Hosting Unlimited Indonesia

Ulumul Quran

DAFTAR ISI ULUMUL QURAN
1.      Daftar Isi-----------------------------------------------------------------------      1
2.      Pendahuluan-------------------------------------------------------------------      2
3.      Bab I : Al-Qur’an--------------------------------------------------------------      3
4.      Bab II : ulumul Qur’an---------------------------------------------------------      10
5.      Bab III : Ilmu Asbabunnuzul--------------------------------------------------      22
6.      Bab IV : Al-Makky Al- Madany-----------------------------------------------      28
7.      Bab V : Munasabah------------------------------------------------------------      31
8.      Bab VI : Jam’ Al-Qur’an-------------------------------------------------------      37
9.      Dftar Pustaka------------------------------------------------------------------      47
DAETAR ISI TAFSIR
1.      Daftar isi             .................................................................................................. 1
2.      Pendahuluan        .................................................................................................. 48
3.      Bab I : Pengertian Metodologi Dan Sistematika................................................... 49
4.      Bab II : Sejarah Perkembangan Metode Tafsir..................................................... 57
5.      Bab III : Pembagian Tafsir.................................................................................... 65
6.      Bab IV : Tafsir Mawdhu’i..................................................................................... 69
7.      Bab V : Rijal at-Tafasir......................................................................................... 74
8.      Bab VI : Daftar Pustaka........................................................................................ 83











                                                    المقدمـــة

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونتوب إليه ونعوذ بالله مـن شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلاّ الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم أما بعد:

فقد أنزل الله  على عبده محمد صلي الله عله وسلم  القرآن الكريم ليكون للعالمين نذيرا، وجعله خاتمة كتبه، ومهيمنا عليها، وحجة على خلقه، ومعجزة لنبيه محمد صلي الله عله وسلم  لهذا تكفل الله  بحفظه فقال إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ  (الحجر: 9) وقال: لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ (فصلت:42) وقال لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ  فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (القيامة: 16-17)، فهيـأ لـذلك الأسبـاب والرجـال يحفظونــه، ويعلمونـه، ويقدمون أنفسهم في سبيل تعليم الناس بعض آيات من القرآن الكريم.













BAB I
AL-QUR’AN
A. Pengertian al-Qur’an
1. Secara Etimologi
            Secara etimologi kata al-Qur’an ialah kata masdar dari asal kata qara’a yang artinya “bacaan”. Namun dalam hal ini para ulama berbeda pendapat mengenai lafadz al-Qur’an. Sebagian berpendapat bahwa lafadz al-Qur’an itu tidak dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Quran), sedangkan yang lain mengatakan bahwa lafadz al-Qur’an itu dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an).
Berikut berbagai pendapat mengenai asal kata  lafadz al-Qur’an :
a.       Al-Syafi’I, salah seorang imam mazhab yang terkenal (150-204 H.)  berpendapat, bahwa kata alqur’an itu ditulis dan dibaca tanpa hamzah (al-Quran, bukan al-Qur’an) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus digunakan untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana nama Injil dan taurat yang digunakan khusus untuk kitab-kitab Allah yang diberikan masing-masing kepada Nabi Isa dan Nabi Musa.
b.      Al-farra’ seorang ahli bahasa yang terkenal, pengarang kitab ma’anil Qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata qarain jamak qarinah, yang artinya indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan sebagian ayat-ayat al-Qur’an itu serupa satu dengan yang lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya itu merupakan indikator dari yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu.
c.       Al-Asy’ari seorang ahli Ilmu Kalam, pemuka aliran sunni (wafat 324 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata قًََرَن, yang artinya menggabungkan. Hal ini disebabkan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an itu dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.
d.      Al-Zajjaj, pengarang kitab Ma’anil Qur’an (wafat 311 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an itu berhamzah, berwazan Fu’lan, dan diambil dari kata القَرَءُ, yang artinya penghimpunan. Hal ini disebabkan al-Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci sebelumnya (perhatikan S. Al-Bayyinah: 2-3).
e.       Al-Lihyani, seorang ahli bahasa (wafat 215 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an itu berhamzah, bentuk masdar dan diambil dari kata قَرَاءَ, yang artinya membaca. Hanya saja lafal al-Qur’an ini menurut Al-Lihyani adalah masdar bi ma’na isim maf’ul. Jadi, Qur’an artinya maqru’ (dibaca).
f.       Dr. Subhi al-Salih, pengarang kitab Mabahits fi Ulumil Qur’an mengemukakan, bahwa pendapat yang paling kuat adalah lafal al-Qur’an itu masdar dan sinonim (muradif) dengan lafal qira’ah, sebagaimana yang tersebut dalam surat al-Qiyamah ayat 17-18 :

¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè%
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”
g.      Beberapa orientalis, antara lain G. Bergstaesser berpendapat, bahwa bahasa Armia, Abessynia dan Persia tidak sedikit pengaruhnya terhadap perbendaharaan bahasa Arab, karena bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa-bahasa dari bangsa-bangsa yang bertentangga dengan bangsa Arab dan mereka adalah bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya beberapa abad sebelum Islam lahir.
Demikian pula Krenkow (dalam Encyclopedia de ‘Islam, art. Kitab II, p 1104) dan Blachere (dalam bukunya, Le Coran, Introduction, p. 5) bahwa bangsa Arab telah menggunakan beberapa kata yang berasal dari bahasa Armia, Suryani dan Hedbrow. Demikian pula didalam al-Qur’an, terdapat kata-kata yang berasal dari bahasa asing tersebut. Diantara kata-kata asing tersebut menurut Blachere adalah :
كِتَابٌ  , فُرْقاَنٌ ,قَيُّوْم ,ٌ dan juga lafal قَرَاءَ, berasal dari bahasa armia yang mempunyai arti membaca. Sedang lafal قَرَاءَ, semula di gunakan oleh bangsa Arab untuk arti binatang yang mandul (tidak bisa bunting dan tidak bisa beranak).

2. Secara Terminologi
            Beberapa definisi tentang al-Qur’an telah dikemukakan oleh beberapa ulama dari berbagai keahlian dalam bidang bahasa, Ilmu Kalam, Ushul Fiqh dan sebagainya. Definisi-definisi itu sudah pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya, karena Stressing (penekanan)nya berbeda-beda, disebabkan perbedaan keahlian mereka.
            Sehubungan dengan itu, Dr. Subhi al-Salih merumuskan definisi al-Qur’an yang dipandang sebagai definisi yang dapat diterima para ulama, terutama ahli bahasa, ahli Fiqh, dan ahli Ushul Fiqh.
َاْلقُرْأَنُ هُوَالْكِتاَبُ اْلمُعْجِزُاْلمُنَزَّلُ عَلىَ النًّبِىِّ ص.م.اْلمَكْتُوْبُ فِى اْلمَصَاحِفِ اْلمَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتُرِ اْلمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ.
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat (berfungsi) mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis didalam mushaf-mushaf, yang dinukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawattir, dan yang membacanya di pandang ibadah.”
            Selain definisi yang dikemukakan oleh Dr. Subhi al-Salih, ada pula yang mendefinisikan bahwa “Al-quran adalah kalamullah (wahyu) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai mukjizat melalui perantara malaikat jibril dengan secara mutawattir dan bernilai ibadah bagi yang membacanya.”


B. Hal-hal yang Terkait Dengan Al-Qur’an
1. Wahyu
            Menurut bahasa, ialah memberitahukan sesuatu  dengan cara samar dan cepat. Sedangkan menurut istilah, wahyu adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar, tetapi meyakinkan kepada Nabi/Rosul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah benar-benar dari Allah sendiri.
Penjelasan secara samar dan sekilas tentang penyebutan “Wahyu” itu tidak jauh maknanya dari pengertian bahasa yang ada pada akar kata wahyu dan iihaa (mewahyukan). Diantara maknanya ialah ilham fitriyah (naluriyah) bagi manusia.
            “Dan kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul”.(al-Qashash:7)
            Ada juga makna wahyu yang berupa isyarat dalam bentuk lambang dan petunjuk, yaitu sebagaimana firman Allah mengenai Nabi Zakariya AS.:
   “Maka ia (Nabi Zakariya) keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu mewahyukan (yakni memberi isyarat) kepada mereka: hendaklah kalian bertasbih pagi dan sore”. (Maryam, 11).
Kata “wahyu” juga digunakan oleh penyair, misalnya:
Ia kupandang sekilas sehingga aku terpesona beberapa detik memikirkan keindahan sifatnya. Kepadanya mataku mewahyukan (mengisyaratkan) kecintaanku sehingga wahya ( isyarat) itu membekas pada pipinya.
            Bisikan syetan dan rayuannya mengajak manusia berbuat kejahatan pun oleh Al-Qur’an dijelaskan dengan menggunakan lafadz “wahyu”
“Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka saling mewahyukan (membisikkan) kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (al-An’am:112)
Lafadz wahyu juga digunakan untuk menyebut firman Allah yang berupa perintah pada para malaikat supaya mereka melaksanakannya seketika itu juga.
“(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang Telah beriman". (al-Anfaal:12).
            Allah telah menerangkan dalam al-Qur’an tentang cara pemberitahuan yang dikehendaki Tuhan kepada Nabi-Nya.
$tBur tb%x. AŽ|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ムª!$# žwÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& Ÿ@Åöãƒ Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ $tB âä!$t±o 4 ¼çm¯RÎ) ;Í?tã ÒOŠÅ6ym  
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
            Berdasarkan ayat tersebut, maka wahyu itu ada tiga macam :
1)     Pemberitahuan Tuhan dengan cara ilham tanpa perantaraan.
2)     Mendengar firman Allah dibalik tabir.
3)     Penyampaian wahyu Tuhan dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. yang didalam al-Qur’an di sebut “al-Ruhul Amin”. Ini ada dua macam :
a)      Nabi dapat melihat kehadiran Malaikat Jibril a.s., dan dalam hal ini ada dua macam pula, yakni
Pertama : Malaikat Jibril a.s. dilihat dalam bentuknya yang asli, tetapi ini jarang sekali terjadi.
Kedua  : Malaikat Jibril a.s. menjelma sebagai manusia. Dia juga pernah menjelma sebagi seorang laki-laki bernama Dahyah bin Khalifah.
b)      Nabi tak melihat Malaikat Jibril ketika menerima wahyu, tetapi beliau mendengar pada waktu kedatangan malaikat itu suaranya seperti suara lebah atau gemerincing bel.
2. Perbedaan al-Qur’an dengan Hadits dan Hadits Qudsi
          wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad itu ada dua macam, al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi.
          Adapun perbedaan antara ketiganya adalah sebagai berikut :
a). Perbedaan antara al-Qur’an dengan Hadits
1)Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa dan maknanya dariAllah
1)Hadits diturunkan dengan maknanya saja dari Allah, sedangkan lafdznya dari Nabi.
2)Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya saja, sebab dapat mengurangi atau menghilangkan mukjizat al-Qur’an sendiri.
2)Hadits boleh diriwayatkan  dengan maksudnya saja. Sebab yang terpenting dalam hadits qudsi adalah penyampaian maksudnya.
3)Al-Qur’an, baik lafadz maupun maknanya merupakan mukjizat.
3)Hadits bukan merupakan mukjizat.
4)Al-Qur’an diperintahkan untuk dibaca, baik pada waktu sholat atau diluar sholat sebagai ibadah, baik orang yang membacanya itu mengerti maksudnya atau tidak.
4) Hadits tidak diperintahkan untuk dibaca sebagai ibadah. Yang terpenting dalam hadits adalah untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan.
5)Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi dalam keadaan sadar.
5)Hadits diturunkan dengan bermacam-macam cara, sebagaimana diterangkan dalam surat al-Syura: 51


b). Perbedaan antara al-Qur’an dengan Hadits Qudsi
Dalam hal ini ada dua pendapat:
a.  Pendapat pertama mengatakan, bahwa hadits qudsi termasuk firman Allah, bukan sabda Nabi, tetapi Nabi hanya menceritakan saja, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1)   Hadits qudsi selalu disandarkan kepada Allah.
2) Hadits qudsi selalu memuat dlomir mutakalim yaitu “Anaa”, “Nahnu” dan dalam hal ini yang dimaksudkan adalah Allah sendiri.
3) Bahwa sanad hadits qudsi itu tidak hanya berakhir pada Nabi tetapi sampai kepada Allah melalui Nabi; Sedangkan sanad hadits Nabawi (hadits biasa) hanya sampai kepada Nabi.
Menurut pendapat ini, meskipun hadits qudsi itu termasuk firman Allah, tetapi tidak mempunyai status yang sama dengan Al-Qur’an, kerena Al-Qur’an diterima secara mutawattir, sedang hadits qudsi seperti keadaan hadits-hadits nabawi lain, pada umumnya diterima secara Ahad (perorangan).
b.  Pendapat kedua menyatakan, bahwa hadits qudsi itu lafadznya dari Nabi sendiri, seperti hadits-hadits Nabi lainnya.
Yang berpendapat demikian, antara lain Abu al-Baqa’ dan al-Thibi, Abu al-Baqa’ berkata: “ Al-Qur’an adalah yang maknanya dan lafadznya dari Allah dengan wahyu yang jelas. Adapun hadits qudsi adalah yang lafadznya dari Nabi, sedangkan maknanya dari Allah dengan jalan ilham atau impian.”
Sedangkan menurut al-Thibi: “ Al-Qur’an adalah lafadz yang diturunkan oleh malaikat Jibril dari Allah kepada Nabi. Adapun hadits qudsi adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Allah untuk disampaikan dengan jalan melalui ilham atau impian, kemudian Nabi memberitahukan kepada umatnya dengan bahasa sendiri. Sedangkan hadits-hadits lain tidak di sandarkan kepada Allah dan tidak diriwayatkan dari Allah.”
3. I’jazul Qur’an
          Mukjizat, menurut imam As-Suyuti dalam bukunya al- Itqan Fi Ulumil Qur’an adalah sesuatu di luar kebiasaan yang disertai dengan adanya tantangan. Sedangkan menurut Dr. Muhammad Quraish Shihab, sesuatu dinamakan mukjizat apabila memenuhi empat unsyur, yaitu :
Þ    Suatu hal yang ada diluar kebiasaan.
Þ    Nampak pada diri seorang Nabi.
Þ    Disertai dengan adanya tantangan.
Þ    Sesuatu yang tidak sanggup ditantang orang.
Mukjizat al-Qur’an dapat dilihat dari dua segi :
1). Dari segi bahasa, ulama sepakat bahwa al-Qur’an memiliki  uslub (gaya bahasa) yang tinggi, fasahah (ungkapan kata yang jelas), dan balaghah (kepasihan lidah) yang dapat mempengaruhi jiwa pembacanya dan yang mendengarkannya yang mempunyai rasa bahasa arab yang tinggi.
Selain dari pada itu, al-Qur’an, dimana orang arab lumpuh untuk menandinginya itu, sebenarnya tidak keluar dari aturan-aturan kalam mereka, baik lafazd, huruf maupun redaksinya. Tetapi al-Qur’an memiliki jalinan huruf-huruf yang serasi, ungkapannya indah, redaksinya simpatik, ayat-ayatnya teratur, serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai macam bayannya, baik dalam jumlah ismiyah dan fi’liyahnya, dalam nafi’ dan isbatnya, dalam dzikr dan hadzfnya dalam tankir dan ta’rifnya, dalam taqdim dan takhirnya, dalam ithnab dan ijaznya, dalam umum dan khususnya, dalam mantuq dan mafhumnya, dalam nash dan fahwanya maupun dalam hal lainnya.
2). Dari segi kandungan isi, mukjizat al-Qur’an dapat dilihat dari tiga aspek :
a.       Merupakan isyarat ilmiah.
b.      Merupakan sumber hukum.
c.       Menerangkan suatu ibrah (teladan) dan kabar gaib, baik yang terjadi pada masa lalu, sekarang maupun yang akan datang.

4. Mutawattir
          Al-Qur’an adalah yang telah dinukilkan secara mutawattir dari generasi ke generasi hingga terjaga keabsahan dan kemurniannya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah saw: "Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Zikr[Al-Qur'an] dan Kami pula yang senantiasa menjaganya.
Mutawatir menurut bahasa berasal dari kata al-Witr alias yang bersambung, dan menurut istilah fiqih Mutawatir adalah : hal yang dinukilkan dari sekelompok /generasi ke kelompok/ generasi lain yang tidak ada kemungkinan kerjasama antara mereka untuk menukilkan suatu kebohongan atau pendustaan. Hal-hal yang berasal dari sumber mutawatir merupakan hal yang telah terjamin keabsahan dan kemurniannya.
Macam-macam mutawatir adalah:
(a) mutawatir dari Sejak diterima oleh rasulullah saw hingga menyampaikannya tanpa melebihi ataupun mengurangi dari padanya
(b) mutawatir secara tilawahnya, alias dari sejak para sahabat menerima tilawahnya dari rasulullah saw ketika menyampaikannya hingga saat ini dinukilkan dari generasi ke generasi tanpa melebihi ataupun mengurangi
(c) qur'an diturunkan dengan 7 macam qira'at yang telah disampaikan rasulullah saw langsung dengan ketujuh macam qira'at tersebut kepada 7 tujuh tempat dimana masing-masing memiliki penyebutan huruf yang sedikit berbeda dengan tempat lain.hal demikian sebagaimana diterangkan oleh rasulullah saw yaitu untuk memudahkan bagi hamba-hambaNya dalam tilawah
(d) mutawatir dalam penukilannya sejak masa rasulullah saw hingga dibukukan dalam satu mushaf yang kita kenal sekarang ini.
Hal-hal yang memudahkan kelangsungan dan mutawatirnya al-qur'an yaitu:
1. Al-qur'an diturunkan secara berangsur-angsur hingga memudahkan dalam proses pembukuannya
2. Wahyu yang diterima oleh rasulullah langsung disampaikkannya kepada sahabatnya yang sedang berada dimajlis bersamanya. Hal demikian memudahkan dalam penghapalan secara lisan
3. Pengulangan al-qur'an yang dilakukan oleh rasulullah setiap tahunnya bersama malaikat jibril yaitu tepatnya pada bulan ramadhan. Bahkan pada tahun kewafatan rasulullah saw beliau mengulang hapalannya bersama malaikat jibril dua kali bukan sekali sebagaimana biasanya.
5. Bernilai ibadah
            Membaca al-qur’an didalam ajaran islam dinilai sebagai ibadah, orang yang membacanya dijanjikan pahala disisi Allah.
            Adapun pahala orang yang membaca al-Qur’an itu berbeda-beda. Menurut Ali bin Abu Thalib, pahala orang yang membaca al-Qur’an didalam salat adalah 50 kebajikan untuk tiap-tiap hurufnya, 25 kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang dibaca diluar salat tetapi dalam keadaan suci (mempunyai wudhu), dan 10 kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang dibaca diluar solat dan tidak mempunyai wudhu.
            Pahala tidak hanya diberikan kepada orang yang membacanya saja, namun bagi orang yang mendengarkannya pun mendapatkan pahala di sisi Allah. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa pahala yang di terima oleh orang yang mendengarkan itu sama dengan pahala orang yang membacanya.




BAB II
ULUMUL QURAN
A.  Pengertian Ulumul Qur’an
Ungkapan Ulumul Qur’an berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata Ulum dan Al-Qur’an. Kata Ulum adalah bentuk plural dari kata Ilm. Ilmu sendiri al-fahmu wa al-idrak (pemahaman dan pengetahuan). [1]  kata Ulum yang disandarkan pada Al-Qur’an telah memberi pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan  sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. dengan demikian Ilmu al-Tafsir, Ilmu al-Qiraat,Ilmu i’jazu al-Qu’ran, Ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari Ulumul Qur’an. [2]
Sedangkan definisi Ulumul Qur’an menurut terminologi, para ulama memberikan redaksi yang berbeda-beda sebagaimana dijelaskan berikut ini.

1.        Menurut Manna’ Al-Qaththan. [3]


العلم الذي يتناول الابحاث المتعلقة بالقران من حيث معرفة اسبا ب النزول وجمع القران وترتيبه ومعرفة المكي والمدني والناسخ والمنسوخ والمحكم والمتشابه إلى غير ذلك مماله صلة بالقران.
 Artinya:
Ilmu yang mencakup pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an dari sisi informasi tentang asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur’an), kodifikasi dan tertib penyausunan Al-Qur’an, ayat-ayat yang diturunkan di Makkah(Makkiyah) dan ayat-ayat yang diturunakan di Madinah(Madaniyah) dan hal-hal yang bekaitan dengan Al-Qur’an .”

2.        Menurut Az-Zarqani. [4]

مباحث تتعلق بالقران الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه وكتابته وقراءته وتفسيره وإعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشبه عنه ونحو ذلك


 Artinya:
Beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an dari sisi turun, urutan penulisan, kodifikasi, cara membaca, kemukjizatan, nasikh, mansukh, penolakan hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan terhadapnya serta hal lainnya.”

3.        Menurut Abu Syahbah. [5]

علم ذو مباحث تتعلق بالقران الكريم من حيث نزوله وترتيبه وكتابته وجمعه وقراءته وتفسيره وإعجازه وناسخه ومنسوخه ومحكمه ومتشابهه إلى غير ذلك من المباحث التي تذكر في هذا العلم .

 Artinya:
Sebuah ilmu yang memiliki banyak obyek pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, mulai dari proses ppenurunan, urutan penulisan, penulisan, kodifikasi, cara membaca, penafsiran, kemukjizatan, nasikh-mansukh, mukhkam-mutasyabih, serta pembahasan lainnya.”

Dari definisi-definisi Ulumul Quran di atas, kita dapat mengambil kesimpulan,  bahwa Ulumul Quran adalah suatu ilmu yang lengkap dan mencakup semua ilmu yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu tafsir,maupun berupa ilmu-ilmu bahasa Arab, misalnya ilmu I’rabil Quran.

B.  Ruang lingkup pembahasan Ulumul Quran.
Banyaknya  ilmu yang ada kaitannya dengan  pembahasan Al-Quran ,  menyebabkan banyak pula ruang lingkup pembahasan Ulumul Quran. bahkan menurut Abu Bakar Al-Arabi, ilmu-ilmu Al-Quran itu mencapai  77.4500. hitungan ini di peroleh dari hasil perkalian jumlah kalimat Al-Quran dengan empat kerena tiap-tiap kalimat mempunyai empat  makna , yaitu zhahir, batin, hadd, dan mathla. Jumlah itu semakin bertambah jika melihat urutan kalimat-kalimat di dalam Al-Quran serta hubungan di antara urutan-urutan itu. Jika sisi itu yang dilihat, ruang lingkup pembahasan Ulumul Quran tidak dapat dihitung (tak terhingga) lagi.[6]

Berkenaan dengan persoalan ini,  M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ruang lingkup pembahasan Ulumul Quran terdiri atas enam hal pokok berikut ini.[7]

1. Persoalan turunnya Al-Quran(nuzul Al-Quran)
Persoalan ini menyangkut tiga hal:
a.     Waktu dan tempat turunya Al-Quran (auqat nuzul  wa mawathin an-nuzul).
b.    Sebab-sebab turunya Al-Quran (asbab an-nuzul), dan
c.     Sejarah turunya Al-Quran(tarikh an nuzul)
2. Persoalan sanad (rangkaian para periwayat)
Persoalan ini menyangkut enam hal:
a.     Riwayat mutawatir
b.    Riwayat ahad
c.     Riwayat syadz
d.    Macam-macam qira’at Nabi
e.     Para perawi dan penghafal Al-Quran,dan
f.     Cara menyebarkan riwayat (tahammul).

3. Persoalan qira’at(cara pembaca Al-Quran)
Persoalan menyangkut  hal-hal berikut ini:
a.     Cara berhenti (waqaf)
b.    Cara memulai (ibtida’)
c.     Imalah
d.    Bacaan yang dipanjangkan (mad)
e.     Bacaan hamzah yang diringankan, dan
f.     Bunyi huruf yang sukun dimasukan pada bunyi sesudahnya (idgam)
4. Persoalan kata-kata Al-Quran
Persoalan ini menyangkut beberapa hal berikut ini:
a.     Kata-kata Al-Quran yang asing (gharib)
b.    Kata-kata Al-Quran yang berubah-ubah harakat akhirnya (mu’rab)
c.     Kata-kata Al-Quran yang mempunyai makna serupa (homonim)
d.    Padanan kata-kata Al-Quran (sinonim)
e.     Isti’arah, dan
f.     Penyerupaan (tasybih)
5. Persoalan makna Al-Quran yang berkaitan dengan hukum
Persoalan ini menyangkut beberapa hal berikut ini:
a.     Makna umum (‘am) yang tetap dalam keumumanya,
b.    Makna umum (‘am) yang di maksudkan makna khusus,
c.     Makna umum (‘am) yang maknanya di khususkan sunah.
d.    Nash
e.     Makna lahir
f.     Makna global (mujmal)
g.    Makna ynag diperinci (mufashshal)
h.    Makna yang ditunjukkan oleh konteks pembicaraan (manthuq)
i.      Makna yang dapat dipahami dari konteks pembicaraan (mafhum)
j.      Nash yang petunjuknya tidak melahirkan keraguan (muhkam)
k.    Nash yang muskil diinterpretasikan karena terdapat kesamaran di dalamnya (mutasyabih)
l.      Nash yang maknanya tersembunyi kerena suatu sebab yang terdapat pada kata itu sendiri (musykil)
m.  Ayat yang  “menghapus”  dan yang “dihapus” (nasikh-mansukh),
n.    Yang di dahulukan (muqaddam),dan
o.    Yang diakhirkan (mu’akhakhar)


6. Persoalan makna Al-Quran yang berpautan dengan kata-kata Al-Quran
Persoalan ini menyankut hal-hal berikut ini:
a.     Berpisah (fashal)
b.    Bersambung (washal)
c.     Uraian singkat (i’jaz)
d.    Uraian panjang (ithnab)
e.     Uraian seimbang (musawah)
f.     Pendek (qashr)

C.  Cabang-cabang (Pokok bahasan) Ulumul Quran
Di antara cabang-cabang (pokok bahasan) Ulumul Quran adalah sebagai berikut:[8]
1)      Ilmu Adab Tilawat Al-Quran, yaitu ilmu-ilmu yang menerangkan aturan pembacaan Al-Quran.
2)      Ilmu Tajwid, yaitu ilmu yang menerangkan cara membaca Al-Quran , tempat memulai, atau tempat berhenti (waqaf).
3)      Ilmu Muwathim An-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan tempat, musim, awal, dan akhir  turunnya ayat.
4)      Ilmu Twarikh An-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan dan menjelaskan masa dan urutannya ayat, satu demi satu dari awal hingga yang terakhir  turun.
5)      Ilmu Asbab An-Nuzul, yaitu ilmu-ilmu yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat.
6)      Ilmu Qira’at, yaitu ilmu yang menerangkan ragam qira’at (pembacaan Al-Quran) yang telah diterima Rasulullah SAW. Apabila dikumpulkan, qira’at ini terdiri atas sepuluh macam, ada yang sahih dan ada pula yang tidak sahih.
7)      Ilmu Gharib Al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan makna kata-kata ganjil yang tidak terdapat dalam kitab-kitab konvensional, atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini menerangkan kata-kata yang halus,  tinggi, dan pelik.
8)      Ilmu I’rab Al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan harakat Al-Quran dan kedudukan sebuah kata dalam kalimat.
9)      Ilmu Wujuh wa Al-Nazha’ir, yaitu ilmu yang menerangkan kata-kata Al-Quran yang mempunyai makna lebih dari satu.
10)  Ilmu Ma’rifat Al-Muhkam wa Al-Mutasyabih, yaitu yang menerangkan ayat-ayat yang dipandang muhkam dan yang dipandang mutasyabih.
11)  Ilmu Nasikh wa Mansukh, yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat yang nasikh dan ayat yang mansukh oleh sebagian mufassir
12)  Ilmu Badai’u Al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan keindahan susunan bahasa Al-Quran.
13)  Ilmu I’jaz Al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan segi-segi kekuatan Al-Quran sehingga dipandang sebagai suatu mukjizat  dan dapat melemahkan penantang-penantangnya.
14)  Ilmu Tanasub Al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan persesuaian antara suatu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
15)  Ilmu Aqsam Al-Quran, yaitu ilmu menerangkan arti dan makna Al-Quran, yakni menerangkan ayat-ayat perumpamaan yang dikemukakan Al-Quran.
16)  Ilmu jadal Al-Quran, yaitu ilmu yang menerangkan berbagai perdebatan yang telah dihadapkan Al-Quran kepada segenap kaum musyrikin dan kelompok lainnya.

D.  Perkembangan Ulumul Quran
1.    face sebelum kodifikasi(qabl ‘ ashr at-tadwin)
pada face sebelum kodifikasi, Ulumul Quran  telah dianggap sebagai benih yang kemunculannya sangat dirasakan sejak masa Nabi, Hal itu di tandai dengan kegairahan para sahabat untuk mempelajari Al-Quran dengan sungguh-sungguh. terlebih lagi di antara mereka, sebagaimana dicerikan oleh Abdurrahman As-Sulami,[9] memilki kebiasaan untuk tidak berpindah kepada ayat lain, sebelum memahami dan mengamalkan  ayat yang sedang dipelajarinya. nampaknya, itulah yang menyebabkan Ibn Umar memerlukan waktu delapan tahun hanya untuk menghafal surat Al- Baqarah[10]
Kegairahan para sahabat untuk mempelajari dan mengamalkan Al-Quran nampaknya lebih kuat lagi ketika Nabi hadir di tengah- tengah mereka. Hal inilah yang kemudian mendorong Ibn Taimiyyah untuk mengatakan bahwa Nabi sudah menjelaskan apa-apa yang menyangkut penjelasan Al-Quran  kepada para sahabatnya.[11] Riwayat di bawah membuktikan adanya penjelasan Nabi kepada para sahabat meyangkut penafsiran Al-Quran:
a)      Riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan yang lainnya dari ‘Adi bin Hayyan. Ia berkatabahwa Rasulullah SAW. Pernah bersabda:
إن المغضوب عليهم : هم اليهود , وإن الضالين : هم النصا رى .
Artinya :
“Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai Allah adalah orang-orang Yahudi, sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang tersesat adalah orang-orang Nasrani.

b)      Riwayat yang disampaikan  oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, dan yang lainnya dari Ibnu Mas’ud yang menceritakan tatkala turunnya ayat:

الذين امنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم
Artinya:
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik).”

Para sahabat merasa kebingungan dan bertanya kepada Rasulullah, “siapa di antara kami yang tidak pernah menzalami diri sendiri?” Beliau menjawab, “Hai itu bukan seperti yang kalian kira. Bukankah kalian pernah mendengar perkataan Luqman Al-Hakim bahwa kemusyrikan itu merupakan kezaliman yang besar? Itulah maksudnya.”

Riwayat penafsiran dan ilmu Al-Quran yang diterima oleh para sahabat dari Nabi itu kemudian diterima oleh para tabi’in dengan jalan periwayatan.
Dapat dijelaskan di sini bahwa para perintis Ulumul Quran pada abad I (atau sebelum kodifikasi) adalah sebagai berikut:
a.    dari kalangan sahabat: Khulafa Al-Rasyidin, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid Bin Tsabit, Ubai Bin Ka’ab, Abu Musa Al- Asy’ Ari, Dan Abdullah Bin Zubair.
b.    Dari kalangan tabi’in: Mujahid, Atha’ Bin Yasar, ‘Ikrimah , Qatadah, Al-Hasa Al-Bashri, Sa’id Bin Jubair, Zaid Bin Aslam.
c.    Dari kalangan tabi’ tabi’in: Malik Bin Anas.
Periode sebelum kodifikasi sekaligus menjelaskan perkembahan Ulumul Quran pada abad I H.

2. Fase kodifikasi
Sebagaimana diketahui, pada sebelum kodifikasi, Ulumul Quran dan ilmu-ilmu lainnya belum dikodifikasikan dalam bentuk kitab atau mushaf. Satu-satunya yang sudah dikodifikasikan saat itu hanyalah Al-Quran.[12] Hal itu terus berlangsung sampai ketika Ali Bin Abi Thalib memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Du’ali untuk menulis ilmu nahwu, perintah inilah yang membuka gerbang pengodifikasian ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Pengodifikasian itu semakin marak dan meluas ketika islam berada di bawah pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah pada periode-periode pemerintahannya.
a.    Perkembangan Ulumul Quran abad ke II H
Pada masa penyusunan ilmu-ilmu agama yang dimulai sejak permulaan abad II H, para ulama memberikan prioritas atas penyusunan tafsir sebab tafsir merupakan induk Ulmul Quran.di antara ulama abad II H.yang menyusun tafsir ialah:
1.    Syu’bah Al-Hajjaj(W. 160 H.)[13]
2.    Sufyan Bin ‘Uyaniyah (W. 198 H.)[14]
3.    Sufyan Ats-Tsauri (W. 161 H.)
4.    Waqi’ Bin Al-Jarrh(W. 128-197 H.)[15]
5.    Muqatil Sulaiman (W. 150 H.)
6.    Ibnu Jarir At-Thabari (w. 310 H.) tafsir yang di tulisnya, yakni Jami’ Al-Bayan Fi Yafsir Al-Quran, dipandang sebagai kitab tafsir yang terbaik karena penulisnya adalah orang yang pertama kali menyajikan tafsir dengan mengemukakan  berbagai pendapat yang di sertai pula dengan  proses tarjih. Kitab ini di pandang sebagai kitab yang pertama kali mencampuradukan antara tafsir bi-al ma’tsur dan tafsir bi ar-ra’yi.[16]

b.   Perkembangan Ulumul Quran abad ke III H.
Pada abad III H. Selain tafsir dan ilmu tafsir, para ulama mulai menyusun beberpa ilmu Al-Quran (Ulumul Quran), di nataranya.
1.    ‘Ali Bin Al-Madani (w. 234 H. ),[17] gurunya Bukhari, yang menyusun Ilmu Asbab An-Nuzul .
2.    Abu Abaid Al-Qasimi Bin Salam (w. 224 H.), yang menyusun Ilmu Nasikh Mansukh, Ilmu Qira’at, Dan Fadha ‘Il Al-Quran.
3.    Muhammad bin Ayyub Adh-Dhurraits (w. 294 H.) yang menyusun Ilmu Makki wa Al Madani.
4.    Muhammad bin khalaf al- marzuban (w.309 H.)  yang menyusun kitab Al-Hawi Fi ‘Ulum Al-Quran.
c.    Perkembangan Ulumul Quran abad ke IV H.
Pada abad IV H. Mulia disusun Al-Gharib Al-Quran dengan beberapa kitab Ulumul Quran di anyara ulama-ulama yang menyusun ilmu itu adalah:
1.    Abu Bakar As-Sijistani (w.330 H.)[18] yang mnyusun kita Gharib Al-Quran.
2.    Abu Bakar Muhammad Bin Al-Qasim Al-Anbari(w 328 H.)yang menyusun kitab ‘Aja’ib Ulum Al-Quran. Di dalam itu ia menjelaskan prihal tujuh huruf (sab’ah ahruf). Penulisan mushaf, jumlah bilangan surat, ayat dan surat dalam Al-Quran 
3.    Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w 324 H.)yang menyusun kitab Al-Mukhtazan Fi Ulum Al-Quran.
4.    Abu Muhammad Al-Qassab Muhammad Bin Ali Al-Kurkhi (w 360 H.)yang menyusun kitab Nukat Al-Quran Ad-Dallah ‘Ala Al-Bayan Fi Anwa ‘Al ‘Ulum Wa Al-Ahkam Al- Munbi’ah ‘An Ikhtilaf Al-Anam.
5.    Muhammad bin  ‘Ali Al-Adfawi (w 388 H.)yang menyusun kitab Al- Istighna’ fi Ulum Al-Quran (20 jilid).

d.   Perkembangan Ulumul Quran abad V H.
Pada abad ke V H. Mulai disusun ilmu I’rab Al-Quran dalam satu kitab. Namun demikian, penulisan kitab-kitab Ulumul Quran masih terus dilakukanoleh ulama masa ini. Di antara ulama yang berjasa dalam pengembangan Ulumul Quran abad ini adalah:
1.    Ali Bin Ibrahim bin Sa’id Al-Hufi (w. 430 H.)[19] selain memelopori penyusunan I’rab Al-Qur’an, ia pun menyusun kitab Al-Burhan fi Ulum Al-Quran, kitab ini selain menfsirkan Al-Quran secara keseluruhan, juga menerangkan ilmu-ilmu Al-Quran yang ada hubungannya dengan ayat-ayat Al-Quran yang ditafsirkan. Karena itu, ilmu-ilmu Al-Quran tidak tersusun secara sistematis dalam kitab ini sebab ilmu-ilmu Al-Quran diuraikan secara terpencar-pencar, tidak terkumpul pada bab-bab berdasarkan judulnya. Namun demikian kitab ini merupakan karya ilmiah yang besar dari seorang ulama yang telah merintis penulisan Ulumul Quran secara lengkap.
2.    Abu ‘Amar Ad-Dani (w 444 H.) yang menyusun kitab At- Taisir fi Qira‘at As-Sab’i dan kitab Al-Muhkam fi An-Naqth.
e.    Perkembangan Ulumul Quran abad  VI H.
Pada abad ke VI H, di samping terdapat ulama yang meneruskan perkembangan Ulumul Quran, juga terdapat ulama yang mulai menyusun ilmu Mubhamat Al-Quran, di antaranya adalah:
1.    Abu Al-Qasim bin ‘Abdurrahman As-Suhaili (w. 581 H.)[20] yang menyusun kitab Mubhamat Al-Quran. kita ini menjelaskan maksud kata-kata Al-Quran yang tidak jelas apa atau apa yang dimaksud.
2.    Ibn Al-Jauzi (w 596 H.) yang menyusun kitab funun Al-Afnan fi ‘Aja ‘in Al-Quran, dan kitab Al-Mujtab ‘fi ‘Ulmul Tata’allaq bi Al-Quran.

f.     Perkembangan Ulumul Quran abad  VII H.
Pada abad VII H. ilmu Al-Quran yang terus berkembang dengan mulia tersusunnya Ilmu Majaz Al-Quran dan Ilmu Qira’at di antara ulama abad VII menaruh perhatian terhadap ilmu-ilmu ini adalah:
1.      Alamuddin As-Sakhawi (w 643 H.) kitabnya mengenai Ilmu-Ilmu Qira’at dinamakan Al- Murtab Fi Mutasyabih. Kitab ini terkenal dengan nama Manzhumah As-Sakhawiyah. Ia pun mempunyai sebuah kitab mengenai ilmu ini, yaitu Jamal Al-Qurra’.
2.      Ibn ‘Abd As-Salam terkenal dengan nama Al-‘Izz(w 660 H.)[21] yang memelopori penulisan Ilmu Majaz Al-Quran dalam satu kitab.
3.      Abu Syamah (w 655 H.) yang menyusun kitab Al-Mursyid Al-Wajiz Fi ‘Ulum Al-Quran Tata’allaq Bi Al-Quran Al-‘Aziz.

g.    Perkembangan Ulumul Quran abad  VIII H.
Pada abad VIII H. Muncullah beberpa ulama yang menyusun ilmu-ilmu  baru tentang Al-Quran. Namun demikian, penulisan kitab-kitab tentang Ulumul Quran tetab berjalan. Di antaranya mereka adalah:
1.    Ibn Abi Al-Isba’ yang menyusun Ilmu Bada’i Al-Quran yaitu ilmu yang membahas macam-macam badi’ (keindahan bahasa dan kandungan Al-Quran ) dalam Al-Quran.
2.    Ibn Al-Qayyim (w. 752 H.) yang menyusun Ilmu Aqsam Al-Quran, yaitu ilmu-ilmu yang mambahas sumpah-sumpah yang terdapat dalam Al-Quran.
3.    Najmuddin Ath Thufi (w.716 H.) yang menyusun Ilmu Hujaj Al-Quran atau Jadal Al-Quran, yaitu ilmu yang membahas bukti atau argumentasi yang dipakai Al-Quran untuk menetapkan sesuatu.
4.    Abu Al-Hasan Al-Mawardi, yang menyusun Ilmu Amtsal Al-Quran, yaitu ilmu yang mambahas perumpaman yang terdapat di dalam Al-Quran.
5.    Bahruddin Az-Zarkasyi,(745-794 H.)[22] yang menyusun kitab Al-Burhan Fi  ‘Ulum Al-Quran. Kitab ini telah di terbitkan oleh Muhammad Abu Al-Fadhl Ibrahim (4 jilid ).kitab ini memuat 47 macam persoalan Ulumul Al-Quran.
6.    Taqiyuddin Ahmad Bin Taimiyah Al-Harrani (w. 728 H.) yang menyusun kitab Ushul
 At-Tafsir.

h.   Perkembangan Ulumul Quran abad IX dan X H.
Pada bad IX dan permulaan X H. Makin banyak karya para ulama tentang Ulumul Quran. Pada masa ini, perkembangan Ulumul Quran mencapai kesempurnaannya. Beberapa ulama yang menyusun Ulumul Quran di antaranya:
1.      Jalaluddin Al-Bulqini (w. 824 H.) [23] yang menyusun kitab Mawaqi’ Al-‘Ulum Min Muwaqi’ An-Nujum , As-Suyuthi menganggap Al-Bulgini sebagai ulma yang memelopori penyusunan kitab Ulumul Quran yang lengkap.di dalam kitabnya itu dimuat 50 macam persoalan Ulumul Quran. di dalamnya muqaddimah kitabnya, Ia bercerita “Dahulu tatkala berbicara di depan salah seorang kholifah dari Bani Abbas,[24] Asy-Syafi’i pernah menyebutkan sebagian ilmu-ilmu Al-Quran sehingga aku memperoleh informasi banyak darinya. dan aku bermaksud menulis kitab yang berkaitan dengan Al-Quran sebatas pengetahuan yang kumiliki.”
2.      Muhammad Bin Sulaiman Al-Kafiyaji [25]  (w. 879 H.) yang menyusun kitab At-Taisir Fi Qawa’id At Tafsir. karyanya itu, sebagaimana dikatakan penulisnya sendiri, berbeda dari karya-karya sebelumnya. Kitab ini sangat tipis, yaitu terdiri atas dua bab dan penutup. Bab pertama menjalaskan makna tafsir, takwil , Al-Quran, surat, dan ayat. Bab kedua menjalaskan syarat-syrat penafsiran bi ar-ra’yi yang dapat di terima, sedangkan khatimahnya berisi etika guru dan murid.
3.    Jalaluddin  Abdurrahman Bin Kamaluddin  As-Suyuthi (849-911 H.) yang menyusun kitab  At- Tahbir Fi Ulum At-Tafsir. Kitab ini selesai disusun pada tahun 872 H. Dan merupakan kitab Ulumul Quran yang paling lengkap karena memuat  102 macam ilmu Al-Quran. Namun imam As-Suyuti belum merasa puas atas karya ilmiahnya yang hebat itu. Ia kemudian menyusun kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Quran (2 juz) yang membahas 80 macam ilmu Al-Quran yang padat isinya dan tersusun secara sistematis. Kitab Al-Itqan ini belum ada yang menandingi mutunya sehingga diakui sebagai kitab standar dalam mata pelajaran Ulumul Uuran. Setelah As-Suyuthi wafat pada tahun 911 H. Perkembangan ilmu Al-Quran seolah-olah mencapai puncaknya dan berhenti dengan berhentinya kegiatan para ulama dalam mengembangkan ilmu-ilmu Al-Quran. Keadaan ini terjadi sejak wafatnya As-Suyuthi (911 H.) sampai akhir abad  XIII  H.

i.      Perkembangan Ulumul Quran abad XIV H.
Setelah memasuki abad XIV H. perhatian ulama bangkit kembali dalam menyusun kitab-kitab yang membahas Al-Quran dari berbagai segi. hal ini di antaranya dipicu oleh kegiatan ilmiah di Universitas Al-Azhar Mesir, terutama ketika Universitas ini membukan  jurusan bidang studi, yang salah satu jurusannya adalah tafsir hadis.
Ada sedikit pengembangan tema pembahasan yang dihasilkan para ulama abad ini dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya, di antaranya berupa penerjemahan Al-Quran kedalam bahasa-bahasa Ajam.  Pada abad ini, perkembangan Ulumul Quran diwarnai oleh usaha-usaha menebarkan keraguan di seputar Al-Quran yang dilakukan kalangan Orientalis atau kalangan orang islam sendiri akibat pengaruh Orientalis. Salah satunya adalah yang telah dilakukan Thaha Husein dalam karyanya yang berjudul Asy-Syi’ri Al-Jahili. Di dalam karyanya itu, Husein menebarkan berbagai keraguan di seputar Al-Quran. Bantahan terhadapnya telah dilakukan, umpanya oleh Syeikh Muhammad Al-Khidr Husein, salah seorang Syeikh Al-Azhar.

Karya Ulumul Quran yang lahir pada abad ini, di antaranya adalah:
1)      Syeikh Thahir Al-Jazairi yang menyusun kitab At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran. Kitab  ini selesai disusun pada tahun 1335 H.
2)      Jamaluddin Al-Qasimi (w. 1332 H.) yang menyusun kitab Mahasin At-Ta’wil. Juz pertama kitab ini dikhususkan untuk pembicaraan Ulumul Quran.
3)      Muhammad Abd Al-Azhim Az-Zarqani yang menyusun kitab Manahil Al-Irfan Fi Ulum Al-Quran (2 jilid).
4)      Muhammad Ali Salamah yang menyusun kitab Manhaj Al-Furqan Fi Ulum Al-Quran.
5)      Syeikh Tanthawi  Jauhari yang menyusun kitab Al- Jawahir Fi Tafsir Al-Quran Dan Al-Quran Wa Ulum Ashriyyah.
6)      Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i yang menyusun kitab I’jaz Al-Quran.
7)      Sayyid Quthub yang menyusun kitab At-Tashwir Al-Fani Fi Al-Quran.
8)      Malik Bin Nabi yang menyusun kitab Az-Zhahirah Al-Quraniyah. Kitab ini sangat penting dan banyak berbicara mengenai wahyu.
9)      Sayyid Imam Muhammad Rasyid Ridha yang menyusun kitab Tafsir Al-Quran Al-Hakim yang terkenal pula dengan nama Tafsir Al-Manar. Di dalamnya banyak juga penjelasan tentang Ulum Al-Quran.
10)  Syeikh Muhmmad Abdullah Darraz yang menyusun kitab An-Naba’ Al-Azhim ‘An Al-Quran Al-Karim: Nazharat Jadidah fi Al-Quran.
11)  Dr. Subhi Ash-Shalih, guru besar islamic studies dan fiqhu lugah pada fakultas adab Universitas Libanon, menyusun kitab Mabahits Fi Ulum Al-Quran. Kitab ini selain membahas Ulum Al-quran, juga menanggapi secara ilmiah pendapat-pendapat orientalis yang diPandang salah mengenai berbagai masalah yang merhubungan dengan Al-Quran.
12)  Syeikh Muhmmad Abu Daqiqi yang menyusun kitab Ulum Al-Quran.
13)  Ustadz Muhammad Al-Mubarak yang menyusun kitab Al-Manhal Al-Khalid.
14)  Muhammad Al-Ghazali yang menyusun kitab Nazharat fi Al-Quran.
15)  Syeikh Muhammad Musthafa Al-Maraghi yang menyusun sebuah risalah yang menerangkan kebolehan kita menerjemahkan Al-Quran.  Ia pun menulis kitab Tafsir Al-Maraghi.[26]

E.  Kelahiran istilah Ulumul Quran sebagai suatu ilmu yang lengkap dan menyeluruh ( integral dan konprehensif) tentang Al-Quran

Di kalangan ulama, ada beberapa pendapat tentang kapan mulai lahir istilah Ulumul Quran sebagai nama untuk suatu ilmu tentang Al-Quran yang lengkap dan mencakup semua ilmu yang ada hubungan dengan Al-Quran dan siapakkah ulama yang mempeloporinya.
Di kalangan penulis sejarah Ulumul Quran, pada umumnya berpendapat, bahwa lahirnya istilah ilmu Al-Quran sebagai suatu ilmu adalah pada abad VII H. Dan ada pendapat lain menyatakan, bahwa Abu Al-Farj bin Al-Jauzi-lah yang pertama kali memunculkan istilah tersebut pada abad VI H. [27] Adapun Az-Zarqani menyataakan bahwa istilah itu muncul pada awal abad V H. Yang disampaikan oleh Al-Hufi (w. 430 H.) dalam karyanya yang berjudul Al-Burhan Fi Ulum Al-Quran.[28] Pendapat lain dikemukakan Dr. Shubhi Al-Shalih.[29] Ia berpendapat bahwa istilah Ulumul Quran sebagai satu ilmu sudah muncul sejak abad III H. Yaitu ketika Ibn Al-Marzuban  menulis kitab yang berjudul Al-Hawi Fi Ulum Al-Quran.
Dapat ditambahkan, bahwa Prof. T.M. Hasbi Al-Shiddiqi dalam bukunya Sejarah Dan Pengantar Ilmu Tafsir menerangkan, bahwa menurut hasil penelitian sejarah, Al-Kafiyaji (w. 879 H.) adalah ulama yang pertama kali membukukan Ulumul Quran. Menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Pengantar Ulumul Quran berpendapat, bahwa pendapat Dr. Shubhi Al-Shalih adalah yang paling tepat, sebab sejarah perkembangan ilmu-ilmu Al-Quran menunjukkan dengan jelas, bahwa Ibn Al-Marzuban (w. 309 H.) adalah ulama yang pertama kali mengemukakan istilah Ulumul Quran sacara jelas di dalam bukunya Al-Hawi Fi Ulum Al-Quran.[30]
Dari uraian tentang sejarah perkembangan ilmu-ilmu Al-Quran ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ulumul Quran sebagai suatu ilmu telah dirintis oleh Ibn Al-Marzuban (w. 309 H.) pada abad III H. Kemudian diikuti oleh Al-Hufi (w. 430 H.) pada abad V H. Kemudian dikembangkan Ibn Al-Jauzi (w. 597 H.) pada VI H. Kemudian diteruskan oleh Al- Sakhawi (643 H.)pada abad VII H. Kemudian ditingkatkan lagi oleh Al-Bulqini (w 824 H.) dan Al-Kafiyaji (w 879 H.) pada abad IX H. Akhirnya ilmu ini disempurnakan oleh Asy-Suyuti pada akhir abad IX dan awal abad X H.
Kitab Al-Tahbir yang selesa disusun oleh Asy-Suyuti pada tahun 872 H. Dan kitab Al-Itqan yang selesai disusun pada awal abad X H. Merupakan puncak karya ilmiah seorang ulama dalam bidang Ulumul Quran, sebab setelah Asy-Suyuti wafat pada tahun 911 H, maka berhentilah kemajuan Ulumul Quran sampai akhir abad XIII H.
Alhamdulillah, pada abad XIV sekarang ini mulai bangkit kembali kegiatan para ulama dan sarjana islam untuk menyusun kitab-kitab tentang Al-Quran, baik yang membahas Ulumul Quran sebagai suatu ilmu yang integral dan komprehensif, misalnya Al-Zarqani dengan bukunya Manahil Al-Irfan Fi Ulum Al-Quran dan Dr. Shubhi Ash-Shalih dalam bukunya Mabahits Fi Ulum Al-Quran, maupun yang membahas salah satu atau beberapa ilmu yang termasuk Ulumul Quran, misalnya Al- Syeikh Musthafa Al- Maraghi (ulama Mesir) dan Syeikh Al-Islam Musthafa Shabri (ulama Turki) menyusun risalah tentang masalah menerjemahkan Al- Quran.




BAB III
ASBABUN NUZUL
A. Pengertian
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat al-Qur’an[31] dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat al-Qur’an. Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung.
Menurut istilah atau secara terminologi asbabun nuzul terdapat banyak pengertian, diantaranya :
1. Menurut Az-Zarqani
“Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-Shabuni
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.

3. Subhi Shalih
ما نزلت الآية اواآيات بسببه متضمنة له او مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمن وقوعه
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”[32].
4. Mana’ al-Qathan
مانزل قرآن بشأنه وقت وقوعه كحادثة او سؤال
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”[33].
5. Nurcholis Madjid
                 Menyatakan bahwa asbab al-nuzul adalah konsep, teori atau berita tentang adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al-Qur’an kepada Nabi saw baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat maupun satu surat[34].
Kendatipun redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda semua menyimpulkan bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian/peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.
Mengutip pengertian dari Subhi al-Shaleh kita dapat mengetahui bahwa asbabun nuzul ada kalanya berbentuk peristiwa atau juga berupa pertanyaan, kemudian asbabun nuzul yang berupa peristiwa itu sendiri terbagi menjadi 3 macam :
1. Peristiwa berupa pertengkaran
Seperti kisah turunnya surat Ali Imran : 100
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä bÎ) (#qãèÏÜè? $Z)ƒÌsù z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# Nä.rŠãtƒ y÷èt/ öNä3ÏZ»oÿÎ) tûï̍Ïÿ»x. ÇÊÉÉÈ  
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman”.
Yang bermula dari adanya perselisihan oleh kaum Aus dan Khazraj hingga turun ayat 100 dari surat Ali Imran yang menyerukan untuk menjauhi perselisihan.
2. Peristiwa berupa kesalahan yang serius
Seperti kisah turunnya surat an-Nisa’ : 43
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) ̍Î/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ  
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”.
Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.
Saat itu ada seorang Imam shalat yang sedang dalam keadaan mabuk, sehingga salah mengucapkan surat al-Kafirun, surat An-Nisa’ turun dengan perintah untuk menjauhi shalat dalam keadaan mabuk.
3. Peristiwa berupa cita-cita/keinginan
Ini dicontohkan dengan cita-cita Umar ibn Khattab yang menginginkan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, lalu turun ayat
والتخذ وامن مقام ابراهيم مصلّى
Sedangkan peristiwa yang berupa pertanyaan dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Pertanyaan tentang masa lalu seperti :
štRqè=t«ó¡our `tã ÏŒ Èû÷ütRös)ø9$# ( ö@è% (#qè=ø?r'y Nä3øŠn=tæ çm÷ZÏiB #·ò2ÏŒ ÇÑÌÈ  
     “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya". (QS. Al-Kahfi: 83)
2. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu seperti ayat:
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ   
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’ : 85)
3. Pertanyaan tentang masa yang akan datang
 “(orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?”
B. Macam-macam Asbab an-Nuzul
 1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul
a. Sarih (jelas)
Artinya riwayat yang memang sudah jelas menunjukkan asbabunnuzul dengan indikasi menggunakan lafal (pendahuluan).
سبب نزول هذه الآية هذا...
Sebab turun ayat ini adalah
حدث هذا... فنزلت الآية
Telah terjadi …… maka turunlah ayat                                                                            
سئل رسول الله عن كذا... فنزلت الآية
Rasulullah pernah kiranya tentang …… maka turunlah ayat.
b. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)
Riwayat belum dipastikan sebagai asbab an-Nuzul karena masih terdapat keraguan.
نزلت هذه الآية فى كذا...
(ayat ini diturunkan berkenaan dengan)
أحسب هذه الآية نزلت في كذا...
(saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ……)
ما أحسب نزلت هذه الآية الا في كذا...
(saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan …)
 2.Dilihat dari sudut pandang terbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu sebab asbab an-nuzul.
a. Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat
b. Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa ayat[35].
C. Urgensi Asbabun Nuzul
1. Penegasan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT
2. Penegasan bahwa Allah benar-benar memberikan perhatian penuh pada rasulullah saw dalam menjalankan misi risalahnya.
3. Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan menghilangkan duka cita mereka
4. Sarana memahami ayat secara tepat[36].
 5. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum
6. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an
7. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an
8. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu di hati orang yang mendengarnya[37].
9. Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an[38].
10. Seorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan.
D. Cara Mengetahui Riwayat Asbab an-Nuzul
Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. Oleh karena itu, tidak boleh tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql as-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat al-Qur’an[39]. Al-wahidi berkata :
لا يحل القول فى اسباب نزول الكتاب الاّ بالرواية والسماع ممن شاهدوا التنزيل ووقفوا على الاسباب وبحثوا عن علمها
“Tidak boleh memperkatakan tentang sebab-sebab turun al-Qur’an melainkan dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas pengertiannya”.
Sejalan dengan itu, al-Hakim menjelaskan dalam ilmu hadits bahwa apabila seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-Qur’an diturunkan, meriwayatkan tentang suatu ayat al-Qur’an bahwa ayat tersebut turun tentang suatu (kejadian). Ibnu al-Salah dan lainnya juga sejalan dengan pandangan ini.
Berdasarkan keterangan di atas, maka sebab an-nuzul yang diriwayatkan dari seorang sahabat diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain. Adapun asbab an-nuzul dengan hadits mursal (hadits yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in). riwayat seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan hadits mursal lainnya.
Biasanya ulama menggunakan lafadz-lafadz yang tegas dalam penyampaiannya, seperti: “sebab turun ayat ini begini”, atau dikatakan dibelakang suatu riwayat “maka turunlah ayat ini”.
Contoh : “beberapa orang dari golongan Bani Tamim mengolok-olok Bilal, maka turunlah ayat Yaa aiyuhal ladzina amanu la yaskhar qouman”.




E. Kaidah Penetapan Hukum Dikaitkan dengan Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul sangatlah erat kaitannya dengan kaidah penetapan hukum. Seringkali terdapat kebingungan dan keraguan dalam mengartikan ayat-ayat al-Qur’an karena tidak mengetahui sebab turunnya ayat. Contohnya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 115 yang artinya :
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Firman Allah itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa yaitu beberapa orang mukmin menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. Pada suatu malam yang gelap gulita sehingga mereka tidak dapat memastikan arah kiblat dan akhirnya masing-masing menunaikan shalat menurut perasaan masing-masing sekalipun tidak menghadap arah kiblat karena tidak ada cara untuk mengenal kiblat.
Seandainya tidak ada penjelasan mengenai asbabun nuzul tersebut mungkin masih ada orang yang menunaikan shalat menghadap ke arah sesuka hatinya dengan alasan firman Allah surat al-Baqarah ayat 115[40].
.
BAB IV
AL-MAKKY – AL-MADANY

A. Definisi
Istilah al-makkiy sebenarnya di ambil dari mana kota Makkah, tempat permulaan Rasulullah SAW mulai mengerjakan Islam. Ia merupakan kata sifat yang di sandarkan kepada kota tersebut. Sesuatu disebut al-makiy apabila ia mengandung kriteria yang berasal dari Makkah atau yang berkenaan dengannya. Begitu juga al-Madaniy, ia diambil dari nama kota Madinah, tempat Rasulullah SAW berhijrah dan membangun masyarakat Islam, yang darinya kelak ajaran Islam menyebar keseluruh penjuru dunia. Dalam perjalanan sejarah turunnya Al-Qur’an-yang akan menjadi kajian utama dalam tulisan ini tentu tidak kan lepas dari proses sejarah perjalanan dakwah Rasulullah saw, yang bermula dari makkah hingga Madinah.
Sekalipun kemudian da’wah Rasulullah SAW melebar, melewati batas-batas wilayah di luar kota Makkah dan Madinah, tetapi kedua kota ini tetap mempunyai peran dalam semua proses tersebut.
Al-Imam az- Zarkasyi (w.794H) dalam bukunya Al-Burhan fi ‘ulum al-Quran telah menyebutkan tiga variabel definisi mengenai al-Makky dan al-Madaniy, pertama, definisi berkonotasi tempat, bahwa al-Makky adalah unit wahyu yang diturunkan di Mekkah, dan al- Madanniy adalah unit wahyu yang diturunkan di Madinah. Kedua, definisi berkonotasi periode waktu, bahwa al-makkiy adalah unit wahyu yang diturunkan sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, dan al- madanny adalah yang diturunkan setelah hijrah. Ketiga, definisi berkonotasi objek wahyu, atau kepada siapa khitab-nya ditujukan, bila khitab wahyu ditujukan kepada penduduk Mekah maka ia tergolong Makkiyyah, tapi bila ditujukan kepada penduduk Madinah, maka ia tergolong Madaniyyah.[41]

B. Jumlah surah-surah Makkiyyah dan Madaniyyah
Kajian sangat mendalam dan teliti dalam masalah surah apa saja yang tergolong Makkiyyah atau Madaniyyah pernah dilakukan Imam al-suyuthi dalam karyanya al-itqan. Sebagai seorang yang menguasai berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu Hadis, al-Suyuthi telah memaparkan beberapa riwayat dari para sahabat mengenai hal tersebut. Dan ternyata tema ini pernah menjadi pembicaraan hangat diantara para sahabat. Suatu bukti bahwa untuk mengetahui hakikat surah-surah Makkiyyah atau Madaniyyah harus merujuk kepada riwayat para sahabat, karena merekalah yang menyaksikan sejarah turunnya wahyu. Baru jika tidak ada riwayat, bisa merujuk kepada qiyas, yaitu melakukan studi perbandingan antara satu surat dengan lainnya, yang darinya akan tampak ciri- ciri Makkiyyah dan ciri-ciri Madaniyyah. Di sini al-Zarkasyi mengutip pernyataan al-Ja’bariy : “ Bahwa untuk mengetahui al-Makkiy dan al-Madaniy ada dua cara : sima’I (mendengar melalui riwayat) atau qiyasi (dengan studi perbandingan).[42]
Dari berbagai pendapat yang di paparkan al-Suyuthi, ada satu penelitian yang sangat kuat, yaitu penelitian Abu al-Hasan bin al-Hassar, dalam bukunya al- Nasikh wa al-Mansukh. Di sini Ibn al-Hassar menyebutkan bahwa jumlah surah-surah Makkiyyah dan Madaniyyah dalam ungkapan bait-bait nadaman, darinya bisa dipahami bahwa ada 20 surat disepakati tergolong periode Madinah : al- Baqarah, al-Imran, al-Nisa’, al-Maidah, al-Anfal, al-Taubah, al-Nur, al-Ahzab Muhammad, al- fath, al-Hujurat, al-hadid,al- Mujadalah, al-Hasr, al-Mumtahanah, al-Tahrim, al-Nasr. Dan ada 12 surat dipertentangkan : al- Fatihah, al-Ra’d, al-Rahman, al-Shaf, al-Taghabun, al-Tathif (al-Mutaffin), al-Qadar, al-Bayyinah, al- Zalzalah, al- Ikhlas, al- Falaq dan al-Nas. Sementara sisanya sebanyak 82 surah, disepakati tergolong dalam periode Mekkah.[43]
Mereka hali bertengkar yang sengit sekali, tukang berdebat dengan kata-kata yang pedas sehingga wahyu makki (yang di turunkan di makkah) juga berupa goncangan –goncangan yang mencekam, menyala-nyala saperti api yang member tanda bahaya disertai argumentasi yang sangat kuat dan tegas.
Demikianlah Al-qur’an surah makkiyah itu penuh dengan ungkapan-ungkapan yang kedengarannya amat keras di telinga seperti dalam surat Qori’ah, Gasyiah dan Waqi’ah dengan huruf hijaiyah pada permulaan surah dan ayat-ayatnya berisi tantangan di dalamnya, bukti-bukti alamiyah dan yang dapat di terima akal.
C. Parameter Makkiyyah dan Kekhususannya
Konsep Makkyyah dan Madaniyyah sebenarnya dibangun atas dasar informasi (baca : riwayat ) dari para sahabat dan tabi’in. Namun tidak semua riwayat sampai kepada generasi selanjutnya. Dari sini kemudian para ulama harus melakukan ijtihad dengan melakukan studi perbandingan secara komprehensif terhadap surah-surah dan ayat Makkiyyah atau Madaniyyah, yang darinya bisa didapatkan sejumlah parameter dan kekhususan dari masing-masing kelompok Makkiyyah dan Madaniyyah.
Beberapa parameter Makkiyyah yang diungkap para ulama sebagai berikut :
1.      Setiap surah yang mengandung ayat sajadah, ia termasuk Makkiyyah. Ayat sajdah ini terdapat di 14 tempat dalam Al-Quran : di al-A’raf, al-Ra’d, al-Nahl, al-Isra’, Maryam, al-furqan, al-Naml, al-sajdah, fussilat, al-Najm, al-Insyiqaq, Iqra’, dan dua tempat di al-Hajj.
2.      Surat yang pada bagian akhirnya atau separuh terakhirnya, terdapat lafal kalla, ia adalah Makkiyyah. Imam al-Darini menegaskan bahwa lafaz kalla tidak pernah turun di Madinah.[44] Hikmah dari ungkapan ini adalah berupa teguran secara keras terhadap mereka yang sombong dan tidak mau menerima ajaran Rasulullah SAW.
3.      Setiap surah yang dimulai dengan sumpah qasam. Dalam hal ini ada 15 Surat : al-Shaffat, al-Dzariyat, al-Thur, al-Najm, al- Mursalat, al-Nazi’at,al-Buruj, al-Thariq, al-Syams, al-Lail, al-Dhuha, al-Tin, al-Adiyat, al-Ashr.
4.      Setiap surat yang dimulai dengan huruf hijaiyah seperti aliflam mim, ha mim dan sebagainya. Kecuali surah al-Baqarah dan al-Imran, karena kedua surah ini telah disepakati secara ijma’ sebagai Madaniyyah.
5.      Surah yang terdapat di dalamnya ya ayyuha an-nas dan tidak mengandung ya ayyuha al-ladhina amanu.[45]
D. Paramater Madaniyyah dan kekhususannya
Sesuai tabiat yang dihadapi, bagian Al-quran yang diturunkan di madinah mempunyai parameter dan kekhususannya tema yang lain lagi. Tapi hal ini bukan berarti bahwa penulisan Al-quran sangat dipengaruhi oleh lingkungan, sebagai mana yang dituduhkan sebagian orientalis.[46] Mengapa?
1.      Al-quran bukan karangan nabi muhammad, sementara tuduhan ini adalah untuk menguatkan tesis yang mereka pertahankan bahwa Al-quran karangan nabi muhammad SAW.
2.      Jika demekian maka Al- quran adalah kalam Allah, yang maha tahu.dan jauh sebelum Allah menciptakan manusia Al-quran sudah dipersiapkan sedemikian rupa.
3.      Penurunan Al-quran kepada Rosulullah SAW secara berangsur- angsur, itu karena kebijakan Allah semata, berdasarkan pengetahuan-Nya yang Mahaluas dan sesuai dengan hikmah yang ia ketahui, jadi Rasulullah SAW tidak sama sekali bisa mencampuri urusan proses penurunan wahyu tersebut. Karenanya banyak peristiwa yang menggambarkan bagaimana Rasulullah SAW berhari-hario bahkan berbulan-bulan menunggu turunya wahyu, seperti peristiwa fatrotul al-wahyu (terputusnya wahyu), di mana dalam peristiwa ini rosulullah SAW-sebagaima dalam riwayat Imam bukhori- sangat sedih, karena sudah begitu lama wahyu tidak turun. Sementara kerinduan kepada turunya wahyu begitu kuat dan tidak tertahankan. Toh kendati demekian wahyu masih juga belum turun[47].
BAB V
MUNASABAH
1.    Pengertian Munasabah
Kata munasabah  secaraetimologi berasal dari akar kata ( ناسب- يناسب- مناسبه ).  Berarti keserupaan (المشاكله)[48] (المقاربة) kedekatan Apabila dikatakan (قارب- يقارب- مقاربة) maka berarti ia mendekati dan menyerupai fulan yunasibu fulan [49]. Munasabah  juga berarti yang bersaudara (مناسبه) yaitu kedekatan dengan adanya hubungan dua orang yang bersaudara. Sedangkan  (مقاربة)artinya adanya keterikatan antara keduannya yang disamakan) Yakni kedekatan).
Dalam pembahasan qiyas Munasabah diartikan dengan kesesuian pada illat artinya sifat yang berdekatan dengan hukum (al-wasf al-muqarib li al hukm) gambaran yang berhubungan dengan hukum, karena apabila diperoleh kedekatan melalui adanya dugaan tentang sifat, maka akan diperoleh hukum.
Secara terminology munasabah al-Qur’an ialah:
Menurut az-zarkasyi[50]
Previous
Next Post »