Hosting Unlimited Indonesia

ARAH BARU KURIKULUM FAKULTAS TARBIYAH (Peluang dan Tantangan Penerapan KBK) oleh: Abd. Rachman Assegaf

Abstrak
 

We all hope that Competency Based Curriculum or KBK which will be enacted this year could provided their outcomes the potential character, capasity, competency, skill and the widest knowledge in making reciprocal interaction between himself and their social milieu, culture and their environment to develop further their  ability, both in employment or higher education.  Consequently, KBK will make new orientation on lecturing process in the Faculty of Tarbiyah. It will not only endorse the students to reach the highest mark, or for the lecturer to finish the curriculum target, but also to empower the process and product of lecturing by competency mainset. So, KBK is to bring the new direction to the curriculum in the Faculty of Tarbiyah, State Institute for Islamic Studies Sunan Kalijaga Yogyakarta.
However, what we said normatively positive on KBK as an alternative solution to handle the weakness of conventional curriculum, KBK itself is not automatically make the same effect between institutions, even between subject matters. Notes on KBK must be regarded as a challenge to improve our curriculum by non-curriculum factors. This writing tries to elaborate the chances and challenges faced by the Faculty of Tarbiyah in its handling the implementation of KBK 2004.

A. Pendahuluan
Sistem pendidikan nasional kita saat ini memiliki banyak kelemahan. Di antaranya adalah terlalu menekankan pada penguasaan materi pengetahuan (content based),  sentralistik-uniform, berpusat pada guru (teacher centered), dan berorientasi pada tujuan. Meskipun masalah pendidikan dipengaruhi oleh multi-faktor, namun secara internal kondisi pelaksanaan sistem pendidikan seperti di atas terbukti menyebabkan kegagalan. Kualitas guru di Indonesia ternyata paling rendah se-Asia Pasifik.  Demikian pula dengan wajah siswa SD. Berdasarkan laporan Bank Dunia terlihat bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah di Asia Timur.  Bagaimana menjelaskan hal ini ?
Sejauh ini, siswa belajar secara pasif mendengarkan ceramah (delivery system) yang disampaikan oleh guru, sering pula diikuti dengan keharusan menghafal atau mengerjakan soal latihan tertentu demi untuk menguasai materi pelajaran atau bahkan agar menjadi ranking, juara kelas, memperoleh NEM tinggi atau IP baik.  Kurikulumnya pun dibuat secara sentral dan seragam dari pusat, tanpa melihat karakteristik daerah yang beragam. Guru masih dominan dalam menentukan materi dan metode mengajarnya, sementara siswa kurang terlibat dalam proses pendidikan. Demikian pula dengan sistem pendidikan kita yang terlalu berorientasi pada tujuan, seperti tertuang dalam Tujuan Instruksional Umum (TIU) maupun Tujuan Instruksional Khusus (TIK) ketika seorang guru menyusun Satuan Pelajaran (Unit Lesson) dan hendak melakukan persiapan mengajar, berakibat telah mengabaikan pentingnya proses dan produk (output) pendidikan.
Berbagai kelemahan sistem pendidikan kita tersebut harus segera dibenahi. Pembenahan pendidikan dimulai dari upaya peningkatan kualitas pendidikan. Tema “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” yang dicanangkan oleh Mendiknas pada 2 Mei 2002 lalu dengan memperkenalkan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS, School Based Management) dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK, Competency Based Curriculum),  perlu disosialisasikan lebih lanjut agar dapat diterima oleh masyarakat luas.
Saat ini KBK masih berupa konsep, uji coba,  penelitian dan sosialisasi, baik di pusat maupun daerah. Sedangkan realisasinya akan diberlakukan mulai 2004 ini.  Pada prinsipnya, KBK sebagai kebijakan pendidikan nasional diharapkan dapat diterapkan di semua sekolah atau lembaga pendidikan. Sejumlah Perguruan Tinggi di Yogyakarta pun telah melakukan persiapan terhadap masalah ini.  Sekarang, bagaimana dengan IAIN ? Pemberlakuan kebijakan KBK, mau tidak mau, akan membias pada IAIN pula, khususnya Fakultas Tarbiyah sebagai center for exellence bagi laboratorium pendidikan Islam di Indonesia. Fakultas Tarbiyah yang memproduk para konseptor dan praktisi pendidikan Muslim, dengan mahasiswa lebih dari separohnya bersumber dari latar belakang madrasah, dan nantinya diproyeksikan akan kembali ke madrasah lagi, perlu mengantisipasi perkembangan ini. Bila tidak, maka pada saat kebijakan KBK berlaku secara nasional nanti, para alumni Fakultas Tarbiyah tak memiliki bekal yang cukup dalam menghadapi perubahan tersebut. Tulisan ini diniatkan untuk mengetahui arah baru kurikulum di Fakultas Tarbiyah dan menganalisis peluang dan tantangan bagi penerapan KBK, sehingga diharapkan dapat mengatasi berbagai kelemahan yang dihadapi oleh pendidikan kita.
B. Antara Kurikulum Konvensional dan KBK: Apa yang Berubah ?
Konsep KBK berbeda dalam banyak hal dengan Kurikulum 1994. Pertama, KBK menggunakan pendekatan kompetensi (competency based approach) untuk memperoleh pemahaman dan kemampuan tertentu yang terkait dengan kehidupan di masyarakat (life skill). Sedangkan Kurikulum 1994 menggunakan pendekatan isi atau materi (content based approach) untuk menguasai bidang ilmu pengetahuan tertentu (learning to know). Itu sebabnya dalam praktik pengajaran di kelas, guru acap kali memberikan hafalan atau latihan soal dan mengesampingkan kompetensi individual. Dengan begitu, konsep KBK sejalan dengan konsep pembelajaran menurut UNESCO (Delors, 1999) yang mengarahkan pendidikan pada empat pilar: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Karena kurikulum konvensional berbasis pada isi (content based), maka proses pembelajarannya berorientasi pada buku teks (textbook-oriented) dimana dalam praktiknya amat tergantung pada guru/dosen (teacher-centered), sedang pada KBK bahan ajar yang dipilih menggunakan bantuan multimedia. Dari sini KBK diharapkan dapat menciptakan suasana pembelajaran yang lebih efektif dan efisien sekaligus menyenangkan karena berupaya memadukan antara pendidikan (education) dengan hiburan (entertainment) atau edutainment. Adapun peranan guru/dosen dalam konsep KBK adalah sebagai fasilitator atau nara sumber dimana guru/dosen memberi bimbingan seperlunya pada siswa yang aktif terlibat dalam proses pembelajaran (active learning).
Kedua, KBK menganut sistem desentralisasi. Hal ini pararel dengan kebijakan Otonomi Daerah dalam era reformasi.  Berbeda dengan itu, Kurikulum 1994 mengikuti pola sentralisasi sebagaimana kebijakan politik saat itu. Sebagai konsekuensi dari sistem desentralisasi ini, penerapan konsep KBK diharapkan bukan hanya sesuai dengan karakter daerah maupun sekolah, melainkan juga memberikan ruang gerak yang lebih luas pada pihak sekolah untuk mengatur aktivitas pendidikannya sendiri.
Ketiga, konsep KBK menerapkan orientasi student centered atau berpusat pada siswa/mahasiswa, yang dilaksanakan tidak harus di ruang kelas, sehingga peserta didik aktif terlibat dalam proses belajar mengajar. Adapun Kurikulum 1994 cenderung bersifat teacher centered atau berpusat pada guru, yang pelaksanaannya terbatas hanya di ruang kelas secara konvensional.
Keempat, evaluasi KBK berbasis kelas dan menekankan pada proses dan produk pendidikan, bukan berorientasi pada pencapaian target tujuan kurikulum, seperti dalam Kurikulum 1994, yang tidak menyentuh aspek kepribadian peserta didik.  Evaluasi pada kurikulum konvensional  didasarkan pada kecepatan kelompok, sementara KBK melihat kecepatan individual. Itu sebabnya, kemajuan siswa dalam KBK berprinsip pada penghargaan atas kemajemukan siswa dalam satu kelas, bukan upaya penyeragaman perlakuan. Feed back atau umpan balik dalam kurikulum konvensional dilakukan tidak secara langsung setelah satu unit pembelajaran selesai dilaksanakan, melainkan ditunda dalam tahapan waktu tertentu, seperti dalam satu catur wulan, semester atau tingkat. Berbeda dengan itu, KBK menerapkan umpan balik seketika setelah satu unit pembelajaran selesai dilakukan.
Akibatnya, penerapan KBK akan merubah banyak hal tentang sistem pendidikan kita. Dalam KBK, guru/dosen secara administratif membuat persiapan mengajar dengan orientasi kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator prilaku siswa, bukan berupa penjabaran tujuan pengajaran (TIU dan TIK) yang kaku.  Di lingkungan madrasah dan sekolah jenjang SLTA, di samping diadakan pengkhususan Program Studi IPA, IPS, dan Bahasa, seperti yang masih berlaku sampai saat ini, juga disediakan kurikulum non-pengkhususan Program Studi, dimana peserta didik diberi kebebasan memilih sejumlah mata pelajaran yang sesuai dengan potensi, bakat dan minatnya.  Struktur kurikulum non-pengkhususan Program Studi ini mencakup seluruh bidang studi pengkhususan Program Studi di atas.
Kelima, kurikulum konvensional berbasis waktu, sedangkan KBK menerapkan kurikulum berbasis kinerja.
Keenam, kurikulum konvensional berorientasi pada mata pelajaran, sementara KBK pada moduler yang menekankan pada belajar tuntas (mastery learning) dan belajar kerkelanjutan (continous learning), dimana sebelum satu modul mampu dikuasai, seorang siswa belum bisa pindah ke modul berikutnya.
Ketujuh, kurikulum konvensional menjabarkan tujuan pembelajarannya secara umum dan khusus dalam TIU/TPU dan TIK/TPK, yang dalam praktiknya seringkali dilaksanakan secara subyektif dan mengabaikan pentingnya proses dan produk pembelajaran. Tidak seperti itu, KBK menjabarkan kompetensi dasarnya melalui hasil belajar beserta indikatornya  (learning outcomes) yang dibuat secara objektif melalui acuan kriteria penilaian yang jelas.
Betapa pun di atas kertas, konsep KBK dipandang memberi alternatif atas kelemaham kurikulum konvensional, dalam realisasinya belum tentu menampakkan hasil yang sama antara satu lembaga dengan lainnya, mengingat bahwa kurikulum merupakan salah satu faktor dari berbagai faktor pendidikan yang mempengaruhi keseluruhan proses pendidikan. Asumsinya, penerapan KBK secara konsisten akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan kita. Secara teoritik-konseptual asumsi demikian adalah sah, meskipun dalam praktiknya belum tentu membawa akibat yang sama antara satu lembaga dengan lembaga lain yang sama-sama menerapkan konsep tersebut, masih tergantung pada kesiapan dan kemampuan masing-masing lembaga pendidikan. Sebab, apa yang dinyatakan di atas kertas baik, belum tentu dalam pelaksanaannya demikian. Seperti itu pula halnya dengan penerapan konsep KBK, efektifitasnya belum tentu sama pada tiap lembaga. Bagaimana dengan Fakultas Tarbiyah ?
C.    Arah Baru Kurikulum Fakultas Tarbiyah
Memang, sejauh ini konsep KBK sering difokuskan untuk jenjang SLTA ke bawah. Bisa jadi karena adanya asumsi bahwa di lingkungan perguruan tinggi telah memiliki tingkat kemandirian belajar yang lebih besar, sedang gaya belajar mahasiswanya pun berbeda dengan jenjang di bawahnya. Selain menerima kuliah di kelas,  umumnya mahasiswa mendapat tugas individual atau kelompok, baik berupa eksperimentasi, diskusi, menyusun laporan atau makalah, resume dan resensi buku atau jurnal, analisis, terjemah maupun lainnya. Akan tetapi, dalam praktiknya, masih sering dijumpai pula baik dosen maupun mahasiswa yang memaknai perkuliahan dalam arti sempit, yakni penyampaian materi kuliah di kelas, mendengarkan ceramah, dan mencatat bahan kuliah dari dosen. jadi, tak ubahnya dengan jenjang di bawahnya.  Sebagai akibat dari makna sempit perkuliahan tersebut adalah bahwa mahasiswa berangkat kuliah untuk mencari IP tinggi, ranking atau juara, apalagi sejauh ini masih diyakini bahwa IP tinggi dianggap lebih menjamin memperoleh kerja. Di Fakultas Tarbiyah, jumlah mahasiswa yang mengulang mata kuliah yang telah diambil sebelumnya adalah cukup banyak, meskipun telah lulus atau mendapat nilai B. Mengapa ? tak lain untuk mengejar IP tinggi.
Dalam konteks seperti itu, hadirnya konsep KBK diharapkan dapat merubah orientasi perkuliahan, sehingga kuliah tidak lagi untuk memperoleh tujuan nilai atau penyelesaian target kurikulum, melainkan pemberdayaan proses dan produk perkuliahan dalam bentuk kompetensi dasar. Agar kita dapat memahami bagaimana model penerapan konsep KBK yang sesuai untuk lingkungan perguruan tinggi, yang memberikan arah baru bagi kurikulum di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, maka berikut ini akan dijelaskan beberapa prinsip pelaksanaan KBK dimaksud.
1.    Kompetensi Dasar
Kompetensi dasar menjelaskan standar kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh mahasiswa setelah selesai mengikuti proses perkuliahan dalam materi inti mata kuliah tertentu. Tiap materi inti mata kuliah mempunyai kompetensi dasar sendiri-sendiri, sehingga dalam satu semester mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi minimal dalam berbagai bidang. Begitu seterusnya kompetensi dasar tersebut dihasilkan pada tiap semester, sampai pada tahap akhir mahasiswa diharapkan menguasai kompetensi lulusan atau tamatan minimal yang sesuai dengan visi dan misi pendidikan yang telah dijalani. Kompetensi lulusan atau tamatan berisikan seperangkat kompetensi yang harus dikuasai lulusan yang menggambarkan profil lulusan secara utuh.
Oleh karena itu, kurikulum hendaknya disusun untuk mengembangkan kompetensi mahasiswa secara keseluruhan. Kompetensi ini terdiri dari kemampuan akademik, keterampilan hidup, pengembangan moral, pembentukan karakter yang kuat, kebiasaan hidup sehat, semangat bekerja sama, dan apresiasi terhadap dunia sekitarnya. Dengan kata lain, kurikulum mengembangkan keharmonisan pemilikan kemampuan logika, estetika, dan kinestika. Pada hakikatnya, kurikulum disusun untuk dapat menjadi input instrumental yang membantu para mahasiswa untuk berkembang sebagai individu sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta tumbuh menjadi warga negara yang bertanggungjawab dan dapat dipercaya.
2.    Hasil Belajar
Hasil belajar berisikan kemampuan mahasiswa dalam menerima materi inti dalam tiap pertemuan, semester maupun pada tahap akhir proses pendidikan yang ditempuh. Untuk tiap materi inti, hasil belajar ini diuraikan dalam poin-poin yang mencakup keseluruhan bagian pembelajaran yang hendak diikuti oleh mahasiswa. Misalnya saja, untuk mata kuliah Filsafat Umum, hasil belajar yang hendak dicapai adalah agar mahasiswa mampu memahami pengertian, kedudukan dan fungsi filsafat; memahami aliran-aliran filsafat, kajian filsafat (ontologi, epistemologi dan aksiologi), pemikiran para tokoh dan metodologinya, dan memahami interelasi antara filsafat, agama, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Semua poin di atas haruslah terukur hasil belajarnya pada tiap kali pertemuan atau tahapan tertentu.
3.    Indikator
Indikator kompetensi mahasiswa dilihat dari keunggulan hasil belajarnya yang diukur berdasarkan standar kompetensi. Standar kompetensi merupakan pernyataan tentang pengetahuan (aspek kognitif), sikap (aspek afektif) dan keterampilan (aspek psikomotorik) yang harus dikuasai mahasiswa serta tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu bidang mata kuliah. Dalam menentukan standar kompetensi dilakukan dua pendekatan:
a.    Pendekatan prosedural (procedural approach) yang dipakai bila standar kompetensi yang diajarkan berupa serangkaian langkah-langkah secara urut dalam mengerjakan suatu tugas pembelajaran.
b.    Pendekatan hirarkis yang menunjukkan hubungan subordinatif antara beberapa standar kompetensi yang ingin dicapai. Dengan demikian ada yang mendahului dan ada yang kemudian. Standar kompetensi yang mendahului merupakan prasyarat bagi standar kompetensi berikutnya.
Umumnya indikator yang dinyatakan dalam standar kompetensi ini menguraikan poin-poin hasil belajar yang hendak dicapai secara lebih spesifik. Sedangkan hasil belajar sendiri merupakan uraian dari kompetensi dasar. Antara indikator kompetensi suatu materi inti mata kuliah tertentu dengan yang lainnya berbeda satu sama lain menurut karakteristiknya masing-masing.
4.    Materi Inti
Yang membedakan KBK dengan kurikulum sebelumnya adalah keseimbangan dan keterpaduan materi pembelajaran. Dalam KBK, kurikulum merupakan input instrumental yang digunakan untuk menyeimbangkan pengalaman belajar yang mengembangkan etika, estetika, logika, dan kinestetika. Pengembangan etika dilaksanakan dalam rangka penanaman nilai-nilai sosial dan moral termasuk menghargai dan mengangkat nilai-nilai pluralitas dan nilai-nilai universal. Pengembangan estetika menempatkan pengalaman belajar dalam konteks holistik dan total untuk memberikan ruang bagi pengalaman estetik dengan melalui berbagai kegiatan yang dapat mengekspresikan gagasan, rasa dan karsa. Logika yang dikembangkan termasuk berpikir kreatif dan inovatif dengan keseimbangan yang nyata antara kognisi dan emosi dapat memberikan keterampilan kognitif sekaligus dengan keterampilan interpersonal.
Mengingat pentingnya hal tersebut, maka kurikulum inti perlu memuat dan mengintegrasikan pengetahuan (aspek kognitif) dan sikap (aspek afektif) dengan isu aktual dan kontemporer tentang budi pekerti, HAM, pariwisata, lingkungan hidup dan kependudukan, kehutanan, home economics, pencegahan konsumerisme, pencegahan HIV/AIDS, penangkalan penyalahgunaan narkoba, perdamaian, demokrasi dan peningkatan konsensus pada nilai-nilai universal. Selain itu kurikulum inti juga memuat pengembangan keterampilan hidup (life skill) sebagai realisasi aspek psikomotorik setelah terintegrasinya aspek kognitif dengan afektif di atas. Beberapa aspek utama dalam keterampilan hidup ini adalah kerumahtanggaan, pemecahan masalah, berpikir kritis, komunikasi, kesadaran diri, menghindari stress, membuat keputusan, berpikir kreatif, hubungan interpersonal dan pemahaman tentang berbagai bentuk pekerjaan serta kemampuan vokasional disertai sikap positif terhadap kerja. Oleh karena itu dalam kurikulum perlu dimasukkan keterampilan hidup agar peserta didik memiliki kemampuan bersikap dan berprilaku adaptif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan sehari-hari secara efektif.
Mengapa kurikulum perlu memuat tema-tema tersebut, tak lain adalah agar peserta didik, termasuk mahasiswa, tidak teralienasi dengan lingkungannya. Antara teori yang diperoleh di bangku kuliah dengan praktik di lapangan mestilah tidak mengalami kesenjangan terlampau jauh. Dengan begitu, maka kurikulum inti diharapkan mampu menyongsong tantangan zaman menghadapi abad pengetahuan dan dapat memperkuat identitas nasional. Tantangan zaman bisa berupa teknologi informasi dan komunikasi, dimana keduanya menyediakan kemudahan belajar elektronik (E-Learning) atau belajar dengan kabel on-line yang mempermudah akses ke dalam informasi dan ilmu pengetahuan baru yang tidak tertulis dalam kurikulum. Sedangkan menghadapi abad pengetahuan diperlukan masyarakat yang berpengetahuan dan berketerampilan yang diperoleh melalui belajar sepanjang hayat (lifelong education). Untuk itu diperlukan kurikulum yang mampu meningkatkan kemampuan metakognitif dan kemampuan berpikir serta belajar dalam mengakses, memilih, menilai pengetahuan dan mengatasi situasi yang membingungkan dan penuh ketidakpastian. Selain itu, kurikulum juga perlu menanamkan dan mempertahankan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia melalui pemahaman terhadap pertumbuhan peradaban bangsa, sehingga terbentuk pendidikan berwawasan nasionalisme dan pluralisme.
Khusus untuk lembaga pendidikan keagamaan seperti IAIN, materi inti harus memuat nilai-nilai keimanan dan budi pekerti luhur yang dianut dan dijunjung tinggi oleh umat Islam, sebab hal itu amat berpengaruh bagi sikap dan arti kehidupannya. Dalam pengembangan konsep KBK, hal ini perlu mendapat perhatian yang cukup.
5.    Strategi Perkuliahan
Inti penerapan konsep KBK terletak pada pemilihan strategi perkuliahan yang tepat. Strategi dimaksud meliputi pendekatan, metode dan teknik perkuliahan.
Dalam KBK, pendekatan yang digunakan adalah sistemik (systemic approach), menyeluruh (holistic) dan kemitraan (partnerships). Dimaksud dengan pendekatan sistem adalah proses pencapaian hasil secara efektif dan efisien atas dasar kebutuhan-kebutuhan yang ada. Proses tersebut meliputi pengidentifikasian kebutuhan dan masalah, alternatif pemecahan masalah, penilaian dan pelaksanaan alternatif serta penilaian dan revisi terhadap pemecahan masalah.  Adapun karakteristik suatu pendekatan sistem adalah memiliki tujuan, fungsi, komponen, interaksi dan efek sinergik, dipengaruhi oleh sistem yang lain, mengalami proses transformasi, umpan balik dan bersifat relatif.  Dalam sistem perkuliahan dengan pendekatan kompetensi perlu menekankan pada kecakapan dasar (basic skill atau life skill) yang secara umum disebut sebagai pembelajaran tiga C, yaitu Consience (hati nurani), Compassion (kepedulian sosial) dan Competence (kecakapan). Ini berarti, setelah terombang-ambing kehilangan pegangan filosofik, akibat setiap ganti menteri selalu ganti kebijakan, pendidikan nasional kembali sepaham dengan pendidikan UNESCO, bahwa pembelajaran itu mengarahkan peserta didik belajar untuk mengetahui (learning to know), berbuat (learning to do), menjadi diri sendiri (learning to be) dan belajar untuk hidup bersama (learning to live together).
Salah satu hal yang sangat krusial dalam sistem ini adalah adanya quality assurance atau jaminan mutu output yang dihasilkan, dan semua itu harus dipertanggungjawabkan kepada publik (public accountibility). Dengan demikian, sekolah atau kampus mau tidak mau harus berupaya semaksimal mungkin agar proses pendidikan/perkuliahan berjalan dengan baik supaya menghasilkan lulusan yang berkualitas, mencapai kompetensi yang telah ditetapkan.
Sedang Holistik artinya adalah memperhatikan semua pengalaman belajar yang dirancang secara berkesinambungan mulai dari TK/RA sampai PT. Adapun kemitraan berarti bahwa keberhasilan pencapaian pengalaman belajar tersebut menuntut tanggungjawab bersama dari peserta didik, guru, sekolah, orang tua, perguruan tinggi, dunia usaha dan industri serta masyarakat pada umumnya.
Sebagaimana terurai dalam pendekatan sistem, penerapan konsep KBK menggunakan metode partisipatoris dalam perkuliahannya. Keterlibatan mahasiswa dalam proses instruksional di ruang kelas atau kampus mengikuti pola student-centered atau berpusat pada mahasiswa, dimana diharapkan para mahasiswa dapat aktif belajar. Upaya untuk memandirikan peserta didik untuk belajar, berkolaborasi, membantu teman, mengadakan pengamatan dan penilaian dini untuk suatu refleksi akan mendorong mereka membangun pengetahuannya sendiri. Dengan demikian pandangan baru akan diperoleh melalui pengalaman langsung secara lebih efektif. Dalam hal ini, peran utama dosen adalah sebagai fasilitator.
Untuk itu metode yang dapat dipilih antara lain adalah diskusi, tanya-jawab, eksperimentasi, discovery, pendalaman materi atau bentuk-bentuk penugasan mandiri seperti menyusun makalah, resume dan resensi buku, terjemah, analisis serta lainnya. Pelaksanaan perkuliahan di kelas juga tidak menerapkan arus komunikasi satu arah dari dosen ke mahasiswa, melainkan multi arah (multy ways traffic communication). Metode tersebut secara aplikatif di lapangan diwujudkan dalam berbagai bentuk teknik perkuliahan. Teknik perkuliahan menyangkut langkah-langkah operasional yang dapat berupa penjabaran atas metode perkuliahan.
6.    Sarana dan Sumber
Anggapan bahwa kuliah itu bersumber dari ruang kelas semata adalah tidak tepat. Di lingkungan perguruan tinggi, mahasiswa diharapkan dapat belajar mandiri dengan tidak hanya mengandalkan catatan kuliah yang telah disampaikan oleh seorang dosen, melainkan lebih dari itu, mampu mengembangkan hasil belajarnya dari berbagai sumber belajar.
Menurut AECT (Association of Education and Communication Technology), sumber belajar (learning resources) dapat diartikan sebagai all of the resources which may be used by the learner in isolation or combination to fasilitate learning  atau semua sumber yang bisa dimanfaatkan oleh si belajar baik secara sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk memfasilitasi belajar mereka. Jadi, sumber belajar merupakan daya yang bisa dipakai untuk membantu proses belajar-mengajar, baik secara langsung maupun tak langsung, sebagian atau keseluruhan, dirancang (by design) maupun siap jadi (by utilization).
Dosen, guru, tutor dan lain-lain merupakan salah satu sumber belajar berupa manusia (people). Selain dari dosen, proses pembelajaran mahasiswa di kampus dapat ditempuh melalui sumber lain yang kedua, yakni: pesan (massage) atau informasi yang disampaikan oleh komponen lain dalam bentuk ide, fakta, arti maupun data. Buku, merupakan contoh sederhana bagi jenis sumber belajar ini, dimana mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga dapat menjangkaunya dengan mudah baik via perpustakaan maupun toko buku yang tersebar luas di Yogyakarta.
Sumber belajar yang ketiga adalah materials atau bahan dalam bentuk software. Dari sumber ini mahasiswa bisa memperoleh bahan kuliah di ruang kelas, transparansi, slide, film, video tape, piringan hitam, audio tape, MP3 maupun dari program komputer pendidikan (E-Learning) yang juga telah banyak tersedia. Dari luasnya sumber materials ini sebenarnya mahasiswa dapat belajar di mana saja dan kapan saja, sambil nonton TV mahasiswa pun dapat mengambil nilai edukatifnya. Perpaduan sumber belajar materials adalah alat atau divice yang merupakan sumber belajar keempat. Jika bahan digolongkan dalam perangkat lunak, maka alat merupakan perangkat keras (hardware). Bahan-bahan yang tergolong perangkat keras ini lazim digunakan untuk menyampaikan pesan yang terdapat pada bahan. Contoh alat yang lazim digunakan dalam perkuliahan di Fakultas Tarbiyah adalah OHP (Over Head Projector), tape recorder, komputer dan mesin belajar lainnya. Perkuliahan yang menggunakan media pembelajaran seperti itu akan mengefektifkan hasil belajar dan mengefisienkan waktu yang tersedia, sehingga perkuliahan menjadi lebih dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa.
Sumber belajar kelima adalah teknik (technique) atau prosedur dan langkah-langkah tertentu yang dipakai untuk menyampaikan pesan. Penjelasan lebih luas mengenai teknik ini telah tercakup dalam bagian strategi perkuliahan.
Selanjutnya, sumber belajar keenam adalah lingkungan atau milieu dimana pesan diterima oleh si belajar. Lingkungan fisik kampus, seperti gedung, ruang perkuliahan, perpustakaan, auditorium, hall atau aula, lapangan olah raga, studio, perkantoran, rektorat, dekanat, ruang dosen dan lain sebagainya, baik fungsionalisasinya maupun tata letaknya dapat mempengaruhi inteaksi belajar mahasiswa. Termasuk juga lingkungan non-fisik berupa penerangan, sirkulasi udara, akustik, pendinginan dan pemanasan serta jarak antar lokasi, semuanya mempengaruhi kondisi belajar mahasiswa. Selain itu, lingkungan ini dibedakan antara lingkungan kampus yang telah ada (by design) dengan lingkungan non-kampus (by utility) seperti tempat kos-kosan, pasar, terminal, pertokoan, jalan raya, bandara, kebun dan lain sebagainya yang dekat maupun jauh dengan kampus. Survey yang telah dilakukan oleh Tim Fakultas Tarbiyah pada Tahun Akademik 2002/2003 menunjukkan bahwa ada pengaruh dan sumbangan yang positif dari kondisi lingkungan sosial dan fisik terhadap motivasi belajar mahasiswa. Hal ini dibuktikan dengan perhitungan product moment, korelasi ganda dan koefisien regresi yang siknifikan, yaitu diketemukan nilai siknifikansi sebesar 0,641 dan peluang ralat p = 0,000 serta dengan besar sumbangan total pengaruh dari dua prediktor yang ada sebesar 93,71 persen.
Keseluruhan sumber belajar di atas, dalam konteks penerapan konsep KBK di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga perlu dioptimalkan melalui proses perkuliahan yang kondusif.
7.    Evaluasi
Evaluasi hasil belajar dalam implementasi KBK dilakukan dengan penilaian kelas, tes kemampuan dasar, penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi, benchmarking dan penilaian program.  Penilaian Berbasis Kelas (PBK) dilakukan dengan mengumpulkan kerja mahasiswa (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tes tertulis (paper and pen).  Dalam pelaksanaannya, PBK ini harus memperhatikan tiga ranah, yaitu ranah pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik). Ketiganya sebaiknya dinilai secara proporsional, terus-menerus (kontinu) dan berkala, yakni setelah mahasiswa selesai mempelajari satu kompetensi pada tiap akhir semester sesuai dengan sifat mata kuliah yang bersangkutan.
Penilaian hasil belajar mengacu pada indikator hasil belajar yang ditetapkan dalam kurikulum. Setiap kemajuan hasil belajar peserta didik dilaporkan dalam bentuk deskriptif yang memberikan gambaran hasil:
a.    peserta didik dan orangtuanya untuk memahami potensi yang dimiliki,
b.    guru untuk menentukan tindak lanjut bagi pengembangan diri peserta didik, dan
c.    pihak yang berkepentingan untuk perbaikan program perkuliahan dan silabus atau kurikulum.
Penilaian hasil belajar dilaksanakan secara konsisten dan kontinu. Dengan demikian penilaian harus didukung oleh adanya rekaman perkembangan tingkat kemajuan peserta didik dalam menguasai setiap kompetensi dasar sebagai kemampuan minimal yang harus dicapai oleh semua peserta didik.
PBK di lingkungan perguruan tinggi bisa dilakukan dengan tugas-tugas terstruktur baik secara individual maupun kelompok berupa diskusi, resume atau resensi, terjemah maupun lainnya yang biasanya dilakukan pada tiap kali tatap muka. Penilaian seperti ini terutama ditujukan untuk memperbaiki modul dan program perkuliahan, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakan untuk tujuan-tujuan lain, misalnya sebagai bahan pertimbangan pemberian nilai bagi para mahasiswa. Perlu disampaikan, untuk penilaian jenis ini, antara satu dosen atau perkuliahan dengan dosen lainnya, bisa bervariasi satu sama lain. Selain tugas terstuktur, penilaian kelas dilakukan dengan  Ujian Tengah Semester (UTS) dimana soalnya diambil dari materi yang telah disampaikan pada paroh pertama semester tersebut, sedangkan materi secara keseluruhan dalam satu semester dinilai dalam Ujian Akhir Semester (UAS). Di lingkungan Perguruan Tinggi, UAS ini dapat dipandang berfungsi untuk mengukur tingkat ketuntasan belajar (mastery learning) dan kemampuan dasar yang dicapai mahasiswa dalam beberapa bidang mata kuliah. Bilamana ternyata kemampuannya kurang, maka mahasiswa tersebut diberi kesempatan mengambil mata kuliah tersebut pada semester berikutnya dalam program perbaikan (remedial). Sebaliknya, bila mahasiswa telah mencapai kompetensi dasar di bidangnya, artinya tidak mengulang, maka hasil belajarnya tersebut dapat dinyatakan dalam sertifikasi, kinerja atau ijazah yang akan diberikan setelah seluruh sks atau mata kuliahnya telah selesai ditempuh.
Sedangkan benchmarking merupakan standar yang dipakai untuk mengukur kinerja yang sedang berjalan, proses dan produk dalam bentuk keunggulan tertentu. Ukuran keunggulan dapat dipakai untuk menentukan peringkat kelas dan bukan memberikan nilai akhir mahasiswa. Dalam bentuk tugas-tugas sebagaimana disebut sebelumnya, benchmarking ini berupa kumpulan dari portofolio yang telah dilakukan pada tiap kali pertemuan perkuliahan.
D.    Peluang dan Tantangan
Fakultas Tarbiyah terdiri dari empat jurusan, yakni: Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA), Jurusan Kependidikan Islam (KI) dan Jurusan Tadris. Keberadaan masing-masing jurusan tersebut mengalami perkembangan sendiri-sendiri. Sampai pada semester genap tahun akademik 2002/2003, potensi Fakultas Tarbiyah adalah sebagai berikut:


1.     Dosen

Tabel 1
Jumlah dan Rasio Dosen terhadap Mahasiswa Fakultas Tarbiyah
pada semester Ganjil Tahun Akademik 2003/2004

NO
JURUSAN
JUMLAH DOSEN
%
JUMLAH
MHS
JUMLAH KELAS
RASIO DOSEN: MHS
RASIO
KELAS : MHS
1
PAI
35
38.0
860
6 ruang
1 : 25
1 : 48
2
PBA
18
19.6
418
4 ruang
1 : 23
1 : 35
3
KI
22
23.9
398
4 ruang
1 : 18
1 : 33
4
Tadris
17
18.5
651
5 ruang
1 : 38
1 : 43

TOTAL
92
100
2327
19 ruang
1 : 25
1 : 41
Diolah dari sumber: Keputusan Rektor Nomor 14/Ty/Tahun 2003 dan data Fakultas Tarbiyah
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah dosen KI telah memadai, yakni 23,9 % bila dibandingkan dengan keseluruhan jumlah dosen di Fakultas Tarbiyah. Begitu pula halnya dengan rasio dosen KI dengan jumlah mahasiswa yang telah memenuhi kebutuhan, yakni 1 : 18. Akan tetapi, bila dilihat dari jumlah mahasiswanya, maka Jurusan KI tergolong paling rendah diminati oleh para mahasiswa di lingkungan Fakultas Tarbiyah. Rasio dosen dipandang tidak proporsional bila dibandingkan dengan jumlah mahasiswa justru terjadi di jurusan lain, masing-masing yang amat membutuhkan tambahan dosen adalah Jurusan Tadris, PAI dan PBA. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti tenaga dosen di Jurusan Tadris, PAI dan PBA tersebut tidak teratasi, sebab pembagian tugas mengampu mata kuliah oleh seorang dosen tidaklah dibagi secara kaku menurut jurusannya masing-masing, melainkan satu dosen bisa memberi kuliah di jurusan lain dalam fakultas yang sama. Lebih dari itu, Jurusan Tadris memiliki sejumlah Dosen Luar Biasa yang berasal dari perguruan tinggi lain, sehingga yang nampak dalam tabulasi di atas rasionya ada yang kurang ideal, sebenarnya dalam praktiknya teratasi dengan baik. Di Fakultas Tarbiyah, problema dosen sebenarnya bukan terletak pada rasionya, melainkan kesesuaian kualifikasi mengampu mata kuliah dengan bidang keahliannya.
Selain rasio dosen dengan mahasiswa, perbandingan antara jumlah ruang kelas perkuliahan yang tersedia dengan jumlah mahasiswa dalam tiap jurusan juga berbeda-beda. Bila rasio jumlah kelas terhadap jumlah mahasiswa dihitung berdasarkan hasil bagi dari jumlah mahasiswa dengan jumlah kelas yang dikalikan dengan jumlah jam perkuliahan dalam sehari (diasumsikan 3 jam perkuliahan, mulai pukul 07.00 s/d 14.10, dengan konsentrasi perkuliahan pada hari Senin sampai Jum’at dan sebagian hari Sabtu), maka Jurusan KI dan PBA tidak mengalami kesulitan dengan alokasi ruang kelas perkuliahan yang tersedia. Sementara itu, dua jurusan lainnya, yakni PAI dan Tadris, membutuhkan tambahan jam perkuliahan pada jam ke empat yakni pukul 14.30 s/d 16.10. Jadi, untuk jangka pendek baik rasio dosen dibandingkan dengan mahasiswa, maupun rasio ruang kelas dibandingkan dengan jumlah mahasiswa, semua jurusan telah mampu mengatasi persoalannya masing-masing, namun demikian dalam jangka panjang perlu penataan kembali alokasi ruang yang tersedia sehingga dapat dicapai rasio ideal pada semua jurusan di Fakultas Tarbiyah.

Tabel 2
Jumlah Dosen Fakultas Tarbiyah Berdasarkan Golongan dan Jabatan
Pada Semester Genap Tahun Akademik 2002/2003

NO
GOLONGAN/JABATAN
PAI
PBA
KI
Tadris
JUMLAH
%
1
IIIa/ Asisten Ahli
8
3
3
10
24
26,0
2
IIIb/ Asisten Ahli
2
2
3
2
9
9,8
3
IIIc/ Lektor
5
4
6
2
17
18,5
4
IIId/ Lektor
5
6
2
0
13
14,1
5
IVa/ Lektor Kepala
8
3
3
3
17
18,5
6
IVb/ Lektor Kepala
3
0
4
0
8
7,6
7
IVc/ Lektor Kepala
3
0
0
0
3
3,3
8
IVd/ Guru Besar
1
0
1
0
2
2,2

TOTAL
35
18
22
17
92
100
Diolah dari sumber: Keputusan Rektor Nomor 14/Ty/Tahun 2003
Tabel di atas menunjukkan bahwa kualifikasi dosen Jurusan KI menduduki peringkat kedua setelah Jurusan PAI dengan jumlah dosen yang berada pada Golongan IIIa dan IIIb atau jabatan Asisten Ahli sebanyak 6 orang atau 18,2 persen dari total dosen di Fakultas; dan golongan IIIc dan IIId atau jabatan Lektor sebanyak 6 orang atau 20 persen dari keseluruhan dosen di Fakultas Tarbiyah. Sedang untuk dosen dengan golongan IVa dan IVb atau jabatan Lektor Kepala sebanyak 8 orang atau 32 persen dari 25 orang di Fakultas Tarbiyah. Ini berarti semakin tinggi golongan dan jabatan semakin banyak jumlah dosennya. Di antara 4 jurusan di Fakultas tarbiyah, yang memiliki Guru Besar adalah Jurusan PAI dan KI masing-masing satu orang. Kualifikasi dosen Fakultas Tarbiyah berdasarkan pangkat dan jabatannya di atas, pada Tahun Akademik 2003/2004 ternyata tidak banyak mengalami perubahan. Hanya Jurusan PBA saja yang terjadi kenaikan tingkat untuk dua orang, sementara jurusan lainnya tetap seperti sebelumnya.
Selanjutnya, tabel berikut ini menyajikan jumlah dosen yang disusun berdasarkan jenjang pendidikannnya.

Tabel 3
Jumlah Dosen Fakultas Tarbiyah Berdasarkan Jenjang Pendidikan
Pada Semester Genap Tahun Akademik 2002/2003

NO
JENJANG PENDIDIKAN
PAI
PBA
KI
Tadris
JUMLAH
%
1
S-1
9
4
5
8
26
28.3
2
S-2
26
13
16
9
64
69.6
3
S-3
0
1
1
0
2
2.1

TOTAL
35
18
22
17
92
100
Diolah dari sumber: Lampiran Keputusan Rektor Nomor 14/Ty/Tahun 2003
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dosen Jurusan KI yang berkualifikasi jenjang pendidikan Strata Satu (S-1) berjumlah 5 orang atau 19 persen dari total 26 orang dosen S-1 di Fakultas Tarbiyah. Sedang dosen Jurusan KI yang berjenjang pendidikan Strata Dua (S-2) berjumlah 16 orang atau 25 persen dari total 64 orang di Fakultas Tarbiyah. Sementara yang berpendidikan Strata Tiga (S-3) atau bergelar Doktor ada 2 orang. Selain itu, keadaan dosen yang mengajar dengan membuat persiapan dalam bentuk Satuan Acara Perkuliahan atau SAP, antara satu jurusan dengan lainnya berbeda. Persiapan mengajar menunjukkan bahwa dosen tersebut memberi perlakuan perkuliahan secara sistematis. Tabel berikut ini memberi ilustrasi keadaan tersebut.

Tabel 4
Jumlah Dosen Fakultas Tarbiyah yang Mengumpulkan
dan Tidak Mengumpulkan Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
Pada Semester Genap Tahun Akademik 2002/2003
NO
JURUSAN
JUMLAH DOSEN
YANG MENGUMPULKAN SAP (1)
YANG TIDAK MENGUMPULKAN SAP (2)
%
(1)
1
PAI
35
14
21
40.0
2
PBA
18
4
14
22.0
3
KI
22
12
10
54.5
4
Tadris
17
4
13
23.5

TOTAL
92
34
57
100
Sumber: data TU Fakultas Tarbiyah dan Jurusan KI Semester Genap Tahun Akademik 2002/2003
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa bila dibandingkan dengan jurusan yang lain, dosen KI adalah yang terbanyak dalam membuat dan mengumpulkan Satuan Acara Perkuliahan (SAP), yakni sebesar 54,5 persen. SAP merupakan salah satu sarana penting dalam persiapan mengajar, agar materi dan strategi pembelajaran yang diterapkan serta keseluruhan proses dan produk pendidikannya dapat dilakukan secara sistematis. Kesiapan penerapan konsep KBK di lingkungan Fakultas Tarbiyah, di antaranya adalah dilihat dalam terpenuhinya SAP ini. Dari hasil wawancara dengan beberapa dosen KI, dapat disimpulkan bahwa dosen yang membuat dan mengumpulkan SAP, strategi perkuliahannya lebih bervariasi daripada dosen yang tidak membuat SAP.
2.    Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Tarbiyah berasal dari berbagai provinsi di Indonesia, dimana pada Semester Genap Tahun Akademik 2002/2003, sebagian besar mahasiswanya berasal dari Jawa Tengah (659 mahasiswa), DIY (432 mahasiswa), Jawa Timur (293 mahasiswa) dan Jawa Barat (218 mahasiswa), sisanya tersebar dari berbagai provinsi lain dengan total 1855 mahasiswa.  Sebanyak 68 persen mahasiswa Fakultas Tarbiyah berlatar belakang pendidikan dari Madrasah Aliyah (MA), 12 persen dari pesantren, 21 persen dari SMU (sebagian besar di antaranya berada di Jurusan Tadris), dan 4 persen dari SMK.  Sementara alasan mahasiswa memilih masuk ke Fakultas Tarbiyah bervariasi satu sama lain, yakni sebanyak 46 persen menjawab untuk menjadi guru, 30 persen karena keinginan orang tua, 4 persen karena ajakan teman, 14 persen karena gagal UMPTN dan sisanya 6 persen masuk ke Fakultas Tarbiyah sebagai batu loncatan.  Keadaan demikian menjadi tantangan tersendiri bagi penerapan KBK.
3.    Kondisi Perkuliahan
Perkuliahan di Jurusan KI diselenggarakan setiap hari efektif sesuai dengan kalender akademik Fakultas Tarbiyah, dimana lama perkuliahan di kelas menyesuaikan bobot sks mata kuliahnya. Untuk 1 sks dilaksanakan selama 50 menit, 2 sks 100 menit, dan 3 sks 150 menit. Dalam sehari, perkuliahan dibagi dalam empat jam pertemuan, yakni:
a.    Jam I    : pukul 07.00 s/d 08.40 (2 sks).
b.    Jam II    : pukul 09.40 s/d 11.20 (2 sks).
c.    Jam III    : pukul 12.30 s/d 14.10 (2 sks).
d.    Jam IV    : pukul 14.20 s/d 16.00 (2 sks).
Strategi perkuliahan yang dilaksanakan oleh seorang dosen berbeda satu sama lain. Dari interview terhadap 6 dosen Jurusan KI pada 25 Agustus sampai 5 September 2003,  terlihat beberapa variasi mengajar sebagai berikut:
a.    Metode ceramah.
b.    Metode diskusi.
c.    Metode ceramah dan diskusi.
d.    Metode resitasi (pemberian tugas berupa penyusunan makalah, resume, analisis kliping atau lainnya).
e.    Metode kunjungan perpustakaan atau institusi terkait.
f.    Metode pendalaman tugas (berupa diskusi kecil antara 5 mahasiswa dengan dosen untuk mengetahui sejauh mana penguasaan materi kuliah atau tugas yang telah diberikan).
g.    Metode active learning, dan
h.    Metode text-book oriented (terutama untuk mata kuliah bahasa Arab).
Melihat kondisi mahasiswa Fakultas Tarbiyah sebagaimana disebutkan terdahulu, ditambah lagi dengan kebiasaan mereka baik di dalam maupun di luar kampus, maka penerapan konsep KBK ini penting sebagai alternatif peningkatan kualitas perkuliahan di kampus. Hasil penelitian Tim Fakultas Tarbiyah yang dilakukan sampai pada Semester Genap tahun Akademik 2002/2003 menunjukkan bahwa hanya 5 persen saja mahasiswa yang sangat aktif dalam diskusi kelompok, sedang 30 persen lainnya masuk dalam kategori aktif, sementara 49 persen lainnya kurang aktif, 12 persen tidak aktif dan 4 persen sisanya tidak aktif sama sekali. Ini berarti bahwa sebagian besar mahasiswa kurang aktif terlibat dalam diskusi kelompok.
Selain itu, jumlah buku yang dibeli dalam satu bulan dan lama belajar mahasiswa dalam sehari juga kurang menggembirakan. Jumlah mahasiswa yang membeli lebih dari 5 buku dalam satu bulan hanya 2 persen, sebanyak 7 persen mahasiswa membeli 3 – 4 buku dalam satu bulan, sebanyak 63 persen mahasiswa membeli 1 – 2 buku dalam satu bulan dan sisanya sebanyak 28 persen mahasiswa tidak membeli buku dalam satu bulan. Demikian pula dengan jumlah jam belajar dalam sehari. Sebesar 10 persen mahasiswa mengaku belajar lebih dari 3 jam sehari, 26 persen belajar 2 jam sehari, 39 persen belajar 1 jam sehari, 20 persen belajar kurang dari 1 jam sehari dan sisanya 5 persen tidak belajar setiap hari.  Kondisi kunjungan mahasiswa ke perpustakaan juga tidak menunjukkan prestasi yang jauh berbeda. Mahasiswa yang berkunjung ke perpustakaan setiap hari sebanyak 9 persen, dua hari sekali 21 persen, dua kali dalam seminggu sebanyak 39 persen, seminggu sekali sebanyak 18 persen, setengah bulan sekali sebanyak 10 persen dan tidak ke perpustakaan sebanyak 3 persen.
Kondisi dosen, mahasiswa dan perkuliahan di atas mencerminkan sejauh mana Fakultas Tarbiyah berpeluang menghadapi penerapan KBK, sekaligus merupakan tantangan. Selain itu data tersebut menunjukkan bahwa diperlukan suatu strategi baru dalam proses pembelajaran mahasiswa, sedemikian hingga mereka menjadi lebih bersemangat dan proaktif dalam kuliah. Untuk itu penerapan konsep KBK dalam perkuliahan di Fakultas Tarbiyah perlu dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk mengaktifkan gaya belajar mahasiswa secara lebih dinamis, sebab konsep KBK menyajikan metode perkuliahan aktif (active learning) yang diharapkan dapat memberdayakan kemampuan (competency) mahasiswa.
Dari uraian di atas, bila dilakukan analisis SWOT untuk aspek peluang (oportunity) dan tantangan (threat) bagi Fakultas Tarbiyah adalah:
a.    Peluang (oportunity)
1)    Jumlah dosen yang cukup, dengan kualifikasi 69, 6 % berpendidikan Sarjana Strata Dua atau jenjang Magister, merupakan potensi SDM yang kondusif bagi penerapan KBK.
2)    Tersedianya sarana fisik dan non-fisik yang terus menerus ditingkatkan untuk keperluan perkuliahan model KBK.
3)    Adanya upaya sosialisasi dan kebijakan dari pimpinan Fakultas Tarbiyah untuk menerapkan KBK mulai 2004, diharapkan dapat memperbaiki kelemahan kurikulum sebelumnya yang dianut selama ini.
4)    Dukungan dari pihak mahasiswa sebagaimana nampak dari tidak adanya respons negatif atau penolakan terhadap penerapan KBK.
5)    Proses perubahan IAIN menjadi UIN memberi peluang bagi restrukturisasi kurikulum, kualifikasi SDM, peningkatan sarana dan prasarana perkuliahan, termasuk fasilitas pendukung lainnya bagi penerapan KBK sehingga dapat meningkatkan mutu lulusan yang memiliki daya sanding (komparatif) sekaligus daya saing (kompetitif) dengan perguruan tinggi lain.
b.    Tantangan (threat)
1)    Jumlah dosen dengan kualifikasi pendidikan S-3 atau Doktor di lingkungan Fakultas Tarbiyah, bila dibandingkan dengan fakultas atau perguruan tinggi lain, masih kurang dan perlu ditingkatkan.
2)    Tidak semua dosen membuat dan mengumpulkan SAP
3)    Tidak semua dosen menerapkan strategi dan metode perkuliahan aktif (active learning).
4)    Tidak semua dosen mengampu mata kuliah sesuai dengan kemampuan (competency based) dan keahliannya (prinsip profesionalitas).
5)    Rasio ruang kelas dengan jumlah mahasiswa masih belum ideal.
6)    Ruang kelas masih berpola konvensional, belum dilengkapi dengan sarana multimedia dan penataan bangku yang fleksibel.
7)    Kesiapan administratif dan manejerial masih mencari bentuk, dan belum dilakukan pembaharuan.
Peluang dan tantangan tersebut masih bisa berkembang lebih kompleks. Namun, yang utama dalam penerapan KBK ini adalah tindak lanjut dari seluruh civitas akademika di lingkungan Fakultas Tarbiyah mendukung sepenuh hati dan melaksanakannya.
E.    Penutup
Dari beberapa uraian di atas dapat ditarik beberapa pemikiran untuk implikasi selanjutnya bagi proses pendidikan di Fakultas Tarbiyah. Implikasi ini penting artinya bagi pengambil kebijakan dalam rangka perbaikan pendidikan di masa datang. Beberapa implikasi tersebut antara lain adalah:
1.    Penerapan konsep KBK dalam perkuliahan di Fakultas Tarbiyah tidaklah boleh dimaknai secara sempit dan kaku menurut format kurikulum yang berlaku, melainkan dilaksanakan secara fleksibel baik oleh pengambil kebijakan maupun para tenaga edukatif yang berhadapan langsung dengan mahasiswa di ruang kuliah. Untuk mendukung pelaksanaannya, suasana dan fasilitas kelas hendaknya kondusif, dimana seorang dosen dapat menyesuaikan model perkuliahannya menurut karakteristik mata kuliah yang diampunya.
2.    Penerapan konsep KBK dalam perkuliahan di Fakultas Tarbiyah bertumpu pada pengembangan strategi pembelajaran aktif, dimana para mahasiswa dituntut untuk belajar lebih mandiri melalui berbagai macam tugas maupun partisipasi kelas yang dinamis. Oleh karena itu, pendekatan yang perlu dilakukan oleh seorang dosen dalam keseluruhan proses perkuliahannya adalah pendekatan dan interaksi yang humanistik (humanistic approach).
3.    Mengingat bahwa KBK mulai diberlakukan pada 2004 ini, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: pihak pimpinan Fakultas Tarbiyah hendaknya melakukan sosialisasi secara kontinu tentang penerapan KBK kepada seluruh civitas akademika agar dapat diperoleh kesamaan visi, misi dan orientasi perkuliahan yang dilaksanakan oleh para dosennya. Untuk itu, SK Rektor Nomor 88 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi, agar dapat diperluas jangkauannya tidak hanya untuk MKDU saja melainkan untuk semua mata kuliah.
4.    Pihak tenaga edukatif hendaknya menyambut hadirnya KBK ini dengan semangat pembaharuan model perkuliahan melalui persiapan memberi kuliah atau SAP, pembenahan strategi perkuliahan dan pengembangan wawasan keilmuan yang lebih profesional dan berkompeten di bidangnya. Terlebih bila diingat bahwa IAIN Sunan Kalijaga dalam proses pengembangan menjadi UIN, sedemikian hingga efektifitas perkuliahan yang telah dilaksanakan sampai sejauh ini perlu dievaluasi terus-menerus dan menjadikan konsep KBK sebagai alternatif model perkuliahan. Walaupun diakui bahwa di atas kertas bisa saja KBK ini lebih efektif dari pada non-KBK, atau sebagian dosen telah menjalankan model perkuliahan aktif sebagaimana dimaksudkan oleh KBK, namun dalam praktiknya intensitas efektifitas penerapan konsep KBK antara satu dosen dengan dosen lainnya, dan antara satu mata kuliah dengan mata kuliah lainnya bisa berbeda pula.
DAFTAR  PUSTAKA
A. Samana. Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994.
-------, Sistem Pengajaran (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) dan Pertimbangan Metodoligisnya. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Abdillah, Masykuri. “Menimbang Kurikulum IAIN: Kasus Kurikulum 1995 dan 1997” dalam Komaruddin Hidayat (Ed.), Problem & Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2000.
Abu-Duhou, Ibtisam. School-Based Manajement. Jakarta: Logos, 2002.
Ahmad, Muhammad. Pengembangan Kurikulum untuk IAIN dan PTAIS semua Fakultas dan Jurusan. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Arikunto, Suharrimi. Penilaian Program Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara, 1988.
Ariyanto, Totok. “Menyongsong Kurikulum Baru” dalam Bernas, Selasa 22 Januari 2002.
Azhar, Lalu Muhammad. Proses Belajar Mengajar Pola CBSA. Surabaya: Usaha Nasional, 1993.
Barnadib, Sutari Imam. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: FIP, 1987.
Budiharga, Wiladi (Ed.). Ringkasan Penelitian Program Dana bantuan Penelitian Bagi Peneliti Muda. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan The Toyota Foundation, 1999.
Chan, Steven M. Pendidikan Liberal Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Kreasi Wacana,  2002.
Djohar. Pendidikan Strategik: Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: LESFI, 2003.
Feisal, Jusuf Amir. Reorientasi Pendidikan Islam. Bandung: Gema Insani Pers, 1995.
Hadi, Sutrisno.  Statistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1977.
-------, Metodologi Research 1-4. Yogyakarta: Andi Offset, 1990.
Hills, Peter J. A Dictionary of Education. London: Routledge & Kegan Paul, 1982.
Kwartolo, Yuli. “Catatan Ktitis tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi” dalam Jurnal Pendidikan Penabur. Jakarta: t.p.: Vol.1 Th.1, Maret 2002.
Latief, Jamroh. “Profil Guru Agama dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi”, dalam Kependidikan Islam: Jurnal Pemikiran, Riset dan Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Jurusan Kependidikan Islam, Vol.1, No.1, Pebruari – Juli 2003.
Mas’ud, Abdurrahman. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media,  2002.
Moh. Damami. Judul-Judul Penelitian IAIN Sunan Kalijaga 1973-1999. Yogyakarta: Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, 1999.

Moh. Nazir. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Mulyasa. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
-------, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Nasution, S. Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars, 1988.
-------, Pengembangan Kurikulum. Bandung: Alumni, 1988.
Pratt, David. Curriculum: Design and Development. USA: Harcourt, 1980
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1994.
Rasyad, Aminuddin.  “Tuntutan Kompetensi Prifesi Guru Agama Pada Melenium III Abad 21 “,  dalam Jurnal Didaktika Islamika.  Jakarta: Vol. 1 No. 4 Nopember 2000.
Sabarudin. “Rekonstruksi Praktik Pengalaman Lapangan Mahasiswa Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah, Vol.4, No.3, Juli 2002.
Setijadi. Definisi Teknologi Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada,  1994.
Silberman, Mel. Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: YAPPENDIS, 2001.
Soeharto, Karti. Teknologi Pembelajaran:: Pendekatan Sistem, Konsepsi dan Model, SAP, Evaluasi, Sumber Belajar dan Media. Surabaya: SIC, 1995.
Sri Sumarni. “Penilaian Berbasis Kelas (PBK) dalam Rangka Implementasi Kurikulum PAI Berbasis Kompetensi” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Vol.4, No.1, Januari 2003.
Stratemeyer, dkk.  Developing a Curriculum for Modern Living. New York: Bureau of Publication, Columbia University, 1957.
Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru, 1989.
-------, dan Ibrahim. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru, 1989.
Sudjarwo S. Beberapa Aspek Pengembangan Sumber Belajar. Jakarta:  Mediyatama Sarana Perkasa, 1989.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.
Syaukani, HR, dkk. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Taba, Hilda. Curiculum Development: Theory and Practice. New York: Harcourt, Brace and World, 1962.
Thompson, Keith dan John aWhite. Curriculum Development: A Dialogue. New York: Pitman Publishing, 1975.
Tim Dosen FIP-IKIP Malang. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1987.
Tim Peneliti Fakultas Tarbiyah. “Lingkungan Kehidupan Mahasiswa dan Pengaruhnya terhadap Motivasi Belajar Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” dalam Laporan Penelitian Kelompok. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, Agustus 2002.
Wijaya, Cece dkk. Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran. Bandung: Rosdakarya, 1992.

Dokumentasi
Departemen Pendidikan Nasional. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Kebijaksanaan Umum Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan, 2001.
DEPDIKNAS. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMU. Balitbang Kurikulum Depdiknas Jakarta, 2001.
Laporan Rektor pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Mensyukuri Kelahiran IAIN Sunan Kalijaga (Dies Natalis ke-50) pada tanggal 26 September 2001.
SK Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Nomor 63/Ty. Tahun 2003.
SK Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Nomor 88 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Surat Kabar

Bernas, Rabu Legi 15 Mei 2002.
Bernas, Selasa Wage 10 September 2002.
Kedaulatan Rakyat, Sabtu Kliwon 30 Maret 2002.
Kedaulatan Rakyat, Senin 17 September 2001.
Kompas, Selasa 15 Oktober 2002.
Kompas, Selasa 2 Juli 2002.

Biodata

Abd. Rachman Assegaf, Lahir di Gresik pada 12 Maret 1964. Pernah mengajar di beberapa Perguruan Tinggi di berbagai kota, antara lain: STIT Raden Santri (Gresik), Universitas Muhammadiyah (Gresik), STIT Pancawahana (Bangil). Selain itu pernah juga menjadi Ketua Bagian Pendidikan Yayasan Al-Khairiyah Surabaya. Saat ini menjabat sebagai Dosen Tetap di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UPN Veteran (Yogyakarta). Jenjang pendidikannya ditempuh dari MI dan SMP Malik Ibrahim, SMA YWSG dan STIT Raden Santri (semuanya di Gresik), lalu melanjutkan ke jenjang Magister (S-2) di Pascasarjana  IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang ini sebagai kandidat Doktor di Pascasarjana yang sama. Selama ini aktif mengikuti pertemuan ilmiah berupa pelatihan, seminar, lokakarya, penelitian, penulisan makalah, jurnal maupun buku. Di antara buku yang sudah terbit adalah: Pola Hidup Orang Shaleh (Kajian 141 Tokoh Muslim) dan Konstruksi Hukum Islam (Telaah Tekstual Bersumber dari Sabda Nabi saw), keduanya diterbitkan oleh Pustaka Amani, Jakarta, 1996. Juga, buku berjudul INTERNASIONALISASI PENDIDIKAN: Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan barat. Yogyakarta: Gama Media, Agustus 2003, serta karya tulisnya yang terbaru berjudul PENDIDIKAN TANPA KEKERASAN: Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep. Yogyakarta: Tiara Wacana, Pebruari 2004. Untuk kontak lebih lanjut hubungi 081 328 028 573.

Previous
Next Post »