendidik diri sendiri (self learning) dan mendidik melalui ruang sosialnya (social learning). Karena itulah, UNDP dalam Human Development Report-nya mencetuskan tujuh konsep pembebasan (the seven freedom) sebagai bagian dari pendidikan: (1) Bebas dari perlakukan diskriminatif (freedom from discriminations); (2) bebas dari rasa takut (freedom from fear); (3) bebas untuk berpikir, berbicara dan berpartisipasi (freedom of thought, speech, and partisipate); (4) bebas dari berbagai keinginan (freedom from want); (5) bebas untuk mengembangkan dan merealisasi (freedom to develop and realize); (6) bebas dari tindak ketidakadilan dan kekerasan (freedom from injustice and violence); (7) bebas dari pekerjaan yang tidak patut (freedom from undecent work).
Wal-hasil, hakikat pendidikan yang memanusiakan manusia (to humanize the human being) dirumuskan dalam lima domain: (1) pendidikan sebagai proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan pendidik; (2) Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan pesat; (3) Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat; (4) pendidikan berlangsung seumur hidup; (5) pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu.

(3)
Pendidikan mempunyai standing position yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, mengingat salah satu tujuan didirikannya Republik ini tak lain adalah “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tentunya, tujuan itu segaris dengan tujuan pendidikan dalam artian yang holistik. Kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” bukan hanya berkaitan dengan cerdas ilmu pengetahuan, cerdas di sekolah, melainkan juga cerdas dalam interaksi sosial, cerdas emosional, dan cerdas secara spiritual maupun moral.
Pada posisi inilah, UUD 1945 secara khusus memuat mandat tentang pendidikan, utamanya yang termaktub pada Pasal 31 Ayat 1 sampai 3 yang secara tegas disebutkan: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang.
Ketiga ayat tersebut mendedahkan hak, kewajiban, tugas dan tanggungjawab antara warga negara (civil society) dan negara (state). Dalam tafsir konstitusionalnya, proporsi hak dan kewajiban warga negara untuk mendapatkan pendidikan seharusnya seimbang dengan kewenangan negara yang bertanggungjawab sebagai fasilitator, bukan diktator.
Sementara pada Pasal 31 ayat ayat (4), dimana negara memprioritaskan anggaran 20 persen dari APBN untuk kebutuhan penyelenggaraan pendidikan Nasional, merupakan representasi kewajiban negara sebagai penyelenggara dan penjamin efektifitas proses pendidikan bagi warga negara. Amanat melaksanakan pendidikan tersebut merupakan representasi dari mandat  “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Dalam hal ini, upaya mencerdaskan bangsa itu, lebih aplicable dan terperinci dalam regulasi organiknya melalui UU No 30/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 yang menyebutkan: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.
Bila dibandingkan dengan Undang-Undang Sisdiknas sebelumnya, UU No. 2/1989, tidak banyak terjadi perubahan, kecuali berbeda dalam pengungkapan. Pada pasal 4 ditulis, "Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi-pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, dan mandiri serta rasa tanggung-jawab kemasyarakatan dan kebangsaan."
Lebih lanjut, sejauh mana tujuan pendidikan nasional tersebut diaplikasikan secara konsisten dalam realitas pendidikan nasional? Apakah tujuan pendidikan nasional tersebut telah menjiwai serangkaian kebijakan pendidikan secara luas? Dan sudahkah tujuan-tujuan pendidikan nasional itu tercapai? Tentu saja tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mengingat kualitas pendidikan nasional beserta berbagai kebijakan yang melingkupinya  masih jauh dari harapan masyarakat.
(4)
Mendapatkan pendidikan adalah hak asasi seluruh warga bangsa. Hak itu telah sepenuhnya dijamin oleh konstitusi. Sementara negara mempunyai tanggungjawab sebagai penyelenggara dan pengelolanya. Berhasil tidaknya sebuah proses pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggara, sejauhmana ia mengelola dan memfasilitasi keberhasilan proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang seirama dengan hak-hak warga negara. Dalam konteks nation state, - sekali lagi - hak-hak citizenship tersebut dijamin oleh konstitusi.
Namun, fakta empirik mengisyaratkan bahwa otoritas penyelenggaraan  pendidikan yang diamanatkan oleh konstitusi kepada negara tersebut hingga saat ini banyak yang   dikonstruksi” oleh kepentingan aparatus negara, bukan untuk kepentingan warganya; dan bukan pula untuk meraih tujuan pendidikan nasional. Mengapa demikian ........?
Kebijakan pendidikan dan praksisnya di lapangan masih bercita-rasa elitis. Artinya, aparatus negara masih sangat dominan mengatur ritme pendidikan sesuai seleranya, ketimbang memenuhi kebutuhan riil rakyat dalam menghadapi problem kehidupan global yang kian kompleks. Meski dalam berbagai kerangka sistemiknya telah mengalami  perubahan dari sentralisme rezim Orde Baru menuju dinamika desentralistik, namun  tetap  belum menghasilkan output yang layak bagi warga negara di berbagai levelnya.
Di sektor infrastruktural, negara masih belum menyediakan fasilitas memadai untuk warga negara yang berada di daerah terpencil dan daerah tertinggal. Hingga kini masih banyak dijumpai gedung  reot yang tak layak pakai. Para peserta didik bahkan harus rela dibawah ancaman runtuhnya bangunan yang mengancam keselamatan mereka setiap saat. Di sektor kesejahteraan guru, masih sangat banyak guru yang berada dibawah kelayakan hidup. Akibatnya, fokus pada pengajaran harus terkontaminasi oleh upaya mereka mencari “ rejeki tambahan” yang menguras energi di luar pendidikan, sehingga proses transfer pengetahuan dan perilaku kepada para peserta didik pun belum bisa optimal. Meski telah ada Undang-Undang No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, namun berbagai “angin surga” yang awalnya dihembuskan dari regulasi tersebut untuk menjamin kelayakan hidup mereka masih jauh panggang dari api karena problem akses dan birokrasi yang berbelit. Karenanya,  saat ini  guru dan dosen  menjadi profesi kelas kedua yang dihuni oleh mereka dengan kualitas SDM kelas dua pula, dan kian lama nampaknya kian menurun.
Di ranah kurikulum, dalam sejarah panjang pendidikan nasional, terdapat banyak pergantian kurikulum yang bahkan sebagian hanya “berganti kulit” saja, namun substansinya masih serupa, yaitu membebani peserta didik dan guru. Kurikulum Tingkat Satuan Pelajar (KTSP) - sebagai kurikulum terbaru - yang merupakan derivat dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang gagal diujicobakan, ternyata juga belum bisa dikatakan sukses. Memang benar bahwa KTSP lahir karena KBK diangap masih sarat dengan beban belajar dan pemerintah masih dianggap terlalu intervensi dalam mengembangan kurikulum (top-down). Oleh karena itu, dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan pendidikan (sekolah, guru, dan komite sekolah) diberikan kewenangan untuk mengembangkan kurikulum, seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa komponen kurikulum lainnya. Justru karena beban kurikulum dibebankan kepada guru, sementara beragam problem guru seperti rendahnya SDM, permasalahan kesejahteraan, dan lainnya, maka marak terjadi budaya “copy-paste” dalam membuat indikator, silabus dan komponen lainnya. Hal yang lebih memprihatinkan adalh  konsep yang dijiplak itu kerap tidak sesuai dengan pola berpikir siswa di sekolah tersebut, bahkan bidang pelajaran yang digeluti kian berat dan membebani siswa.
Bila mencermati sejarah pergantian kurikulum, dari masa Orde Lama (Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Kurikulum 1964), masa Orde Baru (Kurikulum 1975, Kurikulum CBSA, Kurikulum 1994), hingga masa reformasi (Kurikulum KBK, Kurikulum KTSP), dapat dipahami bahwa  kurikulum yang silih berganti di Indonesia itu menunjukkan betapa kekuasaan terlalu dominan mengalahkan esensi persoalan pendidikan. Karena itu, realitas ini menunjukkan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia menjadi instrumen politik dari suatu sistem kekuasaan (as a tool of political engeneering).
Lebih jauh, di domain pembiayaan pendidikan, terkait verbalitas angka 20% anggaran untuk pendidikan dalam konstitusi, Indonesia termasuk negara paling tidak kompromis dengan anggaran pendidikannya. Jika diukur dari Gross National Product (GNP), anggaran pendidikan di Indonesia tergolong sangat rendah, yaitu hanya sebesar 1,4 persen dari GNP. Karena itu, anggaran yang disediakan untuk pembiayaan pendidikan di Indonesia tidak pernah mencapai jumlah memadai. Dibandingkan dengan negara tetangga saja, anggaran pendidikan Indonesia tergolong paling rendah. Sebagai contoh, Malaysia telah mengalokasikan anggaran pendidikan 5,2 dari GNP-nya, Singapura 3,0 persen, Thailand 4,1 persen; Australia  bahkan sudah  5,6 persen.
Selanjutnya, pada tingkat operasionalisasi anggaran, jika dihitung APBN kita besarnya Rp. 1000 triliun, maka 20 persen untuk anggaran pendidikan sejumlah Rp. 200 triliun. Akan tetapi, Rp. 110 triliun untuk sertifikasi guru, dan Rp. 30 triliunnya untuk pendidikan dibawah Kementerian Agama. Jumlah itu belum ditambah dengan biaya pendidikan kedinasan yang juga mengambil anggaran pendidikan. Sisa anggaran untuk operasional pendidikan hanya sebesar Rp. 45 triliun. Menyangkut Rp. 110 triliun untuk sertifikasi guru, nyatanya tidak sebanding dengan kenyataan, sebab ketersediaan guru saat ini masih sangat tidak merata, utamanya untuk daerah-daerah terpencil. Data lain adalah  penyimpangan dana BOS, praktik jual beli bangku sekolah, biaya pendidikan yang tetap mahal, dan sertifikasi hanya bertujuan untuk mendapatkan tunjangan profesi guru.
Secara keseluruhan, “komplikasi penyakit” yang diidap oleh sistem pendidikan nasional kita lantas kian menjauhkan pendidikan dari hakikat dan tujuannya yang mulia. Hakikat pendidikan untuk memanusiakan manusia – misalnya - kian direduksi oleh sistem pendidikan itu sendiri. Karena itu, krisis etika dan religiusitas yang diidap oleh peserta didik, tak lain karena model pendidikan kita hanya diorientasikan untuk “kenter” terhadap perubahan zaman, dan bukannya “bersikap kritis” terhadapnya. Manusia lantas menjadi objek yang justru bertolak-belakang dengan visi humanisasi dan menyebabkannya tercerabut dari akar budayanya.
‘Ala kulli hal, dalam konteks nation state Indonesia, dimana negara (state) musti menjamin hak-hak warga bangsanya (nation) untuk mendapatkan pendidikan yang layak,, ternyata tidak sepenuhnya dilakukan. Negara masih “setengah hati” memerankan diri sebagai fasilitator pendidikan, posisinya lebih mirip sebagai “pendikte” beragam kepentingannya ke ranah pendidikan. Institusi pendidikan lantas hanya menjadi “ladang indoktrinasi” program negara untuk melanggengkan status quo kekuasaaan dari rezim ke rezim berikutnya.
Walhasil, peserta didik menjadi robot dengan mentalitas yang kian terbelah, berkepribadian anarkhis, dan jauh dari al-akhlaq al-karimah. Banyaknya tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba di kalangan mereka, dan pergaulan bebas adalah akibat langsung pendidikan yang “salah alamat”. Pendidikan lantas jauh dari standar bermutu, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Last, but not least, seyogyanya kita berkaca pada laporan United Nation Development Program (UNDP) untuk tahun 2011, dimana tingkat Human Development Indeks (HDI) manusia Indonesia kini merosot di peringkat 124 dari 187 negara, dari posisi sebelumnya di peringkat 108 dari 165 negara pada tahun 2010, bahkan jauh dibawah negara yang kini berada diambang kehancuran, seperti Libya.
( 5 )
Berikut beberapa catatan kritis yang bisa dikemukakan sebagai bahan muhasabah-muraqabah bersama :
  1. Anggaran Pendidikan pendidikan sangat kecil dan kerap diselewengkan. Anggaran pendidikan di Indonesia, selain masih sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara lain (hanya 1,4 persen dari GNP), penggunaannya seringkali “dibelokkan”. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahun terhadap penggunaan anggaran negara di institusi pemerintah, Kementerian Diknas selalu memperlihatkan rendahnya kemampuan pengelolaan anggaran sehingga terjadi tingkat kebocoran dan in-efisiensi yang tinggi.
  2. Pemerataan Pendidikan Nasional belum tercapai. Menguatnya komitmen pemerintah dalam pembiayaan pendidikan belum diimbangi langkah nyata dengan meningkatkan pemerataan akses dan mutu yang bebas dari tekanan dan basa-basi politik. Faktor utama gagalnya pemerataan justeru terletak pada konsep “gratis” yang menggerus kemandirian masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dan melambungkan harapan rakyat tentang jaminan negara. Faktanya, sampai hari ini, negara belum pernah mampu dan “bersedia” menanggung cuma-cuma seluruh biaya pendidikan rakyat. UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan menyatakan, pemerintah pusat dan daerah menanggung seluruh biaya pendidikan SD-SMP (Pasal 41 ayat 1), namun pemerintah menyatakan hanya menangung biaya operasional. Artinya, saat ini warga terbuai mimpi pendidikan gratis yang perwujudannya kian jauh dari jangkauan rakyat level bawah. Terlebih, warga yang berada di daerah terpencil juga masih jauh dari sentuhan pendidikan yang layak.
  3. Kualitas Pendidikan Nasional belum bisa dibanggakan. Diantara standar mengukur kualitas pendidikan nasional adalah: Pertama, sumberdaya manusia pendidikan nasional. Justru, tingkat SDM inilah yang kini menjadi persoalan bidang pendidikan di Indonesia baik di tingkat pendidikan tinggi maupun pendidikan dasar dan menengah. Dari sekitar 160.000 dosen yang ada di Indonesia, hampir 54% masih belum bergelar S2 dan S3. Sementara guru, dari 2,7 juta guru, 1,5 juta diantaranya belum bergelar S1. Kedua, out put yang dihasilkan oleh pendidikan nasional yaitu kualitas mutu SDM secara keseluruhan. Berdasarkan laporan Human Development Indeks dari UNDP, Indonesia berada diurutan 124 dari 187 negara, merosot dari posisi sebelumnya di peringkat 108 dari 165 negara pada tahun 2010. Jauh dibawah negara-negara tetangga.
  4. Kurikulum Pendidikan yang Paradoks. Paradoks kurikulum tampak dari beberapa indikator: Pertama, gonta-ganti kurikulum hingga saat ini masih menampakkan campur tangan belebihan oleh negara terhadap pendidikan sebagai sarana konstruksi kepentingan elit. Kedua, dalam konteks kurikulum terbaru bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pelajar (KTSP) idealitasnya tidak diimbangi dengan peningkatan sarana, prasarana, mutu guru, dan pemberian pemahaman yang holistik tentang kurikulum tersebut. Implikasinya, pendidikan dasar menengah mengalami berbagai kemerosotan kualitas hasil belajar.
  5. Kebijakan Ujian Nasional (UN) yang Ambigu. Ambiguitas kebijakan UN dapat dilihat dari: Pertama, UN sebagai standar mutu pendidikan Indonesia, hanya mengunggulkan kecerdasan intelektual. Tidak ada ruang untuk kecerdasan emosional/ spiritual, dan bahkan psikomotorik. Sehingga tidak aneh jika mayoritas peserta didik mengalami depresi berat karena eksploitasi kognitif dan beban mental karena khawatir tidak lulus. Peserta didik dan orang tua mereka juga ikut terbebani. Kedua, kebijakan sentralistik dari UN dalam menentukan kecerdasan dan kelulusan sebenarnya tidak sesuai dengan idealitas demokratisasi pendidikan dan desentralisasi pendidikan. Ketiga, dengan demikian, penilaian kecerdasan dan kelulusan yang dibatasi pada beberapa mata pelajaran saja (Matematika, Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris), dan hanya mengembangkan kecerdasan otak (IQ) saja adalah proses pendidikan yang tidak sesuai dengan konsep pencerdasan yang universal untuk memanusiakan manusia. Keempat,  ternyata besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak sebanding dengan efektifitas dan efisiensi UN sebagai faktor kelulusan dan standar kompetensi akhir siswa. Anggaran rata-rata Rp. 500 miliar  untuk pembiayaan UN setiap tahunnya oleh pemerintah,  akan lebih bermanfaat jika dialihkan untuk memperbaiki infrastruktur pendidikan. Dana sebesar itu setidaknya dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sedikitnya 1000 unit sekolah sehingga gedung sekolah bagus. Terlebih, anggaran terbesar justru dikeluarkan oleh masyarakat untuk mengikuti bimbingan belajar ataupun les pirvat.
  6. Kebijakan Desentralisasi Pendidikan yang tidak jelas. Hal itu karena terjadinya tarik-menarik kepentingan dalam kebijakan desentralisasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini. Tampaknya, baik pemerintah pusat maupun provinsi, tidak rela menyerahkan sepenuhnya pengelolaan pendidikan kepada kabupaten atau kota sehingga tetap harus ada wewenang yang harus ditangani oleh pemerintah pusat maupun provinsi. Ketidakrelaan melepas orotitas kewenangan itulah yang menyebabkan konsep desentralisasi pendidikan juga menjadi setengah hati.
  7. Pemerataan akses pendidikan masih sangat diskriminatif. Terbukti bahwa siswa dan mahasiswa dari kalangan tidak mampu masih sulit untuk mengakses pendidikan berkualitas karena mahalnya biaya pendidikan. Terlebih, kemampuan finansial saja ternyata tidak cukup, karena ia hanyalah satu dari sekian hambatan lain, terutama hambatan kultural dan hambatan sosial. Pada kenyataannya, masih banyak praksis pendidikan yang terjadi di dalam ruang kelas yang “lebih sarat” dengan praktik diskriminasi berdasarkan latar belakang sosial dan ekonomi. Reformasi pendidikan pun kini semakin diragukan karena dianggap semakin menjauhkan pendidikan berkualitas dari keluarga tidak mampu. Munculnya pembedaan antara sekolah berstandar nasional, nasional plus, binaan Internasional dan sekolah bertaraf internasional ( SBI – RSBI) justru menciptakan eksklusivisme, kesenjangan sosial dan melahirkan kastanisasi. Karena itu berbagai pemerhati dan praktisi pendidikan sedang melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terhadap konsep tersebut yang dimaktubkan dalam UU Sisdiknas.

Demikian, semoga makalah ini bermanfaat. Amin


             Jakarta, 11 Januari 2012


     Prof. Dr. Ali Maschan Moesa, M.Si
                                                                             ----------------------------------------------


Bio Data :

Lahir di Tulungagung, 1 Januari 1956. Pendidikan terakhir S3 Ilmu Sosial PPs Universitas Airlangga Surabaya. Pengabdian, * Pengasuh Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya, * Guru Besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel Surabaya, *  Anggota Komisi 8 dan Badan Kehormatan DPR RI masa bakti 2009 - 2014.










à Disampaikan pada Seminar Pendidikan di pada 14 Januari 2012 di STIKMA Al Hikam, Malang.
Previous
Next Post »