Hosting Unlimited Indonesia

Ushul Fiqh

LAFADZ DI TINJAU DARI KETIDAK-JELASANNYA
OLEH : MOKHAMMAD AINUL YAQIN



PENDAHULUAN
Setelah membahas lafazh – lafazd yang jelas ma’nanya, berikut akan dibahas lafadz – lafadz yang tidak jelas ma’nanya (ghairul wadhih), yaitu lafadz yang ma’nanya tidak jelas secara mutlak, atau ma’na itu tidak jelas pada pengertiaanya yang ditunjuk (madlul) yang masuk dalam lingkup pengertiannya.
Lafadz yang tidak jelas ma’nanya kadangkala secara esensial memang tidak jelas, dan hanya Allah saja yang mengetahuinya. Bagian ini tidak termasuk dalam taklif (yang dibebankan), seperti huruf – huruf yang terdapat dalam beberapa awal surat, misalnya shad, kaf ha ya ‘ain shad, ‘Ain sin qaf dan seterusnya. Huruf –huruf seperti itu tidak jelas mana’nya bagi kita, secara khusus hanya Allah semata yang mengetahuinya, dan tidak pula ada satu nash yang menjelaskannya.
Kadangkala lafadz yang tidak jelas itu ada yang menjelaskannya, baik berupa Al- quran maupun sunah, karena sesungguhnya ayat–ayat al-Quran itu sebagian menerangkan yang lain. Sedangkan sunnah memang merupakan penjelasan (tafsir) al –Quran.
Ketidakjelasan suatu lafadz terkadang bukan karena lafadznya sendiri, akan tetapi segi penerapan lafadz itu pada sebagian madlul-nya. Bagian ini terbagi menjadi empat, yaitu : al- khafiy, al-Musykil, al- Mujmal dan al-mutasyabih.
PEMBAHASAN
Ketidak jelasan lafal menurut hanafiyah
Kalangan hanafiyah membahas lafal dari segi ketidak-jelasannya pada kajian khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih. Sementara itu kalangan jumhur ulama’ membahasnya pada kajian mujmal. Untuk lebih jelasnya masing – masing istilah tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini :
a, khafi
Khafi adalah lafal yang bisa menunjukkkan kepada artinya secara jelas, tetapi dalam menerapkan arti itu kepada kasus tertentu merupakan bentuk yang samar dan tidak jelas.
Ketidak-jelasan ini timbul karena bentuk kasus tersebut tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukkan oleh dalil yang ada. Contoh, arti pencuri pada ayat 38 surat al –Maidah :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (38)
Artinya : "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS.5 : 38)
Pengertian pencuri secara umum sangat jelas, yaitu orang yang mengambil harta milik orang lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yang layak. Kemudian timbul ketidak-jelasan ketika menerapkan ayat 38 surat al – maidah tersebut kepada tukang copet yang melakukan pencurian tanpa bersembunyi. Demikian pula pencuri kain kafan di kuburan yang tidak jelas siapa pemiliknya, lantaran mayit tidak punya hak milik. Karena kesamaran inilah maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam menetapkan hukum dari dua kasus tersebut. Dalam hal ini Abu Hanifah serta Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani tidak memasukkan dua kasus tersebut pada السارق (tidak menerapkan nash yang mewajibkan had /hukuman pencurian kain kafan dan pencopet).
Sedangkan Abu Yusuf beserta tiga imam lainnya : Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad, berpendapat bahwa pencurian kain kafan dan pencopet itu masuk ke dalam pengertian umum kata السارق, karena terbukti keduanya mengandung arti pencurian.
b, Musykil
Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya kerana banyak ma’na yang digunakan untuk mengartikan lafal tersebut, sehingga dalam upaya mengetahui pengertian ma’na yang dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan indikasi atau dalil dari luar. Misalnya lafal musytarak (lafal yang menunjukkan lebih dari satu ma’na yang berbeda) yang terdapat surat Al –Baqarah ayat 228 sebagai berikut :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ - الآية
Artinya : "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' ".….(QS.2 :228)
Lafal قروء pada ayat tersebut dalam pemakaian bahasa Arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh. Alasan Imam Syafi’I antara lain adalah adanya indikasi tanda muannast pada ‘adad (kata bilangan) yang menurut kaidah bahasa Arab ma’dudnya harus mudzakar , yaitu طهر (suci) dan bukan حيضة (haidh) yang muannast. sementara itu alasan yang diketengahkan oleh Imam Abu hanifah antara lain bahwa lafal ثلاثة قروء dalam ayat tersebut secara zhahir menunjukkan sempurnanya masing – masing قرء diartikan haidl. Sebab jika قرء diartikan suci maka yang ada hanya dua قرء lebih (tidak sampai tiga قرء )
c.Mujmal
Di kalangan ulama' ushul fiqh terdapat perbedaan pendapat dalam memberi batasan istilah mujmal. Dalam hal ini jumhur ulama' mengartikan sebagai lafal yang tidak jelas pengertiannya, sehingga untuk memahaminya memerlukan penjelasan dari luar (al –bayan)
Contoh, lafal حق pada ayat 141 surat al- An'am:
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (141)
Artinya :" Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan". (QS.6 :141)
Lafal حق pada ayat di atas pengertiannya tidak jelas, sehingga diperlukan dalil lain untuk menjelaskannya. Penjelasan dari lafal mujmal ini disebut dengan Al-bayan. Al –bayan menurut istilah ushul fiqh adalah dalil yang mengeluarkan suatu lafal dari tidak jelas pengertiannya kepada pengertiannya yang jelas. Selanjutnya, kalangan Hanafiyah mengartikan mujmal sebagai lafal yang tidak bisa dipahami maksudnya kecuali melalui suatu penjelasan dari mujmal itu sendiri. Maksudnya, lafal mujmal merupakan lafal yang tersembunyi pengertiannya, dan penjelasan lafal tersebut hanya diperoleh dari Syari'. Oleh karena itu menurut aliran ini penjelasan lafal mujmal bukan jalan ijtihad, tetapi diperoleh dari pembuat syari'at itu sendiri.
Bentuk mujmal ini bisa berupa lafal yang maknanya dipindahkan dari makna lughawi menjadi makna syar'i, seperti lafal الصلاة yang maknanya secara lughawi berarti berdo'a", tetapi secara syar'i berarti "ucapan dan perbuatan secara khusus seperti yang telah dijelaskan oleh Nabi SAW."
d. Mutasyabih
Mutasyabih adalah suatu lafal yang samar ma'nanya dan tidak ada penjelasan baik dalam al-Quran maupun Al- sunnah, sehingga pengetahuan tentang lafal tersebut sepenuhnya ada pada pembuat syari'at. Dari segi formatnya mutasyabbih di bagi menjadi dua, yaitu mutasyabbih lafal dan mutasyabbih mafhum. Jenis pertama berupa lafal yang sama sekali tidak bisa dipahami, seperti lafal الم , الر dan sebagainya. Sedangkan jenis yang kedua berupa lafal – lafal yang ada kemungkinan untuk dita'wil, sepertifirman Allah pada surat Thaha ayat 5 sebagai berikut :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (5)
Artinya : "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy". (QS.20:5)
Selanjutnya , menurut Abd al –wahhab khalaf (ahli ushul fiqh dari mesir) lafal mutasyabbih ini tidak ditemukan dalam ayat – ayat hokum. Oleh karena itu secara praktis lafal – lafal Mutasyabbih ini hanya didapati pada ayat – ayat di luar hukum.

Kesimpulan
Dari keterangan di atas menjelaskan bahwa ulama' hanafiyah membagi ketidak jelasan lafal menjadi empat macam : khafi, musykil, mujmal, mutasyabbih. Sementara itu kalangan jumhur ulama’ membahasnya pada kajian mujmal
Namun dari empat tersebut terlihat dengan jelas perbedaan mujmal dengan musykil dan khafi, yakni bahwa mujmal tidak mungkin diketahui rinciannya dari lafazhnya sendiri atau melalui penafsiran ijtihad – fiqh semata. Untuk memahami mujmal dan menemukan bagian –bagian dan berbagai bentuknya mutlak diperlukan adanya penjelas (mubayyin) yang menerangkan makna secara rinci.
Tapi sesudah keterangan dan rincian ini, orang masih perlu merenung dan berpikir.

Daftar pustaka :
Khallaf, Abd al –Wahhab, ilmu Ushul al- fiqh,Dar al- Qalam, 1997, cet.ke – 11
Muhammad Abu Zahrah, ushul fiqh, (mesir: Dar al-fikr al-Arabi,1958)
Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al- Muqtashid,(semarang :Usaha keluarga,tth), jilid 2,hal.67.
Prof. DR.Rachmat Syafe'I, MA. Ilmu ushul fiqh, penerbit pustaka bandung, cet 1.
Abu Ishaq al- Syirazi, al-luma' fi ushul al- fiqh,(Makkah al- Mukarramah:al-Muniriyyah,tth), h.118
Dr.kasuwi saiban, Metode ijtihad ibnu Rusd, Kutub Minar, cet pertama, September 2005.







LAFADZ DI TINJAU DARI KETIDAK-JELASANNYA


Pembimbing: Prof. Dr. kasuwi Saiban
Di Susun Oleh:
MOKHAMMAD AINUL YAQIN
STAI MA’HAD ALY AL-HIKAM MALANG
2010
Previous
Next Post »