Hosting Unlimited Indonesia

Biografi Al-Ghazāli

       I.            Biografi Al-Ghazāli
a). Biografi Al-Ghazāli
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ath-Thousy. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1059 M di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia mendapat gelar Imam Abu Hamid al-Ghazali Hujjatul Islam.[1]Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya mereka hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dan menenun wol.[2]
Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan seringkali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka. Dia sering berdoa kepada Allah agar diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan pengabulan Allah atas doanya, dia meninggal dunia pada saat anaknya masih usia anak-anak.
Sebelum dia meninggal dunia, dia menitipkan kedua anaknya kepada seorang sufi (sahabat karibnya) sambil mengungkapkan kalimat bernada menyesal: ”Nasib saya sangat malang, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka dan pergunakanlah sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar mereka.”[3]
Akan tetapi hal ini tidak berjalan lama. Harta warisan yang ditinggalkan untuk kedua anak itu habis, sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di madrasah inilah al-Ghazali bertemu dengan Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan pada saat itu, dan dari sini pulalah awal perkembangan intelektual dan spiritualnya yang kelak akan membawanya menjadi ulama terkenal di dunia Islam bahkan sampai disebut sebagai Hujjatul Islam dan Zain ad-Dîn.[4]
Dia mulai memasuki pendidikan di daerahnya yaitu belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razkani al-Thusi. Setelah dirasa cukup, dia pindah ke Jurjan dan memasuki pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nashr al-Isma’ili dengan mata pelajaran yang lebih luas meliputi semua bidang agama dan bahasa. Setelah tamat di sini, dia kembali ke Thus dan mengkaji ulang atas semua yang telah dipelajarinya sambil belajar tasawuf dengan syekh Yusuf al-Nassaj (wafat 487 H). Al-Ghazali belajar pada gurunya tersebut selama 20 tahun.[5]
Setelah dua atau tiga tahun dia di Thus, dia berangkat kembali melanjutkan pelajaran ke Nisyapur dan belajar pada Abul Ma’al al-Juwaini (wafat 478 H) yang bergelar Imam al-Haramain, dalam beberapa ilmu keislaman. Di Nisyapur dia juga melanjutkan pelajaran tasawwuf  kepada Syekh Abu Ali al-Fādhil ibnu Muhammad ibnu Ali al-Farmadi (wafat 477 H). Di samping belajar tersebut dia juga mulai mengajar dan menulis dalam ilmu fiqhi. Pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali pergi ke kampus Nizam al-Mulk, yang menarik banyak sarjana dan di sana dia diterima dengan kehormatan dan kemuliaan. Pada suatu saat yang tidak bisa dijelaskannya secara khusus, tetapi dapat dipastikan sebelum perpindahannya dari Baghdad, al-Ghazali mengalami fase skeptisisme, dan menimbulkan awal pencarian yang penuh semangat terhadap sikap intelektual yang lebih memuaskan dan cara hidup yang lebih berguna. Paham ini kemudian dianut oleh para sarjana Eropa pada masa berikutnya.[6]
Setelah Imam al-Juwaini wafat dan pelajaran tasawuf sudah cukup dikuasainya, dia pindah ke Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar di kalangan ulama dan intelektual. Pada tahun 483 H/1090 M, dia diangkat menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu dia laksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan batiniyah, ismailiyah, filsafat dan lain-lainya.[7]
Para mahasiswa sangat menyukai kuliah-kuliah yang disampaikan oleh al-Ghazali oleh karena begitu dalam dan luas ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Para mahasiswa yang jumlahnya ratusan tersebut sering terpukau dengan kuliah-kuliah yang disampaikan. Bahkan para ulama dan masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya, sehingga tidak heran jika dia menjadi sangat masyhur dan popular dalam waktu yang relatif tidak lama.
Al-Ghazali mencapai kejayaan tertinggi sebagai ulama dilihat dari segi lahirnya saja, tetapi dari segi batinnya ia mulai mengalami krisis intelektual dan kerohanian yang amat dalam. Keraguannya pada persoalan-persoalan yang ada mulai muncul dan ilmu-ilmu yang tadinya diajarkan mulai dikritiknya. Dia merasa kekosongan dalam uraian-uraian dan pikiran-pikiran di kalangan para fuqaha. Pemikiran di kalangan ahli kalam mengenai perkara-perkara doktrinal tidak memberinya keyakinan karena hal tersebut hanya membawa agama pada sistem ortodoksi dan perbincangan yang ada menjadi sangat dangkal.[8]
a.      Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan islam:
       i.            Al-Ghazali berpendapat, bahwa profesi guru merupakan profesi yang sangat mulia, dan hal tersebut didasarkan pada acuan tekstual maupun rasional, diantara dasar atau dalil tekstualnya adalah sabda nabi saw. Yang artinya:…..”saya ini sebenarnya diutus sebagai seorang guru”….
     ii.            Jadi profesi guru merupakan warisan dari misi kerosulan.Pendidikan merupakan sebuah wasilah untuk mencapai kemulian dan menserahkan jiwa, pendidikan yang benar merupakan jalan mendekat kepada tuhan, al-ghazali menyatakan: selama ilmu itu dimiliki seorang itu lebih banyak dan lebih sempurna, maka seharusnya ia menjadi lebih dekat kepada Allah.
  iii.            Guru harus memiliki rasa kasih sayang kepada peserta didiknya, memandang mereka seperti anaknya sendiri, karena nabi bersabda:…”sebetulnya saya ini bagimu semua adalah seperti kedudukan orang tua terhadap anaknya.





[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 77.
[2] Zaky Mubarak, Al-Akhlāk “Inda al-Ghazāli (Mesir: Dar al-Kitab al-Arabiy al-Taba’at al-Nasyr, 1968), h. 47.
[3] Ibid.
[4] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, (Juz I; Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 3.
[5] Ibid.
[6] Hasyimsyah Nasution, op.cit.,  h. 78.
[7] A. Hanafi, Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 197.
[8] Muhammad Uthman el-Muhammady, Pemurnian Tasawuf oleh Imam Al-Ghazali, www/Scribd/com/doc/2917072/ (19 November 2010).
Previous
Next Post »