Hosting Unlimited Indonesia

Arah Strategis NATO Adalah Untuk Mencegah Kembalinya Khilafah

HTI-Press. 13 Rajab 1429 H - Arah strategis NATO secara perlahan-lahan sedang disesuaikan sehingga organisasi itu dapat menjadi organisasi politik dan militer yang utama di dunia dengan kemampuan untuk melakukan intervensi, serangan militer pendahuluan dan sebagai badan pembuat keputusan atas isu-isu global. Masalah ini harus dilihat pada konteks kampanye ideologi Barat yang sedang dilakukan pada saat ini melawan Islam politik Islam khususnya dan merupakan sebuah ancaman yang nyata bagi kaum muslimin dan masa depan Khilafah.
Latar belakang
Pada tahun-tahun belakangan ini, kita melihat NATO, Organisasi Perjanjian Atlantik Utara, sedang berusaha melakukan perubahan-perubahan yang fundamental yang muncul setelah Perang Dunia Dua dan di awal munculnya Perang Dingin Barat dengan Rusia. NATO, yang dipimpin oleh Amerika, telah diakui terdiri dari 26 negara dan 20 partner kerja sama yang telah tersebar dan ikut serta dalam peperangan-peperangan yang terjadi di Eropa, Afrika dan Asia.
Pembicaraan ini kemudian berlanjut, dan terfokus pada pertemuan tingkat tinggi di Bucharest pada bulan April 2008, dan terkonsentrasi pada masalah-masalah saat ini yang terjadi pada NATO dan kesulitan-kesulitan dengan penyebaran tentaranya di Afghanistan dan meningkatnya perlawanan pada pendudukan asing. Secara khusus pembicaraan ini terpusat pada detil-detil dari pembagian beban yang lebih merata diantara Negara-negara yang terlibat dan pada tingkat dimana Negara-negara anggota NATO-ISAF berkomitmen untuk mengirimkan tentara dan diwilayah bagian mana tentara-tentara itu akan ditempatkan di Afghanistan. Negara-negara lain telah terfokus pada ekspansi NATO ke wilayah timur sejak tahun 1990an dimana banyak dari bekas Negara-negara Blok Timur kemudian berada dalam naungan NATO; yakni sejauh mana ekspansi ke timur NATO bisa berlanjut; bagaimana melibatkan Negara-negara bekas Soviet seperti Georgia dan Ukraine. Sejauh ini isu yang paling menekan bagi para anggota NATO adalah pada bagaimana mengatasi ketakutan Rusia bahwa ekspansi NATO ke Timur dan penerimaan kehadiran rudal-rudal di Eropa Timur dapat merupakan ancaman bagi pengaruh Rusia.
Langkah strategis
Namun, apa yang seringkali terlupakan oleh elemen-elemen media [dan apa yang seharusnya adalah hal yang paling penting untuk disadari oleh kaum Muslim] adalah bahwa pembicaraan dan pembicaraan ini telah terjadi selama beberapa tahun mengenai langkah strategis NATO yakni, apakah yang menjadi tujuannya di abad 21, apakah NATO adalah sebuah lembaga regional atau global, apakah perannya, dan secara esensi adalah apakah NATO itu. Sebelum saya membahas isu-isu ini, maka adalah penting untuk menyebutkan konteks sejarah dan bagaimana NATO telah berkembang khususnya selama beberapa tahun yang lalu.
NATO terbentuk setelah Perang Dunia II sebagai sebuah kesepakatan pertahanan Eropa karena ketakutan akan merajalelanya kekuatan Uni Soviet dan Negara Pakta Warsawa. Pada dasarnya, NATO adalah sebuah aliansi militer regional yang mencari dukungan solidaritas diantara para anggotanya jika seandainya terjadi serangan militer ke Negara anggotanya. Negara-negara Eropa Barat mendapatkan kepastian dari perlindungan militer dari Amerika yang memiliki superioritas militer jika terjadi invasi Soviet; sebagai imbalannya maka Amerika diberikan wewenang untuk mendominasi NATO dan menentukan arahnya.
Setelah keruntuhan Uni Soviet dan Komunisme di awal tahun 1990an, banyak komentator yang memperdebatkan peran dan masa depan NATO; bagaimana organisasi itu membuktikan relevansinya dan dimana alasan pembenaran atas eksistensinya, padahal komunisme telah dikalahkan. Selama tahun 1990an relevansi NATO tampak terus dipertanyakan oleh adanya pengaruh dari dua kekuatan Eropa yang baru - yakni Perancis dan Jerman – untuk membentuk pakta keamanan dan pertahanan bersama di luar NATO dan pendekatan pada kemandirian Eropa dengan organisasi-organisasi yang paralel dengannya seperti tentara Eropa.
Kemunculan kembali NATO

Konflik di Balkan di akhir tahun 1990an yang menentang agresi Serbia pada minoritas Kosovo, memberikan NATO nafas baru dimana angkatan udara NATO –yang terutama terdiri dari angkatan udara AS dan Inggris, untuk pertama kalinya melakukan pemboman pada suatu wilayah di Serbia selama 7 minggu untuk memastikan penarikan mundur Negara itu dari wilayah Kosovo. Ini adalah suatu perkembangan yang penting karena untuk pertama kalinya angkatan udara NATO dipergunakan dalam sebuah pemboman aktif sejak lahirnya organisasi itu.
Setelah Peristiwa 11 September, contoh-contoh real yang menunjukkan berubahnya arah strategis NATO diawali oleh pemerintah Amerika. Amerika dengan suskesnya memanipulasi opini publik dunia di awal-awal hari peristiwa itu dan mengikat NATO untuk ikut serta memberikan perlindungan bagi Negara itu setelah terjadinya serangan, dengan dua cara:
Pertama, para anggota NATO didorong oleh Pasal 5 konstitusi yang menyebukan bahwa serangan pada salah satu anggota NATO adalah serangan pada semua anggotanya dan bahwa Negara-negara anggotanya memiliki kewajiban untuk peduli dan membantu sebuah Negara sekutu yang telah diserang. Dengan demikian dilancarkanlah perang atas Afghanistan.
Kedua, Amerika menciptakan situasi yang memandang aliansi NATO bukan sebagai sebuah tindakan temporer atau kelompok ad-hoc yang merespon krisis-krisis tertentu tapi sebagai sebuah kelompok permanen yang siap berperang secara berkelanjutan. Mantan Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld, terkenal dengan ucapannya pada saat itu; “misi ini menegaskan adanya koalisi “  yakni konflik dan krisis akan selalu tampak yang memerlukan penyelesaian- dan hanya keterlibatan personil yang akan merubahnya.
Paska 11/9 – Sebuah Peran Maju yang baru bagi NATO
Sebagai akibat dari peristiwa itu adalah dikerahkannya pasukan NATO di Afghanistan selama 7 tahun terakhir dengan keikut sertaan 26 negara berikut peralatan tempurnya. Pertemuan Puncak NATO di Prague tahun 2002 membuka jalan bagi demikian banyaknya perubahan-perubahan. Pada pertemuan itu antara lain dibicarakan tentang pasukan gerak cepat yang dimpimpin NATO, ditingkatkannya kemampuan militer, keamanan dan pengamatan dan terfokus pada senjata pemusnah massal (WMD), yang dipakai sebagai awal invasi ke Irak pada tahun 2003.
Pada pertemuan puncak NATO tahun 2004 di Istanbul, para anggota  NATO berkomitmen untuk mendapatkan partner kerja sama yang menjangkau Timur Tengah sebagai sebuah cara untuk memperluas pengaruh NATO. Dalam sebuah pidato tahun 2003, duta besar Amerika untuk NATO, Nicholas Burns merefleksikan perubahan ini dari pemikiran NATO sebagai organisasi yang awalnya adalah untuk keamanan Eropa menjadi organisasi yang menjangkau luar Eropa hingga Negara-negara tetangganya. Dia mengatakan,
“NATO perlu untuk memperluas dari fokus ke dalam Eropa – yang memang diperlukan dan pantas dilakukan selama masa Perang Dingin – hingga fokus ke luar Eropa dalam sebuah garis bujur dari Negara-negara dimana ancaman masa kini berasal – di Asia Tengah dan Asia Selatan, dan di Timur Tengah “…..Dia melanjutkan paparannya dengan mengatakan
“Mandat NATO masih merupakan tindakan untuk mempertahankan Eropa dan Amerika Utara. Tapi kita tidak percaya bahwa kita mampu melakukan itu dengan hanya diam di Eropa Barat, atau di Eropa Tengah, atau Amerika Utara. Kita harus mengerahkan perhatian konseptual kita dan kekuatan militer kita ke arah timur dan selatan. Kita percaya masa depan NATO adalah timur dan selatan. Masa depan itu ada pada Timur Tengah Raya “
[Komite Hubungan Luar Negeri Senat, Dubes Amerika untuk,  R. Nicholas Burns]
Pada periode tahun 2003/04 NATO mengambil alih kontrol gabungan atas ISAF [Bantuan Keamanan Militer Internasional - International Security Assistant Forces] di Afghanistan dari mandat yang sebelumnya dimiliki oleh PBB,  hal ini adalah hal yang penting mengingat para anggota PBB hingga pada tahap itu tidak berkeinginan untuk melawan struktur komando NATO.
NATO mempercepat ‘program perdamaian untuk kemitraan’ dengan membentuk aliansi dengan Negara-negara Timur Tengah dan untuk pertama kalinya, bersama Negara-negara Asia Tengah dan Kukasus, merefleksikan hal penting dan strategisnya sumber daya minyak dan gas. Selama periode AS juga merintangi penentangan Eropa atas meningkatnya hegemoni Negara itu di dalam NATO dengan menekankan jurang pemisah dalam hal pembelanjaan militer dan persenjataan canggih. Dengan melakukan hal itu, AS menekan Negara-negara Eropa untuk meningkatkan pembelanjaan pertahanan Negara mereka sendiri (tentu saja kepada perusahaan-perusahaan persenjataan AS) tapi juga melibatkan mereka dalam cara pandang Amerika dan secara keseluruhan pada Perang Atas Teror; yakni bahwa konflik dan krisis masa depan akan memerlukan teknologi canggih, bukan lagi persenjataan konvensional dan metode-metode peperangan baru. Bukti selanjutnya fakta bahwa Eropa mulai melihat kemampuan pertahanan masa depan dibawah bendera struktur NATO yang baru adalah keputusan pemerintah Perancis baru-baru ini untuk ikut serta lagi kedalam NATO setelah meninggalkannya selama bertahun-tahun.
Pada saat yang sama, setelah terpilihnya kembali Bush junior tahun 2004, AS mampu menahan kritik atas uniteralisme dengan membuat hubungan dengan Uni Eropa dan menekan penentangan Perancis dan Jerman khususnya pada struktur independent dan organisasi-organisasi paralel bagi NATO. Contohnya, NATO mampu melibatkan dirinya dalam misi-misi bersama dengan Uni Eropa dalam hubungannya dengan Afrika dan mengirimkan pasukan perdamaian untuk menyelesaikan konflik-konflik di sana.  Terlebih lagi, latihan angkatan laut gabungan telah angkatan bersenjata NATO telah mulai dilakukan di India di akhir tahun 2007, Australia dan Asia-Pasifik dan menunjukkan luasnya aliansi yang ingin dijangkau dan potensi bagi rekonstruksi NATO yang berskala global.
Di Afrika, di akhir tahun 2006 militer AS menciptakan AFRICOM, sebuah struktur komando regional yang didisain untuk memberikan AS kehadiran yang berkelanjutan di benua itu. Komando itu dengan cepat menggandakan kemampuan militernya, AFRICOM dengan operasi-operasi NATO nya menawarkan bantuannya untuk memberikan jangkauan yang lebih besar. Komandan AFRICOM, Jendral William E  Ward, sejak saat itu menekankan “perlunya koordinasi yang erat ” dengan NATO.
Memang, sejak bulan July 2005, NATO telah menyediakan transportasi udara bagi pasukan perdamaian di Darfur. Tujuan dari aliansi-aliansi regional ini adalah bahwa NATO dan pemain utama yakni AS, mampu meningkatkan kapasitasnya untuk menetralisir musuh-musuhnya dan mengamankan kepentingan-kepentingannya. Sekjen NATO Jaap de Scheffer mengatakan, “Keamanan laut, dengan memastikan jalur yang aman bagi pelayaran dan mendukung pendekatan internasional yang terkoordinir untuk melindungi pasokan energi adalah merupakan prioritas-prioritas penting bagi NATO.”
Dan NATO di Timur Tengah juga telah melakukan ekspansi dengan membentuk aliansi-aliansi dan kemitr`an. Dialog Mediterania NATO, yang dimulai pada pertengahan tahun 1990an pada saat ini telah mencakup Aljazair, Mesir, Israel, Yordania, Mauritania, Maroko, dan Tunisia. Inisiatif Kerja sama Istanbul (Istanbul Cooperation Initiative) mengumumkan di tahun 2004 pada pertemuan puncak NATO bahwa NATO telah meningkatkan pengaruhnya dari wilayah Mediterania timur hingga ke wilayah Teluk Persia. Kehadiran NATO di Teluk Persia pada saat ini termasuk kemitraannya dengan Saudi Arabia dan Negara-negara Teluk seperti Bahrain, Kuwait, Oman, UAE dan Qatar. Bagi AS, buah dari perluasan hubungan NATO dengan Negara-negara lain dan campur aduknya kepentingan keamanan AS dengan NATO mulai terlihat dengan semakin sulitnya memisahkan respons AS dengan respons NATO. Bulan Juli 2008, Komandan Armada Keenam AS di Mediterania mengatakan untuk menjawab pertanyaan atas kemungkinan serangan Iran atas Israel “Hal ini menuntut perhatian kita segera atas perlunya respons dari AS ataupun NATO “.
Pendorong Bagi Berlanjutnya Perubahan
Walaupun terjadi perubahan-perubahan atas NATO dari konsep awalnya hingga misi sebenarnya pada beberapa tahun yang lalu oleh para perencana Amerika, hal ini belumlah cukup; NATO sedang mencari perubahan lebih lanjut dikarenakan faktor-faktor berikut:
[1] Kesulitan-kesulitan operasional dan logistik di Afghanistan: Negara-negara Eropa lainnya [Jerman, Belanda, Kanada] telah malas untuk memberikan komitmennya atas pasukan, atau tidak akan mengizinkan pasukannya untuk dikerahkan di wilayah pertempuran dan hal ini mengakibatkan patahnya struktur komando dan konflik yang berkelanjutan diantara Negara-negara Barat.
Sekjen NATO menyoroti kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh perluasan NATO,
“Secara jelas, suatu aliansi atas 26 negara berdaulat berarti ada 26 budaya militer dan politik yang berbeda, dan ini juga berarti ada 26 perbedaan dalam realitas konstitusional. Kami perlu memperhitungkan hal-hal semacam itu, tapi kami tidak dapat menolak anggapan bahwa beberapa sekutu kami hanya memiliki tanggung jawab terbatas dan hanya pada wilayah tertentu. Afghanistan adalah sebuah negara. Negara itu adalah sebuah wilayah strategis bagi NATO. Kami perlu sebuah strategi NATO,”
[Jaap de Hoop Scheffer, Sekjen NATO, 29 Februari, 2008]
[2] Kredibilitas PBB: kegagalan pada perang Irak dan kegagalan resolusi nomor 2 bersama dengan opini public dunia yang negatif telah amat merusak image PBB di mata orang banyak. Terlebih lagi, diperlukannya kesemua 5 veto Negara anggota tetap Dewan Keamanan sebenarnya menghalangi AS untuk mencapai tujuan-tujuan politik luar negerinya.
[3] Terlalu banyaknya birokrasi didalam banyak institusi-institusi semacam ini seperti tercapainya voting dengan suara bulat yang diperlukan untuk segala sesuatu telah menjadi kenyataan.
[4] Kegagalan yang menghinakan dari Barat pada perang-perang di Irak/Afghanistan dalam meraih dukungan masyarakat dari Dunia Islam
[5] Bangkitnya Islam dan tantangan-tantangan masa depan dari aktor-aktor non-negara
Visi Baru Bagi NATO
Dengan memperhitungkan hal-hal di atas, perubahan-perubahan radikal ditekan oleh para pejabat AS dan mereka yang terkait dengan struktur komando NATO yang akan secarfa fundamental meluruskan kembali NATO dan ini berarti bahwa bisa menjadi daya perubahan politik dan militer yang utama. Jika perubahan-perubahan ini terjadi, dalam beberapa tahun kedepan NATO akan memiliki suatu:
  • Jangkauan global dengan tidak ada batasan di dunia ini
  • Bereaksi dengan segera dan cepat atas ancaman-ancaman dan lawan-lawannya
  • Badan kunci untuk pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik
Terlebih lagi, AS pada saat ini melihat kepentingan pertahanan dan keamanan yang terjalin dengan perannya di dalam NATO dan aliansi dan kemitraan NATO yang lebih luas. Dalam Quadrennial review tahun 2006, sebuah review empat tahunan yang dibuat oleh departemen pertahanan AS, dibicarakan soal perang yang panjang (perang ideologi) dengan NATO yang mengambil beban untuk menyelesaikan permasalahan masa kini.
Visi AS bagi NATO secara jelas menggambarkan pendekatan dunia dengan NATO yang memiliki jangkauan global. Dubes AS untuk PBB, Victoria Nuland, telah menjadi instrument dalam membentuk kebijakan AS. Dalam the Financial Times, dia menulis bahwa NATO harus “menjangkau seluruh planet kita…di barisan utama dalam menghadapi konfrontasi abad ke 21 “ dan sebuah….“kekuatan militer yang bisa dikerahkan secara global” yang mampu beroperasi dimana saja dari Afrika hingga Timur Tengah dan di luar itu…“sekarang ia telah menjadi hewan yang sama sekali berbeda “
[Victoria Nuland, Dubes AS untuk NATO, Financial Time, 24 January 2006]
Selain itu, para arsitek dari perubahan arah kebijakan NATO itu melihat Negara-negara NATO menjadi Negara-negara yang bertanggung jawab bagi penyelesaian konflik internasional, pasukan perdamaian dan memerangi terorisme. Nuland berkomentar soal isu yang mungkin memerlukan konfrontasi, dia mengatakan,
“dimanapun dan kapanpun konfrontasi itu mungkin terjadi “….. “NATO haruslah menjadi tempat dimana kita bisa berbicara mengenai semua isu yang mempengaruhi masa depan kita – Timur Tengah, Irak, Korea Utara, China, Iran,  hanya menyebutkan sedikit contoh ,”
[Victoria Nuland, Pertemuan Puncak NATO di Riga 2006]
dan juga,
“Ancaman bagi keamanan dan kesejahteraan dari Aliansi Atlantik dapat datang dari mana saja… NATO harus memiliki angkatan bersenjata yang dipersiapkan untuk menangkis dari manapun ancaman itu muncul.” [Wakil Menlu AS untuk Urusan Politik Marc Grossman, 11 November 2003 ]
Dalam contoh yang paling jelas atas tekanan yang dibawa atas masa depan NATO, sebuah dokumen yang tebalnya 150 halaman telah diterbitkan pada awal tahun ini, yang bersamaan dengan Pertemuan Puncak NATO di Bucharest, ditulis oleh dari lima jendral yang telah pensiun yang dipimpin oleh John Shalikashvalli komandan tertinggi Angkatan Bersenjata di Eropa di bawah Bill Clinton.
Dalam laporan itu, para jendral menganjurkan penelaahan ulang atas struktur pembuat keputusan NATO untuk memerangi meningkatnya fanatisme politik dan fundamentalisme agama dan mengakui ancaman masa depan yang datang dari “pusat ekonomi yakni India dan China dan Islam radikal”. Mereka mengajukan usualan bahwa
  • Negara-negara yang tidak berkomitmen untuk menyediakan pasukan tidak bisa terlibat dalam memberikan keputusan operasi
  • Negara-negara yang tidak berkomitmen untuk menyediakan pasukan harus berbagi beban kerja dengan para anggota NATO lainnya
  • NATO memiliki wewenang untuk menggelar kekuatan militer tanpa perlu resolusi Dewan Keamanan PBB
  • Mengakhiri veto-veto nasional pada keputusan-keputusan utama dan diganti dengan voting mayoritas [yang tentu saja menguntungkan AS karena banxak Negara anggota NATO seperti Polandia adalah Negara satelit AS]
  • Hak untuk menggelar serangan nuklir pendahuluan yang pertama jika diperlukan
NATO Berada pada Garda Depan Perang Ide
Di saat yang sama mulai dari dibentuknya kembali respon militer Barat hingga ancaman dan lawan-lawannya, melalui NATO, para arsitek arah NATO yang baru ini melihat adalah amat penting untuk terlibat dalam kampanye meraih dukungan dan simpati dari Dunia Islam. Para perencana NATO mengakui bahwa misinya di Afghanistan dengan alas an mengalahkan Taliban sebenarnya adalah sesuatu yang lebih besar daripada hanya sekedar hal itu. Dubes Nuland menyatakan,
“Misi Afghanistan adalah sebuah investasi pada kemanan kolektif kita…..Jika kita melakukannya dengan benar di Hindu Kush kita juga akan menjadi lebih kuat di kemudian hari kita terpanggil untuk mempertahankan keamanan dan nilai-nilai kita walaupun amat jauh dari negeri sendiri,”
[Victoria Nuland, 1 Feb 2008]
Barat dan NATO dengan arogansi mereka juga berasumsi bahwa mereka mampu merubah dan merevisi pemikiran dan opini di Dunia Islam. Sekjen NATO sesumber dengan mengatakan,
“Keterlibatan kita di Afghanistan adalah sebuah keterlibatan bagi sebuah Islam yang moderat” dan “Kita hanyalah memberikan Islam moderat kesempatan yang layak disandangnya…. dan komunitas internasional mendukung orang-orang yang melepaskan diri dari cengkraman kaum radikal dan dari cengkraman kaum ekstrimis.”
[Jaap de Hoop Scheffer, 29 February, 2008]
Sebagian orang di belakang visi ekspansionis global NATO adalah bahwa para ideolog di Barat itu dapat menciptakan pendirian yang sama dan benteng masa depan melawan orang-orang yang memiliki pandangan dan keyakinan yang berbeda. Dalam hal ini, NATO telah memperluas kekuasaanya ke sebagian Asia, Pasifik,  Eropa bagian Selatan dan diluar itu.
“Jika kita merunut garis antara Barat dan yang lainnya, kita dapati Israel ada di sisi yang sama dengan Eropa, AS, Jepang dan Australia. Kita mempertahankan nilai-nilai yang sama melawan musuh-musuh yang sama “
[Mantan Perdana Menteri Spanyol, Jose Maria Aznar, Jerusalem, Oktober 2006]
Lebih khusus lagi, meningkatnya tuntutan bagi pendirian Khilafah di Dunia Islam telah memberikan pertanda akan terjadinya pendekatan yang lebih keras yang dilakukan oleh Barat ketika Barat kalah dalam peperangan itu. Bush junior mengatakan,
” Kita memerangi musuh-musuh kita di luar negeri dan tidak menunggu mereka untuk tiba di negeri kita. Kita mencari jalan untuk membentuk dunia,  dan bukannya dibentuk oleh dunia; untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa untuk menjadi lebih baik daripada hanya menjadi belas kasihan mereka “
[Presiden Bush, 16 Maret 2006, Washington Post]
Seperti juga dia menyatakan bahwa,
“Perubahan yang sebenarnya bagi masa depan adalah untuk membantu masyarakat yang moderat untuk mampu menghadapi ancaman-ancaman kaum radikal dan ekstrimis “
[Presiden Bush, Oval Office, Oktober 2006 dalam pertemuan dengan Sekjen NATO Jendral de Hoop Scheffer]
Apa arti semua ini?
  • Barat, yang dipimpin oleh AS, sedang memobilisasi opini publik yang sebesar-besarnya untuk melawan Islam politik dan perlunya untuk melakukan intervensi, jika diperlukan, di Dunia Islam
  • Negara itu sedang mengembangkan sistim reaksi militer cepat melalui NATO yang dapat memberikan alasan untuk melakukan intervensi kapanpun dia mau dengan cepat dan mematikan dengan kekuatan yang amat besar
  • Dunia Islam harus menyadari bahwa gaya tarik situasi yang sedang dihadapi sendiri ini dan luasnya cakupan ancaman baik secara ideology maupun militer yang menumpuk
  • Untuk merespon sikap Barat yang agresif ini, Khilafah yang pernah berdiri itu perlu untuk mengambil tindakan-tindakan preventif untuk memerangi ambisi colonial Barat dan lembaga-lembaganya seperti NATO
  • Kaum Muslim di seluruh dunia dapat dan harus melanjutkan untuk mengungkap motif-motif kolonialis dan imperialistis NATO, Negara-negara yang membentuk bagian darinya, dan rencana-rencana masa depannya sambil mempertentangkannya dengan pandangan yang ditawarkan pada dunia oleh Khilafah dalam menyelesaikan permasalahan kemanusiaan. (Abu Asma, Khilafah.Com, Terjemahan: Riza Aulia)

Previous
Next Post »