Hosting Unlimited Indonesia

Kaidah Fiqih / Fiqh ( Qawa’id Fiqhiyyah )

QAWAID FIQHIYYAH SEBAGAI
LANDASAN PERILAKU EKONOMI UMMAT ISLAM:
SUATU KAJIAN TEORETIK
Abstrak
Qawa’id fiqhiyyah sebagai landasan umum dalam perilaku sosial memberikan panduan bagi masyarakat untuk melakukan interaksi dengan sesamanya. Tulisan ini melaporkan hasil penelitian terhadap qawa’id dan implikasinya dalam pemikiran dan perilaku ekonomi dalam masyarakat.

Dalam hal ini, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran. Para ulama dan fuqaha terdahulu, sejak akhir abad ke-2 Hijriyyah telah merintis batu peletakan qawa’id melalui karya-karya agung mereka, yang sampai kini masih terlihat manfaatnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan modern, termasuk ekonomi. Para ulama/fuqaha dari keempat madzhab kaidah fiqih / fiqh tersebut menyusun qawa’id dalam jumlah yang begitu banyak, sebagiannya sama atau serupa, sehingga susah untuk diketahui jumlahnya secara pasti.

Fokus penelitian ini pada 99 (sembilan puluh sembilan) qawa’id yang disusun para ulama pada Dinasti Turki Usmani, yaitu al-majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah pada sekitar awal abad ke-13 Hijriyah atau tepatnya sekitar tahun 1286 H. Dari keseluruhannya, terdapat lebih dari 70 (tujuh puluh) qawa’id yang dapat dijadikan rujukan untuk diturunkan ke dalam pemikiran dan perilaku ekonomi modern.


BAB 1
PENDAHULUAN


1.1.   Latar Belakang
Sebagai landasan aktifitas ummat Islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-maksud ajaran Islam (maqasidusy syaricah) secara lebih menyeluruh, keberadaan Qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting, termasuk dalam kehidupan berekonomi. Baik di mata para ahli usul (usuliyyun) maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran dalam masalah muamalat atau lebih khas lagi ekonomi. Manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari nash asalnya yaitu al-qur’an dan al-Hadits kepada masyarakat. Maqasidusy syaricah diturunkan kepada manusia untuk memberi kemudahan dalam pencapaian kebutuhan ekonomi, yang dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:
1)    Menjaga dan memelihara kepentingan primer atau Dharuriyyat (basic necessities) yang biasa didefinisikan oleh para ulama dengan 5 (lima) elemen cakupan yaitu: agama, kehidupan (jiwa) akal, keturunan dan kekayaan
2)    Memenuhi kebutuhan sekunder atau Hajjiyyat yaitu kebutuhan-kebutuhan seperti kendaraan dan sebagainya sebagai fasilitas hidup manusia; serta
3)    Mencapai kebutuhan tersier atau Tahsiniyyat (kemewahan) untuk melengkapi kebutuhan manusia dalam hal memperindah kehidupan dengan sedikit kemewahan secara tidak berlebihan,

Dengan qawa’id fiqhiyyah ini para ulama dan fuqaha dapat menyiapkan garis panduan hidup bagi ummat Islam dalam lingkup yang berbeda dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Sebagaimana diketahui Islam memberi kesempatan kepada ummatnya melalui mereka yang memiliki otoritas yaitu para ulama untuk melakukan ijtihad dengan berbagai caara yang dituntunkan oleh Rasulullah, melalui ijma’, qiyas, istihsan, istishab, istislah (masalihul-mursalah) dan sebagainya untuk mencari kebenaran yang tak ditemukan dalam al-Qur’an maupun Hadts Rasulullah SAW. Demikian pula, dalam kehidupan ekonomi, atau yang dalam khazanah karya para fuqaha terdahulu biasa disebut muamalat, pemakaian qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting.

Ratusan atau bahkan mungkin ribuan qawa’id telah dirumuskan oleh para fuqaha dari kalangan empat madzhab. Ash-Shiddieqie (1981) memandang qa’idah sebagai sebuah perangkat yang cukup penting sebagai panduan untuk menurunkan kaidah yang memerlukan pembuktian. Para fuqaha terdahulu menyusun qawa’id dalam suatu panduan yang disebut al-Asybah wan-Nazhaair. Istilah ini dipakai pertama kali oleh Khalifah Umar bin Khaththab ketika menunjuk Abu Musa al-‘Asycari menjadi Qadhi di Bashra, dengan menyatakan “Fahami tentang penampakan dan kemiripan suatu masalah (al-Asybah wan-Nazhaair), kemudian tetapkan qiyas untuk masalah yang serupa.” Para fuqaha sepakat bahwa proses pemahaman dan penurunan qawa’id ini sama dengan proses yang dilakukan oleh para usuliyyun dalam menurunkan panduan hukum berupa Qawa’id al-Usuliyyah berdasarkan metode qiyas.

Terdapat sejumlah qawa’id fiqhiyyah yang dirumuskan oleh para ulama/fuqaha, sebagai bagian dari fatwa mereka, yang menyinggung persoalan perilaku ekonomi umat Islam. Sebagi contoh: ‘al-aadah muhakkamah atau kebiasaan dapat menjadi dasar hukum. Dalam suatu masyarakat, dimana transaksi jual beli dalam skala kecil biasa dilaukan tanpa harus menyebutkan ‘aqadnya, maka apabila antara penjual dan pembeli sudah saling memahami akan terjadinya transaksi tersebut, sebagaimana kebiasaan pada masyarakat yang bersangkutan, maka proses transaksi yang memberi kemudahan tersebut dianggap sah.

1.2.   MAKSUD DAN TUJUan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
a)    Mengetahui besarnya kontribusi para fuqaha terdahulu dalam meyusun qawa’id fiqhiyyah;
b)    Mengetahui kontribusi dan mengukur relevansi qawa’id fiqhiyyah dalam  pemikiran dan perilaku ekonomi ummat; dan

1.3.   METODOLOGI
1.3.1. Sumber Pustaka
Penelitian ini berbentuk studi literatur yang berkaitan dengan topik utama yaitu qawa’id fiqhiyyah. Sumber-sumber pustaka didapatkan dari sumber-sumber berikut:
a)      Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY);
b)      Koleksi buku-buku pribadi penulis tentang ekonomi Islam;
c)      Perpustakaan International Islamic University Malaysia (IIUM); dan
d)      Sumber-sumber lain yang dirasa perlu.

1.3.2. Metode Analisa
Literatur yang relevan diteliti secara langsung, baik dari karya-karya para fuqaha terdahulu dalam bentuk manuskrip, maupun karya-karya para ulama, cendekiawan atau fuqaha terkemudian dalam bentuk komentar atau hasil penelitian terhadap manuskrip tersebut. Qawa’id tersebut selain diklasifikasikan berdasar:
1)    Madzhab dalam pemikiran fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hanbali); dan
2)    Qawa’id sebagai landasan pemikiran, gerak dan perilaku ekonomi.

Kendala penelitian menghendaki peneliti untuk membatasi analisa hanya berdasarkan 99 (sembilan puluh sembilan) qawa’id yang terdapat dalam Al-majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah karya para ulama Dinasti Turki Usmani, yang dianggap cukup representative.



bab 2
Studi tentang Qawa’id Fiqhiyyah


2.1. Pengertian dan Batasan

Dalam Dictionary of Modern Written Arabic, karya Milton Cowan (ed) kata qa’idah (قاعدة) atau jama’nya qawa’id (قواعد) secara literal berarti: asas, landasan, dasar, basis atau fondasi suatu bangunan atau ajaran agama dan sebagainya. Dalam pengertian yang lebih khas, qa’idah dapat juga bermakna ajaran, garis panduan, formula, pola atau metode. Qa’idah memiliki makna yang sama dengan ‘asas’ atau ‘prinsip’ yang mendasari suatu bangunan, agama atau yang semisalnya (al-Nadwi, 1991).

Dari sisi pengertian menurut ilmu fiqh, Nadwi (1991) dan juga al-Jurjani (Djazuli, 2006) mendifinisikan qai’dah sebagai aturan umum atau universal (kuliyyah) yang dapat diterapkan untuk semua yang bersifat khusus atau bagian-bagiannya (juz’iyyah). Sedang dalam pandangan para fuqaha yang lain qa’idah adalah aturan umum yang mencakup sebagian besar (aghlabiyyah) dari bagian-bagiannya (Nadwi). Mukhtar dkk (1995b) menyimpulkan qa’idah sebagai aturan umum yang diturunkan dari hukum-hukum furu’ yang sejenis dan jumlahnya cukup banyak.

Berdasarkan penelitian terhadap kitab-kitab dan riwayat hidup para penyusunnya, aturan fiqih dalam bentuk qa’idah ini dapat tersusun melalui suatu proses yang panjang dan tidak terbentuk sekaligus sebagai sebuah bangunan pengetahuan (body of knowledge) tentang qa’idah sekaligus, melainkan secara bertahap (Jazuli, 2006). Menurut Jazuli, sebelum al-Karkhi dari madzhab Hanafi, sebelumnya telah ada pengumpulan qa’idah, namun tampaknya tidak tersusun menjadi karya sistematis, oleh seorang ulama madzhab Hanafi lainnya, yaitu Abu Thahir ad-Dibasi hidup diakhir abad ke 3 Hijriyah sampai dengan awal abad ke empat. Sebanyak 17 qa’idah telah disusun oleh ad-Dibasi, yang kemudian juga disampaikan kepada seorang ulama madzhab as-Syafii yaitu Abu Sa’id al-Harawi. Dari sumber ad-Dibasi, al-Karkhi mengembangkannya lebih lanjut menjadi 36 qa’idah (an-Nadwi, 1997) atau 37 qa’idah (Jazuli). Proses pembentukan qa’idah dilukiskan oleh Jazuli sebagai berikut:












Gambar 1: Proses penyusunan Qawa’id Fiqhiyyah











Qawa’id disusun berdasarkan materi-materi fiqh, untuk selanjutnya diverifikasi untuk mendapatkan hasil qawa;id yang lebih sempurna, untuk kemudian tersusun kembali fiqh sebagai kelengkapan dari khazanah fiqh yang telah ada, kemudian ketentuan-ketentuan hukumnya menjadi hasil akhir dari proses tersebut.

2.2. Posisi Qawa’id Fiqhiyyah dalam Syari’ah Islam

Proses penerapan aturan syar’i dalam qa’idah menurut Mahmassani (1980) sama dengan penerapan metodologi qiyas dalam memilih aturan yang tepat dalam usul fiqh. Apabila aturan rinci sebagaimana dijumpai pada al-Asybah wan-Nazhair muncul dari kasus yang serupa, maka qa’idah dengan sendirinya dapat diterapkan. Nadwi (1991) dan Mahmassani berpendapat bahwa tulisan tentang qawa’id fiqhiyyah tersusun sejak mulai abad ke delapan Hijriyah, melalui karya Ibnul Wakil as-Syafi’i (716 H), Tajuddin as-Subki (771 H), Ibnul Mulaqqin (804 H), dan yang lebih monumental lagi karya Jalaluddin as-Suyuti (911 H). Satu karya yang juga tak kalah pentingnya adalah berasal dari madzhab Hanafi yaitu karya Ibnu Nujaim (970 H).

Dalam ketiga kitab al-Asybah wan-Nazhair karya Tajuddin as-Subki, Jalaluddin as-Suyuti maupun Ibnu Nujaim (970 H), pembedaan antara qa’idah umum atau asas dengan qa’idah khusus atau rinci (detail) dijelaskan secara memadai. As-Subki dan as-Suyuti merumuskan Lima qa’idah asasiyyah yang dikenal dengan al-Asasiyyatul-Khamsah, yang kemudian disusun dalam al-Majallah yang dikeluaran pada jaman pemerintahan Turki Usmani, yaitu:
1) Artikel-2  Al-umuur bimaqaasidihaa (الأمور بمقاصدها) atau setiap perkara itu ditetukan berdasarkan niatnya;
2) Artikel -4 Al-yaqiin laa yuzaalu bisy-syakk (اليقين لا يزال بالشك) yaitu sesuatu yang pasti tidak dapat dihapus oleh keraguan. Dalam hal lain disebutkan Al-yaqiin laa yazuulu bisy-syakk (اليقين لا يزول بالشك) atau sesuatu yang pasti tidak dapat berubah disebabkan oleh keraguan;
3) Artikel -17    Al-musyaqqah tajlibut taysiir (المشقة تجلب التيسير) atau kesulitan itu mendatangkan kemudahan;
4) Artikel -21    Adh-dhararu yuzaalu (الضرر يزال) atau kemadharatan hendaknya dihapuskan; dan
5) Artikel -36    Al-‘aadah muhakkamah (العادة محكمة) atau adat kebiasaan dapat menjadi sumber hukum.

Sementara itu Ibnu Nujaim menambah satu lagi qa’idah asas sehingga menjadi enam, yaitu laa tsawaaba illaa bin-niyyah
 لا ثواب الا بالنية
atau tidak ada pahala bagi perbuatan yang tidak disertai dengan niat, yang kemudian menjadi qa’idah asas yang berlaku di kalangan madzhab Hanafi. Sementara itu di kalangan madzhab Maliki, qa’idah ini menjadi cabang dari qa’idah al-umuur bimaqaasidihaa.

Dalam penerapannya, Jazuli mengklasifikasikan qawa’id dalam enam bidang, yaitu ibadah mahdhah (khusus), ahwal as-Syahshiyyah (hal-ikhwal pribadi dan keluarga), mu’amalah (transaksi ekonomi), jinayah (kriminalitas), siyasah (politik), dan fiqh qadha (hukum acara dan peradilan). Namun demikian penerapan qa’idah untuk bidang mu’amalah tidak banyak menyinggung masalah penerapan untuk perekonomian modern secara umum. Disini keberadaan qawa’id fiqhiyyah menjadi lebih jelas maknanya.

2.3. Qawa’id Fiqhiyyah dalam Masalah Ekonomi
Beberapa qa’idah fiqhiyyah memberi ruang kepada pemikiran ataupun praktek-praktek ekonomi, sebagaimana yang juga diklasifikasikan oleh Jazuli (2006). Dalam karyanya, al-Fiqh al-Islam fi Tsaubihi at-Tajdid, terbitan tahun 1963, Muhammad Mustafa az-Zarqa, sebagaimana dikutip oleh Jazuli (2006), menyebutkan setidaknya 25 qawa’id yang terkait dengan transaksi muamalah. Seiring perkembangan jaman, keperluan adanya kaidah yang lebih banyak, nampaknya tidak dapat dihindarkan. Sedangkan Jazuli sendiri menyebutkan 20 qawa’id yang memberi ruang kepada transaksi ekonomi dan muamalah.

Diantara qawa’id yang paling mendasar dalam masalah ini adalah al-aslu fi al-mu’amalah al-ibaahah illaa an-yadull daliil ‘alaa tahriimihaa.
الأصل فى المعاملة الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Ini menjadi alasan bagi setiap bentuk transaksi perdagangan dan ekonomi menjadi halal kecuali jelas ada alasan yang melarangnya. Hanya penulis tidak menemukan qawa’id ini dalam al-majallah.








BAB 3

QAWA’ID DALAM PEMIKIRAN EMPAT MADZHAB FIQH

Berdasarkan sumber-sumber yang diteliti, keempat madzhab banyak memberikan kontribusi dalam pengembangan qawa’id fiqhiyyah. Masing-masing madzhab memiliki setidaknya seorang termasyhur dalam pengembangan qawa’id fiqhiyyah tersebut. Pemikiran keempat madzhab dalam qawa;id dipaparkan dalam keempat sub-bab dibawah ini.

3.1. Qawa’id dalam Pemikiran Madzhab Hanafi
Berdasarkan bahan yang terkumpul dalam penelitian, terdapat enam karya dari kalangan madzhab Hanafi antara lain
a)    Usuul al-Karkhi karya cUbaidullah ibn Hasan al-Karkhi (260-340 H)
b)    Ta’siis al-Nadzr karya al-Qadhi, cUbaidullah ibn cUmar ad-Dabusi (430 H)
c)    Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Zainudddin ibn Ibrahim Ibn Nujaim  (970 H)
d)    Majaamic al-Haqaa’iq yang ditulis oleh Abu Sa cid al-Khadimi. ( 1176 H),
e)    Al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah oleh Komite ‘Ulama Daulah cUsmaniyyah (1286 H), dan
f)     Al-Faraa’id al-Bahiyyah fi al-Qawaacid al-Fawaa’id al-Fiqhiyyah karya Ibn Hamzah al-Husaini  (1305 H).

Diantara keenam karya tersebut, Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah merupakan satu-satunya karya yang ditulis oleh sebuah tim yaitu para ‘Ulama yang ditunjuk oleh Pemerintah Daulah Usmaniyah di Turki. Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah terdiri dari 99 qawa’id ditambah dengan sebuah pendahuluan, yang tersusun dalam 1851 ayat.

Ushuul Al-Karkhi memuat 36 qawa’id yang menurutnya disebut qawa’id al-Asl atau qawa’id asal, yang kemudian diberikan komentar atau syarah oleh Najmuddin an-Nasafi yang juga dari madzhab Hanafi. Sementara itu, karya Ibnu Nujaim, Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir, merupakan sebuah karya yang masyhur dari kalngan madzhab Hanafi. Karya ini terdiri dari 6 (enam) qawa’id dasar (qawa’id al-asasiyyah)—5 (lima) diantaranya juga dimuat dalam al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah ayat-ayat 2, 4, 17, 21 dan 36—ditambah dengan 19 (sembilan belas) qawa’id cabang atau al-furu’iyyah. Karya Ibnu Nujaim ini juga mendapat tanggapan luas dari berbagai kalangan madzhab Hanafi, dengan ditulisnya beberapa ulasan atau komentar para fuqaha terkemudian, empat diantaranya adalah:
a)    Tanwiir al-Bashaa’ir  calal-Asybaah wan-Nazhaa’ir (1005 H) oleh  cAbdul-Qadir Sharif uddin al-Ghazzi;
b)    Ghamzu cUyuun al-Bashaa’ir Syarh al-Asybaah wan-Nazhaa’ir  (1098 H) oleh Ahmad ibn Muhammad al-Hamawi;
c)    cUmdatu dzawil-Basyaa’ir li-Halli Muhtamaati al-Asybaah wan-Nazhaa’ir (1099H.) karya Ibrahim ibn Hussain, yang lebih dikenal sebagai Ibnu Biri al-Makkati.
d)    cUmdatu an-Naadzir  cala al-Asybaah wan-Nazhaa’ir oleh Abu Su cud al-Husaini.

3.2. Qawa’id dalam Pemikiran Madzhab maliki
Dari mahdzhab Maliki, beberapa ulama juga menyumbangkan tulisan tentang qawa’id fiqhiyyah. Karya dari kalangan madzhab Maliki tidak sebanyak dari madzhab Hanafi dan Syafii. Karya-karya tersebut antara lain adalah:
a)    Anwaar al-Buruuq fi Anwaar al-Furuuq atau lebih dikenal juga sebagai: Al-Furuuq; Kitab al-Anwaar wal-Anwaa’; atau  Kitab al-Anwaar wal-Qawaacid as-Sunniyyah  oleh al-Imam Syihabudin cAbdul-Abbas Ahmad as-Sonhaji al-Qarafi (260-340 H);
b)    Al-Qawaacid oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Muqarri  (758 H);
c)    Iidhaah al- Masaalik ilaa Qawaacid al-Imaam Maalik hasil karya Ahmad ibn Yahya ibn Muhammad at-Tilmisani al-Winsyarinsi (914 H);
d)    Al-Iscaaf bit-Thalab Mukhtasar Sharh al-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab karya as-Syaikh Abul-Qasim ibn Muhammad at-Tiwani ( 995 H)

Karya terakhir, at-Tiwani, al-Is’aaf, diulas dengan sajian  ringkas oleh setidaknya Abul-Hasan cAli ibn Qasim al-Zaqqaq, al-Fasi, at-Tujibi  dalam al-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab (912 H), dan dikomentari oleh Ahmad ibn cAli al-Fasi al-Maghribi

Sementara itu madzhab Syafii paling banyak memberikan kontribusi qawa’id fiqhiyyah dalam khazanah fiqh Islam. Pengaruhnya di Indonesia juga cukup meluas, utamanya karya salah seorang faqih besar seperti Jalaludin as-Suyuti yang menulis al-Asybaah wan-Nazhaa’ir dalam beberapa jilid. Jilid 1 berisi tentang qawa’id dasar (asas) sebanyak lima buah sebagaimana yang disebutkan dalam al-Majallah di atas. Qawa’id ini juga cukup popular, bukan saja di indoneisa melainkan juga di wilayah negeri-negeri Muslim lainnya, termasuk Malaysia dan juga di Timur Tengah. Di kalangan madzhab Syafii, kelima qawa’id ini dianggap sebagai qawa’id yang utama. Kitab 2 al-Asybaah wan-Nazhaa’ir berisi tentang qawa’id umum (‘amm) sebanyak 40 qawa’id, sedang 20 qawa’id lagi masuk dalam kategori diperselisihkan kedudukannya, termuat dalam Jilid 3 – 7.

3.3. Qawa’id dalam Pemikiran Madzhab syafi’i
Secara lengkap, karya-karya tentang qawa’id fiqhiyyah di kalangan madzhab Syafii berdasarkan urutan sejarahnya antara lain adalah:
a)    Qawaacid al-Ahkaam fi Masaalih al-‘Anaam oleh cIzzuddin cAbdul cAziz ibn  cAbdus Salam  ( 577 - 660 H);
b)    Kitaab Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir karya Sadraddin Abi cAbdullah ibn Murahhil, Ibn Wakil al-Syafi ci (716 H);
c)    Majmuual-Mudzhab fil-Qawaacid al-Madzhab oleh Salahuddin Abi Sa cid al-cAla’i as-Syafi ci  (761 H);
d)    Al-Asybaah wa al-Nazhaa’ir oleh cAbdul-Wahhab ibn cAli Tajuddin as-Subki  (771 H);
e)    Al-Manthuur fi Tartiib al-Qawaacid al-Fiqhiyyah aw al-Qawaacid fi al-Furuuc oleh  Muhammad ibn Bahadur Badruddin az-Zarkashi (794 H);
f)     Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir karya Sirajudddin cUmar ibn cAli al-Ansari, yang lebih terkenal dengan pangggilan Ibnul-Mulaqqin (804 H);
g)    Al-Qawaacid oleh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad ibn cAbdul-Mu’min, al-Hisni (829 H);
h)   Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Jalaluddin cAbdur Rahman ibn Abi Bakr ibn Muhammad as-Suyuthi (al-Asyuthi) (804 H); dan
i)     Al-Istighnaa’ fi al-Furuuq wa al-Istithnaa’ karya Badruddin Muhammad ibn Abi Bakr ibn Sulaiman al-Bakri
Di atas telah disinggung sedikit tentang karya as-Suyuthi, al-Asybaah wan-Nazhaa’ir, yang cukup masyhudr di kalangan madzhab Syafi’i. Selain karya as-Suyuthi, kitab Majmuu’ul Madzhab karya al-‘Alai jug amendapat perhatian para fuqaha madzhab Syafii, seperti ulasan-ulasan yang diberikan dalam kitab Mukhtashar al-Qawaacid al-‘Alai seperti oleh:
a)    Al-‘Allamah as-Syarkhadi (792 H) yang merupakan kombinasi dengan tulisan al-Isnawi untuk topik yang sama; dan
b)    Al-‘Allamah ibn Khatib ad-Dahsyah yang mengkombinasikan dengan kuliah-kuliah dari al-Isnawi

3.4. Qawa’id dalam Pemikiran Madzhab HANBALI
Di kalangan madzhab Maliki, terdapat setidaknya lima kitab karya para fuqaha mulai dari pertengahan abad ke-7, sejak karya Ibnu Taymiyyah  hingga abad ke-14 Hijriyyah pada periode al-Qari. Mereka antara lain:
a)    Al-Qawaacid al-Nuuraaniyyah al-Fiqhiyyah oleh Taqiyyuddin Abu al-cAbbas Ahmad ibn cAbd al-Halim ibn Taymiyyah (661 - 728 H);
b)    Al-Qawaacid al-Fiqhiyyah oleh Sharifuddin Ahmad ibn al-Hasan, ibn Qadhi al-Jabal al-Maqdisi (771 H);
c)    Taqriir al-Qawaacid wa Tahriir al-Fawaa’id  (al-Qawaacid) karya cAbdurrahman Shihab ibn Ahmad ibn Abi Rajab (Ibn Rajab) al-Hanbali (795H);
d)    Al-Qawaacid al-Kulliyyah wa al-Dhawaabit al-Fiqhiyyah (771 H) karya Jamaluddin Yusuf ibn Hasan ibn Ahmad ibn cAbdul-Hadi (1309-1359 H); dan
e)    (Qawaacid) Majallah al-Ahkaam al-Shar ciyyah calaa Madzhab al-Imaam Ahmad ibn Hanbal oleh Ahmad ibn cAbdullah al-Qari  (1309-1359 H)

Secara ringkas, karya tentang qawa’id fiqhiyyah dan para penulis yang memberikan kontribusinya dapat dipaparkan dalam Table 1 berikut ini:

Table 1
Qawa’id dalam Karya Empat Madzhab Fiqh

Nama/Sebutan Kitab
Penulis
Periode
(Hijriyah)
Jumah Qawaid
1) Hanafi
Usuul al-Karkhi
al-Karkhi
260-340
36 (asl)
Ta’siis an-Nadzr
Abi Zaid al-Dabusi
430
86
Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir
Ibn Nujaim  

 6 Asas
19 Furu’
Majaamic al-Haqaa’iq
al-Khadimi
1176
154 
Majallah al-Ahkaam al- cAdliyyah
Daulah al- cUsmaniyyah
1286
99 
Al-Faraa’id al-Bahiyyah fil-Qawaacid al-Fawaa’id al-Fiqhiyyah
Ibn Hamzah al-Husaini  
1305
30
2) Maliki
Al-Furuuq; Kitab al-Anwaar wal-Anwaa’; or  Kitab al-Anwaar wal-Qawaacid as-Sunniyyah
Syihabuddin al-Qarafi
260-340
548 
Al-Qawaacid

al-Muqarri  
758
100
Iidhaah al- Masaalik ilaa Qawaacid al-Imaam Maalik
Ahmad al-Winsyarinsi
914
118
Al-Iscaaf bit-Talab Mukhtasar Syarhul-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab
at-Tiwani
912

3) Syafii
Qawaacid al-Ahkaam fi Masaalih  al-‘Anaam

cIzzuddin cAbd as-Salam  
577-660
-
Kitaab Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir
Ibn Wakil as-Syafii
716
-
Majmuual-Mudzhab fi al-Qawaacid al-Madzhab

Salahuddiin al-cAla’i
761
20 
Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir
Tajuddin as-Subki  
771
60 
Al-Mantsuur fi Tartiib al-Qawaacid al-Fiqhiyyah awil-Qawaacid fil-Furuuc

Badruddin az-Zarkashi
794
100 
Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir
Ibn al-Mulaqqin
804

Al-Qawaacid
cAbd al-Mu’min, al-Hisni
829

Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir
as-Suyuthi
804
5 asas
40 ‘amm
20 ikhtilafi
Al-Istighnaa’ fil-Furuuq wal-Istitsnaa’

Badruddin al-Bakri
-
600
4) Hanbali
al-Qawaacid al-Nuuraaniyyah al-Fiqhiyyah
ibn Taymiyyah
661-728
-
al-Qawaacid al-Fiqhiyyah
Syarifudin al-Maqdisi
771

Taqriir al-Qawaacid wa Tahriir al-Fawaa’id  (al-Qawaacid)
Ibn Rajab al-Hanbali
795
160 
al-Qawaacid al-Kulliyyah wa al-Dhawaabit al-Fiqhiyyah
ibn cAbd al-Hadi
1309-1359

(Qawaacid) Majallah al-Ahkaam al-Shar ciyyah calaa Madzhab al-Imaam Ahmad
ibn Hanbal
Ahmad cAbdullah al-Qari 
1309-1359
160 

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

qawa’id fiqhiyyah

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

,

kaidah fiqh

Previous
Next Post »