Hosting Unlimited Indonesia

KESEJAHTERAAN HEWAN BAGI KESEHATAN MANUSIA (Oleh: Drh. Wita Wahyu W)

Definisi Animal welfare atau kesejahteraan satwa adalah suatu keadaan fisik dan psikologi hewan sebagai usaha untuk mengatasi lingkungannya.
          Berdasarkan UU No.18 tahun 2009 Animal Welfare adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.
          Animal Welfare memiliki 3 aspek penting yaitu: Welfare Science, etika dan hukum.Welfare science mengukur efek pada hewan dalam situasi dan lingkungan berbeda, dari sudut pandang hewan. Welfare ethics mengenai bagaimana manusia sebaiknya memperlakukan hewan. Welfare law mengenai bagaimana manusia harus memperlakukan hewan.
          Animal welfare berbicara tentang kepedulian dan perlakuan manusia pada masing-masing satwa, dalam meningkatkan kualitas hidup satwa secara individual. Sasaran Animal Welfare adalah semua hewan yang berinteraksi dengan manusia dimana intervensi manusia sangat mempengaruhi kelangsungan hidup hewan, bukan yang hidup di alam. Dalam hal ini adalah hewan liar dalam kurungan (lembaga konservasi, entertainment, laboratorium), hewan ternak dan hewan potong (ternak besar/kecil), hewan kerja dan hewan kesayangan.
          Cara untuk menilai kesejahteraan hewan dikenal dengan konsep “Lima Kebebasan” (Five of Freedom) yang dicetuskan oleh Inggris sejak than 1992. Lima unsur kebebasan tersebut adalah:
1.             Bebas dari rasa lapar dan haus
2.             Bebas dari rasa tidak nyaman
3.             Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit
4.             Bebas mengekspresikan perilaku normal
5.             Bebas dari rasa stress dan tertekan.
          Kelima faktor dari 5 kebebasan saling berkait dan akan berpengaruh pada semua faktor apabila salah satu tidak terpenuhi atau terganggu.
          Bebas dari rasa lapar dan haus dimaksudkan sebagai kemudahan akses akan air minum dan makanan yang dapat mempertahankan kesehatan dan tenaga. Dalam hal ini adalah penyediaan pakan yang sesuai dengan species dan keseimbangan gizi. Apabila keadaan ini gagal dipenuhi maka akan memicu timbulnya penyakit dan penderitaan.
          Bebas dari rasa tidak nyaman dipenuhi dengan penyediaan ingkungan yang layak termasuk shelter dan areal istirahat yang nyaman. Apabila keadaan ini gagal dipenuhi maka akan menimbulkan penderitaan dan rasa sakit secara mental yang akan berdampak pada kondisi fisik dan psikologi hewan.
          Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit meliputi upaya pencegahan penyakit atau diagnosa dan treatmen yang cepat. Kondisi ini dipenuhi melalui penerapan pemeriksaan medis yang reguler. Apabila kondisi ini terabaikan maka akan memicu timbulnya penyakit dan ancaman transmisi penyakit baik pada hewan lain maupun manusia. Contohnya: penyakit Hepatitis dan TBC pada orangutan yang direhabilitasi.
          Sementara bebas mengekspresikan perilaku normal adalah penyediaan ruang yang cukup, fasilitas yang tepat dan adanya teman dari jenis yang sama. Apabila keadaan ini tidak terpenuhi maka akan muncul perilaku abnormal seperti stereotype, dan berakhir dengan gangguan fisik lainnya.
          Faktor terakhir adalah bebas dari rasa takut dan tertekan yaitu memberikan kondisi dan perlakuan yang mencegah penderitaan mental. Stress umumnya diartikan sebagai antithesis daripada sejahtera. Distress merupakan kondisi lanjutan dari stress yang mengakibatkan perubahan patologis. Lebih lanjut kondisi ini terlihat pada respon perilaku seperti menghindar dari stressor (contoh: menghindar dari temperatur dingin ke tempat yang lebih hangat dan sebaliknya), menunjukkan perilaku displacement (contoh; menunjukkan perilaku display yang tidak relevan terhadap situasi konflik dimana tidak ada fungsi nyata), dan bila tidak ditangani akan muncul perilaku stereotipik yang merupakan gerakan pengulangan dan secara relatif kelangsungan gerakan tidak bervariasi dan tidak punya tujuan jelas.
          Berdasarkan uraian diatas maka gangguan pada kesejahteraan hewan dapat diamati berdasarkan 3 indikator yaitu: Indikator fisiologi dan psikologi, indikator immun dan produksi serta indikator perilaku. Perubahan yang terjadi pada hewan dapat diamati berdasarkan perubahan pada fisik, mental maupun perilaku. Kondisi kesejahteraan yang buruk yang berkelanjutan akan memicu timbulnya penyakit sebagai bentuk nyata dari gangguan kesejahteraan hewan. Yang mana efek penyakit pada kesejahteraan satwa adalah penderitaan panjang pada hewan. Secara fisiologi kondisi perubahan kesejahteraan hewan akan mengaktifkan sistem saraf pusat (SSP) dan memberikan respon baik pada sistem saraf otonom maupun sistem endokrin. Akibat dari respon sistem saraf otonom akan berdampak pada Sistem SAM (Simpatetic Adrenal Medulary) dan Sistem PNS (Parasimpatetic Nervous System). Respon Sistem SAM mengakibatkan peningkatan Cardiac output (tachycardia, cardiac muscle contraction), peningkatan aliran darah ke otot   (vasokontriksi perifer, kontraksi limfa), peningkatan air intake (respiratory rate, relaksasi bronkhiol). Sementara respon dari Sistem PNS Parasimpatetic Nervous System) adalah penurunan Cardiac output (branchicerdia).
          Secara umum akibat dari perubahan animal welfare adalah munculnya stress dengan gejala seperti Peningkatan aktifitas adrenocortical, penurunan aktifitas hormonal reproduksi, penurunan performance, peningkatan tekanan darah kronis, meningkatnya kerentanan penyakit, gastric ulcer, penyembuhan luka yang lama, Cardiovascular pathologis, immunosuppressive dan juga kematian.
          Contoh pengabaian kesejahteraan hewan pada hewan ternak dan hewan potong akan menimbulkan ketakutan, distress dan rasa sakit. Keadaan ini dapat terjadi selama proses penyembelihan, pengangkutan dan pemasaran karena keterbatasan hewan dalam membangun group sosial juga karena persediaan pakan dan minum yang buruk. Efek stress pada hewan sebelum dipotong akan berdampak buruk pada kualitas karkas yang disebut Dark Firm Dry (DFD). 
          Dark Firm Dry (DFD) terjadi  akibat dari stress pre-slaughter sehingga mengosongkan persediaan glycogen pada otot. Keadaan ini menyebabkan kadar Asam laktat pada otot berkurang dan meningkatkan pH daging melebihi dari normal. Pada kondisi seperti ini maka proses post mortem tidak berjalan sempurna terlihat pada warna daging terlihat lebih gelap, kaku dan kering yang mana secara umum lebih alot dan tidak enak. pH daging yang tinggi  akan mengakibatkan daging lebih sensitif terhadap tumbuhnya bakteri.    DFD beef adalah indikator dari stress, luka, penyakit atau kelelahan pada hewan sebelum disembelih. 
          Keadaan diatas dapat dikurangi antara lain dengan memberikan perlakuan yang lebih baik pada hewan sebelum dipotong dengan menerapkan lima faktor kebebasan. Juga dengan menerapkan metode “stunning”, yaitu proses pemingsanan pada hewan sebelum dipotong. Tujuannya adalah membuat hewan tidak sadar hanya dalam waktu singkat sehingga pada saat proses pemotongan tidak terjadi stress.
          Pengabaian 5 faktor kebebasan pada hewan liar dalam kurungan akan berdampak buruk  pada kesejahteraan hewan dan memicu stress. Stress akan mengakibatkan hewan akan rentan terhadap penyakit, terutama zoonosis. Zoonosis adalah penyakit menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Zoonosis sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Parahnya pada hewan liar gejala penyakit akan muncul pada saat kondisi sudah parah sehingga treatment lebih susah dilakukan. Contoh : Balantidiosis, TBC, Hepatitis, Avian Influenza, Salmonellosis.
KESIMPULAN
1.             Penilaian Animal Welfare adalah berdasarkan 5 kebebasan (Five of Freedom).
2.             Apabila salah satu dari 5 kebebasan terabaikan maka akan berdampak pada seluruh faktor.
3.             Gangguan kesejahteraan hewan dapat diukur berdasarkan perubahan fisiologi dan psikologi hewan.
4.             Dampak lebih lanjut dari pengabaian animal welfare mengakibatkan stress yang persisten.
5.             Stress akan akibatkan:
Ø   Rentan terhadap penyakit dan penderitaan panjang pada hewan
Ø   Menurunkan penampilan hewan
Ø   Menurunkan produksi hewan
Ø   Menekan sistem kekebalan tubuh (immunosuppressive)
Ø   Pengaruh buruk pada kesehatan manusia.
SUMBER BACAAN
Broom DM, Johnson KG. 1993. Stress and Animal Welfare. Chapman and Hall ISBN 0412395800
Broom DM. 2002. Concepts in Animal Welfare. Published by WSPA
Kleman DG, Mary E. Allen, Katerina V. Thompson, Susan Lumpkin. 1996. Wild Mammals in Captivity: Principles and Tehniques.
Fowler E. Murray, R. Eric Miller. 2003. Zoo and Wild Animal Medicine. Fifth Edition. United States
PERLAKUAN TERHADAP HEWAN
MENURUT ISLAM
Oleh:
Prof. Dr. H. Kasuwi Saiban, M.Ag

A.           PENDAHULUAN
          Manusia diciptakan oleh Allah (al-Nisa’: 1, al-Hujurat: 13, dll) dan ditempatkan di bumi (al-A’raf: 10), antara lain diberi tugas untuk memakmurkannya (Hud: 61), dan dilarang merusaknya (al-Baqarah: 11, al-A’raf: 55, 77, dll). Dengan demikian, segala hal yang kondusif bagi pemakmurannya, menjadi  tugas manusia untuk mewujudkan. Sebaliknya segala hal yang kondusif bagi rusaknya bumi ini, manusia berkewajiban untuk menghindarinya.
          Bumi ini dihuni oleh berbagai makhluq: zat cair, gas, api, udara, tanah, bebatuan, tetumbuhan, binatang-binatang, dan manusia sebagai ciptaan yang nyata. Disamping itu juga diyakini adanya makhluq-makhluq yang gaib, seperti jin, syetan, malaikat. Dalam hal ini Islam memberikan ajaran tentang sikap dan perlakuan manusia terhadap semuanya itu, termasuk terhadap hewan. Makalah ini secara khusus membicarakan perlakuan terhadap hewan sebagaimana diajarkan oleh Islam.

B.            AJARAN ISLAM TENTANG HEWAN
          Al-Quran menamai enam suratnya dengan nama-nama hewan yakni al-Baqarah (Sapi Betina), al-An’am (Binatang Ternak), al-’Ankabut (Labah-labah), al-Naml (Semut), al-Nahl (Lebah), al-Fiil (Gajah). Tidak kurang dari dua puluh (baik jenis maupun macam) hewan disebut di dalamnya: nyamuk, kera, anjing, babi, onta, kuda, domba, kambing, ular, burung (gagak, hud-hud, dan ababil), dan ikan, belalang, kutu, dan katak. disamping enam yang dijadikan nama surat di atas. Al-Quran (al-Ghasyiyah: 17) juga memerintahkan agar manusia memberikan perhatian terhadap binatang, terhadap hikmah di balik penciptaannya. Bahkan manusia juga dapat mengambil pelajaran dari prilaku binatang (al-Maidah: 31). Mereka juga dapat mengkonsumsi sebagian besar dari binatang-binatang tersebut. Sebagian binatang bahkan dapat dijadikan alat transportasi, dan konsumsi (al-An’am: 142), serta media informatika bagi manusia (al-Naml: 28), termasuk juga dipakai sebagai media berburu (al-Maidah: 4). Bahkan juga digambarkan tentang hidangan sorga yang berupa daging burung (al-Waqi’ah: 21), dan minuman susu (Muhammad: 15).
          Penyebutan binatang dalam al-Quran juga dimaksudkan untuk menguji keimanan manusia (al-Baqarah: 26). Al-Quran menjelaskan bahwa Allah telah menundukkan segala yang dilangit dan yang di bumi yang tentu saja termasuk binatang,  kepada manusia (Luqman: 20). Ini maknanya manusia adalah makhluq utama, sedang binatang antara lain adalah makhluq sarana. Tentu saja dengan catatan harus diberikan perlakuan sesuai dengan ajaran Allah, sebagai Dzat yang telah menundukkan mereka kepada manusia.   
          Komponen entitas binatang meliputi: jasad, tumbuh, berkembangbiak,  hidup, bergerak, berkehendak,  makan dan minum, mati. Al-Quran juga menjelaskan bahwa binatang  dapat bicara (al-Naml: 18 dan 22). Menariknya, tidak ada penjelasan dari nash tentang diberhkannya ruh pada binatang. Oleh karena kepada manusia diberikan ruh (al-Sajdah: 9, al-Hijr: 29 dan lainnya),  maka tampaknya inilah yang membedakan dengan binatang, sekaligus menjadikan manusia sebagai makhluq utama. Sekalipun demikian, manusia bahkan dapat meluncur jatuh menjadi setingkat hewan, bahkan lebih sesat (al-A’raf: 179). Akan tetapi juga dapat terjadi yang sebaliknya, yaitu meningkat menjadi makhluq yang paling mulia (al-Hujurat: 13). Dengan kata lain, manusia senantiasa berada dalam proses becoming, entah akhirnya menjadi the best, bahkan the best of the best, atau menjadi the worse bahkan the worse of the worse. Binatang tidak dalam posisi berproses seperti itu.
          Allah memberikan petunjuk kepada manusia untuk menjadi yang terbaik, bahkan yang terbaik dari yang terbaik. Petunjuk itu juga dalam hubungannya dengan perlakuan manusia terhadap binatang.  Sulaiman, seorang Raja dan sekaligus Rasul, memiliki perhatian pada kehidupan binatang, sekalipun binatang itu semut belaka. Akan tetapi dengan perhatian seperti itu, tidak mengurangi sikap tegasnya, ketika  berhadapan dengan keterlambatan burung hud-hudnya dalam sebuah briefing diadakannya. Jika tidak datang burung tersebut akan disembelihnya, kecuali jika memiliki argumen yang logis. Penjelasan al-Quran tentang ini, tentu saja dalam rangka mengajarkan kepada manusia untuk bertindak proporsional terhadap binatang, sekalipun andaikata manusia berada dalam posisi memiliki kekuasaan sehebat Sulaiman. Kepada mereka yang mengabaikan petunjukNya, Allah memberi peringatan bahwa Ia telah menjadikan orang-orang di zaman dahulu sebagai kera yang hina (al-Baqarah:  65, dan al-A’raf: 166).  Belalang, katak, dan kutu, dijadikan media mengazab umat yang durhaka, agar mereka mengambil pelajaran, ditunjukkan oleh al-Quran (al-A’raf:133).
          Al-Quran (al-Maidah: 3, dan al-An’am: 145) juga mengajarkan tentang keharaman  memakan sebagian dari binatang, yakni babi, darah, bangkai, binatang yang disembelih bukan karena Allah, yang mati tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat disembelih, dan yang disembelih untuk berhala,  Selain itu, al-Quran (al-Baqarah: 168)  mengajarkan agar manusia memakan yang halal lagi thayyib. Tampaknya makanan, termasuk yang berupa  binatang, yang boleh dimakan ialah yang halal lagi baik. Pengertian baik dalam hal ini, mencakup juga baik bagi kesehatan manusia.
          Kitab suci  ini juga melarang membunuh binatang buruan, bagi mereka yang sedang berihram, dalam rangka berhaji atau berumrah (al-Maidah: 95). Lebih jauh al-Quran (al-An’am: 151, al-Isra’: 33, al-Furqan: 68, dll.), melarang manusia melakukan pembunuhan terhadap obyek yang bernyawa, kecuali dengan alasan yang benar. Ayat-ayat demikian, biasanya dipahami sebatas obyek pembunuhan tersebut ialah manusia. Akan tetapi jika dipadukan dengan hadits Nabi saw yang muttafaq ’alayh tentang wanita yang diadzab di neraka karena mengurung kucing, tidak diberi makan sehingga mati, maka ayat-ayat tersebut harus dimaknai bahwa obyek pembunuhan itu  meliputi segala yang bernyawa, termasuk binatang. Pembunuhan baru dapat dilakukan jika terdapat alasan yang benar. Alasan yang benar itu ialah, membunuh untuk melaksanakan eksekusi tindak pidana yang dihukum dengan hukuman mati, membela diri ketika nyawa benar-benar terancam, membela agama ketika telah diserang musuh, membunuh sebagian kecil untuk keselamatan mereka yang lebih banyak. Khusus untuk binatang, dibolehkan menyembelihnya untuk dimakan, qurban, membayar dam, atau untuk berbagai hal yang juga dibenarkan oleh nash, seperti membunuh binatang yang mengancam kehidupan manusia. Islam juga mengajarkan perlakuan ihsan, ketika menyembelih binatang dengan cara menajamkan pisau sebelum digunakan (Hadits Riwayat Muslim), melarang perlakuan lalim terhadap binatang (Hadits Muttafaq ’Alayh). Islam memuji orang yang memberi minum binatang yang sedang kehausan, bahkan karena itu Alah mengampuni seorang perempuan pezina dari kalangan Bani Isra’il (Hadits Muttafaq ’Alayh). Tampaknya alasan adanya larangan membunuh binatang, tanpa pertimbangan yang benar, dan tuntunan berlaku ihsan  ini antara lain karena binatang-binatang itu bertasbih memuji Allah (al-Isra’: 44, Hasyr: 1, dan Shaff: 1).
          Terdapat tiga kategori kelompok orang berkaitan dengan perlakuan terhadap binatang. Pertama, mereka yang melarang secara  mutlak membunuh binatang, bahkan untuk dikonsumsi sekalipun, apalagi terhadap binatang yang dimuliakan. Mereka ini tergolong kelompok vegetarian, hanya mengkonsumsi makanan yang asalnya tidak bernyawa, yang bersifat vegetatif.  Kedua, mereka yang  makan binatang apa saja, yang berarti boleh membunuh semua jenis binatang. Ketiga, mereka yang melarang membunuh binatang, kecuali dengan alasan yang benar, termasuk dengan alasan untuk konsumsi, tetapi terbatas terhadap binatang yang halal dimakan. Islam sebuah agama yang memproyeksikan pemeluknya sebagai ummatan wasathan - kelompok moderat bukan ekstrem -  (al-Baqarah: 143), mengajarkan mereka untuk menjadi golongan yang terakhir ini, golongan yang proporsional!

C.           PENUTUP
          Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa Islam merupakan agama yang memberi tuntunan kepada pemeluknya untuk memperlakukan binatang sebagai sesama makhluq Allah, bahkan sebagai tanda kebesaranNya. Sekalipun demikian, Islam juga menyatakan bahwa segala yang di langit dan di bumi ini termasuk juga binatang telah ditundukkan kepada manusia, yang oleh karena itu manusia adalah makhluq utama, sedang yang lain, juga binatang adalah makhluq sarana. Sekalipun demikian, tidak dibenarkan manusia bertindak lalim terhadap binatang. Jika terpaksa harus membunuh, maka harus  berdasar alasan yang benar, dan dilakukan dengan prinsip ihsan, dalam arti tidak menyakiti, setidak-tidaknya mesti meminimalisir unsur menyakiti ini. Alasan untuk ini, antara lain, binatang-binatang itu memahasucikan dan memuji Allah.



KESEJAHTERAAN SATWA DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh:
Drs. H. Muhammad Nafi’

A.           LATAR BELAKANG MASALAH
          Islam sebagai pusaka dan pedoman hidup yang sempurna, ia mengarahkan dan mengajak manusia pada jalan keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat,  Islam tidak hanya berisi tentang ajaran bagaimana melaksanakan hubungan vertikal secara harmonis dengan Allah SWT  (hablu min Allah) dan hubungan dengan sesama manusia (hablu min an-nas) semata,  akan tetapi pada kenyataannya Islam juga mengajarkan hubungan yang harmonis dengan lingkungannya, tak terkecuali “Satwa”. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ayat dan hadist yang secara eksplisit dan implisit mengajarkan manusia untuk menjaga dan melestarikan lingkungannya secara berkesinambungan, atau bagaimana memperlakukan bumi dan segala isinya yang telah disediakan oleh Allah untuk kelangsungan hidupnya dan anak cucunya  dengan implikasi manfaat kedepan yang akan diperoleh dari lestarinya alam dari bahaya yang mengancam karena kelalaian dan perusakan manusia sendiri terhadap alam .  Allah berfirman dalam  ( Al-Anbiya’ : 107 ) :
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“ Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”
          Eksploitasi satwa, perburuan liar, perdagangan satwa, serta diskriminasi yang telah dilakukan manusia terhadap satwa, perlu diperhatikan kembali, karena selain bagian dari doktrin agama sendiri yang melarangnya, hal itu juga demi menyelamatkan kesinambungan alam.  Karena manusia selain sebagai pengemban amanah di muka bumi sekaligus sebagai aktor yang berperan dalam perusakan alam di atasnya. Seperti yang telah tersebut dalam Al-Quran ( Ar-Rum : 41 )
ظهر الفساد في البر و البحر بما كسبت أيدي الناس ليذيقهم بعض الذي عملوا لعلهم يرجعون
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
          Untuk tetap menjaga kesinambungan antara manusia dan alam sekitar termasuk kesejahteraan satwa, maka diperlukan kesadaran dan sosialisasi terhadap masyarakat akan manfaat dan dampak yang akan terjadi. Atas dasar inilah, kami atas nama BEM STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang bekerja sama dengan P-WEC (Petungsewu wildlife Education Center) merancang acara Worskhop yang bertemakan “Animal Welfare in Islam” (Kesejahteraan Satwa Dalam Pandangan Islam) yang memungkinkan para pakar, dan pengamat serta element dari para mahasiswa dan santri untuk berinterkasi secara akademik guna membahas dan mendiskusikan kembali problem-problem diatas dipandang dari segi data ilmiah dan kacamata Syariah Islam, serta mencari solusi dan langkah-langkah konkrit.
B.            SEKILAS TENTANG REALITA SATWA
          Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati, termasuk satwa liar, yang tinggi. Diperkirakan 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia, walaupaun luas Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan dunia, Indonesia nomor satu dalam hal kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat dari sekitar 1539 jenis burung. Bahkan sebanyak 45% ikan di dunia, hidup di perairan Indonesia.
          Daftar spesies baru yang ditemukan di Indonesia itu akan terus bertambah, seiring dengan intensifnya penelitian atau eksplorasi dari alam. Masih banyak tempat di Indonesia seperti Papua yang belum terdata dengan lengkap daftar spesies satwa maupun tumbuhanya.
          Namun, meskipun kaya, Indonesia dikenal juga sebagai negara pemilik daftar panjang tentang satwa liar yang terancam punah. Saat ini jumlah satwa liar yang terancam punah adalah 147 jenis mamalia, 114 jenis burung, 28 jenis reptile, 91 jenis ikan dan 28 jenis invertebrate (IUCN). Jika tidak ada upaya untuk menyelamatkannya maka spesies tersebut akan benar-benar punah dari alam, seperti halnya harimau bali yang saat ini benar-benar telah punah sejak tahun 70-an. Harimau jawa juga sudah dilaporkan sudah punah, meski beberapa peneliti menyebutkan masih tersisa beberapa ekor di Taman Nasional Merubetiri Banyuwangi.
         
          Faktor utama yang mengancam punahnya satwa liar tersebut adalah berkurang atau rusaknya habitat mereka dan perburuan liar dengan tujuan diperdagangkan.  Kini perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar di Indonesia. Lebih dari 95% satwa yang dijual dipasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran.
          Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan, mati akibat proses penangkapan yang menyakitkan, pengangkutan yang tidak memadahi, kandang sempit dan makanan yang kurang.
          Sebagai contoh, kebanyakan orangutan yang diperdagangkan adalah masih bayi. Untuk menangkap seekor bayi orangutan, pemburu harus membunuh ind=uk orangutan itu yang akan mempertahankan anaknya sampai mati. Ketika ada seekor bayi yang dijual dipasar maka sedikitnya ada satu orangutan mati yang mati di tangan pemburu. Contoh lain dalam perdagangan satwa adalah perdagangan Beruang Madu hidup dan bagian tubuh-tubuhnya, yang saat ini masih banyak terjadi di Indonesia.
          Bentuk diskriminasi manusia terhadap satwa tidak sampai disitu, hasil Investigasi Profauna tahun 2001 menunjukan bahwa, 64,5% toko obat tradisional di Indonesia menjual obat yang mengandung empedu beruang. Selain empedu, bagian tubuh beruang lainya yang sering dijual adalah cakar, taring, dan telapak tangan untuk dijadikan makanan (sup).
          Maraknya perdagangan satwa liar itu disebabkan faktor lemahnya penegakan hukum tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan masih lemahnya kesadaran masyarakat akan konsevarsi satwa. Sebenarnya hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, perdagangan dan kepemilikan satwa dilindungi adalah dilarang (pasal 21). Pelanggar dari ketentuan tersebut dapat dikenakan pidana penjara 5 tahun dan denda maksimum Rp 100 juta (pasal 20).
          Walaupun demikian, sebagian masyarakat masih gemar membeli dan memelihara satwa liar di rumah mereka. Hampir semua satwa yang dipelihara diletakkan dalam kandang yang tidak sesuai dengan kebutuhan satwa itu. Burung butuh terbang bukan hanya meloncat. Elang butuh melayang bukan hanya sekedar terbang sejauh 3 atau 10 meter. Siamang atau owa butuh tempat bergelayut yang tidak cukup hanya sebatang besi atau kayu. Di alam siamang dan owa terbiasa bergelayut dari dahan satu kedahan yang lain. Ini adalah perilaku alami yang tidak mudah dipenuhi jika siamang itu berada dalam sangkar.
          Satwa mempunyai kebutuhan makan yang berbeda. Sebagian besar (90%) satwa yang dipelihara manusia tidak mendapatkan makanan yang sesuai dengan kebutuhan satwa. Orangutan dialamnya memakan daun, buah dan juga serangga. Namun ketika dipelihara oleh manusia , orangutan itu diberi makan nasi, soto, sate, dan bahkan diajari merokok.
          Selain itu, adapula satwa yang dijadikan pekerja sirkus, selama bertahun-tahun, hingga ajalnya, dia dipaksa kerja mencari uang (bukan pada kodratnya) dan tinggal ditempat-tempat pengap dan sempit. Jika sudah tidak produktif lagi, maka dengan mudahnya akan ditelantarkan atau bila perlu dibunuh dan mereka akan mencari yang muda lagi.



















Memanfaatkan Satwa Langka untuk Bahan Pengobatan
Oleh:
Munjin Nasih, M.Pd

A.           PENDAHULUAN
          Manusia sebagai kholifatul ardhi (pemimpin bumi) mempunyai beberapa wewenang dan tanggungjawab yang diberikan Allah SWT. Nabi dan Rasul sebagai penyampai risalah dari Allah SWT mempunyai misi dan visi agar seluruh umat manusia bisa mempergunakan wewenang tersebut dengan benar dan memberikan informasi bahwa wewenang mereka akan dimintai tanggungjawaban kelak di yaumil akhir (hari kiamat).
          Hanya terdapat dua pengkasifikasian jalan hidup manusia yaitu; shirathal mustaqim dan shrirathal maghdub/shirathat dhallin, tentunya kedua pengklasifikasian inilah yang telah diisyaratkan Allah bahwa rusaknya bumi karena ulah manusia (Q.S. Ar-Ruum: 41)
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (41)
41. telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
          Berkaitan erat dengan hal tersebut diatas, dan karena manusia mempunyai wewenang untuk memanfaatkan hasil bumi serta segala sesuatu yang hidup diatasnya seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang, yang telah disediakan secara gratis oleh Allah SWT, maka  manusia mempunyai hak untuk mengeploitasinya namun yang perlu diingat adalah manusia harus bertanggungjawab dan memeliharanya. Terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menjadi dalil tentang hal ini diantaranya:
          QS: al-Baqarah ayat 29:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (29)
29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
          QS: Luqman ayat 20:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ (20)
20. tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.
          Q.S. Al-Jatsiyah,45:13
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (13)
13. dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.
          Dari beberapa ayat diatas yang penulis kaji baik dari segi tafsir bil ma’sur maupun tafsir birra’yi semuanya menjustifikasi terhadap kenyataan bahwa sesungguhnya manusia berhak memanfaatkan semua yang diciptakan Allah SWT untuk kemaslahan umat manusia, salah satu dari hak tersebut adalah hak untuk memanfaatkan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagai bahan pengobatan.
          Lembaran-lembaran berikutnya dalam tulisan ini akan membahas tentang bagaimana pandangan syari’at Islam tentang pemanfaatan hewan langka yang digunakan atau dimanfaatkan untuk bahan pengobatan.

B.     PEMBAHASAN
          Sebelum melangkah kepada pembahasan alangkah baiknya jika kita bahas segala sesuatu yang berkaitan dari segi bahasa/etimologi karena sebuah kata adalah ushul dari makna kata tersebut, adapun beberapa kata yang kami anggap penting adalah sebagai berikut:
Memanfaatkan/memanfaatkan
          Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata manfaat berarti: man.fa.at: n 1 guna; faedah;sumbangan itu banyak manfaatnya bagi orang-orang miskin;2 laba; untung; -- penjualan ternaknya berlipat ganda; sedangkan kata memanfaatkan mempunyai arti: me.man.fa.at.kan v menjadikan ada manfaatnya (gunanya dsb): kami memanfaatkan perkarangan yang kosong itu untuk penimbunan kayu; mereka memanfaatkan surat kabar untuk pendidikan; jadi, kata memanfaatkan lebih kepada menggunakan sesuatu untuk menambah volume manfaat agar lebih bermanfaat lagi.
Satwa Langka
          Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa: Satwa langka adalah binatang yang tinggal sedikit jumlahnya dan perlu dilindungi (spt jalak putih,cendrawasih)
          Dalam kamus ilmiah popular yang disusun oleh M. Dahlan al-Barry halaman 696 mengartikan satwa adalah binatang/hewan (liar), sedangkan kata langka berarti: jarang ada; sulit didapat (M. Dahlan al-Barry, kamus ilmiah popular:399), sedangkan beberapa contoh binatang yang hampir punah adalah harimau, komodo, tapir, orangutan, dan lain sebagainya.
Bahan Pengobatan
          Bahan pengobatan adalah sesuatu barang yang dipergunakan untuk obat sebuah penyakit. Bahan: n 1 barang yang akan dibuat menjadi satu benda tertentu; bakal; 2 (segala) sesuatu yang dapat dipakai atau diperlukan untuk tujuan tertentu, spt untuk pedoman atau pegangan, untuk mengajar, member ceramah. Pengobatan: n proses, cara, perbuatan mengobati; - kimiawi penggunaan senyawa kimia untuk mengobati tanaman yang terserang penyakit; terapi kimiawi.


          Jadi bahan pengobatan adalah bahan untuk mengobati yang dalam melakukan proses ini dilakukan oleh orang yang berilmu pengetahuan seperti dokter, tabib dan lain-lain.

Obat dalam pandangan syari’at
          Menyikapi hal ini, syariat Islam (fiqih) mengklasifikasi bahan obat yang akan digunakan, yaitu bahan obat yang terbuat dari barang yang tidak dilarang mengkonsumsinya atau bahan obat yang dilarang mengkonsumsinya. Adapun bahan obat yang mubah mengkonsumsinya maka hukumnya mubah juga tanpa ada khilaf para ulama, maka bab ini kami  akan membahas hukum obat yang terbuat dari sesuatu yang dilarang mengkonsumsinya seperti ular, tikus, harimau dan lain-lain.
          Untuk mempertajam kajian maka kami buat pertanyaan, apakah diperbolehkan menggunakan suatu barang yang tidak diperbolehkan mengkonsumsinya dijadikan sebagai obat? contoh khomer/minuman keras, ular, tikus dan lain-lain. Menjawab pertanyaan ini para ulama berbeda pendapat (terjadi khilaf). pendapat pertama, mengharamkan secara mutlak sedangkan pendapat yang kedua membolehkan karena darurat/beberapa sebab lain.
DALIL YANG MENGHARAMKAN
          Dalil yang digunakan adalah hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Abi Daud, sebagai berikut:
3876 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَادَةَ الْوَاسِطِىُّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِى عِمْرَانَ الأَنْصَارِىِّ عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ ».
“Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abi Dawud).
          Dalil selanjutnya adalah hadits riwayat Imam Bukhori dan Imam Baihaqi. Shahih Bukhori, juz 18 halaman 480
 15 - باب شَرَابِ الْحَلْوَاءِ وَالْعَسَلِ . ( 15 ) وَقَالَ الزُّهْرِىُّ لاَ يَحِلُّ شُرْبُ بَوْلِ النَّاسِ لِشِدَّةٍ تَنْزِلُ ، لأَنَّهُ رِجْسٌ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ( أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ) ، وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ فِى السَّكَرِ إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ .
Baihaqi juz 2 halaman 142
20172- أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِى عَمْرٍو قَالاَ حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ : مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ حَبِيبِ بْنِ حَسَّانَ عَنْ شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ قَالَ : اشْتَكَى رَجُلٌ مِنَّا بَطْنَهُ فَوُجِدَ فِيهِ الصُّفْرُ يَعْنِى الْمَاءَ الأَصْفَرَ فَأُتِىَ عَبْدُ اللَّهِ فَقَالَ إِنِّى اشْتَكَيْتُ بَطْنِى فَنُعِتَ لِى السَّكَرُ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ : إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ.
”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkankan Allah atasmu.” (HR Bukhari dan Baihaqi).
          Dalil selanjutnya adalah hadits tentang homer/minuman keras dibuat obat juga dapat menjadi hujjah tentang tidak bolehnya menggunakan sesuatu yang najis untuk berobat, disebutkan dalam kitab fiqhul islami waadillatuhu karya Prof. Dr Wahbah Zuhaili halaman 162 juz 4
التداوي بالخمر :
قال أئمة المذاهب الأربعة (1) : يحرم على الراجح الانتفاع بالخمر وسائر المسكرات للمداواة وغيرها، كاستخدامها في دُهن أو طعام أو إذابة دواء أو بَلَّ طين، لقوله صلّى الله عليه وسلم : «إن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم» (2) ،وروى طارق ابن سويد أنه سأل النبي صلّى الله عليه وسلم عن الخمر، فنهاه، أو كره أن يصنعها، فقال: إنما أصنعها للدواء؟ فقال: «إنه ليس بدواء، ولكنه داء» (1) .
DALIL YANG MENGHALALKAN
          Dalil yang menghalalkan karena ada beberapa alasan, yaitu:
1.            Darurat (kebutuhan yang sangat mendesak)
          Syariat Islam terdapat sebuah kaidah yang menyatakan bahwa Ad-Dharuratu tubihul mahdzurat yang artinya “sesuatu yang dharurat itu bisa menghalakan sesuatu yang dilarang”. Selain itu Allah SWT telah berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan barangsiapa yang terpaksa pada (waktu) kelaparan dengan tidak sengaja untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih. (QS. Al-Maidah: 3)
وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." (QS. Al-An'am: 119)
          selanjutnya terdapat beberapa pendapat ulama’ terkait hal ini dan hal ini selanjutnya menjadi syarat diperbolehkannya obat dari sesuatu yang haram, seperti yang dijelaskan oleh Prof. Dr Wahbah Zuhaili dalam kitab fiqhul islami waadillatuhu halaman 162 juz 4
لكن قال الحنفية (2) : يجوز التداوي بالمحرم إن علم يقيناً أن فيه شفاء، ولا يقوم غيره مقامه، أما بالظن فلا يجوز. وقول الطبيب لا يحصل به اليقين. ولايرخص التداوي بلحم الخنزير، وإن تعين.
وقيد الشافعية (3) حرمة التداوي بالخمر إذا كانت صرفاً، غير ممزوجة بشيء آخر تستهلك فيه. أما الترياق المعجون بها ونحوه مما تستهلك فيه، فيجوز التداوي به عند فقد ما يقوم به، مما يحصل به التداوي من الطاهرات، كالتداوي بنجس كلحم حية وبول. وكذا يجوز التداوي بما ذكر لتعجيل شفاء بشرط إخبار طبيب مسلم عدل بذلك، أو معرفته للتداوي به. وبشرط أن يكون القدر المستعمل قليلاً لايسكر.
قال العز بن عبد السلام (4) : جاز التداوي بالنجاسات إذا لم يجد طاهراً يقوم مقامها؛ لأن مصلحة العافية والسلامة أكمل من مصلحة اجتناب النجاسة، ولا يجوز التداوي بالخمر على الأصح إلا إذا علم أن الشفاء يحصل بها، ولم يجد دواء غيرها.
وأبان ابن العربي والقرطبي المالكيان (5) أنه يجوز الانتفاع بالخمر للضرورة، لقوله تعالى: {فمن اضطر غير باغ ولا عاد} [البقرة:173/2] فرفعت الضرورة التحريم، وخصصت الضرورة الحرام؛ لأن إهمال تعاطي الدواء قد يسبب الوفاة.
·         Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
·         Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti obat yang haram itu.
·         Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya)
2.            Rukhshah (Keringanan) di Masa Nabi
          Sebuah kasus yang menjadi dalil juga adalah diperbolehkannya sahabat Abdurranman bin Auf dan Zubair menggunakan kain sutra karena mereka terkena penyakit gatal-gatal/gudik. Hadits tersebut adalah: Shahih Muslim halaman 44 juz 14:
5550 - حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِى عَرُوبَةَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ أَنْبَأَهُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَخَّصَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَالزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ فِى الْقُمُصِ الْحَرِيرِ فِى السَّفَرِ مِنْ حِكَّةٍ كَانَتْ بِهِمَا أَوْ وَجَعٍ كَانَ بِهِمَا.
Shahih Bukhori juz 10 halaman 402
2919 - حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمِقْدَامِ حَدَّثَنَا خَالِدٌ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ أَنَسًا حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - رَخَّصَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَالزُّبَيْرِ فِى قَمِيصٍ مِنْ حَرِيرٍ ، مِنْ حِكَّةٍ كَانَتْ بِهِمَا . أطرافه 2920 ، 2921 ، 2922 ، 5839 - تحفة 1169
          Selain itu mereka juga menggunakan beberapa kejadian di masa Nabi yang diantranya; memeperbolehkan suku ‘Ukl dan ‘Uraynah berobat dengan meminum air kencing unta. Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu najis menurut kebanyakan ulama. Walaupun mazhab Hanbali mengatakan bahwa air kencing unta tidak najis, karena daging unta halal dimakan.




















PERBURUAN DAN PERDAGANGAN SATWA LANGKA
Oleh:
Anwar Sa’dullah M.Pd

والصيد: اقتناص حيوان حلال متوحش، طبعاً غير مملوك، ولا مقدور عليه
          Berburu adalah menangkap binatang  liar yang halal dan  tidak ada pemiliknya
: هو كل حيوان متوحش طبعاً، ممتنع عن الآدمي، مأكولاً كان أو غير مأكول، لا يمكن أخذه إلا بحيلة. والمصيد
          Hewan buruan adalah setiap hewan liar yang tidak dimiliki oleh manusia, yang tidak bisa ditangkap kecuali dengan cara-cara tertentu baik dagingnya halal dimakan atau tidak
حكم الصيد: الاصطياد مباح لقاصده إجماعاً في غير حرم مكة وحرم المدينة، لغير المحرم بحج أو عمرة. ويؤكل المصيد إن كان مأكولاً شرعاً (2) لقوله تعالى: {وإذا حللتم فاصطادوا} [المائدة:5/2] أمر بعد حظر، فيفيد الإباحة. ولقوله سبحانه: {وحرم عليكم صيد البر ما دمتم حرماً} [المائدة:5/96] {ياأيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم} [المائدة:5/95] {قل: أحل لكم الطيبات، وما علَّمتم من الجوارح مكلِّبين} [المائدة:4/5].
          Hukumnya berburu adalah mubah (boleh) bagi pemburu dengan kesepakatan ulama selain tanah haram Makah dan Madinah, dan bagi orang ihram haji dan umrah. Hewan buruan boleh dimakan apa bila memang halal dimakan, Allah berfirman :”ketika kamu sudah tahalllul (manyelesaikan ihram) maka bolehlah kamu berburu.” ayat ini adalah bentuk perintah setelah larangan maka interpretasinya adalah boleh. Pada ayat amaidah ayat 5 Allah juga berfirman: “ katakanalah yang dihalalkan bagimu adalah makanan yang baik-baik dan buruan yang ditangkap oleh binatang pemburu yang telah kamu latih berburu”
وثبت في السنة أن النبي صلّى الله عليه وسلم قال لعدي بن حاتم: «إن أرسلت كلبك، وسميت، فأخذ، فقتل،فكل، وإن أكل منه فلا تأكل، فإنما أمسك على نفسه» (3) . وعن أبي قتادة: أنه كان مع رسول الله صلّى الله عليه وسلم ، فرأى حماراً وحشياً، فاستوى على فرسه، وأخذ رمحه، ثم شد على الحمار، فقتله، فلما أدركوا رسول الله صلّى الله عليه وسلم، سألوه عن ذلك، فقال: «هي طُعْمة، أطعمكموها الله » (4) وعن أبي ثعلبة الخشني، أن النبي صلّى الله عليه وسلم قال: «ما صدت بقوسك، فذكرت اسم الله عليه، فكل، وما صدت بكلبك المعلم، فذكرت اسم الله عليه، فكل، وما صدت بكلبك غير المعلم، فأدركت ذكاته، فكل» (1) . وأجمع العلماء على إباحة الاصطياد، والأكل من الصيد.
ويكره الصيد لهواً، لأنه عبث لقوله عليه السلام: «لا تتخذوا شيئاً فيه الروح غرضاً» (2) أي هدفاً «من قتل عصفوراً عبثاً، عج إلى الله يوم القيامة يقول: يارب، إن فلاناً قتلني عبثاً، ولم يقتلني منفعة» (3) . وهو حرام إن كان فيه ظلم الناس بالعدوان على زروعهم وأموالهم؛ لأن الوسائل لها أحكام المقاصد (4) .
          Shahabat Abi Qatadah juga meriwayatkan hadist, saat dirinya bersama Rasulullah, sedang melihat himar liar kemudian beliau bersiap-siap diatas tungganganya dan mengambil busurnya kemudian mengarahkanya pada himar dan memanahnya, ketika para Shahabat menemui Rasulullah, mereka bertanya tentang kejadian itu. Beliau bersabda : buruan ini adalah makanan yang dihidangkan Allah.
          Dari hadist ini para ulama telah sepakat bahwa hukumnya berburu hewan dan memakan dagingnya adalah halal . Sedangkan apabila berburu dengan tujuan untuk main-main hukumnya adalah makruh, dan bisa berubah menjadi haram apabila dalam perburuan itu ada unsur merusak terhadap lading dan kepemilikan harta orang lain, karena ada sebuah kaidah fiqih  perantara itu punya hukum yang sama dengan tujuanya
مذاهب الاربعة جز 2 ص
الحيوان الذي يحل صيده إما أن يكون مأكول اللحم أو غير مأكول فإن كان غير مأكول اللحم فإن صيده دفعا لشره كما يحل قتله لذلك وكذلك يحل صيده للانتفاع بما يباح الانتفاح به كالسن والشعر
          Sedangkan binatang buruan yang halal diburu adakalanya yang halal dimakan dan haram dimakan. Sedaangkan hewan yang haram dimakan, pemburuan itu karena untuk bertujuan mencegah menyakiti pada manusia dan untuk dimanfaatkan
والصيد أفضل مأكول؛ لأنه حلال لا شبهة فيه، كما أن الزراعة أفضل مكتسب؛ لأنها أقرب إلى التوكل من غيرها، وأقرب للحل. وفيها عمل اليد، والنفع العام للإنسان والحيوان (5) . ومما يؤكد مشروعية الصيد: أنه نوع اكتساب، وانتفاع بما هو مخلوق للإنسان، ليتمكن من البقاء، وتنفيذ التكاليف الشرعية. هذا وقد قسم المالكية (6) أحكام الصيد خمسة أقسام: مباح للمعاش، ومندوب للتوسعة على العيال، وواجب لإحياء النفس عند الضرورة، ومكروه للهو، وحرام إذا كان عبثاً لغير نية، للنهي عن تعذيب الحيوان لغير فائدة.
          Hewan buruan adalah makanan yang mempuanyai urutan tertinggi dalam kadar halalnya, karena kehalalanya tidak diragukan lagi, sebagaimana pekerjaan bertani adalah pekerjaan yang paling baik. Hukum ini adalah masih bersifat asli dan umum yang akan bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan situasi dan kondisi.
دفع المفاسد مقدم  علي جلب المصالح
الجامع لاحكام القرأن 7 ق
وله تعالى: "ولا تفسدوا في الأرض بعد إصلاحها" أنه سبحانه نهى عن كل فساد قل أو كثر بعد صلاح قل أو كثر. فهو على العموم على الصحيح من الأقوال. وقال الضحاك: معناه لا تعوروا الماء المعين، ولا تقطعوا الشجر المثمر ضرارا. وقد ورد: قطع الدنانير من الفساد في الأرض. وقد قيل: تجارة الحكام من الفساد في الأرض. وقال القشيري: المراد ولا تشركوا؛ فهو نهي عن الشرك وسفك الدماء والهرج في الأرض، وأمر بلزوم الشرائع بعد إصلاحها، بعد أن أصلحها الله ببعثه الرسل، وتقرير الشرائع ووضوح ملة محمد صلى الله عليه وسلم. قال ابن عطية: وقائل هذه المقالة قصد إلى أكبر فساد بعد أعظم صلاح فخصه بالذكر. قلت: وأما ما ذكره الضحاك فليس على عمومه، وإنما ذلك إذا كان فيه ضرر على المؤمن، وأما ما يعود ضرره على المشركين فذلك جائز؛ فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد عور ماء قليب بدر وقطع شجر الكافرين. وسيأتي الكلام في قطع الدنانير في "هود" إن شاء الله تعالى.
         



          Dalam manafsirkan ayat diatas para mufasir telah menginterpretasikan bahwa seseorang dilarang untuk berbuat kerusakan diatas bumi. Hal ini bisa ditalikan pada berburu satwa liar yang dapat mengakibatkan kerusakan dan kepunahan satwa, sehingga akan menjadikan tidak seimbangnya ekosistem dan merugikan pada manusia sendiri.
بغية المسترشدين  ص 91
(مسألة: ك): يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر، فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه، وإن كان المأمور به مباحاً أو مكروهاً أو حراماً لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله (م ر) وتردد فيه في التحفة، ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط، وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهراً وباطناً وإلا فظاهراً فقط أيضاً، والعبرة في المندوب والمباح بعقيدة المأمور، ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال، ومعنى باطناً أنه يأثم اهـ. قلت: وقال ش ق: والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام أو مكروه، فالواجب يتأكد، والمندوب يجب، وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي الهيئات، وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادي بعدم شرب الناس له في الأسواق والقهاوي، فخالفوه وشربوا فهم العصاة، ويحرم شربه الآن امتثالاً لأمره، ولو أمر الإمام بشيء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اهـ.
          Selain itu pemerintah juga telah membuat undang-undang tentang satwa langka, sehingga bagi umat islam wajib untuk mentaatinya, Allah dalam al Quran telah berfirman:
يَا أَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرّسُولَ وَأُوْلِي الأمْرِ مِنْكُمْ
          Hai orang-orang yang beriman taatlah pada Allah dan Rasulnya dan para pemimpinmu
الجمل ( قَوْلُهُ وَنَحْوِ حَبَّتَيْ بُرٍّ ) عِبَارَةُ شَرْحِ م ر وَلَا بَيْعُ حَبَّتَيْ الْحِنْطَةِ وَنَحْوِهَا كَشَعِيرٍ وَزَبِيبٍ وَنَحْوِ عِشْرِينَ حَبَّةِ خَرْدَلٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ كُلِّ مَا لَا يُقَابَلُ فِي الْعُرْفِ بِمَالٍ فِي حَالَةِ الِاخْتِيَارِ لِانْتِفَاءِ النَّفْعِ بِذَلِكَ لِقِلَّتِهِ وَلِهَذَا لَمْ يَضْمَنْ لَوْ تَلِفَ وَإِنْ حَرُمَ غَصْبُهُ وَوَجَبَ رَدُّهُ وَكَفَرَ مُسْتَحِلُّهُ وَعُدَّ مَالًا بِضَمِّهِ لِغَيْرِهِ أَوْ لِنَحْوِ غَلَاءٍ كَاصْطِيَادٍ بِحَبَّةٍ فِي فَخٍّ وَمَا نُقِلَ عَنْ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ جَوَازِ أَخْذِ الْخِلَالِ وَالْخِلَالَيْنِ مِنْ خَشَبِ الْغَيْرِ مَحْمُولٌ عَلَى مَا إذَا عُلِمَ رِضَاهُ وَيَحْرُمُ بَيْعُ السِّمِّ إنْ قَتَلَ كَثِيرُهُ وَقَلِيلُهُ فَإِنْ نَفَعَ قَلِيلُهُ وَقَتَلَ كَثِيرُهُ كَالْأَفْيُونِ جَازَ انْتَهَتْ وَقَوْلُهُ فَإِنْ نَفَعَ قَلِيلُهُ إلَخْ قَضِيَّتُهُ الْحُرْمَةُ فِيمَا لَوْ لَمْ يَنْفَعْ قَلِيلُهُ وَأَضَرَّ كَثِيرُهُ وَالظَّاهِرُ أَنَّهَا غَيْرُ مُرَادَةٍ لِأَنَّهُ لَا مَعْنَى لِلْحُرْمَةِ مَعَ انْتِفَاءِ الضَّرَرِ نَعَمْ قَدْ يُقَالُ بِفَسَادِ الْبَيْعِ وَبِالْحُرْمَةِ لِعَدَمِ الِانْتِفَاعِ بِهِ كَالْحَشَرَاتِ وَحَبَّتَيْ الْحِنْطَةِ فَإِنَّ بَيْعَهَا بَاطِلٌ لِعَدَمِ النَّفْعِ وَإِنْ انْتَفَى الضَّرَرُ فَمَا هُنَا أَوْلَى لِوُجُودِ الضَّرَرِ فِيهِ وَهَلْ الْعِبْرَةُ بِالْمُتَعَاطِي لَهُ حَتَّى لَوْ كَانَ الْقَدْرُ الَّذِي يَتَنَاوَلُهُ لَا يَضُرُّهُ لِاعْتِيَادِهِ عَلَيْهِ وَيَضُرُّ غَيْرَهُ لَمْ يَحْرُمْ أَوْ الْعِبْرَةُ بِغَالِبِ النَّاسِ فَيَحْرُمُ ذَلِكَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَضُرَّهُ فِيهِ نَظَرٌ وَالْأَقْرَبُ الثَّانِي ا
قليوبي  قَوْلُهُ : ( فَمَا لَا نَفْعَ فِيهِ إلَخْ ) عَلَّلَهُ الرَّافِعِيُّ بِأَنَّ أَخْذَ الْمَالِ فِي مُقَابَلَتِهِ قَرِيبٌ مِنْ أَكْلِ الْمَالِ بِالْبَاطِلِ ، وَقَدْ قَالَ تَعَالَى : { لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ } ثُمَّ فَوَاتُ النَّفْعِ قَدْ يَكُونُ حِسًّا وَقَدْ يَكُونُ شَرْعًا . اسعاد الرفيق ص 127 ومنها اعانة علي المعصية اي علي معصية من معاصي الله بقول او فعل او غيره
         




            Karena berburu sendiri itu hukumnya tidak boleh, maka sebagai penadah untuk memperjual belikan satwa buruan juga tidak boleh, karena menolong dalam hal kemaksiatan.
والصيد: اقتناص حيوان حلال متوحش، طبعاً غير مملوك، ولا مقدور عليه
          Berburu adalah menangkap binatang  liar yang halal dan  tidak ada pemiliknya
: هو كل حيوان متوحش طبعاً، ممتنع عن الآدمي، مأكولاً كان أو غير مأكول، لا يمكن أخذه إلا بحيلة. والمصيد
          Hewan buruan adalah setiap hewan liar yang tidak dimiliki oleh manusia, yang tidak bisa ditangkap kecuali dengan cara-cara tertentu baik dagingnya halal dimakan atau tidak
حكم الصيد: الاصطياد مباح لقاصده إجماعاً في غير حرم مكة وحرم المدينة، لغير المحرم بحج أو عمرة. ويؤكل المصيد إن كان مأكولاً شرعاً (2) لقوله تعالى: {وإذا حللتم فاصطادوا} [المائدة:5/2] أمر بعد حظر، فيفيد الإباحة. ولقوله سبحانه: {وحرم عليكم صيد البر ما دمتم حرماً} [المائدة:5/96] {ياأيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم} [المائدة:5/95] {قل: أحل لكم الطيبات، وما علَّمتم من الجوارح مكلِّبين} [المائدة:4/5].

          Hukumnya berburu adalah mubah (boleh) bagi pemburu dengan kesepakatan ulama selain tanah haram Makah dan Madinah, dan bagi orang ihram haji dan umrah. Hewan buruan boleh dimakan apa bila memang halal dimakan, Allah berfirman :”ketika kamu sudah tahalllul (manyelesaikan ihram) maka bolehlah kamu berburu.” ayat ini adalah bentuk perintah setelah larangan maka interpretasinya adalah boleh. Pada ayat amaidah ayat 5 Allah juga berfirman: “ katakanalah yang dihalalkan bagimu adalah makanan yang baik-baik dan buruan yang ditangkap oleh binatang pemburu yang telah kamu latih berburu”
وثبت في السنة أن النبي صلّى الله عليه وسلم قال لعدي بن حاتم: «إن أرسلت كلبك، وسميت، فأخذ، فقتل،فكل، وإن أكل منه فلا تأكل، فإنما أمسك على نفسه» (3) .
وعن أبي قتادة: أنه كان مع رسول الله صلّى الله عليه وسلم ، فرأى حماراً وحشياً، فاستوى على فرسه، وأخذ رمحه، ثم شد على الحمار، فقتله، فلما أدركوا رسول الله صلّى الله عليه وسلم، سألوه عن ذلك، فقال: «هي طُعْمة، أطعمكموها الله » (4) وعن أبي ثعلبة الخشني، أن النبي صلّى الله عليه وسلم قال: «ما صدت بقوسك، فذكرت اسم الله عليه، فكل، وما صدت بكلبك المعلم، فذكرت اسم الله عليه، فكل، وما صدت بكلبك غير المعلم، فأدركت ذكاته، فكل» (1) . وأجمع العلماء على إباحة الاصطياد، والأكل من الصيد.
ويكره الصيد لهواً، لأنه عبث لقوله عليه السلام: «لا تتخذوا شيئاً فيه الروح غرضاً» (2) أي هدفاً «من قتل عصفوراً عبثاً، عج إلى الله يوم القيامة يقول: يارب، إن فلاناً قتلني عبثاً، ولم يقتلني منفعة» (3) . وهو حرام إن كان فيه ظلم الناس بالعدوان على زروعهم وأموالهم؛ لأن الوسائل لها أحكام المقاصد (4) .
          Shahabat Abi Qatadah juga meriwayatkan hadist, saat dirinya bersama Rasulullah , sedang melihat himar liar kemudian beliau bersiap-siap diatas tungganganya dan mengambil busurnya kemudian mengarahkanya pada himar dan memanahnya, ketika para Shahabat menemui Rasulullah, mereka bertanya tentang kejadian itu. Beliau bersabda : buruan ini adalah makanan yang dihidangkan Allah.
          Dari hadist ini para ulama telah sepakat bahwa hukumnya berburu hewan dan memakan dagingnya adalah halal . Sedangkan apabila berburu dengan tujuan untuk main-main hukumnya adalah makruh, dan bisa berubah menjadi haram apabila dalam perburuan itu ada unsur merusak terhadap lading dan kepemilikan harta orang lain, karena ada sebuah kaidah fiqih  perantara itu punya hukum yang sama dengan tujuanya

مذاهب الاربعة جز 2 ص
الحيوان الذي يحل صيده إما أن يكون مأكول اللحم أو غير مأكول فإن كان غير مأكول اللحم فإن صيده دفعا لشره كما يحل قتله لذلك وكذلك يحل صيده للانتفاع بما يباح الانتفاح به كالسن والشعر
          Sedangkan binatang buruan yang halal diburu adakalanya yang halal dimakan dan haram dimakan. Sedaangkan hewan yang haram dimakan, pemburuan itu karena untuk bertujuan mencegah menyakiti pada manusia dan untuk dimanfaatkan 
 والصيد أفضل مأكول؛ لأنه حلال لا شبهة فيه، كما أن الزراعة أفضل مكتسب؛ لأنها أقرب إلى التوكل من غيرها، وأقرب للحل. وفيها عمل اليد، والنفع العام للإنسان والحيوان (5) . ومما يؤكد مشروعية الصيد: أنه نوع اكتساب، وانتفاع بما هو مخلوق للإنسان، ليتمكن من البقاء، وتنفيذ التكاليف الشرعية. هذا وقد قسم المالكية (6) أحكام الصيد خمسة أقسام: مباح للمعاش، ومندوب للتوسعة على العيال، وواجب لإحياء النفس عند الضرورة، ومكروه للهو، وحرام إذا كان عبثاً لغير نية، للنهي عن تعذيب الحيوان لغير فائدة.
          Hewan buruan adalah makanan yang mempuanyai urutan tertinggi dalam kadar halalnya, karena kehalalanya tidak diragukan lagi, sebagaimana pekerjaan bertani adalah pekerjaan yang paling baik. Hukum ini adalah masih bersifat asli dan umum yang akan bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan situasi dan kondisi.
دفع المفاسد مقدم  علي جلب المصالح
الجامع لاحكام القرأن 7
قوله تعالى: "ولا تفسدوا في الأرض بعد إصلاحها" أنه سبحانه نهى عن كل فساد قل أو كثر بعد صلاح قل أو كثر. فهو على العموم على الصحيح من الأقوال. وقال الضحاك: معناه لا تعوروا الماء المعين، ولا تقطعوا الشجر المثمر ضرارا. وقد ورد: قطع الدنانير من الفساد في الأرض. وقد قيل: تجارة الحكام من الفساد في الأرض. وقال القشيري: المراد ولا تشركوا؛ فهو نهي عن الشرك وسفك الدماء والهرج في الأرض، وأمر بلزوم الشرائع بعد إصلاحها، بعد أن أصلحها الله ببعثه الرسل، وتقرير الشرائع ووضوح ملة محمد صلى الله عليه وسلم. قال ابن عطية: وقائل هذه المقالة قصد إلى أكبر فساد بعد أعظم صلاح فخصه بالذكر.
قلت: وأما ما ذكره الضحاك فليس على عمومه، وإنما ذلك إذا كان فيه ضرر على المؤمن، وأما ما يعود ضرره على المشركين فذلك جائز؛ فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد عور ماء قليب بدر وقطع شجر الكافرين. وسيأتي الكلام في قطع الدنانير في "هود" إن شاء الله تعالى.
          Dalam manafsirkan ayat diatas para mufasir telah menginterpretasikan bahwa seseorang dilarang untuk berbuat kerusakan diatas bumi. Hal ini bisa ditalikan pada berburu satwa liar yang dapat mengakibatkan kerusakan dan kepunahan satwa, sehingga akan menjadikan tidak seimbangnya ekosistem dan merugikan pada manusia sendiri.
بغية المسترشدين  ص 91
(مسألة: ك): يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر، فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه، وإن كان المأمور به مباحاً أو مكروهاً أو حراماً لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله (م ر) وتردد فيه في التحفة، ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط، وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهراً وباطناً وإلا فظاهراً فقط أيضاً، والعبرة في المندوب والمباح بعقيدة المأمور، ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال، ومعنى باطناً أنه يأثم اهـ. قلت: وقال ش ق: والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام أو مكروه، فالواجب يتأكد، والمندوب يجب، وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي الهيئات، وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادي بعدم شرب الناس له في الأسواق والقهاوي، فخالفوه وشربوا فهم العصاة، ويحرم شربه الآن امتثالاً لأمره، ولو أمر الإمام بشيء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اهـ.
          Selain itu pemerintah juga telah membuat undang-undang tentang satwa langka, sehingga bagi umat islam wajib untuk mentaatinya, Allah dalam al Quran telah berfirman:
يَا أَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرّسُولَ وَأُوْلِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman taatlah pada Allah dan Rasulnya dan para pemimpinmu
الجمل
( قَوْلُهُ وَنَحْوِ حَبَّتَيْ بُرٍّ ) عِبَارَةُ شَرْحِ م ر وَلَا بَيْعُ حَبَّتَيْ الْحِنْطَةِ وَنَحْوِهَا كَشَعِيرٍ وَزَبِيبٍ وَنَحْوِ عِشْرِينَ حَبَّةِ خَرْدَلٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ كُلِّ مَا لَا يُقَابَلُ فِي الْعُرْفِ بِمَالٍ فِي حَالَةِ الِاخْتِيَارِ لِانْتِفَاءِ النَّفْعِ بِذَلِكَ لِقِلَّتِهِ وَلِهَذَا لَمْ يَضْمَنْ لَوْ تَلِفَ وَإِنْ حَرُمَ غَصْبُهُ وَوَجَبَ رَدُّهُ وَكَفَرَ مُسْتَحِلُّهُ وَعُدَّ مَالًا بِضَمِّهِ لِغَيْرِهِ أَوْ لِنَحْوِ غَلَاءٍ كَاصْطِيَادٍ بِحَبَّةٍ فِي فَخٍّ وَمَا نُقِلَ عَنْ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ جَوَازِ أَخْذِ الْخِلَالِ وَالْخِلَالَيْنِ مِنْ خَشَبِ الْغَيْرِ مَحْمُولٌ عَلَى مَا إذَا عُلِمَ رِضَاهُ وَيَحْرُمُ بَيْعُ السِّمِّ إنْ قَتَلَ كَثِيرُهُ وَقَلِيلُهُ فَإِنْ نَفَعَ قَلِيلُهُ وَقَتَلَ كَثِيرُهُ كَالْأَفْيُونِ جَازَ انْتَهَتْ وَقَوْلُهُ فَإِنْ نَفَعَ قَلِيلُهُ إلَخْ قَضِيَّتُهُ الْحُرْمَةُ فِيمَا لَوْ لَمْ يَنْفَعْ قَلِيلُهُ وَأَضَرَّ كَثِيرُهُ وَالظَّاهِرُ أَنَّهَا غَيْرُ مُرَادَةٍ لِأَنَّهُ لَا مَعْنَى لِلْحُرْمَةِ مَعَ انْتِفَاءِ الضَّرَرِ نَعَمْ قَدْ يُقَالُ بِفَسَادِ الْبَيْعِ وَبِالْحُرْمَةِ لِعَدَمِ الِانْتِفَاعِ بِهِ كَالْحَشَرَاتِ وَحَبَّتَيْ الْحِنْطَةِ فَإِنَّ بَيْعَهَا بَاطِلٌ لِعَدَمِ النَّفْعِ وَإِنْ انْتَفَى الضَّرَرُ فَمَا هُنَا أَوْلَى لِوُجُودِ الضَّرَرِ فِيهِ وَهَلْ الْعِبْرَةُ بِالْمُتَعَاطِي لَهُ حَتَّى لَوْ كَانَ الْقَدْرُ الَّذِي يَتَنَاوَلُهُ لَا يَضُرُّهُ لِاعْتِيَادِهِ عَلَيْهِ وَيَضُرُّ غَيْرَهُ لَمْ يَحْرُمْ أَوْ الْعِبْرَةُ بِغَالِبِ النَّاسِ فَيَحْرُمُ ذَلِكَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَضُرَّهُ فِيهِ نَظَرٌ وَالْأَقْرَبُ الثَّانِي ا
قليوبي
قَوْلُهُ : ( فَمَا لَا نَفْعَ فِيهِ إلَخْ ) عَلَّلَهُ الرَّافِعِيُّ بِأَنَّ أَخْذَ الْمَالِ فِي مُقَابَلَتِهِ قَرِيبٌ مِنْ أَكْلِ الْمَالِ بِالْبَاطِلِ ، وَقَدْ قَالَ تَعَالَى : { لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ } ثُمَّ فَوَاتُ النَّفْعِ قَدْ يَكُونُ حِسًّا وَقَدْ يَكُونُ شَرْعًا .
اسعاد الرفيق ص 127
ومنها اعانة علي المعصية اي علي معصية من معاصي الله بقول او فعل او غيره
          Karena berburu sendiri itu hukumnya tidak boleh, maka sebagai penadah untuk memperjual belikan satwa buruan juga tidak boleh, karena menolong dalam hal kemaksiatan.











Sampel  Hasil Diskusi Kelompok

ADU BINATANG DALAM PANDANGAN ISLAM
          Jika kita melihat kembali kilasan sejarah masa-masa dahulu, kekejaman terhadap satwa selalu ada dalam berbagai ragam bentuk. Sebagai contoh, sabung ayam, pembakaran kucing, membebani hewan tunggangan melebihi kadar kemampuannya, menyia-nyiakan hewan dan memperlakukan hewan dengan buruk.
          Pembunuhan dan pemburuan satwa masih sering terjadi dengan menggunakan berbagai perangkap dan jebakan. Motivasinya antara lain, penyaluran hobi, bahan perhiasan, melatih ketangkasan maupun untuk dikonsumsi. Perburuan dan penangkapan satwa ini hampir terjadi di seluruh penjuru dunia.
          Salah satu fenomena yang cukup serius adalah, adalah adanya “Adu Satwa” dengan beratasnamakan mempertahankan “Adat Istiadat” seperti yang terjadi dibeberapa tempat. Apabila di Jawa Barat, ada Adu Domba, pada masyarakat Daya di Kalimantan Timur ada Budaya Menombak sapi beramai-ramai sampai sapi itu mati di ikatannya, Di Tanah Toraja ada Tradisi Adu Kerbau, Di Sumbawa ada Tradisi saling menombak pake kayu tertentu, di Toraja ada adu Saling Menendang. Belum lagi Tradisi masyarakat Latin yang mengadu manusia dengan Banteng, dst.
          Adu Satwa “al-Muharasyah”, yang sering kita kenal, tanpa disadari ternyata memiliki beberapa konsekwensi yang perlu diperhatikan kembali, selain luka yang mangancam pada satwa, gagguan psikologi hewani, bahkan pertaruhan hidup dan mati sudah menjadi harga mati.
          Sesungguhnya  Islam adalah agama yang mengajarkan hamba-nya agar dapat hidup di dunia ini dengan baik, bukan tanpa alasan akan tetapi guna menciptakan kemashlahatan mereka sendiri. Oleh karena itu, dalam Islam terdapat berbagai ajaran-ajaran Islam yang diantaranya mengajarkan hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan  termasuk dengan satwa.
          Adu Satwa biasa diistilahkan dengan “al-Muharasyah” yang berarti mengadu satu binatang dengan binatang yang lain.
تحريش التّعريف
1 - التّحريش في اللّغة: إغراء الإنسان أو الحيوان ليقع بقرنه ، أي نظيره.
يقال: حرّش بين القوم إذا أفسد بينهم ، وأغرى بعضهم ببعض.
قال الجوهريّ: التّحريش: الإغراء بين القوم ، أو البهائم ، كالكلاب والثّيران وغيرهما ، بتهييج بعضها على بعض ، ففي التّحريش تسليط للمحرّش على غيره. ويقال في تسليط الكلب المعلّم نحوه على الصّيد: إشلاء. ولا يخرج المعنى الاصطلاحيّ للتّحريش عن المعنى اللّغويّ. الألفاظ ذات الصّلة الموسوعة الفقهية : الجزء 2 ص 3626
            Dalam sebuah hadits riwayat at-Tirmidzi disebutkan,
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ عَنْ قُطْبَةَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِى يَحْيَى عَنْ مُجَاهِدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ التَّحْرِيشِ بَيْنَ الْبَهَائِمِ. (المكتبة الشاملة الإصدار الثاني ) السنن الترميذي الجزء 7 ص 1
“Dari Ibnu ‘Abbas ra. Berkata, bahwa Rasulullah melarang adu antara satwa”. dalam riwayat lain juga disebutkan:
 2564 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ عَنْ قُطْبَةَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ سِيَاهٍ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِى يَحْيَى الْقَتَّاتِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ التَّحْرِيشِ بَيْنَ الْبَهَائِمِ.
تحريش : الإغراء والتهييج السنن أبو داود (باب  في التحريش بين البهائم) الجزء 7 ص 477 .
          Perhatian “Syari’” terhadap satwa sampai adanya statement Rasulullah seperti diatas, bukan tanpa alasan, selain karena hal itu adalah bentuk kekejaman terhadap satwa sendiri. Selain itu, ajang adu binatang hanya digunakan untuk kesenangan. Bahkan di banyak tempat, adu ayam (sabung) justru dijadikan ajang perjudian. Jadi selain kekejaman terhadap satwa yang jelas-jelas terdapat larangan dari syari’at, pun juga dijadikan media maksiat berupa perjudian “al-Qimar”
          Untuk konteks ke Indonesiaan, dibeberapa tempat, adusatwa (Sabung) dijadikan tradisi atau sebuah acara adat istiadat. Acara yang masih dianggap sacral tersebut ternyata butuh perhatian, karena alasan-alsan diatas.
- قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ اللَّه كَتَبَ الْإِحْسَان عَلَى كُلّ شَيْء فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَة ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْح ، وَلْيُحِدَّ أَحَدكُمْ شَفْرَته وَلْيُرِحْ ذَبِيحَته ) أَمَّا ( الْقِتْلَة ) فَبِكَسْرِ الْقَاف ، وَهِيَ الْهَيْئَة وَالْحَالَة ، وَأَمَّا قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( فَأَحْسِنُوا الذَّبْح ) فَوَقَعَ فِي كَثِير مِنْ النُّسَخ أَوْ أَكْثَرهَا ( فَأَحْسِنُوا الذَّبْح ) بِفَتْحِ الذَّال بِغَيْرِ هَاء ، وَفِي بَعْضهَا ( الذِّبْحَة ) بِكَسْرِ الذَّال وَبِالْهَاءِ كَالْقِتْلَةِ ، وَهِيَ الْهَيْئَة وَالْحَالَة أَيْضًا  قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( وَلْيُحِدَّ ) هُوَ بِضَمِّ الْيَاء يُقَال : أَحَدّ السِّكِّين وَحَدَّدَهَا وَاسْتَحَدَّهَا بِمَعْنًى ، وَلْيُرِحْ ذَبِيحَته ، بِإِحْدَادِ السِّكِّين وَتَعْجِيل إِمْرَارهَا وَغَيْر ذَلِكَ ، وَيُسْتَحَبّ أَلَّا يُحِدّ السِّكِّين بِحَضْرَةِ الذَّبِيحَة ، وَأَلَّا يَذْبَح وَاحِدَة بِحَضْرَةِ أُخْرَى ، وَلَا يَجُرّهَا إِلَى مَذْبَحهَا . وَقَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَة ) عَامّ فِي كُلّ قَتِيل مِنْ الذَّبَائِح ، وَالْقَتْل قِصَاصًا ، وَفِي حَدّ وَنَحْو ذَلِكَ . وَهَذَا الْحَدِيث مِنْ الْأَحَادِيث الْجَامِعَة لِقَوَاعِد الْإِسْلَام . وَاللَّهُ أَعْلَم . شرح النواوي على المسلم الجزء 6 ص 445
         








          Dari hadits diatas, bisa diambil kesimpulan, menghilangkan ruh (Menyembelih) dapat legalitas secara syar’i, namun Islam juga memberikan tuntunan penyembelihan, diantaranya dengan menggunkan pisau yang tajam. Hal ini ditujukan agar rasa sakit yang akan dialami oleh satwa tidak lama dan berlarut, sehingga tidak masuk dalam kategori penyiksaan terhadap satwa yang jelas-jelas diharamkan. Bahkan dalam hal menajamkan pisau yang hendak dibuat menyembelihpun, sangat dianjurkan agar tidak didepan satwanya, dan penyembelihan juga dilakukan ditempat lain, agar satwa-satwa yang menunggu giliran tidak melihat proses penyembelihannya.
- التّحريش بين النّاس بقصد الإفساد حرام ، لأنّه وسيلة لإفساد ذات البين ، واللّه لا يحبّ الفساد . ومن صور التّحريش : النّميمة . قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم : « ألا أخبركم بأفضلَ من درجةِ الصّيام والصّلاة والصّدقة ؟ قالوا : بلى . قال : صلاح ذات البَيْن ، فإنّ فساد ذات البين هي الحالقة » أمّا تحريش الحيوان - بمعنى الإغراء والتّسليط والإرسال بقصد الصّيد - فمباح كإرسال الكلب المعلّم ، وما في معناه من الحيوانات .
ولا خلاف بين الفقهاء في حرمة التّحريش بين البهائم ، بتحريض بعضها على بعض وتهييجه عليه ، لأنّه سفه ويؤدّي إلى حصول الأذى للحيوان ، وربّما أدّى إلى إتلافه بدون غرض مشروع .
وجاء في الأثر : « نهى رسول اللّه صلى الله عليه وسلم عن التّحريش بين البهائم » . ويحرم التّحريش بين المسلمين بقصد الإفساد وإثارة الفتنة بينهم . وقال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم : « إنّ الشّيطان قد يئس أن يعبد في جزيرة العرب ، ولكن في التّحريش بينهم » . أمّا الإغراء على فعل مشروع فيسمّى تحريضاً ، ومنه التّحريض على ركوب الخيل ، والتّدرّب على الرّمي ، وفنون القتال وهو جائز .
الموسوعة الفقهية الجزء 2 ص 3626
          Adu Binatang sebenarnya terbagi menjadi dua bagian.
1.      Adu Skill antar hewan, dalam masalah adu skill ini, maka yang menjadi tinjauan hukum adalah :
a.       Tujuannya,
b.      Proses adu skill.
مبحث المسابقة بالخيل وغيرها والرمي بالسهم ونحوه
نهت الشريعة الإسلامية عن تعذيب الحيوان بغير الذبح للأكل فلا يحل إرهاق الحيوان بالأحمال الثقيلة التي لا يطيقها ولا يحل تعذيبه بدفعه إلى السير الزائد عن قدرته ولكن يستثنى من هذه القاعدة إباحة المسابقة بين الخيل بعضها مع بعض أو بينها وبين الجمال أو بين الجمال بعضها مع بعض لأن المسابقة عليها مران على الجهاد ولذا قال بعض الأئمة : إنها تكون فرضا إذا كانت طريقا للجهاد والدفاع عن البلاد كما هومفصل في المذاهب الى ان قال......................ويحرم نطاح الكباش وصراع البقر ومهارشة الديكة " مضاربتها " ونحو ذلك مما فيه تعذيب للحيوان وضياع للوقت بدون فائدة تعود على الإنسان ومن اتخذ ذلك وسيلة لكسب المال من ضعاف العقول وفاسدي الأمزجة كان كسبه خبيثا
 وكل ما يحل فإن الفرجة عليه تحل أما ما لا يحل فإنه يحرم مشاهدته والتفرج عليه
الفقه على مذاهب الأربعة ( مبحث المسابقة بالخيل وغيرها) المكتبة الشاملة  الإصدار الثاني ( الجزء 2 ص 49 )


2.      Adu Jasmani (Haram)dengan alasan:
a.       Menyakitkan terhadap satwa.
b.      Memberatkan/ melelahkan terhadap hewan (yang tidak ada manfaatnya)
c.       Tujuannya hanya untuk kesenangan.
قَوْلُهُ : ( لُعِنَ مَنْ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا ) الْغَرَضُ بِفَتْحِ الْغَيْنِ الْمُعْجَمَةِ وَالرَّاءِ : وَهُوَ الْمَنْصُوبُ لِلرَّمْيِ ، وَاللَّعْنُ : دَلِيلُ التَّحْرِيمِ .
قَوْلُهُ : ( أَنْ تُصَبَّرَ الْبَهَائِمُ ) بِضَمِّ أَوَّلِهِ : أَيْ تُحْبَسَ لِتُرْمَى حَتَّى تَمُوتَ ، وَأَصْلُ الصَّبْرِ : الْحَبْسُ قَالَ النَّوَوِيُّ : قَالَ الْعُلَمَاءُ : صَبْرُ الْبَهَائِمِ أَنْ تُحْبَسَ وَهِيَ حَيَّةٌ لِتُقْتَلَ بِالرَّمْيِ وَنَحْوِهِ وَهُوَ مَعْنَى { لَا تَتَّخِذُوا شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا } أَيْ لَا تَتَّخِذُوا الْحَيَوَانَ الْحَيَّ غَرَضًا تَرْمُونَ إلَيْهِ كَالْغَرَضِ مِنْ الْجُلُودِ وَغَيْرِهَا .
وَهَذَا النَّهْيُ لِلتَّحْرِيمِ ، وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مَا وَرَدَ مِنْ لَعْنِ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ كَمَا فِي حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ ، وَلِأَنَّ الْأَصْلَ فِي تَعْذِيبِ الْحَيَوَانِ وَإِتْلَافِ نَفْسِهِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ التَّحْرِيمُ قَوْلُهُ : ( دَجَاجَةً ) بِفَتْحِ الدَّالِ الْمُهْمَلَةِ ، وَفِي الْقَامُوسِ : وَالدَّجَاجَةُ مَعْرُوفٌ لِلذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَتُثَلَّثُ . وَهَذِهِ الرِّوَايَةُ مُفَسِّرَةٌ لِمَا وَقَعَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ بِلَفْظِ " نَصَبُوا طَيْرًا " قَوْلُهُ : ( عَنْ إخْصَاءِ الْخَيْلِ ) الْإِخْصَاءُ : سَلُّ الْخُصْيَةِ . قَالَ فِي الْقَامُوسِ : وَخَصَاهُ خَصْيًا : سَلَّ خُصْيَتَهُ . وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِ خَصْيِ الْحَيَوَانَاتِ ، وَقَوْلُ ابْنِ عُمَرَ " فِيهَا نَمَاءُ الْخَلْقِ " أَيْ زِيَادَتُهُ إشَارَةً إلَى أَنَّ الْخَصْيَ مِمَّا تَنْمُو بِهِ الْحَيَوَانَاتُ ، وَلَكِنْ لَيْسَ كُلُّ مَا كَانَ جَالِبًا لِنَفْعٍ يَكُونُ حَلَالًا بَلْ لَا بُدَّ مِنْ عَدَمِ الْمَانِعِ ، وَإِيلَامُ الْحَيَوَانِ هَهُنَا مَانِعٌ لِأَنَّهُ إيلَامٌ لَمْ يَأْذَنْ بِهِ الشَّارِعُ بَلْ نَهَى عَنْهُ قَوْلُهُ : ( عَنْ التَّحْرِيشِ بَيْنَ الْبَهَائِمِ ) قَالَ فِي الْقَامُوسِ : التَّحْرِيشُ : الْإِغْرَاءُ بَيْنَ الْقَوْمِ أَوْ الْكِلَابِ ا هـ . فَجَعَلَهُ مُخْتَصًّا بِبَعْضِ الْحَيَوَانَاتِ . وَظَاهِرُ الْحَدِيثِ أَنَّ الْإِغْرَاءَ بَيْنَ مَا عَدَا الْكِلَابَ مِنْ الْبَهَائِمِ يُقَالُ لَهُ تَحْرِيشٌ . وَوَجْهُ النَّهْيِ أَنَّهُ إيلَامٌ لِلْحَيَوَانَاتِ وَإِتْعَابٌ لَهَا بِدُونِ فَائِدَةٍ بَلْ مُجَرَّدُ عَبَثٍ . نيل الأوطار (المكتبة الشاملة  الإصدار الثاني) . الجزء 12 ص 401 (قوله: والديك إلخ) أي وحرم بيع الديك للمهارشة، أي المحارشة، وتسلط بعضها على بعض. قال في القاموس: التهريش: التحريش بين الكلاب، والافساد بين الناس. والمحارشة: تحريش بعضها على بعض. إعانة الطالبين الجزء 3 ص 30
Catatan :
          Tinjauan hukum, dalam konteks ke-Indonesia-an, maka kasus adu satwa jasmani perlu lebih diperhatikan. Mengingat :
1.      Adu Satwa yang telai menjadi tradisi, sudah sangat disebagian masyarakat (karena menjadi salah satu prosesi upacara adat istiadat.
2.      Tingkat kesadaran masyarakat yang masih minim tentang kesejahteraan satwa.
      Maka hukum perlu dilihat dari segi “madharat dan manafi’”.
Manafi’ yang dapat dicapai :
1.      Mempertahankan adat istiadat.
2.      Kesenangan masyarakat.
Madharat yang diadapat:
1.      Ta’dzibul hayawan (penyiksaan terhadap hewan)
2.      Adanya larangan keras dari syari’ mengenai adu satwa (fisik)
3.      Undang-undang Negara



          Tinjauan “Tradisi” dalam islam bisa dilegalkan secara syariat ketika tidak bertentangan sebuah nash. Sedangkan masalah adu satwa, walaupun telah dijadikan tradisi, namun dalam kenyataannya, jelas bertentangan dengan kedua hadits diatas.
          Maka hukum “Adu Satwa” secara fisik, adalah haram. Solusi :
1.             Mensosialisasikan pemahaman tentang kerugian yang bisa terjadi sebab “AduSatwa”
2.             Menumbuhkan kesadaran.
3.             Peran aktif antar semua lapisan masyarakat, baik pemerintah dan tokoh masyarakat.
          Hukum haram sesuai pada dua hukum: Haram Dzati dan ‘Aridhi







Previous
Next Post »