Hosting Unlimited Indonesia

Nuansa Fiqh Sosial

Biografi  KH.MA. Sahal Mahfudh
Lahir di Kajen (Pati, Jawa Tengah) pada 1937 dari sebuah keluarga yang selama beberapa generasi melahirkan ulama, dan melalui perkawinan-perkawinan juga mempunyai hubungan dengan keluarga-keluarga tokoh ulama Jawa Timur. Belajar di berbagai pesantren Jawa tengah dan Jawa Timur, dan melengkapi pendidikannya dengan belajar di Mekah selama tiga tahun. 
Pada 1963 dia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pimpinan pesantren di Kajen, dimana dia memperkenalkan pembaruan-pembaruan pendidikan yang moderat. Merupakan salah seorang kiai yang paling awal terlibat dalam proyek-proyek pengembangan masyarakat. Memegang berbagai posisi pimpinan di NU dan MUI pada tingkat regional dan propinsi; pada 1984 dan kembali pada 1989 terpilih untuk posisi Syuriyah PBNU (sebagai Rois), dan pada 1994 terpilih sebagai wakil Rois 'Aam Syuriah PBNU 
NUANSA FIQIH SOSIAL
HIDUP dan kehidupan rnanusia merupakan takdir Allah. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari segala ketetapan Allah. Takdir telah meletakkan manusia dalam suatu proses, suatu rentetan keberadaan, urutan kejadian, tahapan-tahapan kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk berikhtiar mempertahankan serta melestarikan hidup dan kehidupannya.
Manusia diberi hak hidup bukan untuk hidup semata, tetapi ia diciptakan oleh Allah untuk mengabdi kepadaNya. Dalam kerangka pengabdian inilah, manusia dibebani berbagai taklif yang erat kaitannya dengan ikhtiar beserta sarana-sarananya dan kemampuan manusia itu sendiri.
Dalam proses tersebut, kehidupan manusia selalu dipengaruhi berbagai faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, manusia di dalam berikhtiar melaksnakan taklif, berkewajiban mengendalikan dan mengarahkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupannya, untuk mencapai makna dan tujuan hidupnya, yakni sa'adatud darain atau kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat kelak.
Kesejahteraan lahir-batin merupakan cita-cita setiap insan. Kesejahteraan lahiriah, lazimnya merupakan sarana yang mendasar bagi tercapainya kesejahteraan batiniah, meskipun ada juga orang yang memperoleh kesejahteraan batiniyah tanpa mendapat kesejahteraan lahiriyah, menurut ukuran yang lazim.
Indikator kesejahteraan masyarakat -di rnana keluarga/rumah tangga (usrah) sebagai unit terkecil- memang sulit dirumuskan secara terinci. Namun sekurang-kurangnya ajaran syari'at Islam dengan konsep fiqih sosial telah banyak menunjang sebagai isyarat yang mendekati rumusan tersebut.
***
SYARI'AT Islam merupakan pengejawantahan dan manifestasi dari aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan keyakinan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan, termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara terinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari'at Islam yang dijabarkan secara terinci oleh para ulama dalam ajaran fiqih (fiqih sosial), ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.
Syari'at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang di dalam fiqih sosial menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) mau pun muthlaqah (teknik operasionalnya tidak terilkat oleh syarat dan rukun tertentu). Ia juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalarn bentuk mu'asyarah (pergaulan) mau pun mu'amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Di samping itu ia juga mengatur hubungan dan tata cara berkeluarga, yang dirurnuskan dalam komponen rnunakahah. Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihad, dan qadla'.
Beberapa komponen fiqih di atas merupakan teknis operasional dari lima tujuan prinsip dalam syari'at Islam (maqashid al-syari'ah), yaitu memelihara -dalam arti luas- agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda. Komponen-kornponen itu secara bulat dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia dalam rangka berikhtiar melaksanakan taklifat untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi atau sa'adatud darain sebagai tujuan hidupnya.
Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, bersifat saling mempengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syari'at Islam yang dijabarkan fiqih sosial dengan bertitik tolak dari lima prinsip dalam maqashid al syari'ah, maka akan jelas, syari'at Is]am mempunyai sasaran yang mendasar, yakni kesejahteraan lahir batin bagi setiap manusia. Berarti, bahwa manusia merupakan sasaran, sekaligus menempati posisi kunci dalam keberhasilan mencapai kesejahteraan dimaksud.
***
SATU di antara masalah manusia adalah masalah kependudukan. Hampir semua aspek dan faktor kehidupan berkaitan erat dan saling mempengaruhi dengan masalah ini. Masalah kependudukan seperti tingginya laju perkembangan penduduk, persebarannya yang tidak merata dan struktur umur penduduk yang relatif muda, semua berkaitan erat dengan aspek-aspek kependudukan yang cenderung menimbulkan kerawanan sosial serta ketimpangan pada sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, keamanan dan keagamaan. Bahkan dari rnasalah kependudukan ini kita bisa menelusuri munculnya kerniskinan struktural, krisis lingkungan dan lain-lain.
Kuantitas penduduk yang tidak terkendalikan, tidak diimbangi dengan peningkatan sumber daya alam, kemarnpuan dan keterampilan ikhtiar yang memadai, akan mengakibatkan mafsadah umum dari dimensi duniawiah mau pun ukhrawiah, dengan timbulnya perubahan nilai-nilai Islam.
Kependudukan menjadi masalah karena ada kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai pembangunan manusia seutuhnya dengan keadaan nyata yang dihadapi. Pembangunan merupakan proses perubahan yang secara sadar direncanakan melalui berbagai campur tangan pemerintah dan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kegiatan pembangunan yang selama ini berlangsung telah membawa kemajuan-kemajuan besar dalam kehidupan bangsa. Akan tetapi di samping itu, pembangunan yang semakin kompleks telah menciptakan berbagai permasalahan pula. Permasalahan itu menjadi beragam dan yang paling luas implikasinya adalah masalah kependudukan, karena keterkaitannya yang erat dengan aspek-aspek kehidupan.
Masalah pendidikan anak misalnya, memerlukan fasilitas dan sarana yang makin luas. Beban orang tua untuk itu makin terasa. Tuntutan kesehatan anak agar jadi manusia produktif, sehat jasmani dan rohani cukup menarik perhatian. Pengetahuan dan pengamalan agama serta akhlak anak cenderung melemah, hingga perlu pengawasan ketat.
Sumber daya alam semakin surut, sementara pengembangan surnber daya manusia untuk mengelola potensi alam berada dalam posisi persaingan yang sering menimbulkan kesulitan tertentu, seperti problem pengangguran dan ketenagakerjaan yang tidak seimbang, dan penciptaan lapangan kerja yang masih sangat lamban di upayakan.
Masalah-masalah tersebut mengakibatkan tumbuhnya masalah besar yang cukup memprihatinkan, yaitu perubahan nilai spiritual di kalangan umat Islam sendiri. Berbagai indikator bisa disebukan, misalnya disiplin sosial kurang mendapat kepedulian. Solidaritas sosial cenderung melemah. Kepekaan kaum muslimin lebih banyak tertuju pada hal-hal yang bersifat moralitas individual yang sensitif, namun tumpul pada hal-hal yang bersifat sosial. Bahkan yang makin berkembang adalah nilai ekonomi, ditandai dengan memperhitungkan untung rugi secara material pada hampir semua aktivitas hidup.
Sederet masalah itu akan menjadi berat dan menimbulkan kesenjangan yang tajam, manakala laju pertambahan penduduk dibiarkan berkembang. Sementara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut belum bisa kelar, karena dikejar pertarnbahan penduduk yang relatif lebih cepat, tidak seimbang dengan daya ikhtiar untuk mengatasi masalah kependudukan.
***
MENGATASI masalah kependudukan yang kompleks, yang merupakan masalah kehidupan yang penting dalam pandangan syari'at Islam, berarti memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekwen atas kewajiban mewujudkan kemaslahatan umum (al-mashalih al-'ammah) sebagaimana dijabarkan dalam fiqih sosial. Hal ini tercermin misalnya dalam bab-bab zakat, fai', amwal dlai'ah dan lain-lain.
Dalam hal ini, kemaslahatan umum -kurang lebih- adalah kebutahan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Baik kebutuhan itu berdimensi dlaruriyah atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa raga, nasab (keturunan) dan harta benda, rnau pun kebutahan hajiyah (sekunder) dan kebutahan yang berdimensi tahsiniyah atau pelengkap (suplementer).
Dalam ikhtiar mengatasi masalah kependudukan yang erat hubungannya dan mempunyai implikasi dengan kesejahteraan masyarakat yang menjadi sasaran syari'at Islam, memang tidak boleh menimbulkan akibat pada hilangnya nilai tawakal dan nilai imani. Bahkan dengan mengaplikasikan syari'at Islam secara aktual dalam konteks upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dengan mengatasi masalah-masalah kependudukan, dapat kiranya lebih dikembangkan nilai tawakal dan nilai imani. Pada gilirannya, keseimbangan antara aqidah dan syari'at dapat disadari oleh masyarakat dalam bentuk sikap dan tingkah laku yang rasional dan bertanggungjawab terhadap eratnya hubungan antara keluarga maslahah dengan aspek aspek kehidupan yang meliputi bidang-bidang agama, sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan dan ketertiban dalam rangka mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
***
UNIT terkecil dari struktur masyarakat adalah keluarga (usroh). Keluarga yang unsur pokoknya adalah suami, istri dan anak dengan unsur pelengkapnya yaitu para pembantu rumah tangga (khadam), merupakan kelompok terbatas statusnya, namun karena adanya lingkungan dalam setiap kehidupan dan kawasan pemukiman, maka kehidupan suatu keluarga dengan yang lain akan saling mempengaruhi sebagaimana yang lazim dalam proses perkembangan sosial. Oleh karenanya rnembicarakan kemaslahatan dan kesejahteraannya tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang masalah kependudukan yang diharapkan bisa diatasi demi kesejahteraan masyarakat menurut pandangan syari'at Islam.
Konsep keluarga yang serba maslahah memang sulit dirumuskan secara pasti dan berlaku bagi setiap keluarga. Kemaslahatan dan kesejahteraan pada prinsipnya bermuara pada pemenuhan kebutuhan. Sedangkan kebutuhan masing masing keluarga relatif berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Sama halnya bahwa pembagian rizki dari Allah juga berbeda dan bertingkat, sebagian diangkat lebih tinggi beberapa derajat di atas yang lain.
Secara umum syari'at Islam rnenggariskan tanggung jawab setiap anggota keluarga untuk memenuhi kewajiban dalam kaitannya meraih kesejahteraan. Kewajiban orang tua/suami terhadap anak istri misalnya, bukan saja terbatas pada kebutuhan pangan, sandang dan papan. Lebih jauh lagi adalah kebutuhan pendidikan, kesehatan, akhlak dan terutama pengamalan syari'at Islam pun, menjadi tanggung jawab orang tua/suami. Semua aspek tersebut merupakan komponen yang apabila dipadukan secara seimbang dan serasi akan menjadi indikator kesejahterann lahir dan batin.
Suami dituntut memiliki al ba'ah (kemampuan bersetubuh dan membiayai kebutuhan hidup keluarga) sebagai kunci kesejahteraan yang rnendasar. Ia juga bertanggung jawab terhadap keluarga sebagai qawwam dan terutama bertanggungjawab terhadap anak-anaknya yang merupakan amanat sekaligus sebagai fitnah dan zinah. Sang istri kemudian mengimbangi suami semacam itu dengan sikap dan perilaku yang serba shalihaat, qaninaat dan hafidhaat. Sedangkan anak anaknya bersikap abrar.
Masing-masing unsur rumah tangga saling memberi dan melaksanakan hak dan kewajibannya. Tentu saja dalam keseimbangan semua faktor tersebut dalam kehidupan keluarga, harus dilengkapi, bahkan didasari adanya ketenteraman (sakinah) dengan penuh kesejahteraan lahir dan batin.
Tidak kalah pentingnya dalam berupaya mewujudkan keluarga yang penuh maslahah, adalah lingkungan yang sehat. Ini sangat mempengaruhi watak dan karakter anak pada masa pertumbuhannya yang sangat rawan terhadap situasi sosial pada lingkungan pergaulannya.
Karena tanggung jawab orang tua (suami istri) terhadap anak baik sebagai amanat, fitnah maupun zinah, maka pembiakan anak dalam fiqih sosial/syari'at Islam diatur sedemikian rupa, sehingga dalam berikhtiar mencapai kesejahteraan pun perlu dipertimbangkan keseimbangannya.
Larangan zina misalnya, ini untuk mengendalikan pembiakan anak secara bebas tanpa adanya tanggung jawab, akibat tidak adanya ikatan melalui lembaga nikah. Tidak semua wanita boleh diperistri oleh setiap lelaki. Wanita mahram dan mushaharah tidak boleh dijadikan zaujah (istri). Poligami sekalipun diperbolehkan, tetapi ada syarat-syarat yang harus dipertanggungjawabkan. Lebih dari itu, menikahi kerabat dekat yang bukan mahram sekalipun boleh, akan tetapi banyak para fuqaha mencegah, karena mengakibatkan anak-anaknya lemah mental dan intelektual. Semua itu menggambarkan adanya kaitan erat antara pembiakan anak dengan tanggung jawab orang tua dari berbagai segi.
Dalam hal siapa yang berhak menentukan anak secara ikhtiari, ada beberapa pendapat ulama. Imam Ghazali berpendapat, anak adalah hak suami sendiri. Suami berhak menentukan punya anak atau tidak, karena ialah orang pertama yang akan bertanggungjawab. Ini berarti memberi kesempatan pembiakan anak untuk menentukan keseimbangannya dengan kebutuhan unsur-unsur kesejahteraan keluarga yang diharapkan penuh maslahah.
Dari uraian di atas menunjukkan, bahwa pembiakan manusia adalah bagian terpenting dari masalah kependudukan. Hal itu merupakan pangkal dari pertumbuhan penduduk, yang cukup luas menjadi pembahasan dalam syari'at Islam/fiqih.
***
KESEJAHTERAAN lahir batin atau saadatud daaraini merupakan tujuan utama dalam hidup dan kehidupan masyarakat muslim. Orang muslim punyai fungsi utama dan sangat mendasar, yakni 'ibadatullah. Dalam rangka beribadah ini, manusia telah diberi kemampuan ikhtiari untuk melaksanakan berbagai taklifat. Di samping itu, ada jaminan sarana hidup dan kehidupan yang menuntut sumber daya manusia dan budidaya alam, pengelolaan, pengembangan serta pelestariannya.
Namun dalam berikhtiar —tanpa kehilangan nilai tawakal dan nilai imani- masalah kependudukan, pertambahan penduduk yang tidak seimbang, penyebaran yang tidak merata dan struktur umum yang membedakan, masih menjadi tantangan yang menarik perhatian serius bagi kaum muslim Indonesia, untuk bersama sama dipecahkan dan diatasi demi tercapainya kesejahteraan lahir batin yang dicita-citakan Ini sesuai dengan pandangan syari'at Islam yang diciptakan dalam ajaran fiqih sosial yang mempunyai ruang lingkup cukup luas dalam penataan ihwal manusia dalam hidup dan kehidupannya untuk selamat di dunia yang penuh maslahah, menuju akhirat yang penuh sa'adah nanti.
Di sinilah peran serta (para ulama sangat penting dan sangat mempengaruhi mulusnya upaya mengatasi masalah tersebut. Ulama yang mempunyai ciri melekat, yakni faqih fi mashalih al-khalqi, akan mampu berperan sebagai motivator dan pemberi inspirasi. Beliau di samping memberikan motivasi keagamaan mau pun sosial, sekaligus mampu mempengaruhi masyarakat untuk menumbuhkan dinamika yang tinggi dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya, di bidang material mau pun spiritual, untuk mencapai keseimbangan antara keduanya.
Keterlibatan ulama dalam hal ini akan menciptakan kondisi dinamis di kalangan masyarakat lingkungannya, sehingga tumbuh dan berkembang secara kreatif kesadaran berbudidaya secara mandiri untuk selalu meningkatkan kualitas diri dan hidupnya. Kesadaran pendidikan, kesehatan, berdisiplin sosial, solidaritas sosial, keamanan dan utamanya kesadaran melaksanakan syari'at Islarn, akan terwujud sedemikian rupa dalam kordisi dinamis. Demikian itulah masyarakat yang dicita-citakan oleh Khittah NU 1926.
Pada Mukadimah Khittah NU alinea pertama disebutkan, NU didirikan atas dasar kesadaran dan keinsafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya, bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Selanjutnya pada alinea ketiga berbunyi, NU dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera.
Sedangkan butir enam tentang ikhtiar yang dilakukan NU, pada huruf (d) berbunyi, peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah. Kegiatan-kegiatan yang dipilih pada awal berdiri dan khidmahnya menunjukkan, pandangan dasar yang peka terhadap pentingnya terus-menerus dibina hubungan dan komunikasi antara para ulama sebagai pemimpin masyarakat, serta adanya keprihatinan atas nasib manusia yang terjirat oleh keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan.
Ungkapan Khittah NU tersebut menunjukkan betapa penting dan perlunya para ulama NU ikut terlibat langsung dalam mengatasi masalah kependudukan. Di .samping karena dorongan ajaran syari'at Islam, hal itu justru berarti melaksanakan dan membudayakan Khitthah 1926 secara konsekuen, sekaligus berikhtiar mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui partisipasi nyata. Dari uraian di atas sampailah pada kesimpulan yang tentu saja masih perlu dipertajam untuk mencapai kesamaan pandangan, wawasan dan sikap, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kebersamaan langkah nyata di lapangan, antara ulama NU bersama eksponen organisasi neven NU di satu pihak dengan pemerintah di pihak lain. Kesimpulan itu antara lain sebagai berikut:
  1. Bahwa syari'at Islam yang telah dijabarkan oleh fiqih sosial dalam komponen-komponen ibadah, mu'amalah, munakalah, jinayah, jihad dan qadla', merupakan penataan hal ihwal masyarakat untuk mencapai kesejahteraan lahir batin yang penuh maslahah.
  2. Bahwa oleh karenanya, masalah kependudukan yang mempunyai implikasi luas dengan semua apek kehidupan masyarakat. Terpenuhinya semua kebutuhan rnaterial mau pun spiritual secara seimbang dan memadai, merupakan faktor pokok bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat, adalah menjadi tantangan dan tanggung jawab kaum muslimin di Indonesia dalam rangka mengaplikasikan ajaran syari'at secara kontekstual dan sekaligus merupakan da'wah bil hal. Dalam hal ini unit terkecil dalam struktur masyarakat adalah "keluarga" yang unsur-unsurnya terdiri atas suami, istri dan anak. Untuk itu, memaslahatkan keluarga lahir batin adalah langkah utama dalam mengatasi masalah kependudukan untuk mencapai kesejahteraan.
  3. Bahwa persamaan persepsi para ulama NU dan peran sertanya dalam rnasalah kependudukan amat penting, bahkan akan menentukan keberhasilannya, sebagai motivator dan sekaligus inspirator yang akan membentuk kondisi dinamis di tengah masyarakat lingkungannya. Pada gilirannya akan tercipta kemandirian yang kreatif dalam meningkatkan kualitas diri dan kehidupan mereka, menuju kesejahteraan yang dicita-citakan. Peran serta ulama NU, di samping atas dorongan ajaran syari'at Islam, sekaligus merealisasi amanat Muktamar NU XVII yang dituangkan dalam rurnusan Khitthah NU 1926.
FIQIH YANG KONTEKSTUAL
DALAM Islam terdapat dua hal yang fundamental, yaitu 'aqidah dan syari'ah. Akidah adalah kepercayaan yang tirnbul di hati manusia dan tidak dapat dipaksakan kehadirannya. Dari akidah ini dijabarkan beberapa unsur keimanan. Sedangkan syari'ah adalah hal yang mengatur tata kehidupan manusia muslim sehari-hari, termasuk di dalamnya soal-soal ibadah. Fiqih sebagai refleksi syari'ah, memiliki empat pokok komponen ajarannya, yaitu 'ubudiyah (peribadatan), mu'amalah, munakahah, dan jinayah.
Antara keimanan dan amaliah ibadah mempunyai korelasi yang kuat dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Dengan kata lain, amal ibadah merupakan manifestasi dari keimanan. Kuat dan lemah atau tebal dan tipisnya keimanan seseorang dapat diukur dari intensitas amaliah ibadahnya. Sampai sejauh mana ia beribadah, di situlah ukuran lahiriah keimanannya. Hal ini merupakan titik berangkat yang diperlukan manakala kita akan mengklasifikasikan seseorang ke dalam golongan mukmin atau non-muslim. Tanpa pembuktian itu, sama sekali tidak masuk akal. Bukti tersebut tidak lain adalah amal ibadah, dalam keadaan suka maupun duka, atau dalam situasi dan kondisi yang bagaimana pun adanya.
Mengenai keterkaitan antara keimanan dan amaliah ibadah, bisa dilihat juga dari pentingnya niat bagi ibadah. Sebagai makhluk hidup, manusia setiap saat tentu berbuat sesuatu, atau dalam bahasa pesantren, melakukan amaliah, terpuji mau pun tercela. Semua amaliah manusia bisa menjadi ibadah, atau tidak menjadi apa-apa sama sekali. Dengan kata lain, amal itu tidak bernilai lebih, yang dapat membedakan antara amaliah ibadah dan amaliah biasa.
Apakah sebuah amaliah termasuk ibadah atau tidak, ditentukan oleh motif dan niat seseorang yang menjalankannya. Sesuatu akan menjadi ibadah, bila diiringi dengan niat beribadah. Begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, ibadah pada hakikatnya memiliki cakupan yang sangat luas dan mendasar bagi setiap aspek hidup dan kehidupan. Nabi bersabda, "Semua amal tergantung pada motif dan niatnya".
Di kalangan para ulama, hadits ini diperselisihkan interpretasinya. Menurut Imam Abu Hanifah, hadits tersebut memberi pengertian, niat merupakan syarat amal seseorang. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat, niat adalah rukun dari amaliah. Menurut jumhur al-ulama' (mayoritas ularna), pendapat Syafi'i lebih kuat dijadikan sebagai pegangan (al-mu'tamad).
Perbedaan antara rukun dan syarat dapat dilihat dalam banyak kitab fiqih. Ini mempunyai konsekuensi tertentu, seiring dengan perbedaan definisi syarat dan rukun dalam ibadah. Secara definitif, syarat adalah sesuatu yang dapat rnenafikan sesuatu yang disyarati (al-masyrut), bila syarat itu tidak wujud. Akan tetapi syarat tidak menjadikan wujud tidaknya al-masyrut, meskipun syarat tersebut wujud.
Sedangkan rukun merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari sebuah ibadah. Dengan demikian, pendapat Abu Hanifah terasa menjadi lemah apabila hanya menempatkan niat sebagai syarat sebuah amal. Uraian ini menegaskan keterkaitan erat antara keimanan (niat) dan amal ibadah.
***
IBADAH terbagi menjadi dua macam, yakni ibadah yang bermanfaat untak pribadi (individual/syakhshiyah) dan untuk orang lain atau masyarakat (sosial/ijtima iyah). Sebelum meningkatkan amaliah ibadah, seseorang perlu meningkatkan keimanan dan kepercayaan akan wujud Allah dengan segala perintah dan laranganNya, kepercayaan akan adanya pahala serta keyakinan akan manfaat dan faedah dari amaliah ibadah.
Dalam konteks sosial yang ada, ajaran syari'at yang tertuang dalam fiqih sering terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari. Hal ini pada hakikatnya disebabkan oleh pandangan fiqih yang terlalu formalistik. Titik tolak kehidupan yang kian hari cenderung bersifat teologis, menjadi tidak berbanding dengan konsep legal-formalisme yang ditawarkan oleh fiqih. Teologi di sini bukan hanya dalam arti tauhid yang merupakan pembuktian ke-Esa-an Tuhan, akan tetapi teologi dalam arti pandangan hidup yang menjadi titik tolak seluruh kegiatan kaum muslimin. Padahal di balik itu, asumsi formalistik terhadap fiqih ternyata akan dapat tersisihkan oleh hakikat fiqih itu sendiri.
Sebagaimana dimaklumi, fiqih dalarn arti terminologisnya adalah ilmu hukum agama. Kemudian ia diartikan sebagai kumpulan keputusan hukum agama sepanjang masa, atau dengan kata lain, yurisprudensi dalam Islam. Sebagai kompendium yurisprudensi, fiqih memiliki sistematikanya sendiri. Ia tidak berdiri sendiri karena sebagai disiplin ilmu maupun sebagai perangkat keputusan hukum, fiqih dibantu oleh sejumlah kerangka teoritik bagi pengambilan keputusan hukurn agama.
Dari sana kita mengenal ushul fiqih yang membahas kategorisasi hal-hal yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan. Juga kita kenal kaidah-kaidah fiqih yang menjadi patokan praktis dalam rnemutuskan suatu kasus fiqih. Belum lagi ilmu-ilmu al qur'an dan Hadits serta ilmu-ilmu bahasa Arab yang semuanya mendukung terselenggaranya fiqih sebagai disiplin ilmu dan perangkat keputusan hukum.
Sistematika dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqih sebenarnya rnemungkinkannya dikembangkan secara kontekstual, sehingga tidak akan ketinggalan perkembangan sosial yang ada. Nabi pernah menganjurkan agar kaum rnuslimin memperbanyak keturunannya. Dalam era over populasi seperti sekarang ini, anturan Nabi itu tidak bisa dipahami secara dangkal, yakni bahwa Nabi memerintahkan untuk memperbanyak anak secara kuantitatif. Akan tetapi sebaliknya, anjuran tersebut adalah bermakna pada usaha untuk meningkatkan kualitas hidup keturunan kaum muslimin.
Tidakkah dengan begini, pendekatan fiqih secara kontekstual bukan merupakan hal yang mustahil dilakukan? Ditambah lagi, bahwa salah satu kaidah fiqih berbunyi, "Kebijaksanaan penguasa atas rakyatnya berturnpu sepenuhnya pada kesejahtersan rakyat itu sendiri". Nah, dari kaidah ini tentu dapat dikernbangkan banyak teori sosial yang komplek dan universal.
***
ASUMSI formalistik terhadap fiqih seperti di atas sering menjadi masalah laten. Fiqih oleh sebagian kaum muslimin diperlakukan sebagai norma dogmatis yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak jarang, fiqih -dalam hal ini kitab kuning- dianggap sebagai kitab suci kedua setelah al-Qur'an. Bila demikian halnya, saya teringat akan gagasan teman-teman yang tergabung dalam Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) untuk memberi input kepada masyarakat kita sendiri -pesantren- agar memahami kitab kuning secara kontekstual dan mengurangi interpretasi tekstual yang selama ini cenderung berlebihan.
Gagasan tersebut tidak terlalu berlebihan, mengingat bahwa pemahaman kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqih secara mutlak. Justru dengan pemaharnan tersebut, segala aspek perilaku kehidupan akan dapat terjiwai oleh fiqih secara kontestual dan tidak menyimpang dari rel fiqih itu sendiri. Atau minimal, kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri yang belakangan ini mulai enggan menguaknya, akan tetapi oleh siapa saja yang berrninat mengaji referensi pemikiran Islam.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, setelah kita mengetahui posisi fiqih dalam tatanan sosial yang ada dan dibarengi dengan keinginan meningkatkan amaliah ibadah sosial -yang dalam hal ini lebih utama dari pada ibadah individual- maka tentu keinginan tersebut akan mudah tercapai atau minimal akan terkonsepsikan secara proporsional untuk kemudian ditindaklanjuti pada masa-masa yang akan datang. Sehingga fiqih atau komponen ajaran Islam lainnya tidak harus selalu disesuaikan dengan keadaan zaman yang ada, akan tetapi bagaimana mengaplikasikan fiqih secara baik dan benar serta mudah diterima oleh khalayak awam tanpa keresahan yang berarti.
MENGGALI HUKUM ISLAM
SEBAGAI jam'iyah sekaligus gerakan diniyah dan ijtima'iyah sejak awal berdirinya, Nahdlatul Ulama (NU) meletakkan faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah sebagai dasarnya. Ia menganut salah satu dari empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Alih mazhab secara total atau pun dalam hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajah) dimungkinkan terjadi, meskipun kenyataan sehari-hari para ulama NU menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi'i.
Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk hukum dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi'i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak selalu melawan budaya konvensional- berpaling ke mazhab lain. Dalam struktur kepengurusannya, NU mempunyai lembaga Syuriyah yang bertugas antara lain menyelenggarakan forum bahtsul masail secara rutin. Forum ini bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum Islam, yang bertalian dengan masail fiqhiyyah mau pun masalah ketauhidan dan bahkan tasawuf (thariqah). Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan ulama-ulama NU yang berada di luar struktur organisasi, termasuk para pengasuh pesantren.
Masalah-masalah yang dibahas pada umumnya merupakan kejadian (waqi'ah) yang dialami oleh anggota masyarakat, diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi atau pun perorangan. Masalah itu diinventarisasi oleh Syuriyah lalu diseleksi berdasarkan skala prioritas pembahasannya. Kemacetan (mauquf) tidak jarang terjadi di dalam pembahasan masalah semacam itu. Jalan berikutnya adalah mengulang pembahasannya pada tingkat organisasi yang lebih tinggi, dari ranting ke cabang, dari cabang ke wilayah, dari wilayah ke pengurus besar (pusat), kemudian ke Munas (Musyawarah Nasional) dan terakhir kepada Muktarnar.
***
PENGERTIAN istinbath al-ahkam di kalangan NU bukan mengarnbil hukurn secara langsung dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Akan tetapi penggalian hukum dilakukan dengan men-tathbiq-kan secara dinamis nash-nash fuqaha' -dalam hal ini Syafi'iyah- dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.
Istinbath langsung dari sumber primer (al-Qur'an dan al-Hadits) yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara itu istinbath dalam batas mazhab di samping lebih praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami 'ibarat (uraian) kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku.
Oleh karena itu kalimat istinbath di kalangan NU terutma dalam kerja bahtsul masail Syuriyah, tidak populer. Kalimat itu telah populerkan di kalangan ulama dengan konotasi ijtihad mutlak, suatu aktivitas yang oleh ulama Syuriyah masih berat untuk dilakukan. Sebagai gantinya, dipakai kalimat bahtsul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah melalui referensi (maraji') kutub al-fuqha'.
***
SIKAP dasar bermazhab telah menjadi pegangan NU sejak berdirinya. Secara konsekuen sikap ini ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum fiqih dari referensi dan maraji', berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen; ibadah, mu'amalah, munakahah, jinayat, qadla. Para ulama NU dan forum bahtsul masail mengarahkan pengambilan huukum pada aqwal al-mujtahidin yang mutlaq mau pun muntasib. Bila kebetulan mendapatkan qaul manshush (pendapat berdasar nash eksplisit), maka qaul itulah yang dipegangi. Namun kalau tidak, rnaka akan beralih pada qaul mukhoroj.
Bila terjadi khilaf, maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan ahli tarjih. Sering juga ulama NU mengambil keputusan untuk sepakat dalam khilaf, akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajiyah (kebutahan), tahsiniyah (kebagusan) mau pun dlaruriyah (darurat).
Mazhab yang dianut oleh NIJ dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuai dengan mazhab yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, mazhab Syafi'i. Ini punya konsekuensi, para ulama NU dalam fatwa pribadinya mau pun dalam forum bahtsul masail, hampir dapat dipastikan selalu merujuk pada kitab-kitab Syafi'iyah. Kepustakan ulama NU pasti sarat dengan kitab- kitab Syafi'iyah, mulai dari yang paling kecil; Safinatus Sholah karangan KH. Nawawi Banten sampai dengan yang paling besar, rnisalnya al-Um, al-Majmu' dan lain sebagainya.
Sangat sulit dijumpai dalam kepustakaan mereka, kitab-kitab selain Syafi'iyah, kecuali pada akhir-akhir ini mulai ada koleksi kitab-kitab mazhab Hambali, Hanafi, dan Maliki bagi sebagian kecil ulama. Kecuali harganya belum terjangkau oleh sebagian besar ulama NU, kitab-kitab itu masih sulit diperoleh di Indonesia.
Timbul kesan dari kenyataan ini, bahwa NU hanya bermazhab fi al-aqwal tidak dalam manahij (metodologi). Padahal sebenarnya para ularna NU juga memegangi dan mempelajari manhaj Imam Syafi'i. Hal ini tergambar dalam kepustakaan mereka, kurikulum pesantren-pesantren yang mereka asuh. Kitab-kitab seperti, waraqat, ghoyah al-Wushul, jam'u al-jawami', al-Mustasyfa, al-asybah wa al-Nadhair, qowaid Ibni Abdissalam, Tarikhu al-Tasyri', dan lain-lain, tidak hanya menjadi koleksi kepustakaan mereka, namun juga dibaca, diajarkan di beberapa pesantren.
Metodologi dalam hal ini digunakan untuk memperkuat pemahaman atas masail furu'iyah yang ada pada kitab-kitab fiqih, di samping sering juga diterapkan untuk mengambil langkah tandhir al-masail bi nadhoiriha, bukan untuk istinbath al-ahkam min mashadiriha al-ashliyah.
Gagasan perlunya konsep tajdid muncul di kalangan NU belakangan ini, mengingat makin berkembangnya masalah dan peristiwa hukum yang ternyata belum terakomodasi oleh teks-teks kitab fiqih, di samping munculnya ide kontekstualisasi kitab kuning. Penyelenggaraan halaqah yang diikuti oleh beberapa ulama Syuriyah dan pengasuh pesantren, sebagian untuk merespons gagasan itu. Kesepakatan telah dicapai, dengan menambah dan memperluas muatan agenda bahtsul masail, tidak saja meliputi persoalan hukum halal/haram, melainkan juga hal-hal yang bersifat pengembangan pemikiran keislaman dan kajian-kajian kitab.
Disepakati juga dalam forum itu, perlunya melengkapi referensi mazhab selain Syafi'i dan perlunya disusun sistematika bahasan yang mencakup pengembangan metode-metode dan proses pembahasan untuk mencapai tingkat kedalaman dan ketuntasan suatu masalah. Mengenai konsep tajdid, PBNU sebelum Muktamar ke-28 di Yogyakarta telah membentuk tim khusus untuk merumuskannya. Tim ini diketuai sendiri oleh Rois Aam Kiai Achmad Siddiq (almarhum) dan saya sebagai wakilnya. Tim ini telah berhasil rnerumuskan "Konsep Tajdid" dalam Pandangan NU.
***
FIQIH yang dipahami NU dalam pengertian terminologis, sebagai ilmu tentang hukum syari'ah (bukan i'tiqadiyah) yang berkaitan dengan amal manusia yang diambil dan disimpulkan (muktasab) dari dalil dalil tafsili, adalah fiqih yang diletakkan -oleh para perintisnya (mujtahidin)- pada dasar dasar pembentuknya; alQur'an, al-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Dalam pembentukannya, fiqih selalu mempunyai konteks dengan kehidupan nyata dan karena itu bersifat dinamis. Ini tergambar dalam proses pembentukannya yang tidak lepas dari konteks lingkungan yang sering disebut sebagai asbab al-nuzul bagi ayat al-Qur'an dan asbab al-wurud bagi al-Sunnah. Namun konteks lingkungan seperti itu kurang diperhatikan di kalangan NU. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap yang memperkuat pemahaman, karena yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitat furu' al-fiqih. Fungsi syarah, hasyiyah, taqriraat dan ta'liqaat dipandang pula sebagai pelengkap yang memperjelas pemahaman tersebut. Meskipun di dalam kitab-kitab syarah, hasyiyah, ta'liqaat itu sering dijumpai kritik, penolakan (radd), counter, perlawanan (i'tiradl) atas teks-teks matan yang dipelajari/dibahas, namun hal ini kurang mendapat kajian serius.
Pembahasan fiqih secara terpadu dan pengembangannya sangat lamban, bahkan kadang secara eksklusif dipahami, antara ilmu fiqih dengan ilrnu lain yang punya diferensiasi tersendiri, seolah-olah tidak ada hubungannya. Padahal para ulama penyusun dan pembentuk fiqih dahulu selalu mengintegrasikan ilmu-ilmu di luar fiqih ke dalam fiqih untuk menentukan kesimpulan hukum bagi suatu masalah. Misalnya ilmu falak (hisab) dan ikhtilaf al-mathla' dalam hal penentuan awal Ramadan dan Syawal, ma'rifatu al-qiblah dan al-waqti dalam hal shalat dan penemuan obat-obatan dalam kontrasepsi (man'u al-hamli/ibtho'u al-hamli) dalam bab nikah.
Namun sekarang halaqah dan muktamar telah merekomendasikan, agar pada setiap masalah yang akan dibahas Syuriyah diberi tashawwur al-masa'il (abstraksi), sehingga dapat jelas masalahnya. Kepastian hukum bisa diputuskan secara terpadu melibatkan orang-orang ahli dan profesional. Ini penting artinya bagi upaya mengintegrasikan disiplin-disiplin ilmu lain ke dalam wilayah fiqih, untuk memperoleh alternatif pemecahan masalah tanpa ada resiko hukum.
***
IJTIHAD di kalangan ulama NU dipahami sebagai upaya berpikir secara maksimal untuk istinbath (menggali) hukum syar'i yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia secara langsung dari dalil tafshili (al-Qur'an dan Sunnah). Ini adalah pengertian ijtihad muthlaq, pelakunya disebut mujtahid muthlaq. Meskipun dipertentangkan, apakah sekarang ini boleh melakukan ijtihad muthlaq atau tidak, namun para ulama nampaknya sepakat, perlu ada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tertentu bagi mujtahid muthlaq.
Di bawah ini, ada tingkat ijtihad fi al-mahab, pelakunya disebut mujtahid fi al-mazhab, lalu di bawahnya lagi ada ijtihad fatwa, pelakunya disebut mujtahid fatwa. Mujtahid tingkat kedua itu, ialah mereka yang mampu meng-istinbath hukum dari kaidah-kaidah imam mazhab (mujtahid muthlaq) yang diikuti. Misalnya Imam al-Muzani, pengikut mazhab Syafi'i. Sedangkan mujtahid fatwa adalah mujtahid yang mempunyai kemampuan mentarjih antara dua qaul yang di-muthlaq-kan oleh Imam Mujtahid yang dianutnya. Misalnya Imam al-Nawawi dan Imam al-Rofi'i, penganut Imarn Syafi'i.
Di dalam kitab al-Fawaid al-Makkiyah diuraikan, tingkatan ulama fiqih itu ada enam. Pertama mujtahid mustaqil, setingkat al-Syafi'i. Kedua mujtahid muntasib, setingkat Imam al-Muzani. Ketiga ashhabu al-wujuh, setingkat Imam al-Qaffal. Keempat mujtahid fatwa, setingkat Imam al-Nawawi dan Imam al-Rofi'i. Kelima pemikir yang mampu mentarjih antar dua pendapat syaikhoni (dua Imam) yang berbeda, misalnya Imam al-Asnawi. Keenam hamalatu al-fiqh, yaitu ulama-ulama yang menguasai aqwal (pendapat-pendapat) para Imam.
Taqlid bagi NU, sesuai dengan pengertiannya yang telah ditulis dalam kitab-kitab Syafi'iyah, ialah mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa tahu dalil-dalilnya atau hujjahnya. Tentang status hukumnya, taqlid di bidang fiqih (bukan aqidah) ada beberapa pendapat yang cukup panjang pembahasannya. Dalam hal ini Dr. Said Ramadlan mengutip kata Imam Ibnu al-Qoyyim yang disetujui oleh beberapa ulama sebagai berikut. Bahwa telah lengkapnya kitab-kitab al-Sunan saja belum cukup untuk dijadikan landasan fatwa, tetapi juga diperlukan tingkat kemampuan istinbath dan keahlian berfikir dan menganalisa. Bagi yang tidak memiliki kemampuan tersebut, maka ia berkewajiban mengikuti firman Allah: fas'alu ahla al-dzikri in kuntum laa ta'lamun, yang salah satu pengertiannya adalah taqlid.
Ibnu Khaldun juga menceritakan, para Shahabat tidak semuanya ahli fatwa. Begitu pula para Tabi'in. Ini berarti sebagian para Shahabat dan Tabi'in yang paling banyak jumlahnya, adalah bertaqlid kepada mereka yang ahli fatwa. Tidak ada satupun dari sahabat dan tabi'in mengingkari taqlid. Irnam al-Ghozali dalam kitabnya al-Mustashfa mengatakan, para Shahabat telah sepakat (ijma') mengenai keharusan bertaqlid bagi orang awam.
Fatwa para mujtahid dan hukum-hukum yang telah dihasilkan dari istinbath dan ijtihadnya, telah absah sebagai dalil bagi kalangan ahli taqlid. Imam al-Syatibi mengatakan, fatwa-fatwa kaum mujtahidin bagi orang awam adalah seperti beberapa dalil syar'i bagi para mujtahidin. Itulah sebabnya, maka kita-kitab fiqih di kalangan ulama Syafi'iyah menjadi penting dan berkembang dalam ratusan bahkan rnungkin ribuan judul dengan berbagai analisis, penjelasan dan tidak jarang berbagai kritik (intiqad dan radd).
Kitab yang besar diringkas menjadi mukhtashor, nadhom dan matan. Sebaliknya, kitab yang kecil diberi syarah dan hasyiyah menjadi berjilid-jilid. Sampai pun tokoh ulama Indonesia, Syeikh Mahfudh al-Tarmasi (dari Termas Jawa Timur) menulis hasyiyah kitab Mauhibah empat jilid, bahkan lima jilid (yang terakhir belum dicetak).
Kedudukan kitab-kitab tersebut menjadi seperti periwayatan dalam Hadits/al-Sunnah. Kalau dalam al-Sunnah ada mustanad riwayah; bi al-sama' kemudian bi al-qira'ah dan lalu bi al-ijazah, maka para ulama dalam menerima dan mengajarkan kitab-kitab itu pun menggunakan mustanad tersebut dengan silsilah sanad yang langsung, berturut-turut sampai kepada para penulisnya (mu'allif) bahkan sampai kepada Imam al-Syafi'i (atau panutan mazhabnya).
***
ISTILAH talfiq muncul dalarn pembahasan, apakah ahli taqlid harus memilih satu mazhab tertentu dari sekian banyak mazhab para mujtahidin? Kalau harus demikian, apakah dibolehkan pindah mazhab secara keselurahan atau hanya dalam masalah tertentu saja? Ataukah tidak harus demikian, sehingga mereka bebas memilih qaul tertentu saja dari sekian mazhab yang standar dan bebas berpindah-pindah mazhab sesuai dengan kebutahan?
Beberapa pertanyaan di atas memang telah menjadi perdebatan Ulama. Imam Zakaria Al-Anshary dalam kitabnya Lubbu al-Ushul mengatakan, yang paling shahih adalah, muqallid wajib menetapi salah satu mazhab tertentu yang diyakini lebih rajih daripada yang lain atau sama. Namun begitu, mereka diperbolehkan pindah ke mazhab lain. Dalam hal ini para ulama mensyaratkan beberapa hal yang antara lain, tidak diperkenankan bersikap talfiq dengan cara mengambil yang paling ringan (tatabbu al-rukhosh) dan beberapa aqwal al-madzahib (pendapat mazhab).
Talfiq secara harfiyah dapat diartikan melipatkan dua sisi sesuatu menjadi satu. Namun talfiq dalam hal taqlid ini, berarti menyatukan dua qaul dari dua mazhab yang berbeda ke dalam problema tertentu, sehingga menjadi satu komponen hukum yang tidak menjadi pendapat (qaul) bagi dua mazhab tersebut.
Misalnya dalam hal berwudlu; Imam Syafi'i tidak mewajibkan menggosokan anggota badan yang dibasuh, sedangkan Imam Malik mewajibkannya. Dalam hal meraba farji Imam Syafi'i berpendapat, hal itu membatalkan wudlu secara muthlaq, sedangkan Imam Malik berpendapat, tidak membatalkan bila tanpa syahwat. Bila seseorang berwudlu dan tidak menggosok anggota badan karena taqlid kepada Imam Syafi'i namun kemudian meraba farji tanpa ada rasa syahwat, maka batallah wudlunya. Bila ia kemudian melakukan shalat, maka shalatnya juga batal, dengan kesepakatan kedua Imam ini. Karena ketika ia meraba farji -walaupun tanpa syahwat- rnaka wudlunya telah batal menurut Syafi'i. Begitu juga ketika ia tidak menggosok anggota badan pada wakt wudlu, maka wudlunya tidak sah menurut Imam Malik.
***
RUMUSAN hukum hasil produk bahtsul masail Syuriyah NU, bukan merupakan keputusan akhir. Masih dimungkinkan adanya koreksi dan peninjauan ulang bila diperlukan. Bila di kemudian hari ada salah seorang ulama -meskipun bukan peserta forum Syuriyah- menemukan nash/qaul atau 'ibarat lain dari salah satu kitab dan ternyata bertentangan dengan keputusan tersebut, maka keputusan itu bisa ditinjau kembali dalam forum yang sama.
Tidak ada perbedaan, antara pendapat ulama senior maupun yunior, antara yang sepuh dan yang muda dan antara kiai dan santri. Karena dalam dialog hukum ini yang paling mendasar adalah benar atau tepatnya pengambilan hukum sesuai dengan substansi masalah dan latar belakangnya.
Pemilihan dalam tarjih antara dua qaul dilakukan menurut hasil pentarjihan dari para ahli tarjih yang diuraikan dengan rumus-rumus yang baku dalam isthilahu al-fuqha' al-Syafi'iyah. Misalnya al-Adhar, al-Masyhur, al-Ashahh, al-Shahih, al-Aujah dan lain sebagainya dari shighat tarjih. Ini berarti bahwa forum Syuriyah tidak melakukan tarjih secara langsung, tetapi hanya kadang-kadang menentukan pilihan tertentu sebagai sikap atas dasar perimbangan kebutuhan.
Hasil keputusan bahtsul masail Syuriyah NU itu, oleh cabang-cabang dan ranting disebar luaskan melalui kelompok-kelornpok pengajian rutin, majelis Jumat dan kemudian dipedomani, dijadikan rujukan oleh warga NU khususnya, serta masyarakat pada umunya. Para kiai/ulama NU dalam memberikan petunjuk hukum kepada rnasyarakatnya juga merujuk kepada keputusan forum tersebut.
Hal ini bukan karena keputusan itu mengikat warga NU, namun karena kepercayann dan rasa mantap warga NU dan masyarakat terhadap produk Syuriyah NU. Meskipun masyarakat atau warga NU tahu, proses pengambilan keputusan dalam forum itu terdapat perdebatan yang sengit misalnya, namun bila keputusan telah diambil, masyarakat dan warga NU mengikuti keputusan itu tanpa ada rasa keterikatan-paksa, tetapi justru dengan kesadaran yang mantap, yang mungkin dipengaruhi oleh budaya paternalistik.
Sebagai kesimpulan dari pembahasan mengenai istinbath al-ahkam dalam kerja babtsul masail Syuriyah NU, dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Kerja bahtsul masail NU mengambil hukum yang manshush maupun mukhorroj dari kitab-kitab fiqih mazhab, bukan langsung dari sumber al-Qur'an dan al-Sunnah. Ini sesuai dengan sikap yang dipilih yaitu bermazhab, yang berarti bertaqlid dan tidak berijtihad muthlaq, ijtihad mazhab maupun ijtihad fatwa.
  2. Metodologi ushul al-fiqh dan qawa'id al-fiqhiyah dalam bahtsul masail, digunakan sebagai penguat atas keputusan yang diambil, apalagi bila diperlukan tandhir dan untuk mengembangkan wawasan fiqih.
  3. Ijtihad, taqlid dan talfiq dipahami oleh NU sesuai dengan ketentuan dan pengertian para ulama Syafi'iyah.
  4. Referensi para ulama NU sebagian besar adalah kitab-kitab Syafi'iyah.
  5. Keputusan bahtsul masail Syuriyah NU tidak mengikat secara organisatoris bagi warganya.
IJTIHAD SEBAGAI KEBUTUHAN
BAGI umat Islam, ijtihad adalah suatu kebutuhan dasar, bukan saja ketika Nabi sudah tiada, tapi bahkan ketika Nabi masih hidup. Hadits riwayat Mu'adz Ibn Jabal adalah buktinya. Nabi tidak saja mengizinkan, tetapi menyambut dengan gembira campur haru begitu rnendengar tekad Mu'adz untuk berijtihad, dalam hal-hal yang tidak diperoleh ketentuannya secara jelas dalam al-Qur'an mau pun Hadits.
Apabila di masa Nabi saja ijtihad sudah bisa dilakukan, maka sepeninggal beliau, tentu jauh lebih mungkin dan diperlukan. Di kalangan umat Islam mana pun, tidak pernah ada perintah yang sungguh-sungguh menyatakan, ijtihad haram dan harus dihindari. Dalam kitab al-Radd 'ala man afsada fi al-ardl, sebuah kitab "sangat kuning", al-Sayuthi dengan tandas berkesimpulan, pada setiap periode ('ashr), harus ada seorang, atau beberapa orang, yang mampu berperan sebagai mujtahid.
Harap diingat, bahwa yang dikatakan Sayuthi adalah orang yang mampu menjalankan peran sebagai mujtahid. Artinya, yang dituntut oleh Sayuthi -juga umat Islam secara keseluruhan- adalah orang yang bukan saja punya nyali untuk memainkan fungsi itu, tapi nyali yang secara obyektif didukung oleh kapasitas dan kualifikasi yang memadai. Di sini sering terjadi kekacauan. Apabila seorang ulama tidak mengklaim dirinya telah melakukan ijtihad, ini tidak bisa dengan serta merta diartikan (dituduh?) anti ijtihad. Barangkali ia telah melakukan ijtihad, tapi tidak disertai proklamasi, bahwa dirinya telah berijtihad. Mungkin ia merasa, apa yang dilakukannya masih terlalu kecil. Pengakuan biasanya erat dengan keinginan menyombongkan diri. Para ulama kita dulu pada umumnya sangat peka terhadap sikap atau ucapan yang berkesan takabur (sombong).
Di kalangan ahli fiqih, ijtihad merupakan terminologi yang berjenjang. Ada yang digolonglan ijtihad mutlak, ada pula yang disebut ijtihad muqayyad, atau muntasib. Yang pertama adalah ijtihad seorang ulama dalam bidang fiqih, bukan saja menggali hukum-hukum baru, tapi juga memakai metode baru, hasil pemikiran orisinal. Inilah tingkat ijtihad para peletak mazhab, yang pada masa-masa pertumbuhan fiqih, sekitar abad 2-3 hijriah, jumlahnya mencapai belasan. Tapi karena seleksi sejarah, akhirnya yang bertahan dalam arti diikuti mayoritas umat Islam- hanyalah empat; Abu Hanifah (peletak mazhab Hanafi), Malik bin Anas (peletak mazhab Maliki), Muhammad bin Idris al-Syafi'i (peletak mazhab Syafi'i) dan Ahmad bin Hanbal (peletak mazhab Hanbali).
Sedang ijtihad muqayyad, atau muntasib, adalah ijtihad yang terbatas pada upaya penggalian hukum (istinbath al ahkam), dengan piranti atau metode yang dipinjam dari hasil pemikiran orang lain. Misalnya dalam lingkup mazhab Syafi'i kita mengenal nama-nama seperti al-Nawawi, al-Rafi'i atau Imam Haramain.
Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan fungsi itu dengan otoritas yang diakui (mu'tamad), tetapi metode (manhaj) yang digunakan adalah manhaj Syafi'i. Demikian pula Abu Yusuf dalam lingkungan mazhab Hanafi, dan sebagainya. Mazhab tidak lain adalah metode penggalian hukum, bukan hukum yang dihasilkan dengan metode itu sendiri.
Oleh sebab itu, apabila ada seorang ulama memperoleh kesirnpulan hukum yang berbeda dengan kesimpulan Syafi'i, akan tetapi metode yang digunakan untuk mencapai kesirnpulan itu adalah metode Syafi'i, maka ulama itupun masih berada dalam pangkuan mazhab Syafi'i. Demikian pula orang yang berijtihad dengan menggunakan metode Hanafi, Maliki, atau Hanbali. Soal orang yang bersangkutan mengakui bermazhab atau tidak, adalah soal lain yang lebih berkaitan dengan soal kejujuran intelektual.
***
TENTANG pemaharnan syari'ah secara kontekstual (muqtadla al-hal), ini memerlukan pengetabuan membaca perkembangan sosial. Kemampuan demikian memang tidak ditegaskan dalam syarat-syarat formal seorang mujtahid. Tetapi semua mujtahid adalah orang-orang yang seharusnya peduli dengan kemaslahatan (kepentingan) masyarakat. berbicara mashlahah berarti berbicara hal-hal yang kontekstual.
Mazhab Syafi'i merupakan aliran yang kurang mempopulerkan dalil mashlahah dalam hal yang tidak diperoleh penegasan oleh nash, tetapi metode qiyas-lah (analogi) yang selalu ditekankan. Oleh sebab itu ia lebih suka berbicara tentang apa yang disebut 'illat (alasan hukum). Menurut dia, mashlahat sudah tersimpul di dalam 'illat.
Tetapi hukum yang ditelorkan melalui qiyas, tidak boleh bergantung kepada mashlahah yang tak tegas rumusan mau pun ukurannya. Sebagai contoh, di dalam berbicara soal qashr (meringkas jumlah raka'at shalat) di perjalanan. Mazhab Syafi'i menolak meletakkan masyaqqah (kesulitan yang sering terjadi di perjalanan) sebagai alasan ('illat) bagi diperbolehkannya qashr. 'Illat meng-qashr adalah bepergian itu sendiri, yang lebih jelas ukurannya. Sedang hilangnya masyaqqah diletakkan sebagai hikmah (keuntungan) yang tidak mempengaruhi ketentuan diperbolehkannya qashr. Artinya, dengan memakai ukuran yang jelas berupa safar (bepergian), maka masyaqqah yang tak jelas ukurannya akan hilang. Masyaqqah amat relatif sifatnya dan banyak dipengaruhi misalnya, oleh keadaan fisik dan kesadaran seseorang.
Memang kadang-kadang terasa tidak adil, ketika misalnya seorang yang sehat wal afiat bepergian jauh dengan kondisi nyaman, berkendaraan pesawat udara diperbolehkan mengqashr shalat. Sementara orang jompo yang susah payah menempuh jarak belasan kilometer tidak boleh melakukannya. Dalam hal ini harap dimaklumi, hukum ditetapkan dengan maksud berlaku umum. Di sinilah perlunya ukuran yang jelas. Oleh mazhab Syafi'i, hal itu ditakar dengan jarak tempuh. Sesuatu yang relatif tidak bisa dijadikan 'illat (kausa hukum), tidak bisa menjadi patokan bagi peraturan yang dirnaksudkan berlaku umum. Dan jika memang masyaqqah itu benar-benar dialami oleh seseorang ketika dia belum mencapai syarat formal untuk mendapatkan rukhshah (kemudahan), maka dia akan mendapatkan kemudahan dari jalan lain.
Di kalangan mazhab Syafi'i dikenal pula kaidah penggalian hukum fiqih seperti dar'u al-mafasid muqaddam 'ala jalbi al-mashalih. Artinya, mencegah kerusakan hanrus diupayakan terlebih dahulu sebelum upaya mendapatkan manfaat (mashlahah). Kaidah lain, al-mashlahah al-mahaqqaqah muqaddamah 'ala al-nuashlahah al-mutawahamah. Artinya, mashlahah yang telah jelas harus terlebih dahulu didapatkan sebelum mashlahah yang belum jelas. Kaidah-kaidah yang demikian bisa dilihat pada kitab al-Asybah wa al-Nadzair.
Meskipun tidak secara tegas, seorang mujtahid disyaratkan memiliki kepekaan sosial. Syarat demikian secara implisit telah terekam baik di dalam persyaratan-persyaratan yang ada mau pun di dalam mekanisme penggalian hukum itu sendiri. Sebagai bukti, Syafi'i dikenal memiliki qaul qadim (kumpulan pendapat lama) yang dilahirkan di Baghdad dan qaul jadid (pendapat baru) yang dilahirkan setelah kepindahannya ke Mesir. Padahal ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits yang ia ketahui sama juga.
***
KAJIAN masalah hukum (bahtsul masa'il) di NU menurut hemat saya masih belum memuaskan, untuk keperluan ilmiah mau pun sebagai upaya praktis menghadapi tantangan-tantangan zaman. Salah satu sebabnya yang pokok adalah keterikatan hanya terhadap satu mazhab (Syafi'i). Padahal AD/ART NU sendiri menegaskan, bahwa NU menaruh penghargaan yang sama terhadap empat mazhab yang ada. Ketidakpuasan juga muncul akibat cara berpikir tekstual, yaitu dengan menolak realitas yang tidak sesuai dengan rumusan kitab kuning, tanpa memberikan jalan keluar yang sesuai dengan tuntutan kitab itu sendiri.
Dengan demikian kegiatan yang dilakukan oleh komisi bahtsul masa'il NU masih memerlukan upaya peningkatan yang serius. Paling tidak supaya apa yang dilakukannya dapat mencapai tingkat ijtihad, meskipun hanya muqayyad sifatnya, tapi tidak sekedar mentathbiq (mencocokkan) kasus yang terjadi dengan referensi (maraji') tertentu saja.
Tapi apapun yang dihasilkan, komisi bahtsul masa'il NU tidak pernah bermaksud untuk rnengikat warganya dengan putusan-putusan itu. Jika ada di antara warga yang mentaatinya, maka hal itu hanyalah karena ikatan moral saja. Barangkali berbeda dengan putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang secara organisatoris dimaksudkan untuk mengikat seluruh warga Muhammadiyah. Dengan demikian keputusan komisi bahtsul masa'il tersebut, meski telah merupakan kesepakatan, hanyalah bersifat amar ma'ruf atau menampakkan alternatif yang dianggap terbaik di antara sekian alternatif yang ada. Sebab, sekali keputusan menyangkut masalah khilafiyah (yang masih diperselisihkan), NU tetap menghargai hak seseorang untuk memilih pendapat yang dimantepi, terutama jika menyangkut soal ubudiyah, yang notabene lebih merupakan urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya. Maka dalam kesempatan bahtsul masail, berbagai pendapat yang ditemukan dari kitab kuning dipilih salah satunya, disertai tingkat kekuatan masing-masing ta'bir (keterangan) sebagai dasar hukum.
Berbeda soalnya jika yang melakukan putusan adalah pemerintah. Masalah khilafyah yang sifatnya nonubudiyah murni tersebut bisa diangkat sebagai masalah negara. Jika hakim yang bertindak atas nama negara -asal saja tindakan itu sah di muka agama- memberikan putusan, maka keputusan itu mengikat masyarakat. Misalkan para hakim (qadli/ulama) berkumpul untuk menyeragamkan penyelesaian terhadap masalah khilafiyah dengan memilih satu dari pendapat-pendapat yang ada, maka pilihan mereka harus menjadi pilihan masyarakat. Kewajiban demikian bukan sekadar secara administratif, akan tetapi didukung pula oleh alasan-alasan agama. Ada kaidah hukmu al-qadli yarfa'u al-khilaf, artinya putusan hakim (pemerintah) menyelesaikan perselisihan pendapat.
***
KAIDAH-KAIDAH pengambilan hukum yang diciptakan ulama masa lalu tetap bisa dipakai sebagai metode hingga sekarang. Yang perlu digarisbawahi, sejak semula mereka menegaskan, sifat kaidah-kaidah tersebut adalah aghlabiyah (berlalcu secara umum, general), hingga ada perkecualian yartg tidak bisa diselesaikan oleh kaidah-kaidah tersebut. Jadi jika ada kritik, paling-paling terhadap satu dua kaidah yang justru tidak berlaku secara aghlabiyah, yang tidak memadai lagi. Kasus-kasus yang dikecualikan lebih banyak daripada yang bisa dicakupnya.
Satu kaidah dalam ushul fiqih yang barangkali dianggap orang sebagai menggiring fiqih kepada bentuk yang tidak kontekstual, adalah al-'ibrah bi 'umum al-lafdhi la bi khusus al-sabab. Kaidah ini banyak diterjemahkan begini, "Yang menjadi perhatian di dalam menetapkan hukum fiqih adalah rumusan (tekstual) suatu dalil, bukan sebab yang melatarbelakangi turunnya ketentuan (dalil) tersebut". Menerjemahkan "la" dengan "bukan" seperti terjemahan di atas adalah salah. "La" di situ berarti 'bukan hanya" (la li al-'athaf bukan la li al-istidrak). Jadi latarbelakang, asbab al-nuzul maupun asbab al-wurud (sebab-sebab turun ayat al-Qur'an dan Hadits), tetap menjadi pertimbangan penting dan utama. Terjemahan yang benar dari kaidah itu adalah, "Suatu lafadh (kata atau rumusan redaksional sebuah dalil) yang umum ('amm), mujmal mau pun muthlaq (yang berlaku umum) harus dipahami dari sudut keumumannya, bukan hanya dari latarbelakang turunnya suatu ketentuan. Dengan demikian ketentuan umum itu pun berlaku terhadap kasus-kasus cakupannya, meskipun mempunyai latarbelakang berbeda. Sebab jika dalil-dalil al-Qur'an mau pun hadits hanya dipahami dalam konteks ketika diturunkannya, maka akan banyak sekali kasus yang tidak mendapatkan kepastian hukum.
Istilah pembaharuan fiqih sebenarnya kurang tepat, karena kaidah-kaidah dalam ushul fiqih mau pun qawa'id al-fiqhiyyah sebagai perangkat menggali fiqih sampai saat ini tetap relevan dan tidak perlu diganti. Barangkali yang lebih tepat adalah pengembangan fiqih melalui kaidah-kaidah tadi, menuju fiqih yang kontekstual.
Kegiatan semacam ini tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad dalam pengertian ishtilahi, melainkan ijtihad menurut pengertian bahasa. Upaya semacam itu telah cukup sebagai pengembangan fiqih. Adalah pesantren, yang paling memungkinkan mengerjakan kegiatan demikian. Kurikulum yang selama ini dipakai tidak perlu diubah, sebab dengan kekayaan itu justru akan tergali warisan ulama masa lalu. Akan tetapi kekurangan dalam pemakaian metode belajar dan mengajar jelas perlu segera ditanggulangi.
GEJOLAK IJTIHAD SANTRI
SUATU ketika secara kebetulan saya mendengar percakapan beberapa santri di pesantren desa saya. Percakapan antar santri itu mirip halaqah dalam bentuk sederhana. Seperti tidak mau ketinggalan dengan trend yang hinggap pada lembaga-lembaga pendidikan di kota, santri-sanhi itu beri'tikad—kalau tidak bisa dikatakan mengkhayal- membuat fonum kajian ilmiah sebagai, maqshuudul al-a'dhom (tujuan utama). Mereka merasakan, pelajaran yang selama ini didapat dari pesantren kurang begitu populer. Dengan usaha membentuk forum kajian ilmiah, maksud mempopulerkan materi pengajian pesantren akan lebih mudah terpenuhi. Apa lagi ketika "ilmu-ilmu pondakan' itu dihadapkan kepada realitas sosial. Terlihatlah suatu kenyataan ,vang memprihatinkan. Banyak masalah yang belum terjawab oleh kekayaan khazanah ilmu (bukan keilmuan) pesantren itu sendiri.
Percakapan yang tidak resmi itu menyinggung beberapa hal yang selama ini menjadi isu sentral bagi sebagian organisasi keagamnan di negeri ini. Begitu kritisnya pembicaraan itu, sehingga sistem-sistem pengajaran pesantren mereka pertanyakan substansi dan esensinya. Demikian komprehensipnya, sehingga banyak hal yang tercakup dalam pembicaraan tersebut. Lebih jauh lagi kernudian mereka berbicara mengenai upaya sosialisasi fiqih dan mengakomodasikannya dengan kehidupan praktis masyarakat awam.
***
SEBAGIAN dari mereka mengatakan pesantren dalam upayanya sebagai lembaga tafaqquh fiddin (memperdalam agama), selama ini lebih getol mempelajari teks-teks ulama salaf dalam masalah-rnasalah kemasyarakatan yang luas, dengan konteks sosial pada saat teks-teks tersebut dibukukan. Pesantren -bahkan kebanyakan umat Islam- cenderung hanya membaca produk-produk hukum Islam (fiqih) yang telah diolah matang oleh ulama Salaf.
Kerja intelektual pesantren dan kajian keagamaannya hanya berkisar pada interpretasi tekstual. Sementara dinamika perkembangan sosial yang berlangsung begitu cepat dan perubahan demi perubahan, oleh pesantren hanya disikapi dengan cara menarik kesirnpulan demi kesirnpulan secara umum dari hukum-hukum yang sudah rnatang tersebut, untuk kemudian digunakan menjawab tantangan-tantangan sosial yang kompleks.
Maka ketika masalah-masalah waqi'ah (aktual) di tengah masyarakat semakin menggejala, membutuhkan penyelesaian dan jawaban komprehensif sekaligus praktis dan ilmiah, serta sama sekali tidak melulu berupa teori normatif, pesantren menjadi "kalang kabut". Masih dalam percapakan itu mereka mengemukakan, masalah-masalah seperti asuransi sama sekali tidak pernah ada dalam acuan kitab-kitab kuno pesantren (kitab kuning). Banyak hal yang secara praktis terjadi di dunia modern, belum terkodifikasikan ke dalam kitab kuning. Sehingga dengan begitu, Islam yang kaffah (universal) belum sepenuhnya terejawantahkan secara nyata dalam realitas sosial.
Lebih jauh lagi, salah seorang santri dengan berani mencoba mengoreksi sudut-sudut lain pola pengajaran fiqih pesantren itu sendiri. Ditemukan suatu hipotesis awal, bahwa pesantren selama ini bermazhab lewat kajian-kajian qauli (verbal), bukan pengkajian metodologis. Sehingga ia menganggap wajar, bila kemudian pesantren terperanjat menghadapi masalah-rnasalah baru yang belum teratur dalam teks-teks salaf.
***
DARI sini muncullah ide mereka untuk men-tajdid "fiqih pesantren". Mereka untuk sementara akur seakur-akurnya, bahwa untuk mengatasi segala permasalahan di atas hanyalah tepat bila semuanya dikembalikan langsung (istilah mereka) pada inti ajaran Islam, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Sebab, dalih mereka, Islam sebagai suatu tatanan global, tentu di dalamnya mengandung beberapa paham, sekte ataupun golongan-golongan. Manakala seseorang hanya berpegang pada satu dari paharn-paham itu, maka ia tak akan dapat meraih Islam secara kaffah (keseluruhan).
Saya tersenyum ketika mendengar mereka rnenyebut sebuah hadits yang kurang lebih berarti, "Setiap seratus tahun sekali Allah SWT akan mengutus seseorang untak melakukan tajdid dalam Islam".
Berangkat dari hadits itu mereka mengkaji definisi tajdid. Mereka menemukan, bahwa tajdid yang secara harfiah berarti memperbarui, tidak selalu dapat diterjemahkan atau disinonimkan dengan modernisasi yang dalam bahasa Arab lazim disebut 'ashraniyah. Begitu juga, tajdid sama sekali tidak bisa didefinisikan sebagai reformasi (bahasa Arabnya ishlahiyah), yaitu "pembaharuan" atau "perbaikan" yang sering terlepas atau sengaja dilepaskan dari kaitannya dengan semangat dan ajaran Islam.
Kajian definitif ini mereka peroleh dari sebuah rumusan para ulama ternama, berkharisma dan sekaligus punya reputasi yang mapan. Suatu hal yang kemudian gampang ditebak adalah munculnya sikap-sikap tawadlu' mereka secara otomatis, setelah melihat dan mengetahui, bahwa definisi tajdid di atas telah dirumuskan oleh kiai-kiai mereka. Mereka berhenti bercakap-cakap karena menolak disebut "kualat" terhadap kiainya. Suatu sikap sendika dhawuh yang alhamdulillah masih begitu rnelekat di jiwa para santri yang berpikiran moderat, maju dan modernis itu.
Kembali lagi forum itu menghangat, ketika salah seorang santri memberanikan diri berargumentasi secara logis dan ilmiah untuk mempertanyakan kejanggalan yang selama ini terjadi di tubuh mereka, yaitu tentang kepatuhan "mutlak" seorang santri kepada gurunya. Sikap patuh demikian menyebabkan seorang murid sama sekali tidak berhak mendiskusikan apa yang disampaikan oleh guru. Akibat logisnya tentu saja adalah stagnasi proses belajar mengajar itu sendiri. Hal mana, jelas berlawanan dengan konsep-konsep pendidikan modern.
Bahkan lebih dari itu, dalam kerangka yang lebih luas, kepatuhan tersebut -masih menurutnya- dapat mengakibatkan kejumudan pemikiran fiqih, sehingga dalam ilmu Tarikh Tasyri' dikenal 'ahdu al-jumud wa al-taqlid (masa stagnasi dan taklid). Kongkritnya, ia bertanya dengan sangat fantastis, "Kalau tajdid didefinisikan seperti di atas, bagaimana keberadann kehidupan modern sekarang ini? Tidakkah dengan demikian, tajdid itu hanya merupakan konsep belaka yang eksistensinya tidak mungkin lagi terejawantahkan dalam realitas modern? Bagairnana pula akhimya, fiqih menjawab tantangan zaman!"
Sungguh suatu pertanyaan mendasar, sehingga memaksa percakapan tersebut dibuka kembali. Dengan lancar kemudian salah seorang membeberkan hasil-hasil rumusan para ulama yang lain, yang masih berkisar tentang tajdid itu sendiri. Disebutkan bahwa tajdid dalam segala aspeknya memang tidak bisa disetarakan dengan modernisme agama lain. Tajdid muncul dan berangkat dari kesadaran tentang "kemunduran Islam" dan juga karena proses berjalannya sejarah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain, ajaran Islam yang murni semakin tersisihkan oleh perkembangan zaman. Sehingga tajdid berkehendak memurnikan dan menjernihkan serta memperbaharui pemahaman dan penerapan ajaran serta hukam-hukam Islam yang bersifat relatif (nisbi) yang menjadi wilayah kajian ijtihad.
***
PERCAKAPAN agaknya menjadi melebar, membicarakan keberadaan ijtihad itu sendiri. Bermula dari definisi ijtihad yang berarti kemampuan berpikir secara maksimal untuk meng-istinbath-kan hukum syar'i yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia secara langsung dari dalil tafshili (yang terinci) al-Qur'an dan Hadits, si pembuka stagnasi percakapan itu tadi dengan serta merta menyela pembahasan. Ia agaknya tertarik benar dengan pernyataan pengambilan hukum langsung dari al-Qur'an dan Hadits. Sepertinya sejak awal ia memang paling gethol bicara tentang al-Qur'an dan Hadits. Menurut anggapannya, selama ini ajaran syari'at Islam telah terkotori oleh modernisasi. Jalan satu-satunya tentu kennbali dengan utuh terhadap kedua inti ajaran Islam.
Sampai di sini, teman-temannya saling mengernyitkan dahi. Semuanya yakin bahwa ia -pembuka stagnasi itu- tentu tahu dan paham benar, bahwa al-Qur'an dan Hadits adalah tata aturan yang sangat global. Untuk mendalaminya dibutuhkan banyak ilmu dan kecakapan pemikiran yang tinggi. Semua temannya sadar bila ia jelas mengerti, bahwa syarat-syarat berijtihad sedemikian banyak dan rumit. Dalam rumusan beberapa ulama ditegaskan, pada zarnan ini tidak dimungkinkan lagi adanya ijtihad fardi (ijtihad individual) seperti yang dilakukan imam mazhab empat. Akan tetapi ijtihad tetap bisa dilakukan sebatas ijtihad jama'i (ijtihad kolektif), suatu ijtihad yang melibatkan beberapa ulama berdisiplin ilmu tertentu yang saling berbeda untuk kemudian menetapkan ijtihad dalam satu atau beberapa perkara.
Alhasil, santri-santri itu menyadari sepenuhnya akan keterbatasan yang mereka miliki. Mereka ingat, ulama sekaliber Abu Zakaria al-Anshori pun dalam kebanyakan kitabnya selalu mempergunakan pendapat Imam Rofi'i dan Imam Nawawi. Sedangkan kedua imam itu ternyata hanya merniliki tingkatan terendah dalam strata mujtahid. Maka, mungkinkah ijtihad atau juga tajdid itu mereka lakukan? Mampukah mereka kembali seutuh-utuhnya kepada al-Qur'an dan Hadits yang ijmal (global) itu.
KONTEKSTUALISASI AL-QUR'AN
AL-QUR'AN yang telah diwahyukan dan diturunkan Allah Swt kepada RasulNya yang terakhir, ayat demi ayat selarna 23 tahun, mempunyai beberapa ciri yang membedakannya dengan kitab-kitab samawiyah lain sebelumnya. Ciri-ciri itu antara lain al-Mu'jiz, artinya mempunyai kekuatan melemahkan. Dari segi nilai sastra dan gramatikanya yang tinggi, sastrawan mana pun tidak mampu menandinginya, meski pada waktu itu banyak yang mencoba membuat al-Qur'an buatan. Ciri lain ialah, membaca al-Qur'an saja tanpa memahami arti dan maknanya, dihitung sebagai ibadah.
Al-Qur'an yang merupakan sumber utama dan pertama bagi ajaran Islarn, pada dasarnya mengajak semua manusia agar mau menghambakan dan mengabdikan dirinya kepada Allah SWT dengan aqidah dan syari'atNya, serta berakhlak mulia baik bagi Allah mau pun dalam pergaulan hidup dengan sesama manusia dan makhluk lain. Sebagai dasar orientasi hidup manusia, al-Qur'an mengacu ke arah tumbuhnya inspirasi yang terefleksikan dalam sifat, sikap dan perilaku yang inheren pada eksistensi dan proses hidup manusia sebagai titah. yang akrom.
Pada masa pembangunan, kontekstualisasi al-Qur'an menjadi penting. Pembangunan manusia yang selalu menjanjikan kesejahteraan, bahkan menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup manusia, dari aspek pendidikan, kesehatan, ekonorni, lingkungan, politik dan utamanya aspek agama. Potensi, profesi dan berbagai wawasan keagamaan dan sosial tertata dalam suatu sistem dan mekanisme yang terarah.
Kualitas manusia yang menyangkut berbagai aspek, dikelola dengan dukungan sumber daya manusia sendiri dan kekuatan dari luar dirinya. Dalam hal ini al-Qur'an sebagai sumber motivasi, diletakkan sebagai penyeimbang aqidah, syari'ah dan akhlaq karimah.
***
MANUSIA (bani Adam) oleh Allah SWT dalam al-Qur'an disebut mempunyai karamah (kemuliaan) dan kehormatan di atas semua makhluk lainnya. Nilai lebih ini bermakna sebagai titik pembeda dan makhluk lain, tentu saja dengan konsekuensi yang berat, bahkan teramat berat. Karena, pada diri manusia terdapat nafsu yang tidak selamanya bisa diajak kompromi untuk melestarikan karamah tersebut.
Nafsu inilah yang sering membuat manusia tidak konsisten pada kediriannya dan sering membuat manusia kehilangan nilai karamahnya. Salah satu aspek dari kekaramahan itu adalah kemampuan fisik dan rasio. Kemampuan inilah yang pada dasarnya akan menumbuhkan sumber daya rnanusia, sekaligus memacu ke arah pencapaian kualitasnya, manakala dibarengi kemauan berikhtiyar.
Namun di sisi lain -rneskipun memiliki nilai karamah- manusia oleh al-Qur'an disebut 'abdu. 'Abdu yang berarti hamba, menuntut tanggung jawab yang melekat pada diri manusia. Dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah, manusia mukallaf diberi berbagai taklif (tanggung jawab) yang harus dilaksanakan menurut ketentuan dan kemampuan berikhtiyar.
Sejauh mana manusia mampu memenuhi taklif, sejauh itu ia rnempertahankan nilai karamahnya. Sejauh mana manusia menghambakan dirinya terhadap Allah SWT, sejauh itu pula manusia melaksanakan tanggung jawabnya sebagai 'abdu. Ini berarti, manusia di dalam hidup dan kehidupannya selalu harus beribadah kepada Allah, karena Allah tidak menciptakan jin dan mausia kecuali untuk beribadah kepadaNya.
Meskipun manusia berstatus sebagai hamba, namun ia diberi kedudukan sebagai khalifah Allah dengan berbagai tingkat dan derajatnya, satu di atas yang lain, dalam hubungannya secara vertikal dengan Allah mau pun hubungan horisontal antar sesama manusia dan alam lingkungan. Khalifah sebagai pengganti, diberi wewenang terbatas sesuai dengan potensi diri dan posisinya. Narnun wewenang itu pada dasarnya adalah tugas yang harus diemban.
Tugas itu dalam al-Qur an disebut 'imaratul ardli, di samping 'ibadatullah. Allah rnenciptakan rnanusia dari burni ini dan menugaskan manusia melakukan 'imarah (pengelolaan dan pemeliharaan) di atasnya. Karena manusia di dalam melaksanakan wewenang dan tugas 'imarah-nya sering berbuat sewenang-wenang, bahkan rnerusak lingkungan dan tidak mengindahkan manusia lain yang berada pada posisi di bawahnya, maka Allah selanjutnya memerintahkan manusia agar mohon ampunan Allah dengan bertaubat.
'Imaratul ardli yang berarti mengelola dan memelihara bumi, tentu saja bukan sekadar membangun tanpa tujuan, apalagi hanya untuk kepentingan diri sendiri. Tugas membangun justru merupakan sarana yang sangat mendasar untuk melaksanakan tugasnya yang pertama, yaitu 'ibadatullah. Lebih dari itu adalah sarana untuk mencapai sa'adatud darain (kebahagiaan dunia dan akhirat) sebagai tujuan hidup manusia.
Dari sinilah dapat dipahami, masyarakat dalam konsepsi al-Qur'an adalah rnasyarakat 'ibadah dan 'imarah, di mana satu dengan yang lain saling berkait erat. Hal ini telah diisyaratkan Rasulullah SAW ketika beliau hijrah ke Madinah dengan membangun secara berurutan, dua bangunan monumental yang hingga sekarang rnasih dilestarikan bahkan dikembangkan. Dua bangunan itu adalah masjid Quba' dan pasar. Tidak seharusnya ada kesenjangan antara masjid dan pasar, yang secara simbolik merupakan wujud konsepsi manusia seutuhnya.
***
DALAM hal perubahan masyarakat sebagai proses pembangunan, al-Qur'an mengisyaratkan, Allah SWT tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka sendiri mengubah keadaannya. Mengubah di sini berarti berupaya dan ikhtiyar yang menuntut berbagai kemampuan yang disebut kualitas. Ini berarti, membangun manusia butuh kualitas. Garis lingkar balik seperti ini terjadi, karena manusia sebagai subyek sekaligus obyek pembangunan. Pada dasarnya keberhasilan proses pembangunan itu banyak ditentukan oleh sumber daya manusia.
Allah SWT dalam al-Qur'an memerintahkan kepada manusia agar mempu berpacu dalam berbagai kebajikan (istibaqul khairat). Perintah ini dipahami untuk menurnbuhkan sikap dan perilaku kompetisi yang sehat untuk mencapai al-khairat, yang berarti memerlukan dinamika tinggi dan lumintu, serta wawasan kreatif dan inovatif yang luas, di samping daya analisis untuk mengantisipasi proses transformasi menuju masa depan.
Pembangunan kualitas manusia dipahami sebagai dinamika, bukan hanya sebagai metode yang menitiktekankan pada prograrn-program. Wujud dinamika ini adalah gerakan-gerakan yang selalu menuntut etos kerja tinggi dari semua lapisan masyarakat. Etos kerja ini dalam al-Qur'an disebut sebagai ibtigha' al-fadlillah (secara optimal berupaya mencari anugerah Allah) atau secara umum disebut sebagai amal shalih. Kehidupan Rasulullah dalam kesehariannya menunjukkan adanya etos kerja yang tinggi. Beliau selalu mempunyai kesibukan, sampai-sampai membantu isterinya menjahit dan memperbaiki sandal. Bahkan beliau dalam sebunh hadits mengatakan, seberat-berat siksa manusia pada hari kiarnat adalah orang yang hanya mau dicukupi orang lain dan menganggur.
Kualitas manusia pada dasarnya, ditentukan oleh potensi dirinya. Potensi diri yang membentuk kualitas ini meliputi berbagai aspek kehidupan. Secara umum, potensi yang telah dibekalkan Allah kepada setiap manusia mukallaf adalah potensi rasio dan fisik. Yang pertama berkembang menjadi potensi ilmu pengetahuan dan teknolgi, profesi dan kemampuan rasionalitas lainnnya. Dan yang kedua berkembang menjadi keterarnpilan, etos kerja dan ketahanan tubuh dengan kesehatan yang prima.
Dalam al-Qur'an potensi tersebut diformulasikan secara singkat dalam kalimat qawiyyun atau makinun, yang berarti punya quwwah (potensi) atau makanah (ketangguhan). Sebuah firman Allah menyebutkan, "Sebaik-baik orang yang kamu serahi tugas mengupayakan sesuatu adalah orang yang berpotensi dan berkemarnpuan rnenerirna amanat serta dipercaya". Ayat ini dapat dipaharni, bahwa setiap upaya apapun untuk mencapai prestasi menuntut adanya potensi dan amanah yang membentuk kualitas. Rasulullah dalam hal ini mengatakan, "Orang rnukmin berpotensi lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada orang yang lemah".
***
PEMBANGUNAN bukan saja membawa perubahan secara fisik, namun juga perubahan transendental. Hal ini antara lain terlihat dari perubahan nilai religius menjadi nilai ekonomis. Artinya, langkah dan gerak manusia yang semula diperhitungkan secara religius, bergeser menjadi diperhitungkan untung ruginya secara materiil belaka. Hampir dapat dipastikan, nilai ekonomis akan makin berkembang pesat pada era tinggal landas. Era di mana kapitalisasi makin merambah berbagai aspek kehidupan dan industrialisasi mulai menjangkau semua aspek komoditas, etos kerja makin meningkat, peran ketrampilan dan modal makin dominan. Perhitungan untung rugi secara materiil makin kuat posisinya. Akibatnya, nilai religius terbentur dan terlempar.
Era tinggal landas memang selalu menjanjikan kehidupan yang menggiurkan dan kesejahteraan yang spektakuler. Namun justru di situlah nilai-nilai iman dan tawakal terancam. Di situ pula unsur ghurur al-dunya makin mendapat banyak peluang untak menggiring nafsu manusia pada puncak keangkaramurkaannya.
Tawakal dan iman terancam oleh posisi ikhtiyar yang makin dominan. Dalam hal ini al-Qur'an memandang kehidupan dunia ini sebagai materi yang menipu manusia (mata' al-ghurur). Makin rnaju kehidupan dunianya, manusia makin melalaikan kehidupan yang kekal di akhirat nanti. Maka al-Qur'an memberi petunju akan keseirnbangan yang sering diformulasikan dalarn kalimat al-wasath dan al-'adlu.
Keadilan sebagai konsepsi al-Qur'an dipahami sebagai keseirnbangan dalam kehidupan manusia. Menakuti manusia dengan siksaan Allah, diimbangi dengan sikap optimis terhadap ampunan dan rahmat Allah. Kewajiban diimbangi dengan hak. Keberanian fisik diim
bangi keberanian rnental. Potensi rasio diimbangi potensi fisik. Meskipun al-Qur'an menunjukkan, seluruh isi bumi ini diciptakan untak manusia, dengan pengertian manusia diberi kebebasan mengolah dan memanfaatkannya untuk kepentingan hidup, namun al-Qur'an juga memberikan batas-batas tertentu yang tidak boleh dilampaui agar terjadi keseimbangan, tidak israf (berlebihan) dan tabdzir (mubazir). Sampai pada soal makan dan minum, al-Qur'an melarang israf dan tabdzir. Tidak boleh melampaui batas kualitas, batas kuantitas, batas maksimal dan minimal, agar terjadi keseimbangan dalam tubuh manusia.
Era tinggal landas harus dilandasi semangat keseimbangan antara etos kerja dan tawakal. Etos kerja dan gerakan-gerakan pembangunan dipahami sebagai ikhtiyar yang pada dasarnya hanya merupakan sarana, karena yang menentukan keberhasilannya adalah Allah dengan qudrah dan iradah-Nya. Tawakal tanpa ikhtiyar akan menimbulkan sikap fatalistik yang berakibat pada munculnya sikap thama' (dependen) yang tidak dibenarkan. Sebaliknya, ikhtiyar tanpa tawakal bisa menghilangkan nilai imani. Bila manusia hanya berpegang pada ikhtiyar lalu gagal, ia akan kehilangan keseimbangan, stress dan tidak mustahil putus asa (ya'su). Sikap ini dilarang keras oleh al-Qur'an.
Dalam menghadapi era tinggal landas, perlu potensi pengendalian diri dalam arus transformasi. Hanya dengan pengendalian diri ini, manusia akan dapat eksis pada kediriannya, karamah dan akram. Akram di sisi Allah dalam al-Qur'an disebut, adalah orang yang paling bertaqwa sesuai dengan statusnya sebagai hamba.
Ini bisa dicapai dengan mengembangkan potensi ruhaniah, iman, aqidah Islamiyah, ketaqwaan yang diformulasikan dalam ajaran syari'ah Islamiyah dan akhlaq karimah. Potensi ini justru menjadi sarana mengatasi kesulitan dan memberikan jalan keluar serta mendapatkan rizqi tak terduga sesuai dengan jaminan Allah yang dituangkan dalam al-Qur'an. Ini berarti bahwa era tinggal landas harus diimbangi dengan peningkatan wawasan keagamaan dan kualitas keberagamnan Islam, yang pada gilirannya akan menumbuhkan keseimbangan antara 'ibadatullah dan 'imaaratul ardli, antara masjid dan pasar.
MEMANDANG ISRA' MI'RAJ
(ANTARA AKAL DAN IMAN)
SEBUAH seminar untuk memperingati Isra' Mi'raj, diadakan di pesantren desa saya dengan mengetengahkan tema "Sufisme Sebagai Pengendali Moral". Tema ini ditinjau dari beberapa sisi di antaranya tinjaun filsafat. Menarik sekali, karena antara sufisme dan filsafat sama-sama diperdebatkan segi rasionalitasnya. Kalau filsafat saja, tentu sudah jelas ia mutlak berangkat dan akal/rasio manusia untuk mencari pembenaran sesuatu. Metode itu lalu dikenal dengan pemikiran filsafati, yaitu pemikiran menyeluruh, mendasar dan selalu mencoba menelaah hal-hal baru untak kemudian dikembangkan secara lebih luas lagi. Sedangkan sufisme, dalam seminar itu diperdebatkan antara rasionalitas dan irrasionalitasnya.
Ada beberapa 'seminaris' yang menganggap sufisme sama sekali irrasional. Pendapat ini dikuatkan dengan kajian referensial terhadap sebuah pendapat ilmuwan terkemuka negeri ini. Ada lagi yang lebih unik, sufisme dinilai irrasional tetapi tetap tidak meninggalkan unsur penalaran. Dari pendapat ini kemudian dipertanyakan tentang eksistensi dua hal yang saling berlawanan dalam satu permasalahan. Artinya, ijtima' al-atsaroini (berkumpulnya dua hal yang saling berlawanan) ini jelas sangat rnustahil. Seperti diam dan bergerak. Adalah mustahil, ada satu benda yang dapat melakukan diam dan bergerak dalam masa yang bersaman.
Agaknya ada lagi pendapat yang berkesan kompromistis. Bahwa dalam tahapan proses, sufisme bisa jadi rnelalui jalan rasional. Narnun ketika sufisme telah mencapai titik puncak musyahadah (melihat dzat) Allah, tahap ini tidak lagi rasional. Ini mirip dengan agama sebagai wahyun ilahiyyun (kewenangan Tuhan) yang absolut dan irrasional. Namun pada tahap pemahamannya, agama tetap rasional. Bahkan dikatakan, al-Din huwa al-'aql 1a dina liman la 'aqla lahu (Agama adalah akal, tidak bisa beragama bagi orang yang tidak berakal).
Penjabaran ini sepertinya berangkat dari sebuah kitab kuno sufisme (bukan kitab sufisme kuno). Di sana disebutkan, jalan untuk mencapai kebahagiaan akhirat adalah terpenuhinya tiga dimensi syari'at, thariqat dan haqiqat. Sementara posisi sufisme sebagai reaksi perasaan yang tinggi, agung dan murni terhadap pelaksanaan ketiga dimensi tersebut, tentunya tidak mungkin terlepas dari apa saja yang berkaitan dengan ketiga hal itu. Dan salah satu komponennya -seperti syari'at- suatu saat, prosesnya bisa dan boleh menggunakan jasa akal. Meskipun jelas, tidak seluruh syari'at berangkat dari penalaran dan memang eksistensinya sama sekali tidak rasional.
***
MUNCUL satu masalah lagi dalam seminar itu, berkisar antara keberadaan ilmu, filsafat dan sufisme atau lebih tepatnya agama. Sebagaimana telah maklum, ilmu menggunakan jasa rasio, begitu juga filsafat. Akan tetapi ilmu tidak akan mencapai hakikat filsafat. Dan puncak filsafat juga tidak akan menerobos hakikat sufisme secara esensial mau pun eksistensial, pijakan keberadaan masing-masing berbeda.
Dari mata rantai ini, pembahasan seminar itu terasa bertele-tele, mengingat belum terselesaikannya satu masalah, sudah muncul lagi permasalahan baru. Maklumlah saya, karena keseluruhan 'seminaris' adalah siswa Aliyah dan Tsanavviyah yang tentu saja masih terbatas kemampuan analogi dan sekaligus pemahamannya terhadap tiga masalah itu.
Kemudian salah seorang peserta mencoba bermain analogi (tamsil atau qiyas). Digambarkan, ilmu, filsafat dan sufisme melangkah dengan jumlah yang sama. Bila ilmu mencapai hitungan kelima misalnya, maka filsafat dan sufisme juga dalarn hitungan yang sama pula. Akan tetapi ketika ilmu mencapai hitungan kedelapan, rnaka ia -menurut kaca mata agama- tidak mampu meneruskan langkah selanjutnya. Sementara filsafat bisa mencapai hitungan kesernbilan saja dan sufisme dapat dengan bebas (boleh dan memang harus) meraih puncak hitungan ke sepuluh. Alhasil, para seminaris menerima analogi itu.
Terlepas dari benar tidaknya kesimpulan mereka, kiranya dapat diambil beberapa hal sebagai pijakan untak rnemandang fenomena Isra' Mi'raj ditinjau dari akal dan keimanan. Hal ini agaknya sering aktual, karena kecenderungan umat awam (terhadap masalah keagamaan) yang berdisiplin ilmu tertentu, lebih suka mendalami agama melalui kajian penalaran yang disejajarkan dengan ilmu yang mereka miliki. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang akhirnya hanya akan mudah rnenerima segala hal termasuk agama, sejauh hal itu masuk akal dan rasional.
Sebetulnya gejala ini dalam batas-batas tertentu bisa dimengerti dan dimaklumi. Kecendemugan pola hidup praktis dan pragmatis dari modernitas yang ada mengajarkan manusia untuk senantiasa hanya menerima hal yang praktis pula. Soal akhirnya begitu susah dan enggan mereka diajak berbicara masalah di luar skenario akal manusia, apalagi yang bersifat mistis dan metafisis, itu soal lain.
Bahkan lebih jauh dari itu, sejak zaman Nabi peristiwa seagung Isra' Mi'raj pun menjadi ajang perselisihan yang menyebabkan kuffar (orang-orang kafir) Mekkah semakin menertawakan dan rnenganggap Nabi berbohong secara berlebihan. Akal mereka sama sekali tidak bisa menerirna kabar perjalanan Nabi ke luar angkasa dengan rentang masa yang kurang dari semalam, tanpa mempergunakan perantara transportasi apapun.
Di kalangan sahabat Nabi pun terjadi beberapa perselisihan. Satu pihak menganggap Isra' Mi'raj hanyalah terjadi dengan rohaniah Nabi. Artinya jasad Nabi masih berada di Mekkah, sementara rohnya melakukan perjalanan Isra' Mi'raj. Pendapat ini dikuatkan oleh Siti 'Aisyah yang melihat jasad Nabi di dekatnya, selama peristiwa itu berlangsung. Demikian juga sahabat Nabi yang lain seperti Mu'awiyah ibn Abu Sufyan. Berangkat dari pendapat ini, tentu saja pandangan rasio manusia akan dapat memaklumi hal tersebut, tanpa justifikasi ilmiah yang lebih terinci lagi.
Akan tetapi di lain pihak, suatu pendapat yang akhirnya mujma' 'alaih (disepakati para ulama) menegaskan, perjalanan Isra' Mi'raj Nabi adalah ruhan wa jasadan (dengan roh dan jasad fisiknya). Pendapat ini memahami dari teks firrnan Allah dalam surat al-Isra' ayat pertama yang menyebutkan, kalimat Subhana al-ladzi asro bi 'abdihi (Maha Suci Allah yang telah rneng-Isra'-kan hambanya). Dari kalimat "subhana" para rnufassinn sepakat menafsirkan peristiwa Isra' Mi'raj sebagai peristiwa besar dan agung. Sangat mustahil kiranya, Allah rnenyantumkan kalimat "subhana'' tanpa sebuah rnaksud tertentu. Sementara kalimat "bi 'abdihi" sendiri jelas merupakan statemen yang menerangkan eksistensi Nabi secara ruhan wa jasadan.
Jika dernikian persoalannya, maka tentu saja rasio akan serta-merta menggugatnya sebagai hal yang sama sekali tidak ilmiah dan irrasional. Melihat hal ini, kita akan ingat Isra' Mi'raj sebagai sebuah informasi wahyu yang harus diimani oleh setiap mukmin, ternyata memang berlawanan dengan akal manusia. Bahwa antara wahyu dan akal sudah sejak lama bermusuhan sehingga mengakibatkan banyak korban jatuh, itu fakta sejarah. Kita tidak akan lupa pada peristiwa kaum Mu'tazilah mengenai "halaqah" Hasan al-Basri di Basra, se bagai akibat dari dipertahankannya akal/rasio oleh Mu'tazilah di dalarn rnemahami setiap masalah agama.
***
MASALAHNYA adalah, apakah Isra' Mi'raj diterima sebagai sebuah kebenaran sehingga sebagai komponen keagamaan, ia akan dengan mudah didistribusikan serta dikonsumsi oleh segenap umat dari berbagai kalangan. Menurut akal manusia Isra' Mi'raj memang tidak akan menjelma menjadi hal yang rasional. Meskipun Isra' Mi'raj boleh dijadikan ilham terhadap diciptakannya teknolgi luar angkasa, akan tetapi bagaimanapun juga manusia tidak akan dapat menemukan hakikat kebenaran Isra' Mi'raj secara rasional.
Bahwa kemudian dalam kerangka filsafat, ditemukan pendekatan peristiwa agung itu, pada intinya ia memang bukanlah perkara manusia sehingga mampu dijangkau akal. Kita dapat mengungkapkan paham idealisme dalam fase filosofi yang berpendapat, untuk memperoleh gambaran yang benar dan tepat sesuai dengan pengetahuan adalah mustahil. Artinya, melalui pendekatan ini boleh jadi Isra' Mi'raj masuk akal dan rasional. Akan tetapi akhirnya paham realisme dalam fase yang sama justru tetap menekankan kebenaran pengetahuan lewat pembuktian dari apa yang didapat lewat alam nyata (empiris). Artinya dalam batas-batas di atas, Isra' Mi'raj memang masih rancu untuk dipahami umat akan kebenaran dan pembenarannya secara akal.
Agaknya kita lupa akan satu hal. Kebenaran Isra' Mi'raj itu sendiri adalah perkara Allah yang tentu saja bagiNya, sama sekali tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi. Allah adalah Maha Kuasa dan Maha Luas sehingga kekuasaannya melampaui segala batas ruang dan waktu. Apa yang tidak terbatas, tentu saja tidak akan dapat dibatasi oleh sesuatu yang terbatas.
SUFISME DI BELANTARA MODERNITAS
MANUSIA sebagai hamba Allah adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa di antara semua makhlukNya yang lain. Di samping dikaruniai akal dan pikiran, manusia ternyata adalah makhluk yang penuh misteri dan rahasia-rahasia yang menarik untuk dikaji. Misteri ini justru sengaja dibuat Allah agar manusia memiliki rasa antusias yang tinggi untuk menguak dan mendalami keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah, untuk kemudian mengenali siapa penciptanya.
Syekh Ahmad bin Rslan al-Syafi'i mengemukakan, "Sesuatu yang paling awal diwajibkan atas manusia adalah ma'rifatullah dengan keyakinan". Bahwa sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa tidak mesti mengenal terlebih dulu siapa yang berhak disembah, untuk kemudian segala proses dan komponen ibadah kepadaNya tercerminkan di bawah ma'rifatullah. Sebab, ibadah seseorang baik ibadah wajib ataupun sunnah, tidak akan mungkin sah tanpa ma'rifatullah.
Di balik itu, tujuan utama seorang yang berakal adalah bertemu dengan Allah di hari pembalasan nanti, seperti diungkapkan al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin.
Dengan demikian ada dua hal yang menjadi agenda manusia di hadapan Tuhannya. Ketika seseorang pertama kali ingin memasuki "daerah" Allah, maka ia diwajibkan ma'rifatullah terlebih dahulu. Dan ketika seorang telah rnencapai titik final perjalanannya, maka satu-satunya hal yang patut dicita-citakan dan diharapkan adalah hanya liqaullah (bertemu dengan Allah). Rentang antara liqaullah dan ma'rifatullah inilah yang kemudian melahirkan banyak tuntutan dan konsekuensi sekaligus keterkaitan erat dari dan oleh manusia sendiri.
***
ALLAH berfirman dalam surat Yunus ayat 57, "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat (mau'idhah) dari Tuhanmu dan penyembuh/obat bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada (syifa'uh lima fi al-shudur) dan petunjuk (wa hudan) serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (wa rahmatan li al-mu'minin)".
Ayat ini dalam tafsir Ruhul Ma'ani diinterpretasikan sebagai jenjang-jenjang kesempurnaan pada jiwa manusia. Barangsiapa yang berpegang teguh dengan al-Qur'an -sebagai mau'idhah- secara utuh dan tidak parsial, maka ia akan memperoleh seluruh tingkatan kesempurnaan tersebut.
Lebih jauh lagi, Imam Junaedi menafsirkan ayat tersebut sebagai landasan filosofis munculnya klasifikasi syaritat, thariqat, haqiqat dan ma'rifat. Dari kalimat mau'idhah yang rnengandung nasihat-nasihat untuk rneninggalkan segala hal yang dilarang dan menjalankan perintah-perintah Allah, maka lahirlah syari'at yang kemudian berisi pula anjuran-anjuran untuk membersihkan akhlaq al-mazmumah (perilaku tidak baik) yang dapat dilihat orang lain.
Sedangkan kalimat "syifa'un lima fii al-shudur" memuat segala bentuk usaha penyembuhan penyakit-penyakit ruhani sehingga seorang manusia dapat mencapai strata kesempurnaan dalam pembersihan hatinya dari akidah-akidah yang sesat dan tabiat-tabiat yang hina dan tercela. Ini merupakan filosofi munculnya klasifikasi thariqat. Sementara kalimat "wa hudan " mengisyaratkan kesempurnnan yang lebih tinggi lagi, yakni strata haqiqat yang hanya mungkin dicapai oleh manusia lewat hidayah yang diberikan Allah.
Tingkatan ini menggambarkan adanya keadaan jiwa manusia yang telah terhiasi oleh akidah dan akhlak yang baik dan mulia, sehingga seseorang dapat meraih "dhuhur al-haq fi qulubi al-shiddiqin", yakni terlihatnya Allah yang Maha Haq di dalam hati para shiddiqin (orang-orang yang tingkat keimanannya setaraf dengan Abu Bakar Shiddiq). Adapun kalimat "wa rahmatan li al-mu'minin" memberi dalil akan tercapainya kesempurnaan yang paling tinggi yaitu ma'rifat, bahwa seseorang telah meraih "tajalla anwar al-uluhiyah" (terpancarnya cahaya ketuhanan) yang abadi. Dengan "al-anw'ar al-uluhiyah" ini seseorang dapat memiliki pengaruh positif terhadap mu'min lainnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, Abu Bakar al-Makky punya pendapat yang intinya, bahwa jalan menuju kebahagiaan akhirat adalah terpenuhinya ketiga hal syari'at, thariqat dan haqiqat. Ketiga hal ini tidak boleh terlewatkan salah satunya, akan tetapi haruslah lengkap dan berurutan satu sama lain. Sebab Abu Bakar menggambarkan ketiga hal itu dengan pendapatnya yang lain:
''Syari'at itu seperti sebuah perahu, sedangkan thariqat adalah lautan, sementara haqiqat adalah mutiara yang terendam di dasar laut".
Adapun tasawuf (sufisme) oleh banyak ulama masih diperdebatkan definisinya dengan seribu pendapat. Salah satu definisi tersebut adalah seperti yang dikemukakan Abu Zakariya al-Anshari:
"Suatu sikap memurnikan hati di hadapan Allah dan memandang remeh atau rendah terhadap selain Allah".
Sehingga dengan definisi ini dapat diambil pengertian, tasawuf adalah refleksi perasaan ketuhanan yang sangat tinggi, agung dan suci terhadap segala pelaksannan ketiga (atau keempat) hal di atas.
***
ABAD XXI sering dilukiskan sebagai suatu masa yang berperadaban tinggi. Orang tak lagi membicarakan atau rnerisaukan hal-hal yang masih bersifat permulaan atau masih mentah. Kecenderungan-kocenderungan yang ada hanyalah dominasi sikap ingin serba praktis, mengenakkan dan lebih mudah. Hal ini jelas tersiasati dari hasil-hasil produksi teknologi mutakhir yang mampu membikin manusia sebagai makhluk "serba manja".
Bersamaan dengan itu, persaingan masalah-masalah sosial dan pelaku-pelaku sosial itu sendiri, muncul sebagai efek lain dari modernitas zaman. Gesekan demi gesekan yang timbul dari berjalannya kepentingan masing-masing individu tanpa diimbangi dengan nilai-nilai spiritual, akan meninggalkan keresahan-keresahan tersendiri. Pola-pola perilaku dan sikap hidup serta pandangan yang individualistis akan menempatkan manusia pada titik-titik jenuh kehidupan komunitas kolektif, sehingga pada gilirannya manusia justru acuh tak acuh terhadap lingkungannya sendiri.
Titik-titik jenuh itulah yang kemudian membuat orang cenderung lari mencari. "dunia lain" yang lebih menjanjikan kedamaian dan ketenteraman. Maka agama pun agaknya menjadi alternatif paling tepat untuk mengubah keresahan tersebut, meskipun demikian hal itu tidak bisa dipahami sebagai suatu justifikasi tentang adanya asumsi bahwa agama adalah kompensasi kejenuhan-kejenuhan modernitas zaman.
Komponen sufisme seperti zuhud, khalwah dan 'uzlah ternyata dalam banyak kasus di belantara zaman modern ini, masih saja tidak kehilangan relevansinya sama sekali. Zuhud oleh para ulama didefinisikan sebagai sikap meninggalkan ketergantungan hati pada harta benda (materi), meskipun tidak berarti antipati terhadapnya. Seorancg zahid bisa saja mempunyai kekayaan yang berlimpah, akan tetapi tidak kumanthil di dalam hati.
Begitu juga 'uzlah yang oleh Abu Bakar didefinisikan sebagai, "al-tafarrud 'an al-khalq" (memisahkan diri dari makhluk lain). Sikap ini terhitung sangat dianjurkan untuk diamalkan, ketika zaman dilanda pergeseran nilai-nilai Islam dan segala aturan normatifnya. Ketika seseorang khawatir terhadap fitnah yang akan menyebabkan kehidupan keagamannnya berkurang intensitasnya, 'uzlah adalah salah satu sikap yang dapat menjawab tantangan itu.
Akan tetapi, apabila segala kekhawatiran tersebut tidak terlalu memprihatinkan, zuhud justru dipraktikkan dengan berkumpul dan bermasyarakat sebagaimana lazimnya, untuk `amar ma'ruf nahi munkar. Lebih jauh lagi, para ulama sepakat, zuhud atau 'uzlah dapat dilaksanakan hanya sekadar dengan hati dan perasaan, sehingga rneskipun seseorang -misalnya- sedang berada di tengah keramaian sebuah pasar, akan tetapi dalam hatinya ia rnerasa menyendiri untuk mencari Tuhannya.
***
SUFISME memandang dunia ini sebagai sebuah jembatan yang harus dilalui untuk menuju akhirat. Dalam ajaran sufisrne ditemui adanya anjuran-anjuran untuk mempertinggi etos kerja. Seseorang yang rnendalami tasawuf juga diperintahkan untuk bekerja mencari penghasilan bagi kehidupan sehari-harinya. Seseorang sama sekali tidak diperkenankan berpasrah diri dan tawakal kepada Allah SWT, sembari rajin mengerjakan shalat sunnah dan banyak berzikir, sebelurn ia memenubi kewajiban-kewajibannya sebagai -misalnya- seorang kepala rumah tangga, mencari nafkah.
Akan tetapi kaum sufi lebih memandang dunia laksana api di mana mereka dapat memanfaatkan sebatas kebutuhan, sembari tetap waspada akan bahaya percikan bunga api yang suatu saat akan membakar hangus semuanya. Dalarn hal ini mereka berkata:
"Apabila harta benda dikumpulkan, maka haruslah untuk memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi, dan bukan untuk kepentingan pribadi secara berlebihan".
Lebih jauh, Syekh Abdul Qadir Jaelani berkata: "Semua harta benda dunia adalah battu ujian yang membuat banyak manusia gagal dan celaka, sehingga membuat mereka lupa terhadap Allah, kecuali jika pengumpulannya dengan niat yang baik untuk akherat. Maka bila dalam pentasharufannya telah memiliki tujuan yang baik, harta dunia iu pun akan menjadi harta akherat."
Dengan demikian, sufisme serta segala komponen ajarannya merupakan pengendali moral manusia. Keseluruhan konsep yang ditawarkan sufisme seperti zuhud akan dapat mengurangi kecenderungan pola hidup konsumtifisme dan individualisme yang semakin menggejala di tengah dunia modern. Sufisme dan Islam pada skala yang lebih luas, adalah bentuk tata aturan normatif yang menjanjikan kedamaian dan ketenteraman. Sehingga ketika zaman menghadirkan keresahan-keresahan, seseorang dapat saja menjadikan sufisme atau tasawuf sebagai kompensasi positif. Yang jelas, sufisme adalah suatu ajaran yang lebih banyak berimplikasi langsung dengan hati, jiwa dan perasaan, sehingga ia bukan hadir sebagai trend, mode dan semacamnya.
ISLAM, PROSTITUSI DAN PENCEGAHAN AIDS
AIDS merupakan penyakit yang relatif baru dikenal oleh para ahlinya. Bahaya penyakit ini, seperti banyak dimuat media rnassa, sangat besar. Penderita penyakit itu kebanyakan berakhir dengan kematian, sebelum dokter sanggup mengobati. belakangan, penyakit mematikan itu sangat tinggi tingkat penyebarannya. Sementara sarana penularan AIDS belum banyak diketahui secara jelas.
Mengetahui cara penularan ini sebenarnya menjadi penting dan berpengaruh besar bagi pencegahannya, selama pengobatan dan imunisasi secara medis belum mampu memberi jawaban atas bahaya penyakit itu terhadap manusia. Dengan menghindari cara penularan sejauh mungkin, penyakit AIDS diharapkan mampu dibendung.
Penularan AIDS pada umumnya melalui hubungan seksual. Penderita AIDS, banyak terdapat pada pria homoseks dan belum pernah ditemukan di kalangan wanita lesbian. Di samping melalui hubungan seks, sebab lain adalah tranfusi darah, jarum suntik yang telah digunakan pecandu narkotika dan sejenisnya, serta kehamilan atau persalinan. Yang patut mendapat pembahasan dari dimensi Islam adalah soal hubungan seksual, prostitusi dan kesehatan secara umum, kaitannya dengan pencegahan penularan AIDS.
Syari'ah Islam pada dasarnya mengatur hal ihwal manusia sebagai makhluk individual maupun sosial dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia dan alam. Syari'ah ini dalam konsep fiqih sosial dijabarkan dalam beberapa komponen. Kornponen-komponen itu meliputi; 'ibadah -formal (terikat oleh ketentuan syarat dan rukun) dan non-formal (bebas dari ketentuan syarat dan rukun); mu'amalah, berkaitan dengan hubungan antar manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup jasmani; munakahah, tata cara pernikahan dan berkeluarga dengan segala aspeknya; mu'asyarah, mengatur tata cara pergaulan manusia dalam berbagai komunitas; jinayah, yang ada hubungannya dengan perilaku pidana beserta sanksi-sanksinya; qadla', mengatur tata cara pengadilan dan hukum acara sekaligus; terakhir jihad, berkaitan dengan pertahanan dan keamanan.
***
DALAM perspektif fiqih, persoalan AIDS akan ditinjau melalui pengaturan Islam terhadap kesehatan secara umum, khususnya soal hubungan seksual dan prostitusi. Manusua sendiri memang tidak dapat melepaskan diri dari tiga soal itu. Dalam kerangka takdir -ketetapan Allah- manusia diletakkan pada suatu proses, dalam keadaan sehat dan sakit, serta tahapan berikhtiyar memberi makna bagi cobaan Allah dalam hidupnya.
Dengan derajat yang berbeda-beda, semua orang memiliki pengertian tentang kesehatan bagi diri dan keluarganya. Namun sering kali pandangan masyarakat tentang kesehatan masih terlalu sempit dan terisolasi. Sebagian besar orang beranggapan, seseorang itu sehat bila ia berada dalam keadaan tidak sakit dan cacat secara fisik. Kesehatan dipandang sebagai sesuatu yang alami, akan menimpa setiap orang, sehingga tak perlu dipermasalahkan lagi.
Orang baru sadar akan pentingnya kesehatan, bila suatu saat dirinya atau anggota keluarganya menderita sakit atau mendapat kecelakaan yang menyebabkan cacat. Dengan kata lain, pengertian tentang kesehatan dipersempit sedemikian rupa, menjadi hanya upaya mencari pengobatan terhadap penyakit yang sedang diderita. Yang terjadi barulah kesadaran akan sakit dan berobat.
Kesehatan juga diperlukan oleh banyak orang seca ra statis belaka. Jarang ada orang yang secara sadar berpikir untuk menciptakan dirinya sehat dan secara antisipatif menjauhkan diri dari penyakit. Kalau toh seseorang sadar akan hal itu, tidak semua orang bisa melakukannya secara baik. Upaya-upaya untuk menangkal timbulnya penyakit, atau melestarikan kesehatan dan meningkatkan derajat kesehatan pada saat seseorang merasa sehat, kurang diperhatikan Kendatipun masyarakat menyadari, kesehatan amat penting untuk menunjang ikhtiar rnencapai taraf kehidupan dan keberagamaan yang baik.
Dalam pandangan yang sempit dan terisolasi, banyak orang tidak mengkaitkan aspek kesehatan dengan berbagai aspek kehidupan yang lain. Kadang-kadang hal itu hanya dikaitkan dengan aspek sosial ekonomi saja. Pemahaman agama Islam yang menyangkut kesehatan kurang diaplikasikan atau direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Terjadilah kesenjangan antara nilai ukhrawi dan duniawi. Sistem nilai ukhrowi yang diatur oleh agama di satu sisi, terpisah dengan sistem nilai duniawi. Suatu contoh sederhana, dalarn promosi kesehatan mengenai kebersihan kurang atau tidak dikaitkan dengan anjuran agama tentang al-nandhafah (kebersihan jasmani, pakaian mau pun lingkungan), walaupun ia sebenarnya telah memahaminya.
Setiap manusia yang lebih mulia dari sekian banyak makhluk Allah yang lain, telah dibekali dua kekuatan sangat mendasar, sebagai sarana untuk mencapai puncak tujuan hidupnya, sa'adatud darain (kebahagiann duniawi dan ukhrawi). Dua kemampuan itu adalah quwwah nadzariyah (kekuatan berpikir) dan quwwah 'amaliyah (kekuatan fisik). Ini sebagai bekal untuk berikhtiar memenuhi berbagai taklifat (tugas) yang diwajibkan Allah.
Dalam kaitan memenuhi taklifat dan ikhtiar itu, aspek kesehatan dipandang sangat penting, sebagai prasyarat yang harus dimiliki semna mukallaf. Kesehatan untuk melestarikan dan meningkatkan kualitas dua kemampuan di atas, sehingga manusia mampu berilmu dan beramal sebanyak-banyaknya.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya 'Ulumuddin juz II mengatakan, tujuan hidup bagi orang-orang yang berakal adalah bertemu Allah Ta'ala di Dar al-Tsawab (surga), dan tidak ada jalan lain untuk mencapai tujuan itu, kecuali dengan ilmu dan amal. Dan ilmu serta amal tiada mungkin ditekuni atau dicapai tanpa kesehatan dan keselamatan badan.
Islam telah meletakkan bagi badan manusia, suatu tatanan syari'at khusus yang mengatur pemeliharaan badan jasmani dari penyakit, karena eratnya hubungan antara unsur rohani dan unsur jasmani. Dalam surat al-Baqarah ayat 247 Allah berfirman, "Sesunggahnya Allah telah memilih Thalut dan memberikan kepadanya dua kelebihan; keluasan ilmu dan kesempurnaan jasmani." Ini tentu saja tidak dapat meninggalkan aspek kesehatan.
Islam juga memperhatikan prinsip, memelihara kesehatan dan menangkal penyakit lebih baik daripada mengobati penyakit yang sudah menjangkiti tubuh. Dalam hal ini di dalam ajaran Islam ada empat pencegahan. Pertama, kebersihan (nadzafah) yang tercermin dalam wudlu', mandi, siwak (menggosok gigi), mencuci pakaian, memotong kuku dan rambut dan lain-lain.
Kedua, pelarangan makanan dan minuman yang tidak baik atau merusak kesehatan. Ini sudah ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 172-173 dan surat al-Ma'idah ayat 90. Dalam ayat 30 surat al-A'raaf Allah menegaskan, "Dan, makanlah serta minumlah kalian, namun jangan melampaui batas". Batas kuantitas mau pun batas kualitas dalam arti, keseimbangan antara kuantitas dan kualitas makanan dan minuman yang diperlukan bagi setiap insan, menurut kandungan zat dan mineral yang diperlukan untuk memelihara kesehatan.
Ketiga, kesehatan umum. Dalam hal ini Rasulullah bersabda dalarn sebuah hadits riwayat Imam Muslim, "Setiap penyakit itu ada obatnya, maka bila obat itu menyentuh penyakit, ia akan menjadi sembuh dengan izin Allah". Dalam Islam berlaku karantina demi kesehatan umum. Rasulullah bersabda pula dengan riwayat ashhab al-sunan, "Manakala di satu daerah wabah berjangkit, janganlah kalian masuk di dalamnya. Dan apabila berjangkit wabah di satu daerah di mana kalian sedang ada di situ, janganlah kalian keluar dari situ".
Bahkan pencegahan penularan penyakit seperti itu juga berlaku bagi hewan selain manusia, sebagaimana sabda Rasulullah riwayat Bukhori dan Muslim, "Jaanganlah mendekat pemilik onta yang sakit pada pemilik onta yang sehat, agar penyakit itu tidak terjangkiti". Yang keempat, olah raga (riyadlah). Hal ini tercermin dalam tingkah laku shalat, puasa dan laranganmenggunakan tenaga fisik rnelampaui batas maksimal.
Islam juga mengenal konsep yang ditentang kesehatan. Di dalamnya tercakup pengertian sihhah (kesehatan), ialah keadaan jasmani yang memungkinkan seluruh faal tubuh manusia berjalan dengan baik dan normal. Di atas pengertian sihhah itu ada pengertian 'afiyah, ialah keadaan yang lebih utama dan luas dari sihhah, yang dampaknya menjangkau kebahagiaan manusia, di dunia dan akhirat kelak. Rasulullah dalam hal itu bersabda dengan riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim, "Tidaklah berbahaya kekayaan bagi orang yang bertaqwa. Dan kesehatan bagi orang yang bertaqwa adalah lebih baik daripada kekayaan". Dalam hadits lain riwayat An-Nasa'i beliau juga mengatakan, "Mohonllah ampunan dan 'afiyah kepada Allah, karena tak seorangpun diberi sesuatu olehNya yang lebih baik setelah keyakinan (keimanan), kecuali mu'afah ('afiyah)."
***
BAGAIMANA Islam mengatur hubungan seksual yang sehat sebagai pencegahan dini terhadap penularan AIDS? Sebab-sebab penularan AIDS antara lain melalui hubungan seks. Islam mengklasifikasi hubungan seks dalam berbagai cara:
  1. Antara suami istri (yang secara legal sesuai dengan ketentuan lembaga pernikahan yang lazim).
  2. Antara lelaki lain perempuan, bukan suami-istri yang dilakukan secara syubhat. Misalnya seorang lelaki dalam keadaan tertentu menyetubuhi wanita yang diduga isterinya, ternyata bukan.
  3. Antara lelaki dan wanita di luar pernikahan, yang lazim disebut "kumpul kebo" mau pun perzinaan atau prostitusi bebas.
  4. Antara sesama lelaki yang sering disebut homoseks, dengan cara memasukkan kelamin lelaki ke dalam dubur sejenisnya, yang disebut liwath mau pun memasukkannya antara dua pangkal paha sejenisnya, yang disebut mufakhodzah.
  5. Ada juga yang dilakukan antara sesama wanita lesbian, yang disebut musahaqoh.
  6. Bahkan hubungan seks untuk mencari nafsu kelezatan sering juga dilakukan tanpa hubungan dengan orang lain, tetapi dengan tangan sendiri atau alat lain (onani) yang disebut istimna'.
  7. Ada juga hubungan seks yang dilakukan seseorang dengan hewan, yang disebut ityanul bahimah.
Hubungan seks yang dilakukan dengan cara (a) dan (b) dalam Islam kiranya telah jelas dari sisi hukumnya. Bahkan untuk yang pertama para pelakunya mendapat pahala. Akan tetapi bila dilakukan lewat dubur, meskipun dengan isterinya sendiri, ada beberapa pendapat ulama yang berselisih. Imam Syafi'i dan Abu Hanifah mengharamkan berdasarkan sebuah hadits, "Maka janganlah kalian menyetubuhi istrimu lewat duburnya". Imam Malik berpendapat boleh, sama halnya pada qubulnya. Sedangkan dengan cara (c) akan dibahas tersendiri pada bab berikutnya.
Adapun hubungan seks antara sesama lelaki dengan cara liwath mau pun mufakhodzah, para ulama sepakat hukumnya haram, bahkan dianggap suatu perilaku yang sangat jijik, keji dan melebihi hewan. Hanya saja dalam menentukan sanksinya ada tiga pendapat. Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal memberikan sanksi dibunuh, bagi pelaku mau pun lawannya. Dasar hukumnya adalah hadits riwayat Imam Khomsah kecuali Nasa'i, "Bila kalian menemukan seseorang mengerjakan pekerjaan kaum Luth (yaitu liwath), maka bunuhlah yang pelaku dan pelakunya".
Golongan Syafi'iyah berpendapat, hukumannya sama dengan zina, berdasar hadits, "Apabila ada lelaki menyetubuhi sesama lelaki, maka keduanya adalah berbuat zina". Pendapat golongan Hanifah, bahwa hal itu tidak sama dengan zina. Sanksinya cukup dengan ta'zir.
Hubungan seks antara sesama wanita yang disebut muzahaqah atau dengan hewan, para ulama sepakat pula keharamannya dan sepakat mengenai sanksinya, cukup dengan ta'zir. Sedangkan onani (istimna'), Imam Syafi'i berpendapat bahwa hukumnya haram. Imam Al-Ala' bin Ziyad berpendapat, hal itu boleh. Sedangkan Ibnu Abbas mengatakan, hal itu lebih baik daripada zina.
Pada dasarnya, para ulama yang berpendapat haram rnelakukan hubungan seks antara sesama lelaki atau sesama perempuan atau yang tidak lazim dan tidak wajar, bertolak dari firman Allah surat Al-Mu'minun, "Dan orang-Orang yang memelihara farjinya kecuali untuk isterinya atau budaknya, maka mereka tiada tercela. Barangsiapa melakukan di luar hal tersebut, maka mereka itulah orang-orang yang berdosa dan melampaui batas".
Kebutuhan biologis manusia berupa kepuasan seksual, bagi Islam bukan sekedar watak manusiawi yang tanpa makna. Sebagai makhluk individu maupun sosial, manusia diciptakan Allah dilengkapi oleh dua kekuatan mendasar, yaitu kekuatan berfikir (quwwah nadhariyah) dan kekuatan fisik (quwwah 'amaliyah). Allah juga memberikan berbagai taklifat (tanggung jawab), agar manusia mampu meningkatkan kualitas dan kesempurnan hidupnya. Dalam hal ini, manusia bukan saja menghadapi tuntutan rasio berupa ilmu, atau tuntutan fisik berupa pemenuhan sandang, papan dan pangan. Ada juga tuntutan kesehatan jasmani dan rohani.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat menghindari pergaulan sesama. Ia punya kebebasan bergaul dan memasuki berbagai komunitas yang beragam latar belakangnya. Namun kebebasan itu tidak selamanya absolut. Tentu ada batas-batas tertentu yang secara normatif disetujui oleh masyarakat mau pun ajaran agama yang ia yakini kebenarannya. Tanpa batasan itu, ia akan kehilangan kesempurnaan dan kemuliannnya, karena ia akan terjebak pada kebejatan moral yang tidak mustahil merusak jasmani.
Kebebasan yang dilakukan secara absolut, sering diterapkan orang pada kebebasan bergaul antara lelaki dan wanita. Memang pada komunitas tertentu, hal itu masih bernilai positif. Akan tetapi bila sudah meningkat pada kebebasan hubungan seksual, sadar atau tidak hal itu mengakibatkan perilaku yang abnormal, dari pandangan sosial mau pun agama. Akibat lebih jauh adalah timbulnya kerusakan moral dan kehormatan yang tidak jarang mengakibatkan kerusakan jasmani. Berjangkitnya penyakit kelamin seperti AIDS, lahir dari kebabasan seksual, tanpa kontrol terhadap kebersihan lawan seks.
***
PROSTITUSI atau perzinaan menurut pengertian masyarakat luas adalah persenggamaan antara pria dan wanita tanpa terikat oleh piagam pernikahan yang sah. Perbuatan ini dipandang rendah dari sudut moral dan akhlak, dosa menurut agama, tercela dan jijik menurut penilaian masyakat di Indonesia. Akan tetapi belakangan, prostitusi semakin dianggap sebagai hal yang wajar dan biasa. Bahkan ironisnya ada yang beranggapan, prostitusi adalah salah satu profesi, lahan bisnis untuk tujuan ekonomi.
Pengertian zina menurut Islam, seperti dijabarkan dalam fiqih, ada tiga pendapat:
  1. Menurut Syafi'iyah, zina adalah perbuatan lelaki memasukkan penisnya ke dalam liang vagina wanita lain (bukan isterinya atau budaknya) tanpa syubhat.
  2. Menurut Malikiyah, zina adalah perbuatan lelaki menyenggamai wanita lain pada vagina atau duburnya tanpa syubhat.
  3. Menurut Hanafiyah, ia adalah persenggamaan antara lelaki dan wanita lain di vaginanya, bukan budaknya dan tanpa syubhat.
Pandangan Islam tentang zina dan prostitusi sudah dimaklumi, bukan saja oleh kalangan Islam sendiri, tapi juga oleh masyarakat luas yang berlainan agama. Di samping hukumnya haram dan termasuk dosa besar, Islam memandang perbuatan itu sebagai tindakan tercela dan punya sanksi berat.
Islam tidak membedakan, apakah tindakan zina dilakukan atas dasar suka sama suka, paksaan, oleh bujangan, suami atau isteri. Tidak beda pula, apakah ada tuntutan ke pengadilan atau tidak, semuanya dipandang sebagai perbuatan zina.
Begitu besarnya bahaya zina bagi pelakunya sendiri mau pun masyarakat, A1-Qur'an menguraikan beberapa hukum dan larangan yang berkaitan dengan zina, antara lain:
  1. Larangan melakukannya.
  2. Larangan mendekatinya.
  3. Larangan menikahi wanita pezina kecuali bagi lelaki pezina atau musyrik.
  4. Diberlakukannya li’an.
  5. Mendapat kemarahan Allah.
  6. Mendapat laknat Allah.
  7. Melakukan dosa besar.
  8. Dilipatgandakan azabnya.
  9. Mendapat had 100 kali.
  10. Diasingkan 1 (satu) tahun.
  11. Dianggap fakhisyah (perbuatan jijik).
  12. Dan lain-lain.
***
UPAYA pelarangan zina dan kebebasan seksual lainnya, dengan alasan penyakit jasmani mau pun rohani, sebelum ditemukannya penyakit AIDS, sudah cukup lama dilakukan. Pendekatan yang sering diupayakan masih bersifat simtomatif atau hanya mengendorkan sementara saja. Pendekatan kausatif dengan menelusuri latar belakang pelakunya, belum banyak dilakukan. Padahal pendekatan terakhir itu, dengan menepis sebab-sebab yang mengakibatkan timbulnya perbuatan zina dan kebebasan seks, merupakan kunci utama untuk mengatasi hal itu.
Islam melalui konsep fiqih mau pun petunjuk ayat Al-Qur'an dan Hadits telah memberikan petunjuk mengenai langkah-langkah menghindari tindakan amoral itu lebih dini.
Dalam hal pergaulan pria dan wanita, ajaran Islam membedakan antara status mahrom dan bukan mahrom. Bagi pria dengan wanita bukan mahrom, tidak diperkenankan memandangi, apalagi menyentuh dan meraba, tanpa tutup atau sarung tangan. Kholwah menyendiri berduaan, antara dua jenis kelamin bukan mahrom juga dilarang.
Aurat wanita di hadapan lelaki bukan mahrom diatur begitu rupa, meliputi seluruh tubuhnya. Kecuali dalam keadaan tertentu, mereka diperkenankan melihat atau meraba. Dalam bepergian pun, wanita harus didampingi mahram (suami, misalnya) atau minimal empat orang wanita yang dipercaya, bila dikhawatirkan ada fitnah.
Bagi wanita, tidak boleh taharruj (berpakaian dan berperilaku merangsang). Bahkan lelaki-perempuan sesama mahram sejak umur menjelang dewasa, sudah dianjurkan agar tdak tidur di satu tempat. Ketentuan-ketentuan ini, menunjukkan betapa jeli ajaran Islam berupaya menghindarkan sejauh dan sedini mungkin, perbuatan zina, demi pertimbangan moral mau pun kesehatan. Dalam masa penularan AIDS yang makin mengkhawatirkan, ajaran-ajaran itu patut dipertimbangkan.
DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN RAKYAT
DAKWAH dalam arti bahasa berarti mengajak, me nyeru, memanggil. Berangkat dan pengeritian bahasa itu, lalu dihubungkan dengan nash Al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan dakwah Islam, Syekh Ali Mahfudh dalam kitabnya Hidayatu al-Mursyidin me netapkan definisi dakwah sebagai benkut:
Mendorong (memotivasi) untuk berbuat baik, mengikuti petunjuk (Allah), menyuruh orang mengerjakan kebaikan, melarang mengerjakan kejelekan, agar dia bahagia di dunia dan akherat.
Definisi di atas menunjukkan, dakwah adalah usa ha sadar yang disengaja untuk memberikan motivasi kepada orang atau kelompok (biasa disebut kelompok sasaran) yang mengacu ke arah tercapainya tujuan di atas.
Ilmu manajemen menyebut, salah satu syarat keberhasilan usaha motivasi adalah terpenuhinya kebutuhan kelompok sasaran. Dengan demikian, melakukan kegiatan dakwah yang pada dasarnya adalah memberi motivasi kepada orang lain, perlu memperhatikan kebutuhan kelompok sasaran. Apalagi muara dakwah tidak lain dari tercapainya kesejahteraan dunia dan akhirat. Sesungguhnya dakwah dalam pengertian ini adalah memberdayakan masyarakat atau rakyat.
Pelaku dakwah tentunya harus mengetabui secara persis, menggali kebutuhan kelompok, menggali potensi (manusia, alam dan teknologi) yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan kelompok dalam jangka pendek mau pun jangka panjang. Kemampuan melakukan penggalian kebutuhan tidak saja diharapkan bisa mengetahui kebutuhan atau masalah yang mendesak dan mendasar, tetapi juga kemampuan mengantisipasi kebutuhan masyarakat dalam jangka panjang, atas dasar kebutuhan sekarang, perkembangan sosial budaya, perkembangan teknologi dan lingkungan di masyarakat.
Dalarn teori motivasi dikenal adanya hirarki kebutuhan (hierarchy of need). Artinya ada semacam hirarki yang rnengatur dengan sendirinya kebutuhan manusia, mulai kebutuhan fisik, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri.
  1. Kebutuhan fisik seperti gaji, upah, tunjangan, honorarium, bantuan pakaian, sewa rumah, uang transportasi dan sebagainya.
  2. Kebutuhan keamanan seperti jaminan masa tua (pensiun), santunan kecelakaan, jaminan asuransi kesehatan, aman dari tindak kejahatan.
  3. Kebutahan sosial seperti orang menjadi anggota kelompok fformal atau informal, menjadi ketua organisasi atau yayasan.
  4. Kebutuhan penghargaan agar orang menghargai, usaha dirinya seperti status, titel, promosi, perjamuan.
  5. Kebutuhan aktualisasi diri, seperti keinginan memaksimalkan potensi diri, menjadi pemuda pelopor, jadi tokoh ideal, atlet pemecah rekor.
Secara umum kebutuhan fisik (makan, sandang, papan) rnenempati urutan teratas. Barulah kebutuhan keamanan dan seterusnya. Dengan kata lain, ketika kebutuhan fisik umumnya sudah terpenuhi, manusia baru termotivasi memenubi kebutuhan lain.
Namun teori ini juga mengakui adanya pengecualian. Ada seseorang yang lebih rnementingkan kebutuhan aktualisasi diri daripada kebutuhan fisik. Contohnya Mahatma Gandhi di India. Meskipun Gandhi secara fisik melarat, tapi berani berjuang bahkan berani mogok makan dalam rangka kemerdekaan diri dan bangsanva. barangkali banyak kasus seperti Gandhi, misalnya pejuang-pejuang kemerdekaan kita, atau para kiai yang shalih dan wara’ atau para santri dan pendukungnya, adalah figur yang tidak terlalu memerlukan kebutuhan fisik. Mereka lebih membutuhkan aktualisasi diri atau sosial.
Berangkat dari teori ini, dakwah harus disesuaikan dengan masyarakat sasaran. Materi dakwah juga perlu dipilah antara untuk kader dakwah dan masyarakat sasaran. Motivasi untuk kader tidak harus sama dengan motivasi untuk kelompok sasaran.
Pemilahan sasaran dakwah secara jeli juga penting, mengingat ketimpangan ekonomi dalam masyarakat sebenarnya semakin melebar. Kalau kita melihat data sekunder kependudukan di Indonesia, maka dapat disebutkan, pada tahun 1990 pendapatan rata-rata setiap orang sebesar Rp 620,- tiap hari. Jumlah itu untuk biaya makan, minum, pendidikan, kesehatan, rokok, perawatan rumah, beli minyak, sewa listrik dan sebagainya.
Ukuran itu digunakan untuk saudara-saudara kita yang mempunyai pabrik, rumah tingkat, deposito pada bank asing, mau pun yang hidup di bawah kolong jembatan dan kekurangan gizi parah. Tidak peduli bagi 30%, penduduk yang hidup tanpa tanah, air bersih atau tanpa perawatan kesehatan dan tanpa pengobatan. Tidak peduli juga bagi 50% penduduk buta huruf yang berusia di atas 15 tahun. Mereka semua diasumsikan berpendapatan sama. Padahal kalau melihat data primer secara empiris, dari desa atau kota, betapa melaratnya rakyat kecil. Sebagian besar di antara penduduk Indonesia yang miskin, mayoritas adalah muslim.
Gambaran di atas rnenurjukkan betapa besar dan luas, sasaran dakwah. Dengan demikian organisasi pemuda yang mempunyai banyak potensi barangkali secara bertahap tetapi pasti harus lebih terpanggil, untuk berdakwah.
***
PENTING untuk diperhatikan, bila dakwah berorientasi pada pemenuhan kebutuhan kelompok, maka perlu pendekatan yang partisipatif, bukan pendekatan teknokratis. Dengan pendekatan itu, kebutuhan digali oleh motivator dakwah (kader) bersama kelompok sasaran yang akan diberdayakan. Pemecahan masalah direncanakan dan dilaksanakan oleh kader kelompok. Bahkan kegiatan pun dinilai bersama, untuk rnemperbaiki aktifitas selanjutnya. Pendekatan macam ini, perlu sistem monitoring dalam pelaporan yang up to date. Inilah yang sekarang di kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat sedang populer disebut “riset aksi”.
Dengan demikian dakwah tidak dilakukan dengan perencanaan global yang turun dari atas (top down), yang kadang-kadang sampai di bawah tidak menyelesaikan masalah. Perencanaan model top down sering mengabaikan pemetaan masalah, potensi dan hambatan spesifik berdasarkan wilayah atau kelompok, apalagi per jenis kegiatan. Tipe satu kelompok masyarakat di satu desa, tidak akan sama dengan kelompok lain di tempat yang berbeda.
Dakwah inilah yang sekarang disebut dengan dakwah bil hal atau dakwah pembangunan, atau dakwah bil hikmah menurut bahasa Al-Qur'an. Seperti yang tercantum dalam surat Al-Nahl ayat 125, “Serulah manusia ke jalan, Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantulah mereka dengan cara yang baik."
Dra Chadidjah Nasution menyebutkan, dakwah bil hikmah adalah berdakwah dengan memusatkan pikiran kepada tugasnya atau tidak mencampuradukkan masalah-masalah lain di dalam pikirannya, sehingga da'i dapat mengetahui apakah yang dibutuhkan oleh penerima dakwahnya.
Orang menyebut dakwah bil hal, barangkali merupakan koreksi terhadap dakwah selama ini yang banyak terfokus kepada dakwah mimbar yang monoton dari sisi penerima dan pembicaranya, sementara dana dan daya habis untuk kegiatan semacam itu tanpa perubahan berarti.
Namun kalau melakukan dakwah bil hal atau dakwah bil hikmah, apakah lalu dakwah bil lisan atau mau'’idhah hasanah ditinggalkan? Sama sekali tidak. Sebab tetap ada media untuk dakwah model mau'idhah hasanah. Dakwah mimbariyah tetap perlu dalam konteks tertentu, misalnya soal giliran khatib Jum'at, atau seorang kepala keluarga yang memberi nasihat kepada anak istri dan anggota keluarga lain, sebagai pengasuh/guru untak menasehati anak didik.
Juga tidak ditinggalkan cara berdakwah yang ketiga, yaitu mujadalah yang lebih ahsan atau seperti dalam forum dialog, seminar, simposium, atau diskusi-diskusi.
Melihat sasaran dakwah yang begitu luas, sementara perkembangan teknologi begitu pesatnya, maka dakwah perlu menggunakan media sesuai dengan kelompok sasaran. Klasifikasinya ditinjau dari umur, status sosial, tingkat pendidikan dan kebutuhan kelompok sasaran itu sendiri.
Dengan menyebarnya rnedia yang beragam, segala kecanggihan teknologi di tengah masyarakat serta cepatnya arus informasi, tanpa menggunakan media yang sesuai, maka kelompok sasaran akan enggan dan malas menerima penampilan dakwah yang dilakukan secara konvensional. Pada akhirnya dakwah yang dilakukan tidak memenuhi selera sasaran dan tujuan, meski berjalan, tetapi tetap berada di tempat. Mundur tidak maju pun tidak.
Data statistik menunjukkan kemunduran jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia. Ini banru secara kuantitatif.Belum lagi kalau yang berkurang adalah orang yang ‘abid dan shaleh, maka itu sudah menyangkut kualitas. Artinya angka orang yang benar-benar muslim mungkin lebih sedikit dari yang diduga orang.
Di samping menggunakan media yang dapat diterima oleh kelompok sasaran, diperlukan arah dan strategi yang matang. Soalnya, dakwah beorientasi pada pencapaian sasaran itu, tidak berada dalam “ruangan" yang hampa. "Ruang" sudah berisi budaya, teknologi, sistem nilai dan peraturan perundangan yang mengikat. Kelompok sasaran dakwah adalah warga negara Indonesia yang bernaung di bawah negara kesatuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan. Agar dakwah berdaya guna dan berhasil guna, maka harus mengacu pada pencapaian tujuan dan memakai strategi yang bisa mengatasi hambatan yang diperkirakan.
Dari sini da'i dituntut untak melakukan persiapan sosial yang matang, perencanaan yang mendasar sampai kepada data empiris, terkoordinasi misalnya dengan sesama organisasi NU mau pun non-NU. Sehingga dengan demikian tidak terjadi over lapping antar sesama organisasi NU atau persaingan tidak sehat dengan organisasi lain.
Lalu siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan dakwah dengan jangkauan begitu luas dan begitu beragam pendekatannya? Kalau kita menyandarkan diri kepada A1-Qur'an surat Ali Imron ayat 104, maka kewajiban dakwah itu diharuskan kepada sebagian atau segolongan umat Islam. Maka dari itu ada yang berpendapat, dakwah hukumnya fardlu kifayah.
Namun persoalannya siapa segolongan umat itu? Golongan kiai, golongan orang kaya, golongan intelektual atau sebagian dari setiap golongan tersebut? Melihat kompleknya masalah. dakwah tersebut diatas, maka semua lapisan muslim yang mempunyai kelebihan bertanggung jawab untuk melakukan dakwah sesuai dengan kemampuan dan sasarannya.
Dakwah juga bisa dalam bentuk pengembangan masyarakat. Keduanya tidak jauh berbeda. Sebab pengembangan masyarakat atau pemberdayaan rakyat adalah proses dari serangkaian kegiatan yang mengarah kepada peningkatan taraf hidup dan kesejahteran masyarakat. Proses tersebut mengandung kegiatan yang diharapkan dapat mengubah dan mengembangkan sikap, gaya hidup, pola berpikir serta meningkatkan kesadaran masyarakat. Setidaknya ada kesamaan antara keduanya. Ia sama-sama ingin mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat atau sekelompok sasaran. Dan ia sama-sama meningkatkan kesadaran dari berperilaku tidak baik, untuk berperilaku yang baik.
Di samping ada kesamaan di atas, usaha dakwah bil hal mempunyai implikasi terhadap pengembangan masyarakat, yaitu:
  1. Masyarakat yang menjadi sasaran dakwah, pendapatannya bertambah untuk membiayai pendidikan keluarga, atau memperbaiki kesehatan.
  2. Dapat menarik partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sebab masyarakat terlibat sejak perencanaan sampai pelaksanaan usaha dakwah bil hal.
  3. Dapat menumbuhkan atau mengembangkan swadaya masyarakat dan dalam proses jangka panjang bisa menumbuhkan kemandirian.
  4. Dapat rnengembangkan kepemimpinan daerah setempat, dan terkelolanya sumber daya manusia yang ada. Sebab anggota kelompok sasaran tidak saja jadi obyek kegiatan, tetapi juga menjadi subyek kegiatan.
  5. Terjadinya proses belajar-mengajar antara sesama warga yang terlibat dalam kegiatan. Sebab kegiatan direncanakan dan dilakukan secara bersarna. Hal ini menimbulkan adanya sumbang saran secara timbal balik.
DAKWAH YANG PARTISIPATIF
MANUSIA sebagai makhluk yang dimuliakan Allah di atas makhluk yang lain, dititahkan sebagai khalifah Allah dalah kehidupan di muka bumi ini. Pengertian khalifah atau pengganti, berfungsi penugasan dan pembebanan (taklif) kepada manusia untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan di dunia ini. Dalam hal ini manusia dibekali potensi dan kekuatan fisik dan kekuatan berpikir. Manusia diberi kemampuan menggunakan akal dan pikiran secara penuh. Ini tidak berarti bahwa akal manusia adalah satu-satunya potensi absolut yang mampu memecahkan segala persoalan hidupnya, karena manusia juga diberi rasa dan nafsu yang saling mempengaruhi dalam setiap proses pengambilan keputusan atau penegasan sikap. Bahkan kecenderungan nafsu ke arah negatif pada umumnya lebih kuat, terutama bila pikir dan rasa manusia tidak mampu mengendalikan.
Manusia -oleh karenanya- dalam kehidupan sosial dituntut dan bertanggung jawab untuk mengajak mengrjakan ma'ruf sekaligus meninggalkan kemungkaran. Ini berarti manusia tidak bisa terlepas dari fungsi dakwah. Bahwa dakwah mempunyai relevansi sepanjang masa, karena manusia hidup tidak bisa lepas dari nafsu dan berbagai kecenderungan negatifnya.
Manusia dengan hidup dan kehidupannya sesuai dengan fitrahnya selalu mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan yang alami maupun yang dirancang oleh manusia sendiri. Perubahan itu tidak selamanya menjadi lebih baik, bahkan sering terjadi sebaliknya, manusia akan mengalami krisis identitas dirinya sebagai makhluk yang mulia di sisi Allah mau pun bagi sesamanya. Di sinilah dakwah akan berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan dan bahkan mengembangkan kemuliaan manusia. Karena tu dakwah juga mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan transformasi sosial yang berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
***
ADA indikasi mencolok yang menunjukkan bahwa, Islam di Indonesia semakin mendapatkan tempat yang luas di kalangan masyarakat, dari kelompok remaja mau pun kelompok tua. Mushala dan masjid dibangun di mana-mana dan selalu dipadati oleh kaum muslimin. Kelompok pengajian, majelis ta'lim dan kajian Islam muncul bagaikan cendawan di musim penghujan. Namun semua itu tidak berarti adanya perkembangan dan pengembangan agama Islam. Karena berkembangnya jumlah pemeluk agama Islam yang menunjukkan adanya kepedulian masyarakat terhadap agama tidak atau belum berarti bahwa ajaran agama Islam secara substansial juga berkembang.
Dari sisi lain, kualitas keberagamaan masyarakat Indonesia cenderung melemah, akibat perubahan nilai yang berkembang. Nilai-nilai spiritual Islami tidak lagi manjadi rujukan baku bagi kehidupan. Solidaritas Islam sebagai nilai Islami dalam masyarakat dan berbangsa mulai berhadapan dengan kecenderungan sikap individualistik yang mulai menggejala akibat kemajuan dunia usaha yang memacu pada watak kompetitif. Nilai ekonomis makin dominan, berpengaruh besar bagi makin berkembangnya etos ikhtiar yang pada gilirannya akan menghilangkan sikap tawakal, dan lebih dari itu akan mengganggu keimanan.
Pemahaman tentang konsep ibadah pada umumnya masih terpaku pada bentuk-bentuk ritual formal, terikat oleh syarat, rukun, waktu dan ketentuan-ketentuan tertentu. Misalnya shalat, itu saja pelaksanannya masih belum pas. Sedangkan persepsi tentang ibadah sosial (tidak individual) masih jauh dari harapan. Pada hal yang terakhir ini justru lebih bermakna daripada ibadah individual formal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi srta dampak hasil pembangunan dewasa ini, memberikan pengaruh kuat atas munculnya dua fenomena yang saling berlawanan. Di satu sisi orang semakin bersikap sekuler, sementara di sisi lain justru lebih bersifat agamis, bahkan senderung sufistik atau fundamentalistik. Ini terlihat dari radikalisme berlebihan, yang sering disebut gerakan sempalan dan sikap ekstrim sebagian masyarakat. Timbul juga kelompok yang sering disebut para-normal yang menjadi tempat pelarian bagi orang-orang yangmengalami keputusasaan.
Semua ini terjadi akibat lemahnya kualitas keberagamaan mereka. Pemahaman mereka terhadap agama Islam tidak utuh dan tuntas, karena hanya menggunakan salah satu dari paradigma rasional dan mistikal, atau hanya secara eksklusif terpaku pada norma statis saja atau pada yang kontekstual dinamis saja. Padahal Islam merupakan kesatuan utuh dan bulat dari beberapa komponen, yang astu dengan lainnya saling mempengaruhi, misalnya aqidah, syari'ah, akhlak, mu'asyarah, dan lain sebagainya.
Faktor lain yang juga mempengaruhi rendahnya kualitas keberagamaan Islam di Indonesia adalah adanya sifat ambivalen dalam proses kulturisasi nilai-nilai Pancasila di satu pihak dan penghayatan serta pengamalan norma agama Islam di lain pihak. Hal ini senderung membuat rancu orientasi nilai dalam kehidupan. Disintegrasi dari dua sumber nilai ini tentu saja sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan, sementara itu upaya pengembangan pemahaman integratif yang memperjelas hubungan simbiosis dari keduanya sering mengundang kesalahpahaman.
***
DAKWAH berasal dari bahasa Arab yang berarti mengundang, mengajak dan mendorong. Konotasi dakwah yang lazim adalah mengajak dan mendorong sasaran untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejelekan, atau memerintah melakukan pekerjaan ma'ruf dan melarang bertindak munkar. Dapat juga dakwah diartikan mengajak sasaran ke jalan Allah, yakni agama Islam. Pengertian tersebut dapat dipahami dari ayat Al-Qur'an 104 surat Ali Imran dan ayat 125 surat al-Nahl. Dari sini dapat dibedakan antara dakwah dan di'ayah (propgaganda) serta indoktrinasi. Dalam di'ayah, yang dipropagandakan belum tentu sesuatu yang baik. Sedangkan dalam indoktrinasi terdapat unsur paksaan. Berbeda dengan dakwah, di mana sesuatu yang didakwahkan tentu baik dan tidak mengandung unsur paksaan, tetapi justru menumbuhkan kesadaran.
Kegiatan dakwa Islamiyah tidak bisa lepas dari lima unsur yang harus berjalan serasi dan seimbang. Karena kegiatan dakwah itu sendiri, merupakan proses interaksi antara pelaku dakwah (da'i) dan sasaran dakwah (masyarakat) dengan strata sosialnya yang berkembang. Antara sasaran dakwah dan pelaku dakwah saling mempengaruhi, bahkan saling menentukan keberhasilan dakwah, di mana keduanya sama-sama menuntut porsi materi,metode dan media tertentu.
Strategi dakwah akan berhasil apabila ke lima unsur di atas berjalan seimbang. Ini berarti, kegiatan dakwah bukan sekadar memberikan "pengajian" di atas mimbar dengan berbagai bumbu penyedapnya di hadapan massa luas dan heterogen yang menyambutnya dengan tepukantangan menggema di tengah-tengah lapangan. Namun lebih dari itu, ia menuntut tumbuhnya kesadaran bagi audiens, agar pada gilirannya melakukan perubahan positif dari sisi pengamalan dan wawasan agamanya.
Adalah sangat naif, mengukur keberhasilan dakwah hana dari banyaknya jumlah pengunjung yang melimpah ruah pada forum pengajian dan hebatnya mubaligh yang lucu, kocak, dan lincah. Sementara itu biaya yang keluar relatif banyak, tidak pernah diimbangi dengan evaluasi massa pengunjungnya. Apakah mereka makin meningkatkan kesadaran dan wawasan keberagamaannya? Ataukah biasa-biasa saja, mereka pulang hanya membawa kesan kagum dan puas terhadap pembawaan mubaligh?
Pengembangan dakwah Islamiyah merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas keberagamaan Islam. Kualitas itu meliputi pemahaman ajaran Islam secara utuh dan tuntas, wawasan keberagamaan, penghayatan dan pengalamannya. Sebagai proses, maka tuntutan dasarnya adalah peubahan sikap da perilaku yang akan diorientasikan pada sumber nilai yang Islami. Dari dimensi lain pengembangan itu merupakan alat untuk mencapai tujuan dakwah Islamiyah. Di sini kebutuhan dasarnya adalah proyeksi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam proses transformasi sosial. Ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial bagi setiap da'i/mubaligh, agar mampu melakukan pendekatan kebutuhan, yang dipandu oleh sumber nilai Islami.
Efektifitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya seperti di atas, dan kedua, sekaligus mampu mendorong perubahan sosial. Ini berarti memerlukan pendekatan partisipatif di samping pendekatan kebutuhan. Dakwah bukan lagi menggunakan pendekatan yang hanya direncanakan sepihak oleh pelaku dakwah dan bukan pula hanya pendekatan tradisional, mengutamakan besarnya massa.
Pendekatan partisipatif menghendaki sasaran dakwah dilibatkan dalam perencanaan dakwah, bahkan dalam penggalian permasalahan dan kebutuhan. Di sinilah akan tumbuh dinamisasi ide dan gagasan baru, di mana para da'i berperan sebagai pemandu dalam dialog-dialog keberagamaan yang muncul dalam mencari alternatif pemecahan masalah.
Dakwa Islamiyah dituntut kemampuannya untuk meletakkan Islam pada posisi pendamai dan pemberi makna terhadap kotradiksi dan konflik dalam kehidupan manusia akibat globalisasi di segala bidang. Di samping itu, manusia dalam kehidupannya selalu menjumpai berbagai macam kontradiksi dan dikotomi yang inhern dalam eksistensinya, seperti mati-hidup, sementara-permanen, kebebasan-keterbatasan dan lain-lain. Secara historis, manusia juga menghadapi kontradiksi, seperti kaya-miskin, bodoh-pandai dan sebagainya. Di sini dakwah secara konseptual harus merumuskan keseimbangan-keseimbangan yang secara implementatif mapu menumbuhkan sistem manajemen konflik. Dengan demikian ajaran Islam menjadi alternatif terhadap upaya mencari solusi pengembangan sumber daya manusia seutuhnya.
Memang hal ini tidak mudah, memerlukan da'i-da'i berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan erilaku dalam kehidupan Islami, yang mampu mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah pluralitas masyarakat. Dalam hal ini Allah telah mengisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahwa para da'i harus menjadi khaira ummah yang punya kemampuan menampilkan dirinya di tengah dan untuk masyarakat (ukhrijat li al-naas). Ini berarti pelaku dakwah (da'i) harus memiliki kemampuan menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa, siapa di mana dan kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan kesadaran akan potensi dirinya, posisinya, situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapinya. Barulah ia mampu menggunakan pilihan-pilihan penerapan metode hikmah, mau'dhah hasanah, mujadalah bi ihsan dan lain sebagainya yang tepat dan mendukung strategi dakwah.
***
PANDANGAN orang tentang hidup selalu berbeda. Pertanyaan, untuk apa hidup bagi manusia, selalu berbeda jawabannya. Bagi umat Islam, hidup bukan sekadar untuk hidup. Hidup bukanlah tujuan. Hidup dan kehidupan manusia merupakan proses yang akan berakhir di dunia dengan datangnya kematian. Sebagai proses, hidup tentu memerlukan berbagai sarana. Sarana yang paling mendasar secara fisik adalah aspek kesehatan dan aspek ekonomi. Perbedaannya dengan hidup yang dialami makhluk lain, hanyalah terletak pada nilai dan makna. Sedangkan nilai dan makna hidup manusia ditentukan oleh aspek spiritual.
Model pembanguna yang difokuskan pada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, cenderung memisahkan atau mengasingkan aspek spiritual. Alienasi antara keduanya tercermin pada gerakan dan pelembagaan agama yang tidak menyatu dengan aktifitas pelembagaan ekonomi. Keadaan seperti itu akan mengacu pada pembentukan nilai dan norma ekonomis. Ini berarti bahwa ekonomi merupakan sistem nilai tersendiri. Akibatnya, gerakan ekonomi berhadapan secara diametral dengan sistem nilai spiritual. Pada gilirannya gerakan ekonomi berjalan bebas tanppa spiritualitas dan meluncurkan sikap kompetitif yang bila tidak dikontrol oleh aspek spiritual, akan cenderung ke arah individualisme, materialisme dan konsumerisme yang justru bertentangan degan etika berekonomi dalam Islam.
Pada umumnya di dalam masyarakat ekonomis aspek spiritual yang bertolak dari hakikat martabat manusia yang mulia, tidak bertahan lama. Sumber daya manusia, alam, ilmu pengetahuan dan teknologi -sebagai asset ekonomi yang sangat penting- di negara-negara ekonomi maju, banyak mengakibatkan berbagai krisis spiritualitas. Kemiskinan nilai spiritual mendorong masyarakat ekonomi maju berpandangan, bahwa alam bukanlah sahabat yang setia, tetapi sebagai kawulo yang harus ditaklukkan dan diperlakukan sewenang-wenang.
***
IDEALNYA pengembangan dakwah yang efektif harus mengacu pada masyarakat untuk meningkatkan kualitas keislamannya, sekaligus juga kualitas hidupnya. Dakwah tidak saja memasyarakatkan hal-hal yang religius Islami, namun juga menumbuhkan etos kerja. Inilah yang sebenarnya diharapkan oleh dakwah bil hal yang sering disebutkan oleh para mubaligh. Dakwah bil hal tidak berarti tanpa maqol (ucapan lisan dan tulisan), akan tetapi lebih ditekankan pada sikap, perilaku dan kegiatan-kegiatan nyata yang secara interaktif mendekatkan masyarakat pada kebutuhannya, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi peningkatan keberagamaan.
Rekayasa pola pengembangan dakwah seperti ini, merupakan unsur alih teknologi sosial yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia sebagai imbangan alih teknologi material yang tidak akan berhenti dengan segala dampaknya. Keseimbangan antara dua teknologi itu setidaknya akan menjanjikan ketenteraman hati serta mengurangi gejolak sosial yang dan stres di kalangan masyarakat awam. Keseimbangan dimaksud akan mengacu ke arah tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat (sa'adatud darain).
prospek sosial ekonomi memang dapat diproyeksikan, tetapi dalam setiap kehidupan umat, interaksi antara semua aspek kehidupan sangat besar pengaruhnya dalam proses menuju prospek yang dicita-citakan. Masing-masing aspek tentu harus pasti, sehingga proses tersebut mengarah kepada adanya kepastian. Bila yang terjadi sekarang adalah, aspek-aspek positif dalam kehidupan mengalami ketidakpastian, maka pada masa depan yang pasti adalah ketidakpuasan.
Ini berarti, bahwa aspek ekonomi tidak dapat ditarik ke depan tanpa aspek-aspek positif kehidupan lainnya secara simultan dalam suatu sistem yang seimbang. Pengembangan aspek ekonomi itu sendiri merupakan proses interaksi dari serangkaian upaya peningkatan sarana yang menunjang. Penumbuhan etos kerja yang diarahkan pada kualitas sumber daya alam mau pun lapangan kerja yang tersedia atau yang mungkin diciptakan, merupakan kegiatan yang paling menentukan bagi tercapainya keadaan ekonomi yang stabil. Ini perlu dilakukan oleh gerakan Islam yang bergerak di bidang tersebut, tentu saja harus diimbangi dengan pemantapan mental yang diorientasikan pada aspek spiritual.
DAKWAH UNTUK KAUM DLU'AFA
DALAM mengatasi kemiskinan, dakwah setidaknya bisa ditempuh melalui dua jalan. Pertama, memberi motivasi kepada kaum muslimin yang mampu untuk menumbuhkan solidaritas sosial. Akhir-akhir ini, di kalangan umat Islam, ada kecenderungan solidaritas sosial menurun. Kedua, yang paling mendasar dan mendesak adalah dakwah dalam bentuk aksi-aksi nyata dan program-program yang langsung menyentuh kebutahan. Ini sering disebut orang dengan dakwah bil hal.
Dakwah dalam bentuk yang kedua ini, sebenarnya sudah banyak dilaksanakan kelompok-kelompok Islam, namun masih sporadis dan tidak dilembagakan, sehingga menimbulkan efek kurang baik, misalnya dalam mengumpulkan dan membagikan zakat. Akibatnya lalu, fakir miskin yang menerima zakat cenderung menjadi orang yang thama' (dependen). Itu hanya karena teknis pembagian zakat yang tidak dikelola dengan baik. Dalam hal ini ada beberapa pesantren yang sudah mencoba melembagakan atau mengatasi masalah itu.
Pendekatan untuk mengatasi masalah kemiskinan ini seperti disebutkan di atas adalah pendekatan basic need approach (pendekatan kebutuhan dasar). Tentu saja dalam hal ini tidak bisa dilaksanakan dengan menggeneralisasi. Kita harus membagi masyarakat miskin menjadi beberapa kelompok dengan melihat kenyataan yang berkembang dalam lingkungan masyarakat miskin itu sendiri. Apa kekurangan mereka? Apa yang menyebabkan mereka miskin? Bisa jadi mereka miskin karena kebodohan atau keterbelakangan. Dalam hal ini kita harus berusaha agar mereka dapat maju, tidak bodoh lagi. Bisa juga karena kurangnya sarana, sehingga mereka menjadi miskin atau bodoh. Untuk mengatasinya, adalah dengan cara melengkapi sarana tersebut.
Karena gerakan yang sporadis dan tidak dikelola dengan baik, akhirnya fakir miskin cenderung menjadi orang thama’. Maksud saya, pengembangan masyarakat miskin tidak begitu caranya. Kita jangan memberi ‘ikan’ terus menerus, tapi harus memberi kailnya. Tetapi dengan memberi kail saja tentu tidak cukup, karena mereka juga harus diberitahu, cara mengail yang baik, lahan yang baik dan bagaimana ia dapat menggunakan kail untuk mendapatkan ikan.
Berarti mereka tidak hanya cukup dengan diberi modal, tetapi mereka juga harus diberi keterampilan. Inilah yang saya maksudkan dengan pendekatan itu. Masalah yang dihadapinya, keterbelakangan atau kebodohan harus diatasi dengan memberikan keterampilan, dan baru kemudian modal. Ini juga belum bisa meyakinkan sepenuhnya, sepanjang belum ada uji coba.
Kadang-kadang, masyarakat miskin di kampung lebih menyukai hal yang paling praktis, maunya mencukupi tapi juga mudah dan praktis. Untuk itu di samping kita memberi keterampilan dan modal, kita harus meyakinkan atau memberikan motivasi hingga fakir miskin itu memiliki kemauan berusaha dan tidak hanya menanti dan boros.
***
MENURUT pandangan Islam, secara formal zakat yang diberikan langsung oleh muzakki (pembayar zakat), idak melalui imam yang dalam hal ini adalah pemerintah, harus dibayarkan dalam bentuk harta zakat itu, tidak boleh ditukar dengan bentuk yang lain. Zakat langsung harus dalarn bentuk mal. Dan harta itu bisa dijadikan modal.
Sebaliknya menurut apa yang saya ketahui dari petunjuk-petunjuk dalam fiqih, zakat yang dikelola pemerintah justru dibayarkan bukan dalam bentuk uang. Kalau si mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) punya keterampilan menjahit, maka berilah mesin jahit. Kalau keterampilannya hanya mampu mengemudikan becak, berilah becak. Tetapi itu sebenarnya bisa diatur. Saya sudah mencobanya.
Ada tiga desa yang saya coba dengan memberikan motivasi kepada masyarakat desa itu. Kemudian, zakat di desa itu dilembagakan. Salah satu di antaranya dilembagakan dalam bentuk koperasi. Panitia (bukan amil) bertugas hanya sekadar rnengumpulkan zakat dan mengatur pembagiannya. Hasilnya tidak langsung dibagikan dalam bentuk uang, tetapi diatur demikian rupa supaya tidak bertentangan dengan agama. Mustahiq diserahi zakat berupa uang, tetapi kemudian ditarik kembali sebagai tabungannya untuk keperluan pengumpulan modal.
Dengan cara ini, mereka menciptakan pekerjaan dengan modal yang dikumpulkan dari harta zakat. Ternyata berhasil. Meskipun kita tidak bisa melenyapkan atau menghapuskan kemiskinan sama sekali, paling tidak kita telah berhasil menguranginya.
Pernah suatu kali, saya mencobanya terhadap seorang pengemudi becak di kota Pati. Saya lihat dia memang tekun mangkal di pasar untuk bekerja sebagai tukang becak. Pada saat kesempatan pembagian zakat tiba, saya zakati dia. Hasil zakat bulan Syawal itu, berupa zakat mal, zakat fitrah dan infaq, dikumpulkan dan saya salurkan dengan membelikan untuknya, sebuah becak. Sebelumnya dia hanya pengemudi becak milik orang non-pribumi. Namun sekarang dia telah memiliki dua buah becak.
Usahanya ini berkembang, dan sehari-harinya ia tidak harus mengemudikan becak dengan mengejar target setoran. Dengan mengemudikan becak hingga jam tiga sore, hasilnya sudah cukup untuk makan dan menjaga kesehatan. Setelah itu ia bisa kumpul-kumpul mengikuti pengajian. Dengan cara ini, meskipun dia tidak rnenjadi kaya, tetapi jelas ada perubahan sosial.
Untuk lebih jelasnya, apa yang saya kembangkan di tiga desa itu adalah sebagai berikut. Zakat dari pihak muzakki diberikan kepada panitia, yang kebetulan salah seorang atau beberapa di antaranya memang ada yang pantas menerima zakat (mustahiq). Pembagiannya diatur sedemikian rupa, sehingga apa yang diterimanya itu dijadikan modal. Kepentingan-kepentingan sosial lainnya, seperti keperluan lembaga, tentu saja juga diberikan bagiannya.
Untuk lebih menyebar luaskan gagasan seperti itu, tentu saja lembaga-lembaga sosial keagamann dapat mengambil peran. Kalau kita berbicara mengenai peran para ulama dalam hal pembangunan dan khususnya dalam mengatasi masalah kemiskinan ini, mereka dapat berperan sebagai inisiator, bisa pula sebagai motivator dan sekaligus bisa menjadi fasilitator, tergantung kemampuan dan kenyataan lingkungan di daerahnya masing-masing.
Dalam hal ini saya tidak membicarakan peranan Majelis Ulama, tetapi ulama. Sedangkan bagi MUI sendiri, menurut hasil Munas ketiga, masalah itu sudah dibicarakan. Keputusan Majelis Ulama menyinggung masalah-masalah yang berkenaan dengan kemiskinan, kebodahan dan sebagainya. Lalu tugas majelis adalah koordinasi di antara ormas-ormas Islam yang mempunyai lapangan dan basis.
Kini, masalahnya adalah bagaimana Majelis Ulama mampu dengan kredibilitas yang dimiliki, mengatasi perbedaan-perbedaan yang berkembang di masing-masing ormas Islam. Tentu saja hal itu tidak sulit dilakukan. Namun, apa yang sebenarnya menjadi masalah, saya sendiri tidak tahu, karena tidak terlibat dalam Majelis Ulama Pusat.
***
SUDAH jelas, bahwa ajaran Islam tidak menghendaki kemiskinan. Berbagai macam komponen ajaran Islam sendiri menunjang pernyataan itu. Namun harus diakui, hingga sekarang masalah itu belum mendapat perhatian serius dari kaum muslimin. Menurut ajaran Islam, memberi nafkah kepada golongan fakir miskin adalah kewajiban kaum muslimin yang mempunyai kemampuan, dan itu memang relatif. Ajaran seperti itu belum pernah disinggung, apalagi dijabarkan, dan bahkan hal itu kurang disadari.
Berkenaan dengan infaq, kalau ada keinginan untuk melembangakannya, kita harus mampu menginventarisasi, paling tidak menyensus ekonomi kaum muslimin. Sehingga, kita mempunyai data, siapa yang disebut mampu dan siapa pula yang tidak mampu. Terhadap yang rnampu, dikenakan kewajiban memberikan nafkah bagi orang yang tidak mampu, sesuai dengan ajaran fiqih. Tetapi hingga sekarang kita tidak mempunyai bait al-mal yang teratur. Bait al-mal-nya saja belum ada, apalagi teratur. Jadi di luar zakat dan sedekah, masih ada kewajiban umat Islam yang mampu, hukumnya wajib bagi orang-orang muslim yang mampu untuk memberi rafkah kepada fakir miskin, dalam keadaan tidak adanya bait al-mal al-muntadhim (yang teratur). Inilah jalan Islam.
Kewajiban zakat itu, persuasif atau tidak, ini juga masalah, karena kecenderungan turunnya solidaritas sosial (takaful al-ijtima'i) di kalangan umat Islam. Tetapi menurut pandangan saya, gagasan yang terakhir ini sangat mungkin dilakukan. Sekarang organisasi-organisasi Islam banyak memiliki ahli dalam bidang penelitian. Kita tinggal menambah dengan baberapa spesialis lainnya yang juga banyak dimiliki umat Islam, bagaimana mengadakan sensus ekonomi dan bagaimana desain ekonomi untuk menentukan si Polan ini miskin dan si Polan itu mampu. Apakah yang mampu sudah memenuhi kewajiban? Apakah dibayarkan langsung atau tiidak? Sekarang sudah saatnya kita membicarkan masalah konsep tersebut.
Kalau kita tetap menginginkan pola ekonomi itu, ini tidak terlepas dari. Undang-undang Dasar dan Pancasila, di mana pasal 33 menyebutkan bahwa ekonomi (melalui koperasi) adalah usaha bersama dan kekeluargaan. Tentu saja perlu dijabarkan dalam bentuk peraturan-peraturan koperasi. Bahwa koperasi harus berkembang, tidak bisa ditolak. Nah sekarang, sebenarnya kita harus terpanggil untuk mempertanyakan konsepnya bagaimana? Bagaimana koperasi menurut Islam?
Belum seorang pun membicarakan konsep koperasi menurut Islam. tetapi sudah 'keburu', lembaga-lembaga Islam mendirikan koperasi, sesuai dengan aturan dari luar. Mereka menggunakan anggaran dasar sedemmian rupa. Tetapi praktek-praktek koperasi yang dijalankan kelompok-kelompok Islam, tidak pernah dipersoalakan apakah sesuai dengan mu'amalah yang harus kita patuhi? Sesuaikah dengan ajaran Islam? Ini belum pernah dijabarkan.
Masalahnya adalah karena kita belum membuat konsep. Saya sendiri belum mempunyai suatu konsep tertulis dan matang, tetapi pikiran-pikiran seperti di atas sudah lama muncul dan saya lontarkan di forum-forum tertentu, terutama di kalangan NU, setelah muktamar (1984). Terkadang dengan terlalu berani saya munculkan di forum-forum Syuriyah NU; Sekarang ini kita perlu mengurangi pembicaraan tentang masalah-masalah yang hanya menjawab halal dan haram! Ini bukan berarti kita tidak menyetujuinya.
Kalau kita sudah menyetujuinya sebagai yang halal, kita juga harus membicarkan pendekatan konseptualnya untuk umat. Kalau haram, kita diharuskan membicarakan bagaimana pemecahannya agar umat tidak menyimpang dari nilai-nilai Islam. Untuk itu perlu konsep. Konsep seperti apa? Kalau kansep itu bersifat individual tentu tidak mungkin diterapkan secara massal, sebelum diterima umum.
Uji coba yang sedang saya kembangkan belum sepenuhnya berupa koperasi. Saya masih membatasinya pada usaha bersama (UB). Sebab, saya telah mencoba membuat proposal untuk mengadakan diskusi mengenai pembangunan koperasi dalam bentuk qiradl. Tetapi hingga sekarang proposal itu belum ada yang setuju, sehingga dengan demikian saya belum bisa menerapkan koperasi sesuai dengan konsep yang sudah matang.
Keinginan saya, kalau ini bisa, hasil diskusi itu bisa dibukukan dan akan bermanfaat bagi anggota rnasyarakat yang membutuhkannya. Sekarang kita harus dapat menyusun konsep-konsep aktual. Masyarakat memang menerima bentuk koperasi. Namun apakah itu syirkah atau qiradl, itu soal lain. Tetapi akan ngawur saja, kalau bekerja tanpa memiliki konsep yang jelas. Kelompok-kelompok cendekiawan muslim dari berbagai sangat dibutuhkan keterlibatannya, karena itu tentu saja tidak bisa dengan biaya dan upaya individual.
Meskinya, gagasan itu tumbuh dari ormas-ormas Islam. Mengharapkan terjadinya pertumbuhan secara alami, akan sulit terjadi. Barangkali dalam hal ini, MUI bekepentingan berperan sebagai inisiator, untuk menumbuhkan gagasan itu dan melemparkannya kepada ormas Islam yang ada. Kalau perlu, bahkan mengeormas tersebut hingga mempunyai gagasan serupa. Kumpulkan cendekiawan-cendekiawan berdasarkan kelompok tertentu. Tetapi pertemuan itu tentu saja tidak berakhir begitu saja. Pertemuan itu harus diakhiri dengan perumusan suatu keputusan yang konseptual dan utuh.
Hasil seminar yang pernah kita lakukan, selalu tidak diikuti dengan implementasi. Hal itu bisa jadi karena konsep seminar berorientasi pada ilmu pengetahuan bukan beroritentasi pada strategi. Kita harus membedakan antara konsep yang berorientasi pada ilmu dan konsep yang berorientasi pada strategi. Namun konsep apapun harus dirumuskan dan implementabel.
Berkenaan dengan gagasan mewujudkan lembaga bait al-mal al-muntadhim, saya berpendapat, lembaga itu adalah wewenang pemerintah. Dalarn hal ini dana yang dapat dijadikan sumber adalah infaq dan shadaqah bisa pula ghanimah (harta rampasan perang). Namun masalah yang akan muncul kemudian adalah masaIah manajemen.
Yang terpenting adalah, soal kesamaan wawasan. Potensi umat Islam secara kuantitatif dan kualitatif dapat mendukung dan mengatasi masalah di atas. Saya melihat kenyataan itu. Di Jawa Tengah, kelompok pengusaha menengah muslim sangat banyak, bahkan ada di antaranya yang dapat dikategorikan sebagai kelompok atas. Jelas mereka mampu, tetapi wawasan dan kecenderungan belum ada titik singgung di antara kita. Titik temu itu perlu diusahakan. Tetapi siapa yang harus memprakarsai?
***
MASALAH kemiskinan sangat terkait dengan masalah lingkungan. Sebelum berbicara soal lingkungan menurut konsepsi Islam, lebih dahulu harus diklasifikasi masalah lingkungan dari segi fisik dan non-fisik. Dari segi non-fisik, ajaran Islam memang tidak menghendaki terjadinya kerusakan. Katakanlah kerusakan moral, tidak dikehendaki Islam.
Saya melihat, kaum muslimin sekarang ini sedang dihadapkan pada tantangan perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi telah mengiring masyarakat dari orientasi pada nilai-nilai Islam kepada orientasi pada nilai-nilai ekonomi. Ini berbahaya. Dewasa ini setiap kegiatan akan diperhitungkan sesuai dengan untung-rugi berdasarkan nilai ekonomi. Perbuatan apa pun dilakukan, tanpa memperhitungkan resikonya terhadap moral masyarakat, tapi didasarkan pada pertimbangan untung rugi secara ekonomi.
Berkenaan dengan lingkungan fisik, kita harus kembali kepada manusia untuk menggunakan dan memanfaatkan apa yang ada di alam ini, disertai upaya melestarikan lingkungan hidup. Sudah baran tentu, kalau manusia tidak memanfaatkannya, itu adalah mubazir dan bisa mencelakakan. Intinya bahwa penggunaan alam harus harus didasarkan pada rnanfaat dan maslahat.
Menurut ajaran Islam, kebutuhan dapat dibagi menjadi; pertama yang bersifa' dlaruri (primer) atau sifat hajji (mendasar) dan kedua yang bersifat sekunder. Manfaat dan maslahat memang sulit diukur, tetapi itu bisa dirasakan dan dilihat. Semuanya harus diarahkan pada kepentingan hidup, kepentingan bersama, kepentingan agama dan lain-lain. Tidak perlu membagi-baginya menurut kepentingan ukhrawi, kepentingan moral atau akhlak, kepentingan dunia dan lain sebagainya, karena tentu saja kepentingan ukhrawi tidak mungkin tanpa adanya kepentingan-kepentingan duniawi.
Selama ini majelis-majelis taklim, nampaknya belum menyentuh masalah-masalah seperti itu, belum menyentuh masalah-masalah riil dalam masyarakat. Masih berkisar pada masalah moral atau akhlak. Namun para ulama, saya kira tidak bisa disalahkan, karena antara ulama dan umara yang berwenang masih sering terjadi miskomunikasi. Masalah yang timbul seharusnya diinformasikan kepada para ulama. Kalau dalam masalah lingkungan, ulama masih bersikap statis, itu 1ebih disebabkan karena ketidaktahuan.
Belum adanya partisipasi mereka dalam hal ini, karena mereka tidak banyak mengelola masalah lingkungan. Itu sebabnya mereka masih terbatas pada masalah-masalah moral. Kalau mereka tahu, tanpa perlu dihirnbau, mereka akan berpartisipasi. Untuk itu komunikasi dan informasi masalah ini perlu digalakkan, karena masalahnya memang terletak di sana.
***
SUDAH jelas, Islam mendorong orang untuk bekerja. Ada hadits yang mengatakan, "Asyaddu al-naas 'azaban yauma al-qiyamah al-maghfiy al-bathil" (Siksaan paling berat pada hari kiamat, adalah bagi orang yang hanya mau dicukupi orang lain dan hidup menganggur). Al-Qur'an juga menyebutkan, "Apabila kamu telah selesai menunaikan shalat Jum'at, menyebarlah untuk mencari rezki Tuhanmu”.
Ada banyak hal yang menyebabkan terjadinya pengangguran. Faktor pendidikan yang rendah, keterampilan kurang memadai, di samping kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja terbatas. Anak-anak sekarang hanya menunggu pekerjaan, bukan mencari dan menciptakan pekerjaan. Yang saya maksudkan menunggu pekerjaan, adalah mencari pekerjaan pada lapangan kerja yang sudah mapan dan jelas. Sedangkan mencari kerja, adalah orang tidak hanya terfokus pada satu sasaran pekerjaan, namun berusaha secara kreatif menciptakan lapangan kerja.
Dalam mengatasi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, himbauan saya kepada kelompok muda adalah, jangan cepat putus asa. Sebab dengan putus asa, kreativitas mandeg. Bagaimana kecilnya kreativitas itu, ia akan selalu tumbuh dan berkembang.
SENI DAN DAKWAH
AKAL manusia bukanlah satu-satunya potensi absolut yang mampu memecahkan segala persoalan hidupnya. Manusia di samping dibekali pikir, juga diberi "rasa" dan "nafsu". Kemampuan pikir akan berkurang atau bisa hilang, apabila rasa dan nafsu tidak sejalan dengan pikir. Ketidakserasian antara fungsi-fungsi kejiwaan (pikir, rasa, nafsu), dapat mengguncang kehidupan. Di sini unsur seni sangat mempengaruhi keserasian fungsi kejiwaan, karena seni rnerupakan manifestasi dari budaya (pikiran, perasaan, kemauan dan karsa) manusia yang memenuhi syarat-syarat estetik.
Dalam kedudukan mulia itu, manusia diberi status khusus sebagai khalifatullah dalam kehidupan di muka bumi ini. Bekal yang diberikan kepadanya adalah kekuatan fisik (quwwatun ‘amaliyah) dan kekuatan berpikir (quwwatun nadhariyah) yang dilengkapi dengan rasa dan nafsu. Nafsu manusia tidak selamanya mendorong ke arah yang positif. Bahkan kecenderungan ke arah negatif pada umumnya lebih kuat, terutama bila pikir dar rasa manusia tidak mampu mengendalikan. Di sinilah, manusia dalam- kehidupan sosial sebagai khalifah Allah dituntut dan punya tanggung jawab untuk ber-amar ma’ruf dan ber-nahi munkar yang dengan kata lain dapat disebut dakwah. Nilai lebih dakwah melalui kegiatan seni adalah, cara ini mampu menyentuh dimensi rasa dan kesadaran lebih dalam.
Secara teoritis Islam memang tidak mengajarkan seni dan estetika (keindahan), namun tidaklah berarti Islam anti seni. Ungkapan bahwa Allah adalah jamil (indah) dan mencintai jamal (keindahan) serta penyebutan Allah pada diriNya sebagai badi'us samawat wal ardl,
merupakan penegasan bahwa Islam pun menghendaki kehidupan ini indah dan tidak lepas dari seni. Arti badi' adalah pencipta pertama dan berkonotasi indah. Berarti, Allah mencipta langit dan bumi dengan keindahan.
Seni hadrah/rodat (terbagan, Jawa) yang merupakan sunnah Rasul yang dianjurkan pada saat menyambut datangnya kegembiraan seperti walimah pengantin, juga merupakan petunjuk bahwa Islam mengenal seni dan budaya, bahkan berperadaban tinggi. Banyak kalimat-kalimat seperti: zinah (hiasan) di dalam Al-Qur'an yang secara implisit mengandung unsur seni dan keindahan. Zinah yang berarti hiasan, tentu saja mengandung nilai seni.
Seni dengar alat bahasa atau seni sastra yang dikandung Al-Qur’an kiranya cukup jelas dapat dipelajari dari ilmu badi’/balaghah dan ilmu ‘arudl. Bahasa A1-Qur'an di samping bahasa analitik juga utamanya sebagai bahasa estetik. Pengaruh sastra Islam ini meluas pada bahasa-bahasa lain yang dipakai umat Islam.
Memang seni tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kesenian seperti di atas, yang merupakan rnanifestasi dari pikir, rasa, karsa dan karya yang bersifat estetik. merupakan bagian dari kehidupan manusia, atau fitrah manusia. Ia hidup dan berkembang. Islam pada dasarnya membenarkan adanya seni dengan berbagai cabangnya, sepanjang tidak melalaikan Allah dan tidak menimbulkan kemungkaran.
Pengakuan seni oleh Islam tidak lepas dari fitrah manusia yang menuntut keserasian dan keseimbangan antara unsur-unsur pikir, rasa, karsa dan karya. Dari sisi fungsinya, seni dapat menjadi media mensyukuri nikmat Allah, di mana Allah telah menganugerahi manusia berbagai potensi, baik potensi rohani, mau pun potensi inderawi (mata, telinga, dan lain-lain). Fungsi seni di sini ialah menghayati sunnah Allah, baik pada alam, mau pun yang terdapat pada kreasi manusia.
***
DAKWAH hakikatnya merupakan risalah bagi setiap mukmin, seperti ditegaskan dalam surat Al-Taubah ayat 71. Perintah Rasulullah yang masih terus berlaku itu menuntut tanggung jawab pelaksanaannya sepanjang masa, tidak hanya di dalam waktu tertentu dan situasi tertentu. Pada tingkat realisasi, dakwah Islamiyah tetap erat kaitannya dengan lima unsur, yakni juru dakwah (da'i), sasaran (masyarakat), materi, metode dan media dakwah. Dalam hal ini, seni rnerupakan media dakwah yang efektif menyentuh kesadaran bagi sasaran dakwah.
Kenyataan kondisi sasaran dakwah yang sering kita lihat, menuntut juru dakwah memberikan alternatif materi yang menyentuh kebutuhan mereka. Ini artinya, metoda dan media dakwah juga diharapkan sesuai dengan situasi tersebut. Juru dakwah harus menguasai substansi dakwah, di samping menguasai metoda dan media dakwah, melalui lisan/suara (bi al-lisan), dengan jari tangan (bi al-banan) seperti tulisan, lukisan, gambar dan alat visual lainnya, ataukah dengan organ tubuh yang lain (bi al-arkan) seperti sikap, perilaku dan perbuatan nyata (da’wah bil hal).
Dalam surat Ali Imran ayat 110 Allah menegaskan predikat manusia sebagai "khaira ummatin" (umat terbaik), dengan ketentuan mampu tampil di tengah-tengah masyarakat, beramar ma'ruf nahi munkar, serta beriman kepada Allah. Kegiatan ini menuntut keterampilan dan penampilan sesuai dengan pluralitas masyarakat. Pilihan metoda hikmah, mau'idhah hasanah atau mujadalah bil ahsan menjadi penting, melalui media-media yang mudah dijangkau untuk mendukung strategi dakwah.
***
SATU hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan strategi dan taktik dakwah adalah mencoba melihat sistem budaya lokalnya. Pengembangan dakwah seringkali lebih mampu dicapai melalui pendekatan kultural, ketimbang pendekatan formal struktural yang hanya dapat dilakukan pada bagian kecil dari ajaran formal yang berwatak legalistik. Sebagai contoh bisa diambil, bagaimana dakwah Islamiyah di lakukan dalam kultur Jawa.
Sistem budaya Jawa, adalah sistem budaya yang dikembangkan oleh dua pusat kekuasaan di masa lampau, Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Dalam pandangan budaya Jawa, makna hidup bagi seseorang terletak kepada kemampuannya mentaati etika moral yang berlaku. Derajat moralitas seseorang akan terlihat dari cara orang tersebut berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam, atau cara orang itu bergerak dalam ruang dan waktu. Dalam sistem budaya ini, pedoman mengenai moralitas dibakukan dalam ungkapan-ungkapan standar yang tetap.
Ungkapan seperti, "Gusti Allah ora sare" yang sering disebutkan pada saat orang tidak berdaya menghadapi
ketidakadilan, memperlihatkan suatu nilai imani dan tawakal yang penuh. Prinsip hidup yang dipenuhi keseimbangan dan kesederhanaan yang tercermin dalam ungkapan “urip sing sarwa samadya”, menunjukkan ajaran iqtishad dan tawazun dalam ajaran Islam, serta nilai zuhud.
Contoh ungkapan-ungkapan itu menunjukkan, pada dasarnya pedoman moralitas yang menjadi falsafah hidup masyarakat Jawa tidaklah bertentangan dengan Islam. Bahkan integrasi nilai-nilai Islam dalam sistem budaya Jawa secara ideal tidak mengalami hambatan. Dakwah Islamiyah dengan pendekatan kultural di sini berarti, sejauhmana ajaran dan nilai-nilai Islam mengisi secara integratif sistem budaya Jawa yang masih dapat dilestarikan dalam situasi Indonesia kontemporer, di mana gaya hidup menuntut sikap dinamis, kreatif dan berpartisipasi aktif.
Sedangkan terhadap pedoman moralitas budaya Jawa yang cenderung melemah -dalam arti tidak mampu memberikan cara-cara terbaik untuk menghadapi perubahan- misalnya ungkapan “alon-alon waton kelakon” yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kini, dakwah Islamiyah harus mampu menawarkan alternatif konsep etos kerja dan dinamika dalam Islam.
***
DAL.AM pengertian yang luas, dakwah Islamiyah punya kaitan simbiosis dengan seni budaya, di mana makna dan nilai-nilai Islam dapat dipadukan. Narnun dalam hal ini perlu adanya konsep dakwah yang strategis dan lumintu, dengan pengelolaan secara profesional yang mampu mengakomodasi segala permasalahan sosial. Di sini, seni dan budaya dapat menjadi metoda atau media dakwah, namun juga menjadi sasaran antara bagi dakwah Islamiyah itu sendiri.
Sebagai nnedia atau metoda, seni budaya mempunyai proyeksi yang mengarah pada pencapaian kesadaran kualitas keberagamaan Islam yang pada gilirannya mampu mernbentuk sikap dan perilaku Islami yang tidak menimbulkan gejolak sosial, tetapi justru makin memantapkan perkembangan sosial. Sedangkan sebagai sasaran antara, dakwah Islamiyah diarahkan pada pengisian makna dan nilai-nilai Islarni yang integratif ke dalam segala jenis seni dan budaya yang akan dikembangkan.
Realitas menunjukkan secara menyolok, bahwa secara kuantitatif, Islam di Indonesia makin mendapatkan tempat yang luas di kalangan masyarakat, baik dari kelompok remaja mau pun tua. Ini tidak berarti ada pengembangan Islam. berkembangnya jumlah pemeluk agama menunjukkan perkembangan kepedulian masyarakat terhadap agama itu, namun tidak berarti bahwa ajaran agama secara substansial juga berkembang.
Sebuah hipotesis rnenunjukkan, bahwa kualitas keberagamaan Islam di kalangan masyarakat cenderung melemah, akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem dan orientasi nilai.
Di sinilah pentingnya reformulasi konsep dakwah Islamiyah yang utuh dan strategis, dalam rangka meningkatkan kualitas keberagamaan Islam, sekaligus kualitas hidup, sehingga pada gilirannya dapat dicapai cita-cita yang serba maslahah dan sa'adah, sa'adatud darain.
PROFESIONALISME PENGELOLAAN ZAKAT
SEBAGAI salah satu rukun Islam, zakat adalah fardlu 'ain dan kewajiban ta'abbudi. Dalam al-Qur’an perintah zakat sama pentingnya dengan perintah shalat. Namun demikian, kenyataannya rukun Islam yang ketiga itu belum berjalan sesuai dengan harapan. Pengelolaan zakat di masyarakat masih memerlukan bimbingan dari segi syari'ah mau pun perkembangan zaman. Pendekatan kepada masyarakat Islam masih memerlukan tuntunan serta metode yang tepat dan mantap.
Orang yang membayar pajak (muzakki) misalnya, masih melaksanakan kewajibannya secara terpencar. Pembagian zakat pun rnasih jauh dari memuaskan. Ini perlu penataan dengan cara melembagakan zakat itu sendiri. Penataan ini tidak hanya terbatas dengan pembentukan panitia zakat saja. Lebih dari itu, penataan hendaknya juga menyangkut aspek manajemen modern yang dapat diandalkan, agar zakat menjadi kekuatan yang bermakna.
Penataan itu menyangkut aspek-aspek pendataan, pengumpulan, penyimpanan, pembagian dan yang menyangkut kualitas manusianya. Lebih dari itu, aspek yang berkaitan dengan syari'ah tak bisa kita lupakan. Ini berarti kita memerlukan organisasi yang kuat dan rapih. Menurut 'kitab kuning', barang-barang yang wajib dizakati adalah emas, perak, simpanan, hasil bumi, binatang ternak, barang dagangan, hasil usaha, rikaz dan hasil laut. Mengenai zakat binatang ternak, barang dagangan dan emas perak, hampir tidak ada perbedaan antara para ulama dan imam mazhab. Sedangkan mengenai zakat hasil bumi, ada beberapa perbedaan di antara mazhab empat.
  1. Menurut Imam Abu Hanifah, setiap yang tumbuh di bumi, kecuali kayu, bambu, rumput dan tumbuhtumbuhan yang tidak berbuah, wajib dizakati.
  2. Menurut Imam Malik, semua tumbuhan yang tahan lama dan dibudidayakan manusia wajib dizakati, kecuali buah-buahan yang berbiji seperti buah pir, delima, jambu dan lain-lain.
  3. Menurut Imam Syafi’i setiap tumbuh-tumbuhan makanan yang menguatkan, tahan lama dan dibudidayakan manusia, wajib dizakati.
  4. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, biji-bijian, buah-buahan, rumput yang ditanam wajib dizakati. Begitu pula tumbuhan lain yang mempunyai sifat yang sama dengan tamar, kurma, mismis buah tin dan mengkudu, wajib dizakati.
Sedangkan untuk hasil bumi seperti tembakau dan cengkih, wajib dizakati apabila diperdagangkan. Dengan demikian, ketentuannya sama dengan zakat tijarah (perdagangan), bukan zakat zira’ah (hasil bumi).
Bagaimana dengan gaji dan penghasilan dari profesi? Menurut Imam Syafi’i, tidak wajib dizakati. Sebab kedua hal tersebut tidak memenuhi syarat haul dan nisab. Tetapi bukankah gaji diberikan tiap bulan? Dengan demikian, gaji setahun yang memenuhi nisab itu hanya memnuhi syarat hak, tidak memenuhi syarat milik. Padahal benda yang wajib dizakati harus merupakan hak milik. Gaji maupun upah jasa lainnya, kalaupun dikenakan zakat, adalah zakat mal, jika memang sudah mencapai nisab dan haul.
Penghasilan dari industri juga wajib dizakati. Ini dikiaskan dengan barang dagangan dan hasil usaha. Sebab tidak ada industri yang tidak diperdagangkan. Sedang uang, asal memenuhi nisab dan haul, menurut Imam Maliki, wajib dizakati. Imam Maliki mengkiaskan uang dengan emas.
Ketentuan-ketentuan barang yang wajib dizakati tersebut, menurut hemat saya, relevan dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi kita.
***
HAMPIR tidak ada perbedaan pendapat di antara mazhab empat dalam masalah nisab dan haul barangbarang yang wajib dizakati. Misalnya, untuk emas nisabnya 20 dinar dengan zakat 2,5 persen. Begitupun, untuk barang dagangan, bila nilainva mencapai 20 dinar, wajib dizakati 2,5 persen. Emas/perak dan barang dagangan wajib dizakati apabila pemilikannya mencapai 1 tahun (haul).
Untuk hasil bumi tanpa haul. Setiap kali panen harus langsung dizakati. Nisabnya 5 wasak. Tentang binatang ternak, juga sudah ada ketentuannya sendiri.
Dalam masalah nisab dan haul ini, karena ketentuan yang ada sudah demikian rinci, yang perlu kita lakukan adalah mengkonversikannya dengan ketentuanketentuan yang ada di negara kita. Misalnya, satu dinar sama dengan berapa rupiah, satu wasak itu berapa kilogram, dan seterusnya.
Dalam masalah mustahik (yang berhak menerima zakat juga tidak ada perbedaan pendapat. Sebab mustahiq sudah jelas disebutkan dalam surat al-Taubah ayat 60. Mustahiq adalah faqir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu sabil. Para mustahiq tersebut biasa disebut asnaf al-tsamaniyah (delapan kelompok).
Yang masih sering diperdebatkan adalah tentang kategori masing-masing mustahiq, terutama untuk sabilillah..Jumhur ulama berpendapat, sabilillah adalah perang di jalan Allah. Bagian untuk sabilillah diberikan kepada para angkatan perang yang tidak mendapat gaji dari pemerintah. Tetapi menurut Imam Ahmad bin Hanbal, bagian zakat untuk sabilillah bisa ditasharufkan (digunakan) untuk membangun madrasah, masjid, jembatan dan sarana umum lainnya.
Agar zakat berdayaguna dan tepat guna, kita perlu mengambil pengertian “sabilillah" dalam makna yang luas, tidak membatasi pada pengertian berperang saja. Kalau kita sepakat mengambil pengertian yang luas, maka segala hal yang berkaitan dengan maslahat umum termasuk dalam kategori sabilillah.
***
AGAR pelaksanaan pengumpulan dan pentasharrufan zakat bisa berjalan dengan sebaik-baiknya, maka terlebih dahulu harus dilakukan upaya pendataan terhadap muzakki, barang yang wajib dizakati dan mustahiq zakat.
Sering kali keengganan para 'wajib pajak' timbul karena kita main hantam kromo saja. Dengan pendataan yang cermat terhadap muzakki dan harta benda yang dimiliki, diharapkan para wajib zakat tidak enggan lagi meaksanakan kewajibannya. Demikian juga dengan pendataan yang teliti terhadap mustahiq, diharapkan pembagian zakat lebih tepatguna.
Menurut Imam Syafi’i, pengumpulan zakat harus berupa barang yang dizakati itusendiri, kecuali untuk barang dagangan. Artinya, untuk hasil bumi, maka yang ahrus dizakatkan adalah hasil bumi itu sendiri. Pengumpulan zakat tidak bisa diganti dengan uang misalnya, meski senilai barang yang dizakati. Namun untuk barang dagangan, zakat harus berupa uang. Pedagang konveksi misalnya, tidak boleh mengeluarkan zakat dalam bentuk barang-barang konveksi, seperti baju, celana dan lain sebagainya.
Begitu pula pembagiannya harus berupa barang yang dizakati itu sendiri. Zakat hasil bumi harus dibagi berupa hasil bumi. Zakat hewan ternak harus dibagi berupa hewan ternak. Karena pembagiannya harus berupa barang yang dizakati itu sendiri, maka sudah barang tentu, penyimpanannya juga harus berupa barang itu sendiri.
Ditinjau dari segi teknis, hal itu tidak praktis. Sebab sekarang ini barang sebesar apapun bisa dilipat dan dimasukkan dalam kantong, sebab bisa diwijudkan menjadi lembaran-lembaran uang. Bahkan sekarang uang pun bisa diringkas lagi meenjadi cheque (cek). Pengumpulan, penyimpanan dan pembagian yang mensyaratkan barang yang dizakati itu sendiri tidak praktis ditinjau dari segi waktu, tenaga dan tempat yang dibutuhkan untuk keperluan itu.
Tentang petugas pengumpul dan pembagi zakat biasanya disebut ‘amil. Hal ini sesungguhnya salah kaprah. Yang disebut dengan amil, sebgaimana dalam masyarakat kita, sesungguhnya baru panitia zakat. Sedangkan amil seharusnya diangkat oleh pemerintah, yang boleh mengambil bagian zakat. Organisasi sosial keagamaan, atau institusi apapun, tidak berhak membentuk amil zakat.
Menurut ketentuan fiqih, jika pemerintah (imam) mengumpulkan zakat, ia bebas menyerahkan hasil pengumpulan kepada mustahiq dalam bentuk apapun, baik berupa modal mau pun alat-alat kerja.
Pemabagian zakat, menurut Imam Syafi’i, harus di antara delapan asnaf. Tapi menurut qaul yang lain, zakat boleh diberikan kepada mustahiq tertentu saja.
***
PENGELOLAAN zakat secara profesional memerlukan tenaga yang terampil, menguasi masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur dan amanah. Tidak bisa kita bayangkan bila pengelola zakat tidak menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, seperti soal muzakki, nisab, haul dan mustahiq zakat. Begitu pula sulit dibayangkan apabila pengelola zakat tidak penuh dedikasi, bekerja lillahi ta’ala. Banyak ekseakan terjadi.
Lebih-lebih bila pengelola zakat tidak jujur dan amanah. Kemungkinan yang akan terjadi adalah zakat tidak sampai kepada mustahiq, dan mungkin pula hanya dipakai untuk kepentingan pribadi saja.
Oleh karena itu, tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, jujur dan amanah sangat dibutuhkan dalam sistem pengelolaan zakat yang profesional.
Zakat adalah ibadah sosial yang formal, terikat oleh syarat dan rukun tertentu. Dalam upaya pembentukan dana, sesungguhnya zakat tidak sendirian. Jika keperluannya ialah penyantunan fakir miskin, sesungguhnya fiqih telah menetapkan kewajiban lain atas hartawan muslim untuk menyantuni mereka. Kewajiban ini jika dikembangkan justru merupakan potensi lebih besar ketimbang zakat.
Kewajiban itu adalah memberikan nafaqah (nafkah). Menurut ketentuan fiqih, bila tidak ada baitul mal, maka wajib bagi para hartawan untuk memberi nafkah kepada fakir miskin. Nafaqah berbeda dengan shadaqah, sebab shadaqah adalah ibadah sunnah, sedangkan nafaqah bersifat wajib.
Shadaqah juga bisa dijadikan alternatif pemecahan masalah sosial. Sebab, seperti juga nafaqah, shadaqah tidak terikat ketentuan nisab dan haul, sebagaimana zakat. Orang boleh saja bershadaqah kapan saja dan berapa saja.
Sebagai alternatif, nafaqah dan shadaqah banyak memberikan kemungkinan. Lebih-lebih bila diingat, di negara kita tidak ada baitul mal. Maka nafaqah sebagai ibadah wajib, perlu digalakkan pelaksanaannya. Demikian juga untuk pengembangan dan pembangunan masyarakat kita perlu menghimpun dana melalui shadaqah.
ISLAM DAN SISTEM PEREKONOMIANNYA
KEADAAN ekonomi kita pada tahun 1990-an perlu perhatian khusus kaitannya dengan upaya mencapai era tinggal landas yang selama ini dicita-citakan. Berbagai situasi perekonomian dunia begitu mewarnai -dalam beberapa hal- bahkan menentukan arah perekonomian kita.
Sebagai negara berkembang, peran luar negeri memang dibutuhkan. Bantuan berupa pinjaman utang diupayakan sebagai penopang situasi moneter yang belum sepenuhuya stabil. Selama 25 tahun kita berada dalam kondisi seperti ini. Hal ini bukanlah merupakan gambaran ketidakmapanan tatanan ekonomi, akan tetapi bantuan pinjaman itu sendiri adalah rentetan proses menuju terwujudnya neraca berimbang yang tidak fluktuatif dan mudah tergoyang oleh gelombang pasang surut perekonomian dunia dalam skala global.
Teori ekonomi umum menyebutkan, hadirnya bantuan luar negeri akan merangsang timbulnya ketergantungan struktural dari pihak penerima utang kepada negara donor. Hal ini bukan tidak mungkin terjadi, apabila pihak penerima utang menjadikan bantuan tidak hanya sebagai penopang, tetapi juga sebagai tiang utama ekonomi. Ditambah lagi, bahwa pihak pengutang tersebut dituntut membenahi sistem perekonomiannya sendiri, seperti peningkatan partisipasi modal swasta dalam banyak lahan.
Kita tahu dalam tahun anggaran 1992-1993, pemerintah bertekad menghapus ketergantungan bantuan luar negeri yang berlebihan. Dalam beberapa sektor industri dan sektor lainnya kita berharap situasi perekonomian kita dapat lebih rnantap dan stabil. Dalam Pelita V pemerintah bermaksud menggalakkan industrialisasi sumber-sumber ekonomi umat dan bangsa ini bersamaan dengan makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dapat ditawar lagi.
***
BERPANGKAL dari keberadaan manusia sebagai subyek dan obyek ekonomi -produsen dan juga konsumen- maka kecuali upaya pembenahan sistem ekonomi seperti peningkatan partisipasi permodalan swasta, hal yang tak kalah pentingnya adalah menggarap keterampilan dan daya kemampuan pelaku ekonomi itu sendiri, yang berkaitan dengan usaha atau ikhtiar manusia.
Manusia sebagai subyek ekonomi, yang dalam kelompok besar disebut umat, oleh Islam dibebani (mukallaf) untuk berikhtiar sesuai dengan kadar potensinya. Taklif (pembebanan) ini berimplikasi pada banyak hal. Dalam disiplin fiqih -meskipun ekonomi sendiri bukan merupakan komponen fiqih- ikhtiar dalam arti yang luas disinggung karena erat kaitannya dengan usaha ekonomi. Kita mengenal pasal-pasal mu'amalat sebagai modifikasi hukum yang mengatur bentuk-bentuk transaksi perekonormian secara lengkap dan terinci.
Menyinggung perihal ikhtiar dalam perekonomian, kita ingat akan sebuah hadis yang kurang lebih artinya, "Bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi adalah wajib (fardlu) setelah kewajiban yang lain". Interpretasi hadits ini akan melahirkan kelompok-kelompok manusia produktiif atau manusia bersumberdaya tinggi yang sekaligus merupakan inti perekonomian. Berangkat dari kenyataan bahwa Allah tidak; memberi rizki dalam bentuk jadi dan siap digunakan, melainkan hanya dipersiapkan sebagai sarana dan sumber daya alam, rnaka sudah barang tentu untuk mengolahnya, mengikhtiari dalam bentuk industri dan Lain-lain, sangat dibutuhkan kehadiran manusia produktif.
Manusia produktif secara definitif adalah suatu kelompok entrepreneur yang berciri antara lain, peka terhadap kebutuhan lingkungan sekelilingnya, menguasai informasi dan memiliki dinamika serta kreativitas yang tinggi, sehingga mampu menciptakan -bukan hanya mencari- lapangan kerja dan menumbuhkan wawasan ekonomi yang luas. Manusia yang berpotensi seperti inilah yang dikehendaki Islam lewat hadits Nabi yang kurang lebih berarti, "Orang mukmin yang kuat (punya potensi) lebih baik ketimbang mukmin yang lemah".
Dari hadits ini saja, kita bisa menemukan pandangan Islam yang proporsional terhadap ekonomi. Sikap ikhtiar dapat menghindarkan manusia dari sikap fatalistik (berserah pada nasib) yang secara tegas telah dilarang oleh Allah dalam surat Yusuf ayat 87, "Janganlah kamu sekalian berputus asa atas rahmat Allah. Tiada orang yang berputus asa kecuali orang-orang kafir".
Beberapa hadits Nabi secara tegas memerintahkan ikhtiar dan menempatkannya sebelum tawakal. Tawakal sebagai suatu nilai iman yang sangat luhur tidak bisa diartikan berlawanan dengan ikhtiar, bahkan harus saling berkaitan antara keduanya. Hal ini diisyaratkan oleh Nabi ketika seorang Badui berkata kepadanya, "Aku lepas ontaku (tanpa kendali) dan aku hanya bertawakal.” Serta merta Rasul bersabda, "Ikatlah dulu ontamu dan kemudian bertawakallah".
***
MEMANG membicarakan masalah ekonomi dari sudut pandang Islam, rasanya perlu pembahasan kompleksitas masalah lebih terinci dan saling melengkapi. Nabi sebagai uswatun hasanah dalam sejarah sewaktu hijrah ke Madinah telah memerintahkan dibangunnya pasar setelah sempurnanya pembangunan masjid di kota tersebut. Ini tentu saja bukan sekadar bangunan fisik sebagai pusat sirkulasinya berbagai komoditas, namun merupakan simbol yang menggambarkan betapa pentingnya “pemasaran'' dalam dunia perekonomian.
Lebih jauh lagi perintah Nabi tersebut oleh para ekonom Islam dijadikan sebagai ilham dalam menetapkan pokok-pokok perekonomian secara umum yang ternyata sampai abad ini masih dipakai dan dikenal. Dalam hal ini, Imam Abu Muhammad al-Hubaisyi menggariskan ushul al-makasib (pokok sumber ekonomi) dalam tiga hal, yaitu pertanian, perindustrian (termasuk juga kerajinan) dan perdagangan.
Tiga komponen itu saling berkaitan secara komplementer dalam sirkulasi ekonomi. Bahkan perdagangan (tijarah) mendominasi sirkulasi tersebut karena konsumsi hidup manusia tentu tidak dapat hanya dipenuhi dengan hasil pertanian dan industri semata, namun juga memerlukan pemasaran.
Kembali kepada masalah peningkatan peran modal dalam perekonomian, Islam sama sekali tidak mengenal sistem kapitalis yang berinti pada bebasnya kepemilikan setiap individu tanpa batas-batas tertentu, sehingga setiap pemilik modal dapat berbuat sewenang-wenang, tanpa memperhatikan posisi ekonomi kaum dlu’afa dan fakir miskin yang pada gilirannya akan menumbuhkan watak indivialistik dan monopoli. Jadi yang penting soal distribusinya. Berlakunya kapitalisme yang mengabaikan distribusi hanya akan membenarkan statemen, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.
Islam membenarkan pemilikan perseorangan. Berbagai firman Allah dan hadist Nabi tentang hal ini begitu banyak kita temukan. Akan tetapi secara tegas dan jeas, esensi kapitalisme yakni monopoli dan eksploitasi, sangat dihindari oleh Islam. Dalam hal ini Islam memiliki aturan-aturan pembatas seperti zakat, warisan, wasiat dan larangan menimbun kekayaan, demi pemerataan dan kelancaran peredaran ekonomi umat. Pada hakikatnya Allah justru menyukai orang yang kaya akan tetapi dengan syarat, ia harus bersikap taqiy (takwa). Artinya dengan kekayaan, seserang dituntut memiliki solidaritas sosial yang tinggi.
Demikian juga halnya dengan sistem perekonomian sosialis yang bertumpu pada sentralisasi kepemilikan negara, tanpa memberi kesempatan sama sekali kepada pemilikan perorangan atau swasta untuk bekerja mengembangkan ekonomi. Yang terjadi dalam sistem itu justru bentuk-bentuk pengekangan kreativitas, penyumbatan potensi dan bahkan kemunduran-kemunduran yang jelas bertentangan dengan konsep-konsep Islam.
Dari keseluruhan daftar normatif syari'at-syari'at Islam, nampak perlunya pembenahan dan peningkatan terhadap usaha-usaha yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dalam menggalakkan pembangunan sektor ekonomi. Berbagai distorsi sebagai akibat lajunya pertumbuhan ekonomi, seperti monopoli dan sejenisnya, begitu dini terantisipasi oleh Islam.
Dengan demikian, perilaku ikhtiar haruslah seimbang dengan tawakal dalam pesatnya perekonomian sekarang ini. Sikap ikhtiar jangan sampai beralih menjadi sikap serakah yang selalu berorientasi pada perhitungan untung rugi secara kebendaan. Dan sikap tawakal jangan sampai membuat orang fatalis. Keduanya harus seimbang. Bila hal itu merosot, norma-norma religius akan semakin tersisih dan budaya sekuler akan lebih berkembang secara leluasa. Umat pun kian lupa, kehidupan akhirat lebih baik ketimbang kehidupan dunia.
AGENDA MORAL
BAGI GERAKAN EKONOMI ISLAM
GERAKAN Islam di Indonesia perlu disimak kemhali, direfleksikan lebih dalam, kemudian dibentangkan ke depan agar lebih jelas relevansinya dengan berbagai masalah kekinian dan keakanan sebagai tantangan yang harus dihadapi oleh umat di Indonesia. Penyimakan gerakan Islam secara multi dimensional yang mengacu pada agenda-agenda riil yang dihadapi umat Islam, akan membantu memudahkan pencarian strategi yang utuh, obyektif dan efektif untuk mencapai sasaran bagi gerakan itu sendiri.
Dimensi sosial-ekonomi sebagai garapan utama bagi gerakan, yang menjadi tolok ukur bagi kesejahteraan kehidupan umat Islam di Indonesia, ia tidaklah berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan erat dengan ihwal dan sikap mental masyarakat sebagai pelaku ekonomi, sekaligus sebagai sasaran gerakan. Pengaruh dan tantangan bagi gerakan ini, juga muncul dari kompleksitas masalah politik, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pluralitas garapan bagi gerakan Islam di Indonesia yang ada saat ini, pada dasarnya merupakan potensi tersendiri, bila aktualisasinya mampu memenuhi pluralitas pandangan dan wawasan di berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek itu meskipun dibedakan secara diferensial, namun satu dengan yanglain saling berinteraksi dalam proses pencapaiannya.
Karena itu, aktualisasi gerakan Islam yang beragam menuntut adanya interaksi dalam prosesnya yang strategis, untuk menghindarkan benturan-benturan atau kesenjangan. Antara gerakan ekonomi yang terkesan berwatak material dan gerakan dakwah yang lebih berwatak material dan gerakan dakwah yang lebih berkesan mengedepankan moralitas dan spiritualitas misalnya, mesti ada interaksi, untuk menghindari ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan yang bertentangan dengan gagasan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
***
HARUS diakui, belakangan ini muncul gerakan Islam yang beragam bentuk dan aksinya. Mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa, kaum remaja sampai golongan tua, terlibat dalam berbagai gerakan Islam, yang bergerak secara sporadis dan parsial mau pun yang diwadahi oleh lembaga, yayasan dan organisasi kemasyarakatan Islam. Secara umum kenyataan ini lahir lahir dari adanya kesadaran kritis atas aneka ragam tantangan, akibat transformasi sosial, teknologisasi dan globalisasi di berbagai bidang.
Gerakan sebagai wahana dinamisasi gagasan itu telah mampu memperluas wawasan sosial dan mempertajam kepekaan masyarakat untuk mengantisipasi masalah keakanan, meski belum menawarkan solusi alternatif. Meskipun visi dan motifnya sama, gerakan Islam punya titik tekan dan strategi yang beragam. Ada yang menitiktekankan dakwah Islamiyah, pendidikan kebudayaan, kesenian, kesehatan dan perekonomian.
Namun gerakan yang bergerak di bidang ekonomi masih sangat kecil secara kuantitatif maupun kualitatif. LSM/LPSM (Lembaga Swadaya Masyarakat/Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat) Islam yang pada umumnya menekankan kegiatannya pada peningkatan kualitas hidup masyarakat (khususnya ekonomi) masih sangat sedikit. Kalau toh ada, sebagian besar terbatas pada lingkup daerah, belum berskala nasional. Dari segi manajemen, mereka belum mapan. Soal dana juga masih sangat dependen, tergantung pada founding atau lembaga donor luar negeri.
Sekian banyak ormas Islam yang ada juga belum serius menangani peningkatan ekonomi umat Islam di sektor taktis mau pun strategis. Di sana sini, gerakan mereka sekadar merespon peluang-peluang sesaat yang muncul di sela-sela kompetisi pelaku ekonomi dominan. Tentu saja kondisi itu tidak memberikan harapan dan prospek bagi umat Islam, kecuali hanya mengatasi kendala-kendala internal.
Tantangan di masa depan hampir dapat dipastikan makin berat. Berat karena kesiapan umat Islam menghadapi era tingggal landas dan era industrialisasi sangat lemah, akibat rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan dan permodalan. Tidak mustahil, mereka kembali akan terposisikan sebagai obyek mobilisasi dan eksploitasi pelaku-pelaku ekonomi di tengah kompetisi global.
Gerakan-gerakan Islam di bidang ekonomi sekaligus dituntut mampu menggerakkan solidaritas sosial di kalangan umat Isam. Agenda lain adalah menumbuhkan etos kerja dan kepedulian akan perlunya sistem manajerial yang mempunyai daya saing untuk menghadapi kemungkinan dominasi ekonomi golongan tertentu.
Lemahnya etos kerja selama ini, adalah karena kecilnya sumber daya insani di kalangan kaum muslimin. Sementara itu, sikap konsumtif cenderung meningkat tanpa diimbangi sikap yang produktif. Salah satunya, ini merupakan dampak dari kecenderungan hidup serba praktis dan pragrnatis. Lebih ironis lagi, bersamaan dengan sikap konsurntif itu, muncul sikap materialis.
***
PANDANGAN orang tentang hidup ini selalu beda-beda. Bagi umat Islam, hidup bukan sekedar untuk hidup. Hidup bukanlah tujuan. Kehidupan manusia merupakan proses yang akan berakhir di dunia ini dengan datangnya kematian. Sebagai proses, maka hidup tentu memerlukan berbagai sarana. Sarana yang paling mendasar secara fisik adalah kesehatan dan ekonomi. Namun dua hal ini mempunyai dimensi moral dan spiritual bagi manusia.
Model pembangunan yang difokuskan padaa pertumbuhan ekonomi, cenderung memisahkan dan mengasingkan aspek moralitas ini. Akibatnya, gerakan ekonomi selalu berhadapan secara antagonis dengan sistem nilai moral dan spiritual. Gerakan ekonomi berjalan bebas tanpa nilai dan menciptakan logikanya sendiri. Kompetisi yang muncul berjalan tanpa kontrol, dan cenderung ke arah individualisme, materialisme dan konsumerisme.
Kemiskinan nilai moral dan spiritual itu, mendorong masyarakat ekonomi maju berpandangan eksploitatif terhadap manusia dan alam. Gerakan Islam di bidang ekonomi dituntut mampu membentuk masyarakat Islam yang mempunyai integritas aspek moral dan aspek ekonomi secara utuh.
Pengembangan aspek ekonomi itu sendiri merupakan proses interaksi dari serangkaian upaya peningkatan sarana yang menunjang bagi kehidupan manusia. Penumbuhan etos kerja yang diarahkan pada kualitas sumber daya manusia yang seimbang dengan sumber daya alam mau pun penyediaan dan penciptaan lapangan kerja, merupakan agenda besar bagi gerakan ekonomi Islam. Ini akan menjamin pada penciptaan keadaan ekonomi yang seimbang, dan diilhami oleh moralitas spiritual.
Harus diakui, selama ini gerakan-gerakan ekonomi di kalangan Islam belum mempunyai strategi jangka pendek mau pun jangka panjang. Sementara peta ekonomi masyarakat Islam belum dirumuskan secara kongkrit. Masyarakat Muslim di Indonesia yang jumlahnya tidak kurang dari 80%, dan berada di pedesaan, masih banyak yang tergolong dlu'afa. Namun secara persis, berapa persen mereka yang di bawah garis kemiskinan? Apa sebab mereka jadi dlu'afa, apa karena kebodohan, keterbelakangan, kesulitan mendapatkan pekerjaan? Apakah karena alam yang tidak mendukung? Ataukah sistem dan struktur politik, budaya dan lingkungan tidak kondusif?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat penting dicari jawabnya secara kongkrit, sebagai agenda bagi perumusan strategi pengembangan ekonomi masyarakat Islam yang sarat dengan nilai-nilai moral, di tengah krisis sistem ekonomi kontemporer yang bebas nilai. Tanpa dipandu strategi yang jelas, gerakan ekonomi Islam sering terjebak pada pola monoton, yang tampaknya bergerak, tapi hakikatnya mandeg.
Sekarang ini memang sudah mulai muncul pengusaha-pengusaha muslim kelas menengah yang cukup maju. Namun pada umumnya mereka masih sibuk membenahi dan memantapkan dirinya sendiri dan masih sering mengalami pasang surut. Kelompok ini be lum mampu atau belum tertarik untuk menumbuhkan jaringan-jaringan kerja ekonomi di kalangan masyarakat muslim yang lemah terutama di pedesaan. Pengalaman dan keterampilan teknik mereka belum terakumulasi secara luas di tengah masyarakat muslim yang lemah, sehingga proses transformasi masih terasa lamban.
PAJAK DAN PERANAN KIAI
ADALAH fenomena baru dan masih menimbulkan berbagai pertanyaan, jika masalah perpajakan dikaitkan dengan peranan kiai atau ulama. Pada umumnya para kiai belum banyak yang mengetahui tentang seluk-beluk perpajakan yang berlaku. Mengapa ada pajak, apa dasar penentuan wajib pajak, untuk apa hasil pajak dan apa standarisasi penentuan jumlah pajak yang dipungut? Semna itu belum banyak diketahui para kiai, meskipun dalam hal ini para kiai -hampir dapat dipastikan- telah mentolelir dengan sikap sedia membayar pajak yang telah ditentukan.
Sikap toleran seperti itu mungkin didasarkan, atas konsekuensi logis dari pendapat mereka tentang kewajiban nashbu al-imamah (menegakkan kepemimpinan) dan kewajiban mentaati Imam dalam hal yang menyangkut al-mashalih al-‘ammah (kepentingan umum). Sikap ini lalu mempengaruhi masyarakat muslim di tingkat bawah, yang pada umumnya juga aktif membayar pajak (paling tidak PBB), meskipun seringkali dirasa amat memberatkan.
Sikap ini akan berbeda bila dibandingkan dengan siasat sebagian masyarakat kelas menengah ke atas, yang justru mencari-cari jalan untuk menghindari pungutan pajak atau paling tidak meminimalkan jumlah pungutan pajak usahanya.
Bila kiai akan diperankan dalam perpajakan, maka dapat dipastikan, keterlibatannya hanya pada penyadaran para wajib pajak untuk membayar- kewajibannya. Dengan kata lain, para kiai hanya akan dibebani rnengkampanyekan perpajakan yang pola, sistem dan pengelolaannya telah ditetapkan. Ini berarti para kiai tidak dapat melakukan pendekatan partisipatif secara penuh, di mana beliau-beliau terlibat dalam perumusan konsepsi perpajakan. Pendekatan kepada kiai hanya dilakukan secara teknokratis dan dilakukan oleh sekelompok ahli. Pada gilirannya para kiai akan dilibatkan dalam pengerahan dan penyadaran pengumpulan pajak.
***
TERLEPAS dari istilah apapun dan batasan apapun dalam perpajakan di negeri ini, dari sudut pandangan (Islam) fiqih, apakah jizyah, khoroj, dloribah atau apakah PBB, PPn, PPh, retribusi dan lain-lain, peranan kiai hanyalah komplementer. Peranan seperti ini biasanya cenderung statis, apalagi bila tidak didukung keyakinan dan kebenaran atas substansi masalah yang akan diperankan. Akan fatal lagi bila paran kiai hanya akan diperankan sebagai legitimator seperti sering terjadi dalam berbagai kegiatan pembangunan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, yang dinilai menghadapi hambatan dari persepsi hukum fiqihnya.
Kiai dengan potensi yang dimiliki berupa ilmu fiqih, wibawa dan kharismanya di tengah masyarakat, selalu menjadi rujukan dan referensi. Namun potensi dasar itu mempunyai gradasi berbeda-beda dalam mengaktualisasikan dirinya di tengah transformasi sosial. Aktualisasi diri artinya memaksimalkan potensi dirinya untuk kepentingan masyarakat. Ini berarti, kiai dituntut peranannya dalam hal perpajakan dengan pendekatan timbal-balik, tidak sepihak.
Dengan motivasi saja tidak akan banyak berpengaruh atas kesadaran wajib pajak. Bahkan mungkin dapat mengakibatkan kecemburuan sosial dari pihak sasaran terhadap para kiai. Akan tetapi secara simultan, motivasi mesti dibarengi dengan pendekatan kebutuhan. Sehingga pada gilirannya, masyarakat terangsang memenubi kewajibannya sebagai warga negara setelah hak-haknya terpenuhi.
Pendekatan motivasi memerlukan kesamaan persepsi para kiai tentang perpajakan, tidak hanya dari sisi legalitas fiqih, tetapi juga menyangkut latar belakang kebijakan, sistem dan pemanfaatannya. Di samping itu kiai juga perlu memiliki wawasan politik. Mengingat kegiatan motivasi perpajakan ini pada dasarnya tidak lepas dari kebijakan politis yang sering diduga masyarakat -meski tidak sepenuhnya benar- bahwa pajak itu semata-mata kepentingan pemerintah, bukan untuk rakyat.
Sedangkan pendekatan kedua (kebutuhan) sulit dilakukan oleh kiai secara individual, hanya dapat dilakukan secara institusional. Tentu saja ini harus didukung oleh sistem manajerial yang baik dan sarana yang lengkap. Barangkali kiai dengan pesantrennya dapat difungsikan sebagai lembaga pendekatan kebutuhan dimaksud.
***
PERSONIFIKASI ajaran Islam bukan hanya ada pada ulama dan kiai, meskipun mereka adalah pewaris para Nabi. Namun begitu, peranan ulama dalam berbagai gerakan nasional yang memberi imbas pada pranata keagamaan Islam cukup banyak dan sangat bermakna. Peranan kiai lalu sarat dengan muatan kemaslahatan umat. Para ulama yang antara lain dicirikan oleh Imam Ghazali sebagai faqih fi mashalihi al-khalqi fi dunyaha, masih sering bersikap apriori terhadap apa yang disebut maslahah. Sehingga kadang-kadang peranan dan potensi itu ketika diperankan menjadi kurang tepat pada sasaran. Alkibat selanjutnya malah menimbulkan kesalahfahaman masyarakat, yang akan berpengaruh pada timbulnya degradasi kewibawaannya.
Karenanya, adalah sangat mendesak upaya pengembangan wawasan keagamaan Islam dan wawasan sosial di kalangan masyarakat muslim oleh para ulama dan kiai. Ini penting sebagai modal menentakan ukuran-ukuran mashlahah yang baku, berhubungan dengan masalah diniyah maupun dunyawiah yang tidak menyimpang dari kaidah al-kulliyyat al-khamsah. Hal ini sama pentingnva dengan konsepsi-konsepsi al-ma’ruf dan al-dirasat al-Islamiyyah al-ijtima'iyyah, yang nampaknya sangat diperlukan dalam konteks memerankan kiai dan ulama dalam proses kegiatan pembangunan nasional termasuk perpajakan.
Peranan ulama dan kiai dengan demikian tidak statis dan hanya menunggu permintaan dari pihak lain. Tetapi peranan itu akan menjadi lebih dinamis dalam setiap perubahan dan pengembangan yang terjadi. Bahkan lebih dari itu para kiai dengan potensi, peranan dan kepekaan sosialnya yang tajam akan menjadi pemandu terjadinya proses transformasi sejalan dengan era globalisasi. Ini berarti menuntut adanya kemampuan analisis terhadap perkembangan yang sedang terjadi untuk dapat ditindaklanjuti dengan rencana pengembangan yang antisipatif dan strategis.
Dalam konteks pajak, kiai tampaknya harus mengetahui bagaimana prosesnya, ke mana uangnya dipergunakan dan lain-lain. Kiai dengan demikian akan berperan lebih positif dalam persiapan sosial di masyarakat. Paling tidak kiai turut membentuk kepribadian muslim yang tangguh dan tanggap terhadap segala bentuk perubahan, memiliki sikap mental yang kuat tetapi lentur, tidak menutup mata terhadap realitas yang plural, tetapi sekaligus tidak silau terhadap berbagai bentuk inovasi dan modernitas yang semakin canggih dan spektakuler.
Peranan kiai seperti itu mutlak diperlukan oleh semua pihak, ketika muncul fenomena yang mengisyaratkan adanya sikap individualistik, materialistik dan konsumeristik akibat dominasi sektor ekonomi di satu sisi dan keterbukaan kultur di sisi lain.
Akhirnya, potensi apapun yang dimiliki kiai akan diperankan ke dalam proses kegiatan pembangunan, termasuk dalam kegiatan perpajakan. Pertanyaannya adalah, seberapa jauh porsi yang diberikan kepada kiai untuk itu? Apakah porsi yang akan diberikan cukup untuk mempengaruhi kebijakan pengambilan keputusan? Ataukah yang akan diberikan hanya satu porsi pemasaran dan sosialisasi kebijakan, di mana kiai tinggal mengkampanyekan kesadaran wajib pajak?.
Pilihan untuk mengetahui secara mendasar apa yang akan dilakukan, nampaknya merupakan jalan terbaik bagi kiai, untuk terlibat dalam pembangunan yang partisipatif.
MORAL DAN ETIKA DALAM PEMBANGUNAN
MANUSIA pada dasarnya adalah makhluk terbaik dari sekian makhluk lain yang diciptakan oleh Allah. Manusia oleh Allah diberi kehormatan atau karamah bahkan lebih dari itu ia diangkat sebagai “khalifah Allah" di atas bumi ini. Kemuliaan manusia ditandai dengan pemberianNya yang sangat bermakna tinggi, sehingga menjadikan manusia dapat menguasai alam ini. Pemberian itu berupa "akal dan pikiran'' yang mampu mengangkat harkat dan derajat manusia. Dengan akal pikiran, manusia dapat menerima, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kelebihan manusia, di samping karena akal pikirannya, juga karena nafsu dan perasaan. Manusia dengan nafsunya mempunyai semangat, etos dan sikap-sikap emosional lain yang positif. Manusia dengan intuisinya mempunyai daya estetik dan etik yang juga mampu mengangkat harkatnya.
Sebagai “khalifah Allah", manusia pada dasarnya telah dibekali dengan tiga potensi di atas, yaitu akal pikiran, nafsu dan perasaan. Dengan bekal inilah manusia mampu menjalankan kekhalifahan untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain, kelompok mau pun orang perorang.
Masalahnya adalah, seberapa jauh manusia melaksanakan kemampuannya itu. Hal ini akan banyak dipengaruhi oleh kemampuan mewujudkan keseimbangan antara tiga potensi tersebut ketika diperankan dalam sikap dan perilaku kekhalifahan. Keseimbangan dimaksud memerlukan ukuran-ukuran tertentu, berkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan manusia, baik lingkungan alam mau pun lingkungan komunitas yang berpengaruh besar dan akan menjadi pertimbangan. Bila keseimbangan itu hanya diukur dengan subyektivitasnya sendiri, justru sering rnenimbulkan kerawanan tertentu dan tidak mustahil mengakibatkan keresahan pada dirinya sendiri.
***
MORAL dan etika di dalam Al-Qur'an disebut "akhlaq" yang berarti budi pekerti atau tata susila, sebenarnya telah ada sejak adanya kehidupan manusia. Persoalan "baik-buruk" telah muncul sejak tingkat peradaban awal, meskipun ukuran yang dipakai berbeda-beda. Kadang-kadang diukur dengan akal yang paling sederhana tanpa melibatkan perasaan atau sebaliknya, atau hanya dengan penilaian perasaan dan malahan hanya dengan nafsu. Penilaian baik-buruk atas tindakan dan amal perbuatan rnanusia dengan ukuran-ukuran tertentu itulah yang disebut moral atau etika.
Biasanya ukuran-ukuran itu dipengaruhi oleh budaya, lingkungan dan ajaran agama, sehingga terjadi perbedaan penilaian antara satu daerah dengan daerah lain. Suatu perbuatan dinilai baik di satu daerah, belum pasti dinilai sama di daerah lain. Hal ini akan bergantung pada kesepakatan sosial yang terjadi baik atas pengaruh budaya, lingkungan maupun ajaran agama dan kepercayaan yang ada di masyarakat. Oleh karenanya ukuran-ukuran itu sering bergeser akibat perubahan sosial yang terjadi. Kecuali tolok ukur yang bersumber dari ajaran agama yang dogmatik, maka ukuran ini bersifat permanen.
Meskipun moral dan etika penilaiannya hanya pada tindakan dan amal perbuatan manusia, namun tindakan dan perilaku seseorang pada dasarnya muncul atas dorongan batiniyahnya yang sering juga didukung oleh tekanan-tekanan lingkungan. Dorongan-dorongan instinktif dalam dirinya, misalnya ingin berkuasa, ingin berkelamin dan lain sebagainya menumbuhkan kecenderungan berperilaku etis atau sebaliknya, akan sering bergantung pada dukungan lingkungan.
Kesusilaan seseorang sering diukur dengan kesanggupan mengatur instink-instink itu dengan baik dan seimbang, sehingga tidak membahayakan dirinya sendin dan masyarakat lingkungannya. Kiranya dapat disepakati, bahwa penilaian etika dan moral tidaklah sama untuk setiap pelakunya, meskipun substansinya rnempunyai nilai yang sama. Kesalihan moral yang dilakukan orang dewasa akan berbeda nilainya dengan kesalihan moral yang sama, yang dilakukan oleh anak kecil.
Sebaliknya tindakan amoral yang dilakukan oleh seorang mu'allim, pejabat dan tokoh masyarakat misalnya, mempunyai nilai yang berbeda dengan tindakan yang sama dan orang yang bukan mu'allim, bukan pejabat dan bukan tokoh rnasyarakat.
***
DALAM hal bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, keadilan, ketaatan, kejujuran misalnya merupakan bentak-bentuk moral yang tinggi yang sepanjang masa memperoleh pujian dari manusia. Dalam sejarah tidak pernah dicatat bahwa, ketidakadilan, kelaliman, kepalsuan dan pemungkiran janji boleh ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Persaudaraan, kasih sayang dan kemurahan hati juga telah dinilai tinggi sepanjang masa. Sedangkan keakuan, kebengisan, kekikiran dan kecongkakan tidak pernah dibenarkan oleh masyarakat mana pun. Manusia yang mempunyni rasa tanggung jawab besar dan melakukan tugasnya dengan penuh bakti selalu dikagumi, dan sebaliknya manusia yang tidak bertanggung jawab dan melalaikan tugasnya tidak pernah mendapat pembenaran dari pihak mana pun.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa, ukuran-ukuran moral pada hakikatnya universal dan telah dikenal oleh umat manusia sejak berabad-abad yang lalu. Manusia telah mengenal moral. Bahkan pada dasarnya moral inheren dalam watak kemanusiaan. Permasalahannya sekarang adalah, mengapa manusia sering bertindak, berperilaku amoral dan tidak etis?
Manusia mempunyai naluri menjaga kelangsungan hidupnya. Sikap etis atau amoral yang diperbuat manusia sering dipengaruhi oleh naluri tersebut. bahkan manusia mempertaruhkan kebaikan dan keburukannya demi mempertahankan naluri kelangsungan hidupnya. Manusia selalu mengalami perubahan, seiring dengan perubahan sosial. Suatu kondisi sosio-historis tertentu, dapat melahirkan struktur psiko-sosial yang disebut karakter. Karakter ini sering kali tidak berdiri sendiri, tetapi ia mendapatkan rangsangan dari seluruh struktur sosial, politik dan ekonomi di sekelilingnya.
Struktur sosial yang otoriter dan represif misalnya, mudah merangsang sifat agresif dalam diri rnanusia. Di samping itu, struktur yang menekan juga akan mengakibatkan kebosanan. Kebosanan biasanya merangsang tumbuhnya sikap apatis, yang pada gilirannya dapat mematikan kreativitas dan produktivitas. Akibat lebih jauh adalah, di dalam kehidupan masyarakat berkembang aktivitas yang kontra-produktif, semata-mata sebagai kompensasi membebaskan diri dari kebosanan, dengan melancarkan berbagai bentuk kejahatan, sikap amoral dan tidak etis.
Pelanggaran etik tidak hanya dipahami .sebagai sesuatu yang membuat pihak lain merasa dirugikan. Sering terjadi bahkan, pelanggaran etik tidak terdeteksi akibat pihak sasaran tidak menyadari atau tidak tahu dirinya dirugikan, diganggu harga dirinya, atau karena kepentingan tertentu, justru merasa diuntungkan.
Dengan demikian etika akan berjalan secara murni, tergantung pada mekanisme kendali dari dalam diri individu sendiri dan bukan oleh adanya kendali dari luar. Di sini terlihat kebenaran adanya penyatuan etika dengan agama. Nilai-nilai agama, baik yang berupa nilai etik maupun non-etik, akan berjalan atas dorongan kesadaran dari dalam diri individu, suatu mekanisme kendali internal yang bersumber pada keimanan dan ketakwaan.
***
ISLAM telah meletakkan dasar-dasar untuk menentukan tingkah laku yang baik dan buruk. Ia tidak mendasarkan konsep al-ma’ruf (yang baik) dan al-munkar semata-mata pada rasio, nafsu, intuisi dan pengalaman-pengalaman yang muncul lewat panca indera yang selalu mengalami perubahan. Tetapi ia telah memberikan sumber yang tetap, yang menentukan tingkah laku moral yang tetap dan universal, yaitu "Al-Qur’an dan al-Sunnah". Dasar-dasar itu menyangkut kehidupan perorangan, keluarga, tetangga sampai pada kehidupan komunitas bangsa.
Konsep tentang alam dan kedudukan manusia, di dalamnya menentukan sanksi yang terletak di balik setiap hukum moral, yaitu cinta sekaligus takut pada Allah, rasa tanggung jawab di hari akhirat dan janji serta ancaman di hari akhirat nanti. Islam meletakkan kepercayaannya pada batin manusia sebagai lahan pengembangan iman dan kepercayaannya pada Allah dan hari akbirat.
Sebelum menggariskan pranata moral, ia berusaha lebih dahulu menanamkan di hati sanubari manusia, kepercayaan yang kuat. Bahwa segala tingkah lakunya selalu dilihat oAllah di mana dan kapan saja. Bahwa ia dapat menyembunyikan dirinya dan perbuatannya dari seluruh makhluk, tetapi tidak di hadapan Allah. Bahwa ia dapat menipu dan membohongi setiap orang di seluruh dunia ini, tetapi tidak mungkin dapat menghindarkan diri dari Allah. Bahwa orang lain hanya dapat melihat kehidupan lahiriahnya saja, tetapi Allah dapat pula melihat niat dan cita-cita batinnya. bahwa ia boleh saja dalam hidupnya yang singkat ini, melakukan apa saja yang ia sukai. Tetapi betapa pun hebatnya kekuatan yang dimiliki, tidak akan mampu menolak ajal dan maut serta pasti akan mempertanggungjawabkan apa yang telah ia lakukan di hadapan Allah, dan kemudian menghadapi proses pengadilanNya yang tidak mengenal pembelaan, salah panggil, penyogokan dan apa saja yang dapat meringankan atau membebaskan keputusan yang sering terjadi pada proses pengadilan di dunia ini.
***
DALAM konteks sosial, Islam memberi dasar kepada manusia. Manusia dengan kekuatan imannya akan mengembangkan sikap saling menghargai hak-hak pribadi satu sama lain terhadap peraturan-peraturan dan suatu pembatasan yang berlaku bagi dirinya. Setiap individu memandang dirinya bertanggung jawab dan memiliki kewajiban kepada masyarakatnya. Ia di atas suatu landasan nilai spiritual, mengembangkan sikap saling mempercayai satu sama lain.
Kepribadian manusia Islami ini tercermin pada kedamaian jiwa dan keyakinannya yang sehat terhadap masa depan. Suatu pandangan yang positif terhadap kehidupan dan suatu kebahagiaan yang dimanifestasikan dalam sikap murah hati dan suka menolong orang
lain yang mengalami kesulitan. Ia, karena meyakini ketentuan dan hukum Allah dan keberlakuannya, senantiasa berpikir positif dan memiliki rasa lapang untuk senantiasa membentuk kekuatan dalam dirinya, mengubah suatu kesulitan menjadi kecenderungan positif sebagai cara untuk tetap hidup bahagia.
Pribadi yang mampu mengembangkan dengan baik pengalaman, kesadaran estetika dan kebutuhan maknawi kehidupannya merupakan keseimbangan yang padat dengan keinginan kemanusiaan untuk menaklukkan alam dan memperoleh kesenangan materi. Ini merupakan pribadi yang di dalamnya terpadu antara kesadaran mengenai nilai-nilai dan keikutsertaan dinamik dalam memakmurkan kehidupan bersama secara utuh.
Bila ajaran dan pandangan Islam diarahkan, pada realitas pembangunan yang sedang berjalan, maka permasalahannya dapat dirumuskan, bahwa suksesnya pembangunan akan banyak bergantung pada besarnya muatan nilai moral yang kondusif bagi mobilitas sosial yang dikembangkan. Pengalaman keagamaan Islam misalnya, sebagai akar sejarah dan kebudayaan memperoleh aktualisasi secara kreatif melalui proses pendidikan dan sebagainya dalam rangka membentuk kepribadian manusia pembangunan Indonesia seutuhnya.
Dalam hal ini perumusan baku tentang moral dan etika pembangunan yang didukung oleh nilai-nilai agama, pertimbangan efektifitas dan efisiensi dengan penerapan teknik dan teknologi dalam pelaksanaan pembangunan, merupakan rangsangan yang kuat bagi tumbuhnya kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perumusan itu diharapkan menjadi acuan bagi .nasyarakat dalam berperilaku pembangunan yang etis, tidak menumbuhkan kecemburuan, kesenjangan dan ketidakpedulian sosial.
Atau paling tidak perumusan dimaksud akan meminimalkan rangsangan negatif yang mengarah pada adanya sikap statis dan apatis terhadap masalah-masalah pembangunan dan sikap indisipliner terhadap pranata bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan kaidah-kaidah moral yang mendasari perilaku manusiawi dalam melaksanakan pembangunan itu, kecenderungan masyarakat terhadap kesadaran hak dan kewajibannya sebagai bangsa akan makin meningkat, karena hak dan kewajiban itu sendiri merupakan elemen baku bagi kaidah moral dan etika.
Manusia Indonesia membangun kultur atau pun membentuk peradaban yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari kesadaran egonya yang dijiwai oleh spirit dan pengalaman keagamaan, membutuhkan sosok penampilan atau personifikasi yang jelas. Di atas sosok kepribadian itu, dikembangkan dan didirikan tingkah laku moral serta sikap budaya Indonesia sehari-hari sebagai modal dasar yang paling utama dalaam proses pembangunan masyarakat.
Masyarakat didirikan di atas ketetapan hati para pendukungnya untuk tetap bertahan dalam cara, jalan dan pesan Allah, sebagai perwujudan suatu kultur dan peradaban yang sehat dan berakar kokoh dalam proses kesejarahan, sekaligus yang berpenampilan kerahmatan di dalam susunan dan tata kemasyarakatan itu sendiri.
AKTUALISASI NILAI-NILAI ASWAJA
ASWAJA atau Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sebagai paham keagamaan, mempunyai pengalaman tersendiri dalam sejarah Islam. Ia sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep 'aqidah, syari'ah dan tasawuf dengan corak moderat. Salah satu ciri intrinsik paham ini -sebagai identitas- ialah keseimbangan pada dalil naqliyah dan 'aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.
Ekstrimitas penggunaan rasio tanpa terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak dikenal dalam paham ini. Akan tetapi ia juga tidak secara apriori menggunakan norma naqliyah tanpa interpretasi rasional dan kontekstual, atas dasar kemaslahatan atau kemafsadahan yang dipertimbangkan secara matang.
Fleksibilitas Aswaja juga tampak dalam konsep 'ibadah. Konsep ibadah menurut Aswaja, baik yang individual maupun sosial tidak semuanya bersifat muqoyadah -terikat oleh syarat dan rukun serta ketentuan lain- tapi ada dan bahkan lebih banyak yang bersifat bebas (mutlaqoh) tanpa ketentuan-ketentuan yang mengikat. Sehingga teknik pelaksanaannya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi perkembangan rnasyarakat yang selalu berubah.
Demikian sifat-sifat fleksibilitas itu membentuk sikap para ulamanya. Karakter para ulama Aswaja menunut Imam Ghazali menunjukkan bahwa mereka mempunyai ciri faqih fi mashalih al-khalqi fi al-dunya. Artinya mereka faham benar dan peka terhadap kemaslahatan makhluk di dunia. Pada gilirannya mereka mampu mengambil kebijakan dan bersikap dalam lingkup kemaslahatan. Dan karena kemaslahatan itu sering berubah, maka sikap dan kebijakan itu menjadi zamani (kontekstual) dan fleksibel.
Aswaja juga meyakini hidup dan kehidupan manusia sebagai takdir Allah. Takdir dalam arti ukuran-ukuran yang telah ditetapkan, Allah meletakkan hidup dan kehidupan manusia dalam suatu proses. Suatu rentetan keberadaan, suatu urutan kejadian, dan tahapan-tahapan kesempatan yang di berikan-Nya kepada manusia untuk berikhtiar melestarikan dan memberi makna bagi kehidupan masing-masing.
Dalam proses tersebut, kehidupan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan aspek yang walaupun dapat dibedakan, namun saling kait-mengait. Di sini manusia dituntut untuk mengendalikan dan mengarahkan aspek-aspek tersebut untuk mencapai kelestarian sekaligus menemukan makna hidupnya.
Sedang dalam berikhtiar mencapai kelestarian dan makna hidup itu, Islam Aswaja merupakan jalan hidup yang menyeluruh, menyangkut segala aspek kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun sosial dalam berbagai komunitas bermasyarakat dan berbangsa. Aktualisasi Islam Aswaja berarti konsep pendekatan masalah-masalah sosial dan pemecahan legitimasinya secara Islami, yang pada gilirannya Islam Aswaja menjadi sebuah komponen yang mernbentuk dan mengisi kehidupan masyarakat, bukan malah menjadi faktor tandingan yang disintegratif terhadap kehidupan.
***
DALAM konteks pembangunan nasional, perbincangan mengenai aktualisasi Aswaja menjadi relevan, justru karena arah pelaksaan pembangunan tidak lepas dari upaya membangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa ia tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah (sandang, pangan, papan) semata, atau (sebaliknya) hanya membangun kepuasan batiniah saja, melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya.
Pandangan yang mengidentifikasikan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi belaka atau dengan berdirinya industri-industri raksasa yang memakai teknologi tinggi semata, cenderung mengabaikan keterlibatan Islam dalam proses pembangunan. Pada gilirannya sikap itu menumbuhkan perilaku individualistis dan materialistis yang sangat bertentangan dengan falsafah bangsa kita.
Proses pembangunan dengan tahapan pelita demi pelita telah mengubah pandangan masyarakat tradisional berangsur-angsur secara persuasif meninggalkan tradisi-tradisi yang membelenggu dinnya, kemudian mencari bentuk-bentuk lain yang membebaskan dirinya dari himpitan yang terus berkembang dan beragam. Dari satu sisi, ada perkembangan positif, bahwa masyarakat terbebas dari jeratan tradisi yang mengekang dari kekuatan feodalisme. Namun dari segi lain, sebenarnya pembangunan sekarang ini menggiring kepada jeratan baru, yaitu jeratan birokrasi, jeratan industri dan kapitalisme yang masih sangat asing bagi masyarakat.
Konsekuensi lebih lanjut adalah, nilai-nilai tradisional digeser oleh nilai-nilai baru yang serba ekonomis. Pertimbangan pertama dalam aktivitas manusia, diletakkan pada "untung-rugi" secara materiil. Ini nampaknya sudah menjadi norma sosial dalam struktur masyarakat produk pembangunan. Perbenturan dengan nilai-nilai Islami, dengan demikian tidak terhindarkan Secara berangsur-angsur etos ikhtiar menggeser etos tawakal, mengabaikan keseimbangan antara keduanya.
Konsep pembangunan manusia seutuhnya yang menuntut keseimbangan menjadi terganggu, akibat perbenturan nilai itu. Karena itu pembangunan masyarakat model apa pun yang dipilih, yang tentu saja merupakan proses pembentukan atau peningkatan -atau paling tidak menjanjikan- kualitas masyarakat yang tentu akan melibatkan totalitas manusia, bagaimana pun harus ditempatkan di tengah-tengah pertimbangan etis yang berakar pada keyakinan mendasar, bahwa manusia -sebagai individu dan kelompok- terpanggil untuk mempertanggungjawabkan segala amal dan ikhtiarnya kepada Allah, pemerintah dan masyarakat lingkungan sesuai dengan ajaran dan petunjuk Islam.
Manusia yang hidup dalam kondisi seperti terurai di atas dituntut agar kehidupannya bermakna. Ia sebagai khalifah Allah di atas bumi ini justru mempunyai fungsi ganda, pertama 'ibadatullah yang kedua 'imaratu al-ardl. Dua fungsi yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Bahkan fungsi yang kedua sangat rnempengaruhi kualitas fungsi yang pertama dalam rangka rnencapai tujuan hidup yakni sa'adatud darain. Makna hidup manusia akan tergantung pada kemampuan melakukan fungsinya sesuai dengan perkembangan kehidupan yang selalu berubah seiring dengan transformasi kultural yang menuntut pengendalian orientasi dan tata nilai yang Islami.
Dalam konteks ini, Aswaja harus mampu mendorong pengikutnya dan umat pada umumnya agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk saling memanusiawikan. Aswaja juga harus menggugah kesadaran umat terhadap ketidakberdayaan, keterbelakangan serta kelemahan mereka yang merupakan akibat dari suatu keadaan dan peristiwa kemanusiaan yang dibuat atau dibentuk oleh manusia yang sudah barang tentu dapat diatasi oleh manusia pula.
Tentu saja, penumbuhan kesadaran tersebut masih dalam konteks melaksanakan ajaran Islam Aswaja, agar mereka tidak kehilangan nilai-nilai Islami. Justru malah potensi ajaran Islam Aswaja dikembangkan secara aplikatif ke dalam proses pengembangan masyarakat. Pada gilirannya pembangunan manusia seutuhnya akan dapat dicapai melalui ajaran Islam Aswaja yang kontekstual di tengah-tengah keragaman komunitas nasional.
Untuk melakukan pembangunan masyarakat sekarang mau pun esok, pendekatan yang paling tepat adalah yang langsung mempunyai implikasi dengan kebutuhan dari aspek-aspek kehidupan. Karena dengan demikian masyarakat terutama di pedesaan akan bersikap tanggap secara positif.
Kondisi dinamis sebagai kesadaran yang muncul, merupakan kesadaran masyarakat dalam transisi yang perlu diarahkan pada pemecahan masalah, pada gilirannya mereka di sarnping menyadari tema-tema zamannya juga menumbuhkan kesadaran kritis. Kesadaran ini akan meningkatkan kreativitas, menambah ketajaman menafsirkan masalah dan sekaligus menghindari distorsi dalam memahami masalah itu. Kesadaran kritis ini memungkinkan masyarakat memahami faktor-faktor yang melingkupi aktivitasnya dan kemudian mampu melibatkan diri atas hal-hal yang membentuk masa depannya.
***
KEBUTUHAN akan rumusan konsep aktualisasi Islam Aswaja, menjadi amat penting adanya. Konsep itu akan menyambung kesenjangan yang terjadi selama ini, antara aspirasi keagamaan Islam dan kenyataan ada. Suatu kesenjangan yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin dalam proses pembangunan masyarakat, yang cenderung maju atas dorongan inspirasi kebutuhan hidup dari dimensi biologis semata.
Merumus kan konsep-konsep yang dimaksud, memang tidak semudah diucapkan. Identifikasi masalah-masalah sosial secara general dan spesifik masih sulit diupayakan, sehingga konsep aktualisasi secara utuh pun tidak mudah diformulasikan. Akan tetapi secara sektoral aktualisasi itu dapat dikonseptualisasikan secara jelas dalam konteks pendekatan masalah yang dilembagakan secara sistematis, terencana dan terarah sesuai dengan strategi yang ingin dicapai.
Kemampuan melihat masalah, sekaligus kemampuan menggali ajaran Islam Aswaja yang langsung atau tidak langsung bisa diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan implementatif yang dilembagakan, menjadi penting. Masalah yang sering disinggung oleh berbagai pihak dan menarik perhatian adalah keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan yang ada pada garis lingkarbalik (daur). Rumusan Khittah 26 pasal ke-6 juga menyinggung keprihatinan NU atas manusia yang terjerat oleh tiga masalah itu.
Aktualisasi Islam Aswaja dalam hal ini menurut rumusan yang jelas, adalah sebagai konsep motivator untuk menumbubsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat perubahan nilai yang terjadi.
Dari sisi lain, ada yang menarik dari konsep Aswaja mengenai upaya penanggulangan kemiskinan. Konsep ini sangat potensial, namun jarang disinggung, bahkan hampir-hampir dilupakan. Yaitu bahwa orang muslim yang mampu berkewajiban menakahi kaum fakir miskin, bila tidak ada baitul mal al muntadzim. Konsep ini mungkin perlu dilembagakan. Dan masih banyak lagi konsep-konsep ibadah sosial dalam Islam Aswaja yang mungkin dilembagakan sebagai aktualisasinya.
Ajaran Islam Aswaja bukan saja sebagai sumber nilai etis dan manusiawi yang bisa diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat, namun ia secara multi dimensional sarat juga dengan norma keselarasan dan keseimbangan, sebagaimana yang dituntut oleh pembangunan. Dari dimensi sosial misalnya, Islam Aswaja mempunyai kaitan yang kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena syariat Islam itu sendiri, justru mengatur hubungan antara manusia individu dengan Allah, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Hubungan yang kedua itu terumuskan dalam prinsip mu’amalah yang bila dijabarkan mampu membongkar kelemahan sekaligus memberi solusi bagi paham kapitalisme dan sosialisme. Konsep itu terumuskan dalam prinsip mu’asyarah yang tercermin dalam berbagai dimensi hubungan interaktif dalam struktur sosial yang kemudian dipertegas oleh rumusan Khittah 26 butir empat, tentang sikap kemasyarakatan NU sebagai aktualisasinya.
Tentang hubungan ketiga antara manusia dengan alam lingkungannya terumuskan dalam prinsip kebebasan mengkaji, mengelola dan memanfaatkan alam ini untuk kepentingan manusia dengan tata keseimbangan yang lazim, tanpa sikap ishraf (melampaui batas) dan tentu saja dengan lingkungan maslahah. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam itu tentu saja berorientasi pada prinsip mu’asyarah maupun mu’amalah yang menyangkut berbagai bentuk kegiatan perekonomian yang berkembang. Berarti diperlukan konsep mu'amalah secara utuh yang mampu mengadaptasikan perkembangan perekonomian dewasa ini sebagai aktualisasi ajaran Islam Aswaja.
AKTUALISASI KHITTAH 26
HAMPIR semua eksponen NU sibuk memasyarakatkan Khittah 26, pada masa antara pasca-Muktamar NU ke-27 sampai dengan Pemilu 1987. Pada tahap sosialisasi hasil muktamar itu kesibukan beragam, terutama berkisar pada pembicaraan butir-butir yang berkenaan dengan hubungan antara NU dan OPP (organisasi peserta pemilu). Belum adanya kesiapan wawasan politik yang luas di kalangan warga NU, sempat menimbulkan persepsi yang berbeda-beda terhadap makna khittah dan penjabarannya secara utuh.
Ini rnasih ditambah dengan interes-interes pribadi mau pun kelompok yang hanya melihat konstelasi politik dari satu sisi sesuai dengan dorongan kepentingan yang telah dirancang strateginya. Akibatnya muncul ketimpangan pandangan dan wawasan politik, tercermin dari berbagai konflik dan benturan reaksi individual mau pun kelompok selama proses Pemilu 1987.
Dampak macam itu sudah seiak semula diperhitungkan dan diantisipasi sebagai suatu yang wajar terjadi pada masa transisi. Setiap transisi menuju perubahan, hampir dipastikan mengandung gejolak. Apalagi bagi NU yang kaya akan politisi. Ha1 itu tidak mudah diredam begitu saja, tapi hanya dapat dibendung dengan memperkecil atau mempersempit dampak negatif. Masa transisi harus dilalui dengan segala implikasinya. Tanpa melalui masa itu, NU tidak akan mampu menampilkan eksistensi dirinya yang akomodatif dan integratif di tengah-tengah perkembangan masyarakat.
***
SECARA rasional, Khittah 26 yang salah satu butirnya membebaskan warga NU menyalurkan aspirasi nasbu al-imamah melalui salah satu partai politik, menunjukkan adanya starting point (titik awal) bagi tumbuhnya kesadaran berdemokrasi Pancasila secara lugas. Meskipun diakui, masih ada kebingungan kecil di kalangan awam yang memang terbiasa mengikuti panutannya, namun Khittah memproses tumbuhnya kesadaran berpoliitik secara struktural mau pun kultural. Kemudian akan menyusul pula kesadaran berbangsa dan bernegara secara dinamis dan plural.
Pemilu 1987 telah berlalu, mengantarkan bangsa Indonesia ke tingkat lebih maju dan lebih dewasa di bidang politik, sekaligus di bidang keamanan dan ketertiban. Pemilu yang lalu dapat berlangsung aman dan tertib, tanpa rasa resah dan gelisah. Insiden kekerasan tidak menonjol seperti halnya terjadi pada Pemilu 1982.
NU pasca Muktamar Situbondo berarti telah melalui masa transisi yang paling rumit dan rawan. Ini tidak berarti bahwa NU telah selesai secara total menjalani masa transisi. Masih perlu waktu cukup panjang, untuk rnengubah wawasan warga NU kepada orientasi Khittah 26. Dari aspek politik saja, perubahan wawasan itu belum merata. Padahal aspek-aspek lain yang dihadapi makin beragam. Semuanya memerlukan jawaban dalam bentuk ikhtiar kerja nyata. Bila tidak segera dipikirkan, akan makin sulit mencari alternatif pemecahannya.
Menurut ukuran waktu, NU pasca Muktamar Situbondo memang sudah setengah periode lebih sampai saat ini. Suatu waktu yang relatif lama atau panjang. Namun sesuai dengan watak masa transisi NU pasca Pemilu masih perlu membenahi diri. Bahkan sekali lagi masih diperlukan reorientasi pada Khittah 26 secara tuntas, untuk lebih mengarah pada aplikasi program hasil muktamar Situbondo dalam kenyataan sosial yang berkembang, utamanya warga NU sendiri.
Pendalaman Khittah 26 untuk menumbuhkan kesamaan persepsi dan wawasan yang luas di kalangan warga NU, dengan demikian tidak dapat ditawar lagi. Bagaimana NU sebagai organisasi kemasyarakatan, sebagai organisasi keagamaan Islam Aswaja dengan pendekatan mazhab dan sebagai organisasi (bukan hanya gerakan murni [mahdlah] atau sebagai subkultur), perlu dikaji lagi berdasar Khittah 26. Bagairnana pula sikap kemasyarakatan NU dalam berbangsa dan bernegara dipahami dan disosialisasikan sesuai dengan Khittah 26, agar warga NU mempunyai sikap akomodatif dan integratif, yang bermuara pada kemampuan berintegrasi secara nasional. Keberadaan NU di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk ini, dengan demikian selalu aktual.
NU di semua jajaran, dengan berorientasi pada Khittah 26 harus mampu melihat kenyataan yang berkembang dan melihat jauh ke depan dengan analisis antisipatif. Lebih penting lagi, ia harus mampu mengkonsolidasi diri sebagai organisasi dan mengidentifikasi potensi yang dimiliki.
Kiranya cukup banyak potensi yang dimiliki NU. Dari sisi kuantitas dengan jumlah warga dan simpatisannya yang begitu banyak dan tersebar hampir di semua sektor kehidupan, merupakan potensi yang tidak kecil. Dari sisi kualitas secara umum, sumber daya manusia profesional sudah mulai banyak tumbuh. Tenaga motivator baik dengan keterampilan tabligh, dakwah, mau pun dengan wibawa serta pengaruh para ulama dan kiainya, juga merupakan potensi yang tidak asing
lagi dan sangat diperlukan. Lembaga pendidikan NU, pesantren, madrasah dan perguruan tinggi begitu sulit dihitung secara konkrit karena banyaknya.
Pada bidang ekonomi, dari pengamatan global secara hipotesis bisa dikatakan, persentase warga NU yang ada pada garis ekonomi menengah lebih banyak. Potensi itu justru mudah dikembangkan untuk menunjang peningkatan taraf hidup masyarakat yang berekonomi lemah.
Sedangkan untuk menghadapi transformasi kultural, NU memiliki daya tangkal yang tangguh menghadapi pengaruh budaya luar, untuk melestarikan budaya nasional dan kepribadian bangsa Indonesia. Potensi dimaksud adalah ajaran dan nilai-nilai Islam Aswaja yang memang tidak bertentangan dengan falsafah bangsa dan negara, yaitu Pancasila.
Masalahnya sekarang, mampukah NU mendayagunakan potensi-potensi tersebut dengan pengorganisasian dan dengan kemampuan manajerial yang strategis, terpadu, utuh dan lumintu secara maksimal untuk kemaslahatan umat? Apalah artinya potensi sebagai potensi bila tidak diupayakan daya manfaatnya secara operasional? Untuk mendayamanfaatkan potensi-potensi itu tidak mungkin dilakukan hanya dengan cara sporadis dan alami. Namun diperlukan keterampilan manajerial, pengorganisasian yang bisa memproyeksikan suatu program rintisan yang aktual dan kontekstua1 bagi kemaslahatan umat dan warga NU.
Kemampuan memaksimalkan potensi diri itu, disebut dengan istilah "aktualisasi diri". Aktualisasi diri bagi NU berarti "Aktualisasi Khittah 26" secara utuh dan terpadu. Untuk itu diperlukan perencanaan dan pentahapan yang semuanya harus jelas strateginya, tujuannya, metode dan pendekatan masalahnya. Suatu sistematisasi proses interaksi dari serangkaian kegiatan yang mengarah pada aktualisasi diri NU, untuk mencapai kemaslahatan masyarakat, perlu diupayakan secara kongkrit dan realistis.
Sistematisasi itu sekurangnya dimulai dari diskripsi masyarakat desa (warga NU) secara utuh dari aspek-aspek budaya, pendidikan, ekonomi alam, masalah yang terjadi kini dan esok, sekaligus mengidentifikasi potensi yang ada serta kemungkinan penggalian potensi baru. Baru kemudian merencanakan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang didukung oleh potensi dimaksud. Penentuan alternatif yang paling mudah dan tepat sasaran akan memperlancar suatu upaya penyelesaian masalah. Namun begitu, akan masih tergantung pada rencana berikutnya, yaitu teknis operasional yang menyangkut metode pendekatan dan tenaga pengelolanya.
Bila semua yang tersebut di atas sudah dapat dilakukan, barulah menyusun program secara konseptual, yang mesti ditindaklanjuti dengan langkah yang kongkrit. Suatu program konseptual yang tidak didukung oleh sistematisasi proses interaksi dari serangkaian kegiatan seperti di atas, biasanya sulit diproyeksikan dalam bentuk yang kongkrit. Akhirnya program itu hanya bersifat utopis atau hanya merupakan daftar keinginan.
Untuk mengaktualkan Khittah 26, tentu saja diperlukan keutuhan, keterpaduan potensi semua eksponen dalam NU, setelah lebih dahulu ada kesamaan persepsi dan wawasan Khittah. Dalam hal ini disadari atau tidak, pada masing-masing eksponen NU pasti mempunyai kelebihan dan sekaligus kekurangan sebagaimana fitrah manusia itu sendiri. Tidak ada yang mempunyai kelebihan atau kekurangan absolut. Tidak seharusnya, ada yang menghargai dirinya lebih daripada semestinya. Begitu pula di dalam menghargai orang lain. Oleh karenanya, tidak terjadi di kalangan NU, adanya kesenjangan antara kelompok profesi tertentu dengan profesi lain. Ulama dan kiai NU bersama kelompok cendekiaiwan NU (non-Ulama) harus bekerja sama dan saling berdialog secara lumintu dan menyatu dalam mengaktualisasikan diri, mengingat luasnya permasalahan yang dihadapi NU dan warganya.
Satu di antara sekian identitas ulama Aswaja (NU) menurut Imam al-Ghazali, adalah "peka terhadap ke maslahatan makhluk". Ini berarti bahwa para ulama NU harus mempunyai kepekaan sosial yang tinggi. Tumbuhnya kepekaan sosial itu sendiri memerlukan proses, tidak tumbuh secara otomatis. Namun diperlukan wawasan yang jeli tetapi luas.
Untuk itu diperlukan sekurang-kurangnya informasi dan pengertian tuntas tentang makin luasnya perkembangan sosial. Untuk menunjangnya, perlu berbagai disiplin ilmu, bukan saja dalam lingkup ilmu sosial, namun juga meliputi ilmu-ilmu lain yang lebih luas lagi. Karena semua sektor kehidupan masyarakat maju atau yang sedang berkembang seperti di Indonesia, satu dengan yang lain -meskipun dapat dibedakan menurut diferensiasinya- tidak bisa dipisah-pisahkan. Semuanya saling menunjang dan melengkapi, bahkan satu dengan lainnya berada pada garis lingkar balik yang sulit dipotong.
Di sinilah, kerjasama antara ulama dan cendekiawan NU di satu pihak dan dengan umara' (plus ABRI) dan lembaga swasta yang lain mutlak diperlukan, meskipun masing-masing berada pada posisi yang berbeda. Apalagi NU dalam mengaktualisasikan Khittah 26 itu, berarti melakukan upaya kemaslahatan umat yang berakhir pada titik optimalnya, sa'adatud darain.
ISLAM DAN POLITIK
ISLAM sebagai agama samawi yang komponen dasarnya 'aqidah dan syari'ah, punya korelasi erat dengan politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik. Implementasinya kemudian diatur dalam syari'at, sebagai katalog-lengkap dari perintah dan larangan Allah, pembimbing manusia dan pengatur lalu lintas aspek-aspek kehidupan manusia yang kompleks.
Islam dan politik mempunyai titik singgung erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup rnanusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekadar sebagai sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan.
Politik yang hanya dipahami sebagai perjuangan mencapai kekuasaan atau pemerintahan, hanya akan mengaburkan maknanya secara luas dan menutup kontribusi Islam terhadap politik secara umum. Sering dilupakan bahwa Islam dapat menjadi sumber inspirasi kultural dan politik. Pemahaman terhadap term politik secara luas, akan memperjelas korelasinya dengan Islam.
Dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di tanah air. Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial.
***
SYARI'AH Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan berbangsa, misalnya tergambar dalam tatanan syari'at tentang berkomunitas (mu’asyarah) antar sesama manusia. Sedangkan mengenai kehidupan bernegara, banyak disinggung dalam ajaran fiqih siyasah dan sejarah Khilafah al-Rasyidah, misalnya dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-Mawardi atau Abi Ya’la al-Hanbali.
Pada zaman Rasulullah dan Khulafa' al-Rasyidin dapat dipastikan, beliau-beliau itu di samping pimpinan agama sekaligus juga pimpinan negara. Konsep imamah yang mempunyai fungsi ganda -memelihara agama sekaligus mengatur dunia- dengan sasaran pencapaian kemaslahatan umum, menunjukkan betapa eratnya interaksi antara Islam dan politik. Tentu saja dalam hal ini politik dimengerti secara mendasar, meliputi serangkaian hubungan aktif antar masyarakat sipil dan dengan lembaga kekuasann.
Dalam teori politik sekuler, agama tidak dipandang sebagai kekuatan. Agama hanya dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan persoalan individual. Padahal secara fungsional, ternyata kekuatan agama dan politik saling mempengaruhi. Memang dalam arti sempit ada diferensiasi, misalnya seperti diisyaratkan oleh interpretasi sahabat Ibnu Mas'ud terhadap ungkapan uli al-amr sebagai umara’ (pemimpin formal pemerintahan), yang dibedakan dengan ulama sebagai pemimpin agama.
Pengertian politik (al-siyasah) dalam fiqih Islam menurut ulama Hanbali, adalah sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, rneskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah SAW. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain, yaitu mendorong kemaslahatan makhluk dengan rnemberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Bagi para Nabi terhadap kaumnya, menurut pendapat ini, tugas itu meliputi keselamatan batin dan lahir. Bagi para ulama pewaris Nabi, tugas itu hanya meliputi urusan lahiriyah saja.
Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah mengatakan, politik harus sesuai dengan syari'at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari'at. Tujuan itu ialah: (1) Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam. (2) Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan ummat. (3) Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder mau pun suplementer. (4) Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal. (5) Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani.
Dari pengertian itu, Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan pemerintahan saja, terbatas pada politik struktural formal belaka, namun menyangkut juga kulturisasi politik secara luas. Politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif, legislatif mau pun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani mau pun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.
Bangunan politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi, tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat atau masyarakat). Ini berarti, bahwa kedudukan kelompok masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan tidak mungkin berdiri sendiri.
***
PENYEBARAN Islam di Indonesia dapat disimak melalui pendekatan politik kultural dengan bantuan -atau sekurang-kurangnya toleransi- penguasa. Proses Islamisasi yang relatif cepat di Indonesia dengan jumlah penganut paling besar di seluruh dunia Islam, tidak lepas dari bantuan dan perlindungan yang diberikan penguasa. Dalam sejarah kontemporer, perkembangan politik Islam melalui pemimpin-pemimpinnya menegaskan, negara atau kekuatan politik struktural hanya diperlukan sebagai instrumen untuk menjamin pelaksanaan ajaran-ajarannya dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Memang dari sudut pandangan ajaran formalnya, Islam sering -tidak selalu- mendapati dirinya dalam keadaan ambivalen di negeri. Di satu pihak ajaran formal Islam tidak menjadi sumber tunggal dalam penetapan kebijakan kehidupan negara, karena memang negara ini bukan negara Islam. Tetapi negara ini juga bukan negara sekuler, yang memisahkan antara urusan pemerintahan dan keagamaan.
Dalam keadaan demikian, ajaran formal Islam berfungsi dalam kehidupan ini melalui jalur kultural (pendidikan, komunikasi massa, kesenian dan seterusnya). Dapat juga melalui jalur yang tidak langsung, melalui politik struktural. Jalur ini memungkinkan, karena kekayaan Islam yang hendak ditampilkan dalam kehidupan bernegara tidak semata-mata ditawarkan sebagai sesuatu yang Islami saja, melainkan sesuatu yang berwatak nasional.
Nilai-nilai Islam sebagai sumber budaya yang penting di Indonesia, sudah sewajarnya menjadi faktor menentukan dalam membentuk budaya politik, tata nilai, keyakinan, persepsi dan sikap yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam suatu aktivitas dan sistem politik. Indikasi yang paling menonjol dalam hal ini adalah, bahwa ke lima sila dari Pancasila yang telah disepakati menjadi ideologi politik, semuanya bernafaskan nilai-nilai Islami.
Bagaimana implementasi nilai Islam dalam budaya politik yang Pancasilais, bergantung pada kekuatan nilai-nilai itu mempengaruhi proses politik itu sendiri. Bila terjadi kemerosotan pengaruh nilai-nilai keagamaan Islam dalam budaya politik, sesungguhnya yang terjadi adalah sekularisasi kultur politik. Ini lebih membahayakan dan lebih ruwet masalahnya, ketimbang pemisahan secara formal struktur pemerintahan dan keagamaan.
Meskipun di Indonesia tidak akan terjadi sekularisasi fungsional struktur pemerintahan dan keagamann secara tegas, namun sekularisasi kultur politik tidak mustahil dapat terjadi. Kemungkinan terjadinya hal ini cukup besar, seiring dengan perubahan sistem nilai, akibat kemajuan ilmu peangetahuan, teknologi dan industrialisasi. Ini pada gilirannya juga akan mempengaruhi perilaku politik formal-struktural.
Di sinilah pentingnya upaya kulturisasi politik, tanpa menimbulkan kerawanan-kerawanan tertentu terhadap proses perkembangan politik struktural. Bahkan perlu diupayakan adanya keseimbangan antara proses kulturisasi politik dengan proses politik struktural, agar tidak ada kesenjangan antara dua proseitu. Hal ini mungkin juga penting, untuk menghindarkan kecurigaan yang sering muncul dari kalangan elit politik formal terhadap aktivitas politik melalui jalur kultural.
***
DAL.AM ajaran Islam, pemenuhan keadilan dan kesejahteraan merupakan keharusan bagi suatu pemerintahan -tak perlu berlabel Islam- yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan syarat, bahwa kekuasaan rnemang bukan tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjadi moralis politik.
Hal ini memerlukan kesadaran tinggi dari kalangan politisi Islam, untuk dapat menumbuhkan semangat baru yang relevan dengan perkembangan kontemporer dalam corak dan format yang tidak berlawanan dengan moralitas Islam. Cara-cara tradisional dengan mengeksploitasi emosi massa pada simbol-simbol Islam, harus ditinggalkan. Yang lebih penting justru adalah mengorganisir kader politik muslim yang lebih lentur dan punya cakrawala luas, serta punya kejelian menganalisis masalah sosial dan politik, agar pada gilirannya kelompok politisi Muslim tidak selalu berada di pinggiran.
Peran ini sangat bergantung pada keluasan pandangan para elite Islam sendiri, kedalaman memahami Islam secara utuh, sekaligus keluasan cakrawala orang di luar kekuatan politik Islam dalam melihat potensi dan kekuatan moral Islam dalam mengarahkan proses kehidupan bangsa untuk mencapai keadilan dan kemakmuran yang dicita-citakan. Memang upaya ini tidak begitu mudah dan mulus, karena masih cukup banyak kendala di kalangan kaum muslimin sendiri.
Wawasan politik kaum awam yang masih bercorak paternalistik di satu pihak, serta kepentingan melihat politik sebagai pemenuhan kebutuhan sesaat di pihak lain, merupakan kendala yang tidak kecil. Soal politik bukan sekadar soal menyalurkan aspirasi untuk menegakkan kepemimpinan negara (imamah) semata, tapi soal menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat. Karena itu, yang penting bukanlah penguasaan kekuasaan struktur politik formal dengan mengabaikan proses kulturisasi politik dengan warna yang lebih Islami. Bila ini yang terjadi, maka kenyataan sekulerlah yang akan terwujud, dan hanya akan menjauhkan umat dari tujuan utamanya, sa’adatud darain.
NU-NISASI ORPOL?
POLITIK itu kenyal, seperti permen karet. Dikunyah terus tak pernah habis. Terkadang rasanya sudah habis, tapi orang masih terus mengunyahnya. Bagi orang yang telah terbiasa mengunyah permen karet, mungkin ia kecanduan dengan kebiasaan yang melekat itu. Rasanya tidak sreg bila pada forum apa saja atau pada kesibukan apa saja, tanpa mengunyah permen karet, dus mengaitkan aktivitas apa saja dengan politik.
Dalarn proses hidupnya, manusia rnemang tidak lepas dari pengaruh watak politis. Telah menjadi sunnatullah barang kali, setiap kelompok manusia ada yang dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang diperintah dan memerintah, serta ada yang dipengaruhi dan mempengaruhi. Itulah konteks politik.
Secara naluriah manusia selalu ingin menguasai, memerintah dan mempengaruhi. Meskipun pada tingkat-tingkat tertentu, sesuai dengan potensi dan otoritas yang dimiliki. Di sini kiranya dapat dibuktikan adanya
adagium, politik merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi. Masyarakat yang hidup dalam suatu negara yang berbentuk apa pun, tentu merasa sebagai makhluk yang berbangsa dan bernegara. Perasaan itu biasanya berkembang menjadi pengertian atau kesadaran kkritis. Dengan demikian mereka sudah terlibat langsung atau tidak, disadari atau tidak berada pada masalah politik. Hanya saja, karena keterbatasan tertentu, di antara mereka ada yang masuk pada golongan kaum elite politik dan ada yang hanya sebagai kaum awam politik. Kelompok kedua inilah yang terbanyak dari masyarakat Indonesia, termasuk warga NU.
Kelompok kedua ini, kelihatan acuh tak acuh dan tidak punya perhatian terhadap masalah politik, kecuali secara temporer karena pengaruh dari panutan mereka
yang masuk pada kelompok pertama. Pada momentum tertentu mereka ikut melakukan aktivitas politik dengan memberikan dukungan atau menolak atas wawasan politik tertentu. Umumnya mereka tidak bisa membedakan antara kultur politik dan struktur politik, apalagi pengetahuan soal infrastruktur dan suprastruktur politik. Meskipun kenyataannya mereka sudah terlibat, sekurang-kurangnya dalam kultur politik, yakni keseluruhan tata nilai, keyakinan, persepsi dan sikap yang mempengaruhi mereka dalam suatu sistem atau kegiatan politik.
***
WARGA Nahdlatul Ulama (NU) yang sebagian besar awam politik beserta ulamanya telah terlibat langsung atau tidak langsung dalam sejarah pembentukan negara dan bangsa Indonesia. Ketika zaman kolonial Belanda, NU dengan para ulama dan pesantrennya telah mampu menanamkan semangat wathaniyah (nasionalisme) dan kebencian terhadap penjajahan. Semangat itu berpengaruh luas pada masyarakat untuk merebut kemerdekaan Indonesia dan mempertahankannya. Ini merupakan tindakan politik secara kultural yang kemudian disebut peranan politik dalam sejarah bangsa.
Peranan kesejarahan tersebut sebenarnya juga merupakan khittah perjuangannya serta usahanya untuk mencapai tujuan organisasi, yaitu berlakunya syariat Islam 'ala Ahli al-Sunnah wa al-Jama'ah di bumi Nusantara ini. Sikap dan kebijakan para ulama NU seperti itu, bukan tanpa alasan. Justru karena wawasan historis dan wawasan masa depan itulah, para ulama NU sadar akan sejarah yang telah, sedang dan akan berjalan.
Sejarah telah memberikan pelajaran kepada ulama NU, bahwa masuknya Islam di Indonesia sejak awal hingga zaman Wali Songo, tidak melalui jalan politik struktural, namun lewat usaha dan kegiatan yang seiring dengan proses transformasi kultural. Strategi itu menguntungkan, karena tidak menimbulkan perdebatan konflik batin maupun fisik bagi masyarakat sasaran.
Transformasi budaya ini masih terus berproses dan akan terus berproses sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia. Bagi NU, ini sebuah tuntutan yang mendorong orrnas Islam terbesar itu, untuk melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan yang berpengaruh langsung atau tidak langsung dalam menumbuhkan dan membentuk budaya bernilai Islam.
Adanya indikasi tumbuhnya antusiasme keagamaan Islam di seluruh Indonesia saat ini, merupakan titik cahaya yang akan memberikan terobosan bagi NU untuk memperoleh kesempatan mengisi nilai budaya secara Islami. Tujuan NU bisa terwujud melalui kulturisasi politik tanpa harus menimbulkan ketegangan-ketegangan.
Inilah sebenarnya yang ingin dicapai oleh para ulama NU dengan keputusan strateigisnya, kembali ke Khittah 26. Khittah 26 telah berkali-kali diuji dengan keluar-masuknya NU pada kegiatan po1itik struktural. Ternyata ia masih tetap merupakan garis lurus vertikal mau pun horisontal yang patut menjadi landasan perjuangan NU dan tetap mempunyai relevansi kuat. Khitah 26 akan selalu mampu menarik NU ke tengah-tengah pergumulan sejarah bangsa yang masih panjang. Dengan demikian keberadaan di tengah bangsa Indonesia ini, justru bagai pupuk yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan keberagamaan demi kemajuan optimal bagi bangsa ini.
Di sinilah letak dasar ukuran umum dan wajar yang selalu dipegang oleh para ulama NU sejak berdirinya sampai sekarang. Pada dasar ukuran ini pula terletak kesimpulan, Khittah 26 sejak lahir belum pernah "minus". Khittah 26 cukup sarat dengan berbagai nilai yang kuat relevansinya di segala zaman. Tidak pernah dan tidak akan ada istilah "Khittah Minus".
Nahdlatul Ulama dalam sejarahnya sejak lahir tahun 1926 mengalami perubahan kecil atau besar, internal atau eksternal; mulai dengan bergabung ke MIAI, Masyumi, kemudian jadi partai politik dan berfusi ke dalam PPP. Akhirnya kembali menemukan jatidirinya yang asli, menjadi jam'iyah diniyah ijtima'iyah mahdloh (organisasi masyarakat keagamaan murni) yang secara organisatoris tidak mengkaitkan dirinya dengan organisasi politik mana pun.
***
PERUBAHAN tersebut secara umum banyak dipengarahi oleh faktor eksternal dan secara kbusus diletakkan pada strategi yang dipertimbangkan sesuai dengan zamannya. Para ulama NU baik yang terlibat langsung dalam struktur organisasi NU maupun yang di luar struktur, terutama para ulama pengasuh pesantren memberikan kesepakatan bulat atas kembalinya NU pada khittahnya.
Mereka memang punya kepekaan sosial yang tinggi -meskipun bukan tergolong elite politik. Justru identitas mereka adalah faqih fi mashalih al-khalqi. Kepekaan sosial dan pengalaman empirik mereka pada saat NU secara langsung atau tidak langsung terlibat pada politik praktis, mendorong mereka untuk menelaah kembali secara lebih terinci sosok NU menurut esensinya dalam konteks perjuangan keagamaan Islam di Indonesia, dari satu masa ke masa yang lain. Setelah Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1975, tepatnya dalam Konferensi besar (Konbes) pada tanggal 5-8 Mei 1975 di Jakarta, dikeluarkan “Pernyataan Pemantapan Kedudukan dan Fungsi Jam'iyah Nahdlatul Ulama".
Ada tiga pokok isi dari pernyataan itu yang sangat penting bagi umat NU khususnya dan bangsa serta negara Indonesia umumnya. Pertama memantapkan kedudukan dan fungsi jam'iyah NU sebagai organisasi yang menitikberatkan perjuangannya selaku organisasi umat yang berdasarkan ‘aqidah, syari'ah dan thariqah Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah dan bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya, untuk kesejahteraan umat dalam rangka pembangunan bangsa dan manusia Indonesia seutuhnya.
Kedua, dalam masa pembangunan nasional sekarang ini, NU akan meningkatkan darma baktinya secara persuasif dan edukatif, untuk menciptakan stabilitas dan persatuan nasional, meningkatkan kesadaran dan moral bangsa, serta mendidik hidup berkonstitusi dan berdemokrasi.
Ketiga, jam'iyah NU akan berpartisipasi dalam pembangunan nasional, baik material maupun spiritual untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, serta ikut membina ketahanan nasional. Pernyataan tersebut dikeluarkan atas pertimbangan pertama dalam konsiderannya, bahwa NU mengembalikan kedudukan dan fungsinya seperti ketika dibentuk pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau 30 Januari 1926 M.
Proses perubahan yang terakhir itu cukup panjang. Dari Muktamar 1971, Konbes 1975, Munas 1983 dan Muktamar 1984. Tigabelas tahun berproses. Suatu kurun waktu cukup panjang yang tentu saja sarat dengan berbagai masalah dan liku-liku konstelasi sosial-. Bahkan bersamaan dengan akhir proses perubahan itu, dengan tekad bulat tanpa didorong oleh perundang-undangan, NU telah menyatakan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi.
Terlihat di sini, kemampuan NU memadukan antara falsafah negara sebagai buah pikiran manusia yang kemudian menjadi dasar pengikat pada komunitas nasional di dalam berbangsa dan bernegara dengan doktrin keagamaan Islarn sebagai wahyu Allah yang kemudian menjadi dasar pengikat dalam komunitas keberagamaan. Suatu perpaduan yang amat penting artinya bagi bangunan stabilitas di suatu negara.
Perpaduan itu telah dapat dibuktikan oleh NU sendiri secara implementatif dengan rumusan Khittah 26 yang telah ditemukan kembali sebagai ciri intrinsik, yang tidak bisa lepas dari ujud dirinya. Bila ciri itu dilepas -dengan menambah atau mengurangi rumusan khittah- berarti NU kehilangan wujud diri yang sesungguhnya.
Para ulama sebagai penerus dan pewaris para pendiri NU, tidak akan merelakan hal itu terjadi. NU dengan rumusan Khittah 26 seperti itu, telah membebaskan warganya dalam menyalurkan aspirasi politik untuk rnenegakkan kepemimpinan (nashbu al-imamah) lewat salah satu Orpol.
***
PEMBAHASAN soal ini sebenarnya merupakan pendidikan bagi eksekutif (birokrat) untuk menumbuhkan kesadaran hidup berkonstitusi dan berdemokrasi. Sekaligus juga sebagai upaya mengubah sedikit demi sedikit watak paternalistik mereka dalam hal berpolitik, sehingga akan makin dewasa dan obyektif dalam menyalurkan aspirasi rakyat banyak.
Kemandirian berpolitik seperti itu akan menumbuhkan sikap kritis dan dinamis untuk mengembangkan aspirasi rakyat atau paling tidak menyadarinya. Bisa jadi aspirasi agama, ekonomi, pendidikan dan budaya, akan mudah dicerna apabila melalui pendidikan politik secara kultural.
Tampak NU ingin mendidik warganya secara kultural untuk menjadi insan politik yang kritis dan dinamis tanpa harus menunggu perintah panutannya, tanpa harus terikat oleh petunjuk seseorang dan tanpa adanya ketergantungan pada arahan seseorang. Kedewasaan seperti ini akan menuntut kemauan dan kemampuan Orpol mana pun untuk menyerap aspirasi warga NU yang beraneka ragam, tidak saja aspirasi keagamaannya.
Orpol harus bersikap dan berperilaku aspiratif dan akomodatif terhadap kebutuhan warga NU. Bila aspirasi semacam itu bisa disalurkan dan dipenuhi, kiranya warga NU dengan ke-NU-annya tidak akan memerlukan lagi suatu wadah khusus yang dikelola sendiri atau dengan kata lain "Orpolisasi NU". Karena semua aspirasi warga NU telah dapat ditampung dan diupayakan realisasinya oleh Orpol tertentu, yang berarti dengan kata lain adalah "NU-nisasi Orpol".
Meskipun ada isu yang menginginkan memparpolkan NU pasca Pemilu 1987, namun Munas Alim Ulama NU dan Konbes NU pada tanggal 15 s/d 18 November 1987, berlangsung mulus tanpa gejolak dan ketegangan. Sejumlah 25 utusan wilayah ketika diberi kesempatan mengutarakan uneg-uneg dalam forum Munas dan Konbes, tidak satupun yang merespon isu tersebut. Bahkan seluruhnya melaporkan segi-segi posisif penerapan Khittah 26.
Keinginan memparpolkan NU memang punya alasan, mengingat warga NU ketika menjelang Pemilu mengalami kebingungan. Kebingungan itu menjadi indikator belum mapannya wawasan politik praktis warga NU, walaupun sudah cukup lama menjadi anggota Partai Politik NU dan kemudian menjadi penyangga PPP.
Namun perlu diingat, kebingungan itu muncul bukan lantaran NU kembali kepada Khittah 26. Sama sekali bukan karena rumusan Khittah 26 itu sendiri. Kebingungan itu terjadi akibat belum meratanya sosialisasi Khittah. Persepsi mereka tentang Khittah tidak sepenuhnya sesuai dengan yang sebenarnya. Sementara sikap beberapa pimpinan dan ulama NU mengabaikan prinsip tawassuth yang telah digariskan oleh Khittah 26.
Kebingungan seperti itu juga wajar, sebagai akibat dari masa transisi yang kebetulan didukung oleh watak paternalistik warga NU. Bagaikan burung perkutut yang telah cukup lama terperangkap dalam kurungan dan diloloh terus oleh pemiliknya, ketika dilepas dari kurungan untuk mencari makan sendin dan bebas bergabung dengan sejenisnya, maka dalam beberapa waktu ia pasti mengalami kebingungan. Tetapi itu tak akan berjalan lama. Ia akan segera mampu terbang bebas, sesuai dengan alam aslinya dan khittahnya.
Walaupun tidak ada istilah mayoritas minoritas, namun kenyataan menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang terbanyak adalah muslim. Sekitar 75% sampai 80% di antaranya berada di pedesaan. Sebagian besar warga NU pun ada di pedesaan. Penduduk pedesaan itu pada umumnya masih berada di bawah pengaruh para ulama NU yang notabene tidak tergolong kaum elite politik.
Penelitian di lapangan menunjukkan, para ulama NU di pedesaan merasa lebih tenang dengan kembalinya NU kepada Khittah 26, ketimbang masa-masa sebelumnya. Para kiai itu makin mudah berkonsentrasi dan terbuka dalam memikirkan kemaslahatan warganya. Hampir semua bentuk aktivitas di masyarakat sekarang, warga NU terlibat di dalamnya. Di sinilah NU mempunyai banyak kesempatan mempengaruhi mereka untuk dakwah dan menanamkan nilai-nilai Aswaja, seiring dengan proses transformasi kultural.
***
DARI sisi lain timbulnya ide Orpolisasi NU merupakan perbedaan pendapat yang wajar. Dinamika semacam itu diperlukan sepanjang masih menyangkut kepentingan umat dan warga NU sendiri, bukan untuk memenuhi interes pribadi atau kelompok tertentu. Segi positif yang muncul, NU membebaskan warganya mau pun pimpinannya untuk berpendapat dan saling menghargai. Namun perbedaan itu tidak berarti adanya pertentangan internal, apalagi perpecahan.
Tradisi yang masih kental di kalangan ulama NU adalah sikap "sepakat dalam khilaf”, sehingga tak akan mengganggu jalannya roda organisasi. Kedewasaan berorganisasi dan berdemokrasi di dalam NU akan terlihat dari sisi ini. Tetapi perbedaan itu hanya membawa faedah, jika dapat diarahkan untuk membuat demokrasi menjadi "proses belajar dan memecahkan masalah." Ikhtilaf itu memang rahmat.
NU DAN UKHUWAH ISLAMIYAH
NAHDLATUL Ulama didirikan atas dasar kesadaran dan keinsafan, bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak ancaman yang membahayakan diri mereka. Persatuan, ikatan batin, saling membantu dan keseia-sekataan merupakan prasyarat dari timbulnya persaudaraan (ukhuwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.(1)
Tujuan utama Nahdlatul Ulama adalah mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian martabat manusia.(2)
Gerakan keagamaan yang digalang dimaksudkan untuk turut membangun dan mengembangkan masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera.(3)
Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (al-ukhuwah), toleransi (at-tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama umat Islam maupun dengan sesama warga negara.(4)
Dan sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan nasional bangsa Indonesia dan akti mengambil bagian dalam pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.(5)
Nahdlatul Ulama dalam hal ini mengembangkan ukhuwwah Islamiyah yang mengemban kepentingan bangsa.(6) Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari menekankan pentingnya ukhuwah(7) dengan mengutip berbagai ayat A1-Qur'an dan Hadits yang berkaitan dengan ukhuwah dimaksud.
***
KATA ukhuwah berasal dari bahasa Arab, adalah bentuk abstrak dari kata akhun. Struktur katanya sama dengan kata bunuwah dari kata ibnun yang artinya anak laki-laki. Akhun dapat berarti saudara, bentuk jamaknya ikhwah, dapat pula diartikan kawan, bentuk jamaknya ikhwan. Kata ukhuwah menurut bahasa bisa diartikan kesaudaraan/persaudaraan atau kekawanan/perkawanan.(8)
Dalam penggunaan sehari-hari, sering juga dipakai dua pengertian tersebut. Dalam Al-Qur’an, hubungan antar kaum mukmin disebut ikhwah bukan ikhwan, yang berarti bahwa orang mukmin bukan sekadar teman bagi mukmin yang lain, namun lebih dari itu adalah saudara.(9) Tetapi dalam ayat lain(10) juga disebutkan sebagai ikhwan yang juga diperkuat oleh hadits.(11)
Ukhuwah Islamiyah, dengan demikian berarti hubungan persaudaraan atau perkawanan antar sesama umat Islam, dan dalam konteks keindonesiaan adalah seluruh umat Islam di Indonesia, baik yang tergabung dalam ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mau pun yang lain.
Ukhuwah Islamiyah dimaksud, seperti lazimnya hubungan persaudaraan antar anggota keluarga tertentu, sebagai suatu komunitas tentu mengandung nilai-nilai pengikat tertentu, baik yang disepakati bersama, yang tumbuh dari keyakinan dogmatis mau pun yang tumbuh secara naluriah atau fitriyah. Tetapi meskipun ada pengikat yang amat kuat dan melekat sekalipun, tidak berarti tanpa perbedaan. Sebagai umat, masing-masing mempunyai ciri, watak, latar belakang kehidupan dan wawasan berbeda satu sama lain.
Unsur pengikat dalam upaya menumbuhkan ukhuwah Islamiyah adalah keimanan atas Allah SWT dan rasulNya, Muhammad SAW. Ikatan akidah inilah yang paling kuat dibandling ikatan darah atau keturunan.(12) Ia merupakan pondasi yang kokoh untuk suatu bangunan yang disebut ukhuwah Islamiyah.
Rasa dan keyakinan satu Tuhan, satu rasul dan seiman, mampu menumbuhkan cinta kasih yang mendalam, yang kemudian diejawantahkan dalam sikap dan perilaku luhur, sarat dengan nilai akhlaq al-karimah dan solidaritas sosial yang dalam. Di sini dituntut adanya kesadaran akan hak dan kewajiban antar sesama muslim dan mukmin.(13)
Meskipun ada perbedaan, kebhinekaan dan keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan, hal itu tidak berakibat munculnya khushumah (permusuhan), 'adawah (perlawanan) maupun muhasadah (saling menghasut), karena kuatnya pengikat tersebut.(14) Dalam hal ukhuwah Islamiyah antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang cukup usia, keduanya mempunyai titik temu dalam konteks keindonesiaan. Titik temu itu pada dasarnya adalah sama, ingin berbuat untuk kemaslahatan umat atau masyarakat di Indonesia yang tercinta ini.
Upaya mewujudkan kemaslahatan itu secara kongkrit merupakan partisipasi nyata dalam pembangunan manusia seutuhnya. Keduanya ingin mengejar kemajuan, menghilangkan keterbelakangan, mengurangi kemiskinan dan mengikis kebodohan. Baik miskin materi, miskin ilmu, miskin moral dan miskin iman.
Ukhuwah yang menumbuhkan sikap saling melengkapi kekurangan dengan dasar ikhlas dan saling pengertian yang luas demi kemaslahatan, merupakan potensi yang selalu didambakan. Tentu saja dalam hal ini masing-masing berada pada posisinya sesuai dengan kelebihan dan potensi yang dimiliki.
***
MEMANG diakui, bahwa realisasi ukhuwah Islamiyah tidak semulus yang ingin dicapai. Di sini perlu telaah mendalam mengenai faktor-faktor penghambat. Secara umum dapat dikemukakan antara lain, adanya fanatisme buta dan rasa bangga diri yang berlebihan. Faktor sektarian ini kadang sampai pada penilaian benar-salah yang mengakibatkan ketegangan atau kesenjangan tertentu.
Faktor lain adalah sempitnya wawasan, ketertutupan dan kurang atau bahkan tiadanya silaturrahim dan dialog mencari titik-titik kemaslahatan. Lebih dari itu, faktor penghambat utama adalah tingkat akhlak yang relatif masih rendah, sehingga sering timbul sikap tahasud, saling mencela dan ghibah (rerasan).
Hambatan yang paling mendasar adalah lemahnya kesadaran dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Padahal Rasulullah sampai-sampai menekankan dan menggantungkan iman seseorang, pada sejauh mana ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri.(15) Yang terjadi justru sebaliknya, seorang mukmin kurang mensyukuri, bahkan tidak senang melihat kesuksesan mukmin lain, terkadang malah lebih senang melihat kegagalannya. Di sini sering terjadi sikap kompetisi yang kurang sehat, sikap ingin mendominasi segala-ganya dan mengklaim apa saja yang berwatak positif bagi diri dan kelompoknya.
Upaya untak mengatasi hambatan-hambatan tersebut dapat dilakukan semua pihak, untuk pada gilirannya ukhuwah itu sendiri menjadi potensi yang sangat bermanfaat bukan saja bagi warga ke dua belah pihak, namun bagi seluruh warga negara Indonesia. Terciptalah kemudian sikap kebersamaan dalam keragaman. Hal ini juga merupakan cerminan dari kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bagaimana menghilangkan atau paling tidak memperkecil porsi sektarianisme dalam berbagai bidang yang menyangkut aspek-aspek kehidupan? Bagaimana pula meningkatkan sikap dan perilaku akhlak karimah serta mengembangkan sikap tasamuh, tawasuth dan i'tidal? Bagaimana pula melembagakan silaturrahim dan dialog untuk mencari titik maslahah untuk menghadapi tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus budaya dan perubahan nilai? Semua pertanyaan ini memerlukan jawaban yang jelas dan konseptual, yang dapat dirumuskan dalam forum-forum yang lebih serius.
Namun sebelum semua pertanyaan di atas akan dijawab, ada satu pertanyaan yang sangat mendasar, yang jawabannya akan sangat mempengaruhi atas perlu tidaknya pertanyaan yang lain dicari jawabannya. Pertanyaan dimaksud ialah, “Benarkah kita berniat menegakkan ukhuwah Islamiyah Indonesia?".
***
Catatan Kaki:
  1. Mukaddimah Khittah 1926 alenia (1)
  2. Ibid alenia (2)
  3. Ibid alenia (3)
  4. Khittah 1926 butir (8)
  5. Ibid
  6. Mukaddimah AD NU - 1984
  7. Mukaddimah Qanun Asasi NU 1926
  8. Kamus al-Munjid
  9. Surat Al-Hujurat ayat 10
  10. QS Ali Imran ayat 103
  11. HR Bukhori dan Muslim
  12. Sayid Quthub Assalam Al-'Aalami
  13. Ibid
  14. Qanun Asasi NU -1926
  15. HR Bukhori dan Muslim
PENGUASA YANG ADIL
KEHARUSAN adanya pemimpin pada setiap komunitas sekecil apapun tidak diingkari baik oleh norma sosial mau pun norma agama Islam. Manusia sebagai makhluk sosial, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selalu berkumpul, bergaul dan berinteraksi dengan sesamanya. Dalam hal ini mereka memerlukan seorang pemimpin yang dipercaya dan mampu memimpin.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah mengatakan, ''Apabila tiga orang keluar bepergian, maka hendaklah mereka menunjuk salah satunya menjadi pemimpin”. Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya meriwayatkan hadits, "Tidak halal bagi tiga orang berada di padang (sakhra') dari bumi, kecuali harus menjadikan salah satunya seorang pemimpin.”
Kata "pemimpin" dan "kepemimpinan" berbeda, yang satu kata benda dan yang lain kata abstrak. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan dalam konsep yang normal. Pemimpin adalah sosok yang berwatak dan berkarakter kepemimpinan, bahkan mampu melaksanakan tugas kepemimpinan. Meskipun demikian tidak mustahil terjadi penyimpangan, dengan diangkatnya seorang pemimpin formal mau pun non formal yang tidak bisa menampilkan sikap dan perilaku kepemimpinan.
***
Bila politik dipahami sebagai kekuasaan formal, maka kepemimpinan politik rnerupakan kekuatan formal untuk menjalankan kekuasaan atas anggota kelompok kecil mau pun besar untuk mencapai tujuan tertentu. Kekuatan itu biasanya didukung oleh mekanisme yang mapan dalam sistem kekuasaan yang dihimpun dari berbagai komponen.
***
AJARAN Islam mengenal istilah siasah syar'iyah dan kepemimpinan formal disebut khilafah, imaratul mu'minin dan imamah kubro. Kalangan Syafi'iyah mengatakan, politik harus sesuai dengan tujuan umum syari'ah Islamiyah, yaitu memelihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Kalangan Hanafiyah mengatakan, siasah adalah suatu upaya memaslahatkan makhluk dengan memberi petunjuk mereka ke jalan yang menyelamatkan di dunia dan akhirat.
Sementara itu Imam Abil Wafa' Ibnu Aqil mengatakan, siasah merupakan perbuatan -sikap dan perilaku- yang melibatkan masyarakat, yang lebih mendekatkan mereka kepada kemaslahatan sekaligus menjauhkan dari mafsadah, meskipun hal itu belum pernah dilakukan oleh seorang Rasul mau pun belum pernah diwahyukan. Sedangkan Yusuf al-Qardlawy menegaskan, siasah ialah suatu tindakan penguasa mengenai maslahah yang dipertimbangkan olehnya.
Ungkapan-ungkapan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa apapun pengertian tentang siasah, ia adalah suatu paradigma yang intinya bertujuan mencapai maslahah di dunia dan akhirat bagi masyarakat. Kemaslahatan mana mesti diarahkan pada pencapaian tujuan umum syari’ah, dengan pengertiannya yang luas dan dinamis, sehingga mampu mengakomodasi segala bentuk transformasi sosial yang terjadi.
Siasah dengan demikian tidaklah hanya terbatas pada politik yang bersifat struktural dan formal. Tetapi lebih dari itu, ia mempunyai kekuatan dan kemampuan mendinamisir warga masyarakat untuk bersikap dan berperilaku politis dengan pertimbangan maslahah yang luas. Siasah demikian akan mampu membentuk infrastruktur yang kuat, sekaligus memperkuat suprastruktur yang seimbang dengan kaidah fiqhiyah, bahwa kebijakan Imam atas rakyatnya harus bergantung pada pertimbangan maslahah. Yusuf al-Qardlawi menegaskan, politik yang adil (al-siasah al-'adilah) bukan harus sesuai dengan syari’at, tetapi harus tidak bertentangan dengan syari'at.
Seperti telah disebutkan, kepemimpinan formal ada yang disebut khilafah, imaratul mukminin dan imamah kubro. Lalu ada pemimpin yang disebut khalifah, amirul mukminin dan al-imam al-akbar. Orang pertarna yang disebut khalifah adalah sahabat Ahu Bakar karena beliau menggantikan Rasulullah dalam memimpin agama dan politik duniawi. Atas dasar itu, beliau tidak rela disebut khalifah Allah. Kemudian sebagian ulama dan ahli fiqih berpendapat, tidak boleh meletakkan sebutan khalifah Allah kepada penguasa atau siapapun. Namun ada sebagian ulama yang memperbolehkan atas dasar ayat A1-Qur'an sebagaimana tersebut dalam kitab Nihayat al-Muhtaj.
Pada periode khalifah Umar bin Khattab, meskipun fungsi khalifah tidak berubah, namun beliau populer disebut Amirul Mukminin. Sedangkan sebutan imam menurut Ibnu Khaldun, adalah karena menyerupai imam shalat dalam hal diikuti oleh para makmum.
Apapun sebutan yang diberikan kepada pemimpin, pada umumnya ia dimaknai sebagai pemimpin tertinggi bagi suatu daulah. Para ulama dalam hal ini mensyaratkan beberapa hal antara lain al-'adalah. Ia harus adil untuk dirinya sendiri dalam arti tidak menjalankan kefasikan serta adil untuk yang dipimpin, dalam arti tidak dza1im. Yang pertama, sebagaimana telah dirinci oleh para ahli fiqih dengan berbagai pandangan, bila ia berbuat kefasikan, bukan berarti ia harus bersih sama sekali dari perbuatan dosa. Tidak ada manusia yang ma’shum kecuali Nabi.
Ini berbeda dengan pendapat kaum Syi'ah Imamiyah al-Ja’fariyah yang berpendapat, Imam adalah ma'shum lahir mau pun batinnya sejak kecil sampai mati, seperti Nabi. Pengertian adil diri di sini adalah bila ia menjalankan kewajiban-kewajiban dirinya sendiri (furudl al-'ain) secara benar sekaligus tidak melakukan dosa besar, serta tidak terus menerus menjalankan dosa kecil.
***
PENGERTIAN 'adalah untuk yang dipimpin atau untuk orang lain secara esensial tidaklah dipertentangkan oleh para ulama. Semuanya sepakat bahwa Imam mutlak harus mempunyai watak, sikap, perilaku dan kebijakan yang berkeadilan terhadap rakyatnya. Mereka tidak saja menggunakan dalil-dalil naqliyah mau pun ‘aqliyah saja, tetapi juga menggunakan dalil-dalil 'adiyah/thobi'iyah.
Keadilan seperti itu oleh bangsa mana pun merupakan norma sosial yang mutlak dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apala bagi seorang Imam. Ketidakadilan seorang Imam akan berdampak negatif secara lebih luas daripada yang dilakukan oleh seseorang yang tidak mempunyai jabatan imamah.
Di dunia ini tidak ada yang menyukai kelaliman, menerima ketidakadilan dan menyetujui kesewenang an . Kecuali bag i mere ka yang tidak normal akal pikirannya, meskipun mereka tak suka dituduh sebagai orang lalim, tidak adil dan sewenang-wenang. Ini berarti, bahwa ketika seseorang menerima jabatan kepemimpinan pada dasarnya telah menyadari adanya tuntutan 'adalah yang tidak dapat ditawar-tawar. Hanya saja yang sering terjadi, manusia tidak menyadari kelemahan, kekurangan dan cacat dirinya sendiri yang dapat mempengaruhi tumbuhnya ketidakadilan.
Berbeda dengan Abu bakar Shiddiq ketika ditetapkan sebagai khalifah. Pertama ia mengakui kekurangannya secara jujur tanpa mempertimbangkan harga diri dan kewibawaannya. Hal ini dapat dipahami dari pidato beliau ketika itu. "Saya telah diberi kekuasaan (tauliyah) atas kalian," kata Abu Bakar, "Padahal saya bukan yang terbaik di antara kalian. Apabila saya benar, dukunglah kepemimpinan saya. Tapi bila salah atau menyimpang, luruskanlah saya. Taatilah sepanjang saya mentaati Allah dalam memimpin kalian. Tapi bila saya berbuat ma'shiyat, maka kalian wajib tidak mentaatinya."
Sahabat Umar bin Khattab pernah mengatakan, "Siapa di antara kalian melihat adanya penyimpangan pada diri saya, hendaklah ia meluruskannya." Salah seorang yang mendengar ucapan beliau langsung menanggapi seraya mengatakan, "Kalau saya melihat ada penyimpangan pada dirimu, maka saya akan meluruskannya dengan pedangku." Kontan ketika mendengar tanggapan ini, Khalifah Umar berujar, "Alhamdulillah bila di antara umat Muhammad ada yang mau meluruskan penympangan Umar dengan pedangnya."
Keadilan mempunyai abstraksi yang sangat luas. Karenanya sering terjadi perbedaan ukuran antara pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpinan berpandangan, bahwa kebijakannya sudah memenuhi kaidah keadilan. Sementara yang dipimpin menganggap kebijakannya belum adil. Dalam hal ini mekanisme musyawarah, dialog demokratis dan terbuka antara keduanya merupakan salah satu cara untuk mencari penyelesaian, dengan berpedoman pada standarisasi keadilan yang telah disepakati dan ditetapkan UU.
***
KEMAPANAN keadaan masyarakat sering dipengaruhi oleh hubungan antara keadilan -ketaatan- dan musyawarah. Keadilan dan ketamerupakan dua hal yang sulit dipisahkan dalam kehidupan masyarakat, karena ketaatan pihak yang dipimpin sering terbentuk oleh keadilan pemimpinnya. Karena ketidakadilan pemimpin, ketaatan umat menjadi surut atau hilang sama sekali, kecuali karena keterpaksaan yang berujung pada adanya ketaatan semu.
Hubungan simbiosis antara keadilan dan ketaatan bukanlah sifat alamiah yang bisa terjadi dengan sendirinya, akan tetapi tergantung pada komitmen-komitmen tertentu yang disepakati kedua belah pihak yang memimpin dan yang dipimpin. Komitmen-komitmen itu akan muncul tergantung pada mekanisme musyawarah dan dialog. Itulah sebabnya Sayyid Quthub mengatakan, “Keadilan, ketaatan dan musyawarah, sangat mendasar bagi kepemimpinan politik dalam Islam.”
Paradigma keadilan dengan demikian selalu berbeda-beda berdasarkan sasaran berbeda. Keadilan ekonmi tentu berbeda dengan keadilan politik, berbeda pula dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Begitu pula batas-batas keadilan akan berbeda-beda atas dasar perbedaan hak dan kewajiban.
Sedangkan hak dan kewajiban setiap individu mau pun jama'ah akan bergantung pada perkembangan status sosialnya. Dalam komunitas keluarga misalnya, mula-mula suami isteri mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Ketika lahir seorang anak, status keduanya berubah dan berkembang menjadi ayah dan ibu, hak dan kewajibannya bertambah pula. Begitu pula keadaannya ketika ia mengangkat seseorang dalam keluarga sebagai pembantu. Statusnya menjadi majikan yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu pula. Dan seterusnya, ketika misalnya suami tersebut dipilih menjadi ketua RT, Kepala Desa dan sebagainya.
Kesadaran dan kemampuan manajemen mengaplikasikan hak dan kewajiban secara seimbang atas dasar kejujuran, keamanatan dan solidaritas yang kuat, merupakan dorongan yang kuat untuk menumbuhkan sikap, perilaku dan kebijakan yang berkeadilan bagi pemimpin.
Imam al-Razi dalam tafsirnya menyitir sebuah hadits yang menegaskan posisi al-'adlu berada di antara alshidqu dan al-rahmah. Dr Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam kitab al-Nidhom al-Siyasi fi al-Islam menegaskan, keadilan pada hakikatnya adalah al-shidqu dan al-rahmah.
Keadilan berarti menegakkan kebenaran dan kejuuran, serta belas kasih dan solidaritas. Dan bahwa kemaslahatan umat bergantung pada al-shidqu, al-'adlu dan al-rahmah. Risalah Rasulullah adalah rahmatan li al-‘alamin. Semoga kita selalu mendapat rahmat Allah.
***
Kepustakaan:
  1. Tafsir Imam Razi
  2. Al-Fajru al-Shodiq - Afandi Shidqi
  3. Al-Islam Baina al-‘Ulama wa al-Hukama’ - Abdul Aziz Al-Badry.
  4. Al-Ahkam al-Sulthoniyah - Al-Mawardy
  5. Al-Ahkam al-Sulthoniyah - Abu Ya'la Al-Hanbali
  6. Al-Nidhom al-Siyasi fi al-Islam - Dr. M. Abd. Qadir Abu Faris
  7. Al-Isti'anah Bighoiri al-Muslimin fi al-fiqih al-Islamy - Dr. AbdulLah bin Ibrahim Al-Thuraifi
  8. Al-'Adalah a1-Ijtima’iyah fi al-Islam - Sayid Quthub
  9. Syari’at al-Islam - Dr. Yusuf Qardlawy
  10. ‘Idhatu al-Nasyi'in - Musthafa al-Ghulayaini
  11. Al-Hasyiyah - Al-Bujairamy
  12. Al-Watsaiqu al-Siyasiyah - M. Humaidullah
  13. Al-Asybah wa al-Nadha'ir - Imam Suyuthi
  14. Al-Siyasah al-Syar’iyah - Ibnu Taimiyah
  15. Nihayah al-Muhtaj - Imam al-Ramly
  16. Al-Muqaddimah – Ibnu Khaldun
ISLAM DAN DEMOKRATISASI
BERBICARA tentang posisi umat IsLam di Indonesia -apalagi bila dikaitkan dengan proses demokratisasi- tidaklah mudah. Hal itu tidak mungkin ditelaah hanya dari sudut pandang mikro-sinkronis. Sudut pandang ini akan sulit menemukan posisi yang tepat, yang selalu berkaitan erat secara simbiosis dengan kondisi dan situasi obyektif yang terjadi. Namun bila hal itu di telaah dari sudut pandang makro-historis tentu akan memerlukan pembahasan yang panjang. Tentu saja hal itu sulit diformulasikan dalam tulisan yang singkat ini. Tulisan ini hanya mencoba melihat berbagai fenomena yang timbul akibat perkembangan partisipasi umat Islam dalam politik, yang tentu juga akan beppengaruh terhadap umat Islam dalam aspek-aspek kehidupan lainmya.
Kita “umat Islam" meskipun dipahami dalam konotasi yang sama, namun seringkali nengalami penyempitan dan pemekaran cakupan dalam penerapannya sebagai subyek mau pun obyek politik. Perubahan ini berjalan mengikuti luas dan sempitnya wawasan gerakan-gerakan Islam yang ada. Pada abad-abad lalu, ketika masyarakat suku-suku bangsa Indonesia masih dijajah oleh pemerintah kolonial, umat Islam hanya meliputi sesama kaum muslimin yang tinggal di sebuah kawasan tertentu, meski masih ada perbedaan antara muslim santri dan muslim nonsantri.
Ketika Indonesia telah merdeka berubah liputannya menjadi kaum muslimin yang membentuk nasion Indonesia. Liputan ini menyempit lagi, ketika mulai muncul kepentingan-kepentingan politik yang berbeda dari banyak faksi. Umat Islam pada saat itu ditujukan hanya kepada mereka yang masuk -atau dimasukkan ke dalam- gerakan-gerakan formal Islam yang bersikap sektarian di kalangan kaum muslimin sendiri.
Perubahan-perubahan seperti itu penting maknanya, dalam spektrum strategi perjuangan lebih luas. Siapa yang dimasukkan ke dalam kategori "umat Islam"? Konsep keumatan yang berbeda-beda itu setidaknya mengacu pada munculnya dua alternatif, apakah perjuangan umat Islam itu sebagai bagian dari sebuah perjuangan umum kemanusiaan atau justru akan merombak visi kemanusiaan menjadi lebih luas dan global yaitu keislaman.
Perbedaan pilihan dari dua alternatif di atas tentu mempengaruhi tujuan dan strategi, yang berdampak pada munculnya perilaku sosial dari gerakan-gerakan Islam yang meletakkan diri dalam situasi dikotomis, antara definisi “kita” dan "mereka", dengan segala konsekuensi yang ditimbulkan. Dampak lain yang timbul adalah perbednan garapan, struktur kepemimpinan, proses pengambilan keputusan, juga tawaran bentuk-bentuk kemasyarakatan yang hendak dibangun.
Dalam hal ini, kasus pertentangan warga NU yang oleh keadaan seperti karena menjadi anggota KORPRI- tidak mungkin menjadi pendukung PPP di satu pihak, dan kawan-kawan seorganisasi induk yang mendukung PPP di lain pihak, adalah contoh menarik untuk ditelaah. Ketika format perjuangan NU diubah oleh Muktamarnya yang ke-27 di Situbondo, yaitu ketika dinyatakan bahwa NU tidak lagi mempunyai kaitan organisatoris dengan organisasi politik manapun. Perubahan besar dalam hubungan kedua belah pihak lalu terjadi dengan dampak-dampak tersendiri.
***
KEKUATAN umat Islam di tingkat elit politik sempat bergulat hebat ketika menentukan bentuk negara antara Islam dan non-Islam, yang akhirnya diselesaikan dengan rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini sebenarnya merupakan simbolisasi besarnya kekuatan ideologis Islam. Namun kekuatan itu tak mampu memegang dominasi percaturan tingkat atas, karena kurang memperoleh dukungan luas dari massa Islam di tingkat bawah. Secara hipotetis, bila dukungan dari bawah cukup besar, tentu umat Islam tidak begitu saja menerima bentuk kompromistik yang dicapai oleh kalangan elit kepemimpinan Islam waktu itu.
Kenyataan inilah yang barangkali masih belum tuntas dipahami oleh sebagian umat Islam Indonesia saat ini. Bahwa kesadaran berbangsa sebagai penggerak utama bagi cita-cita kehidupan masyarakat sebagai bangsa, adalah sesuatu yang harus diterima sebagai fakta obyektif yang tuntas. Meskipun secara bertahap tapi pasti, penerimaan atas kenyataan ini telah berlangsung makin mantap di kalangan umat Islam, utamanya setelah diberlakukannya UU kepartaian dan UU keormasan dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Malahan NU dalam Muktamarnya yang ke-27 di Situbondo menegaskan, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk final bagi kaum muslimin Indonesia.
Ketidakmampuan membaca perkembangan kesadaran politik kenegaraan kaum muslimin ini akan berakibat jauh, karena munculnya pandangan yang terlalu idealistik tentang hubungan Islam dan negara. Ajaran Islam -sebagai komponen yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara Indonesiaseharusnya diperankan sebagai faktor komplementer.
Bagi komponen-komponen lain, bukannya sebagai faktor tandingan yang berfungsi disintegratif terhadap kehidupan bangsa secara keseluruhan. Islam dalam hal ini difungsikan sebagai kekuatan integratif yang mendorong tumbuhnya partisipasi penuh dalam upaya membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan penuh keadilan.
Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya sebagian umat Islam idealis yang memandang Islam tidak hanya berfungsi komplementer terhadap ideologi kenegaraan lain, namun secara sepintas dapat dilihat bahwa massa Islam sudah berdamai dengan ideologi negara dan sekaligus masih mampu mempertahankan kehidupan mereka pada konteks "Islami" tersendiri secara aplikatif. Mereka nampaknya puas dengan sikap akomodatif yang dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah sebagai perwakilan terpenting kaum muslimin Indonesia, untuk menerima fungsi komplementer Islam dalam kehidupan berbangsa. dan bemegara. Ini terbukti dengan dukungan mereka terhadap kegiatan-kegiatan organisasi tersebut mau pun dengan luasnya jangkauan keanggotaan keduanya.
Pada permulaan Orde Baru, Bung Hatta pernah mengambil inisiatif mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia dengan tujuan mendidik umat Islam dalam berpolitik Gagasan ini tidak sampai direalisasikan. Malahan pada akhirnya beliau memandang tradisi politik Islam dari sudut yang positif, menawarkan jalan Islam yang lentur, jika ingin menjalankan peran penting menuju masyarakat yang adil dan makmur. Nampaknya Bung Hatta dengan pendirian terakhir ini lebih melihat ke belakang, sebagai sikap koreksi atas kelemahan politik umat Islam, sekaligus mengantisipasi perkembangan permasalahan politik di masa mendatang.
Kelemahan umat Islam dalam bidang politik bersumber pada perbedaan persepsi tentang hubungan Islam dan politik, diikuti dengan sikap politik yang berbeda pula. Ada sikap menolak terhadap garis yang dianggap menyimpang dari garis vertikal Islam. Ada pula yang tidak hanya menggunakan garis lurus ke atas, akan tetapi juga bersikap mendatar dan kompromi terhadap kekuasaan. Sikap ini lalu mempermudah perilaku akomodatif sepanjang tak mengganggu prinsip yang diyakini. Masih ada lagi sikap lain, misalnya menolak sama sekali kaitan Islam dengan politik, kecuali hanya bersifat kultural.
Dengan persepsi dan sikap yang berbeda tentang hubungan Islam dan politik itu, kiranya dapat dipahami, posisi umat Islam dalam politik dan dalam proses demokratisasi. Bila persepsi yang dominan adalah yang kedua dengan konsekuensi logisnya bersikap akomodatif kritis, maka posisi mereka di dalam pergumulan politis paling tidak adalah sebagai promotor yang dituntut kemampuannya menjadikan Islam sebagai kekuatan integratif yang diaplikasikan ke dalam sikap dan perilaku masyarakat Pancasilais. Tetapi untuk menarik umat Islam dari posisi pinggiran (marginal) diperlukan juga keluasan pandangan keislaman para elite politik Islam sendiri, sekaligus juga keluasan cakrawala umat di luar kekuatan politik Islam, dalam mengarahkan proses kehidupan bangsa.
***
DEMOKRATISASI adalah proses yang mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa. Suatu proses dapat berjalan -lancar atau tidak- akan tergantung pada sistem, mekanisme, power dan sasaran. Bila yang diproses adalah "demokrasi" agar menjadi sikap dan perilaku masyarakat, maka bagi umat Islam yang memiliki persepsi dominan tentang kaitan Islam dan politik, memerlukan konsensus yang didasarkan pada kesadaran pluralistik, yang sebenarnya telah dirumuskan dalam konsep “Bhineka Tunggal Ika".
Kesadaran pluralistik itu berimplikasi pada kesadaran toleransi dan saling menghargai antara berbagai kelompok yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam proses itu, karena pada dasarnya demokrasi tidak mungkin tanpa sikap toleran dan saling menghagai antar pihak-pihak yang bersangkutan. Ini berarti bahwa demokratisasi memerlukan keberanian untuk menjauhkan sektarianisme yang sering merancukan watak toleran dan saling menghargai. Pada gilirannya tidak ada dominasi kekuatan oleh yang besar untuk mengalahkan yang kecil. Kepentingan bersama dianggap lebih afdhol daripada kepentingan sekte tertentu, mengalahkan watak sektarianisme -atau dengan konotasi lain “golonganisme''- yang selalu lebih mengutamakan sektenya.
Terlepas dari apapun bentuk demokrasi yang dimiliki bangsa Indonesia, pengertian demokrasi merupakan norma yang diberlakukan dalam tatanan politik dengan ciri dasar: dari, oleh dan untuk rakyat bersama, mendorong adanya partisipasi rakyat secara penuh pada semua aspek kehidupan, tanpa paksaan dan ancaman. Meski pada tingkat elementer, demokrasi sering dikonotasikan sebagai kemerdekaan atau kebebasan menyampaikan aspirasi, kemauan dan konsepsi-konsepsi politik mau pun kemasyarakatan, meskipun pada batas-batas tertentu harus sesuai dengan konsensus yang dihasilkan.
Partisipasi penuh itu sendiri banyak ditentukan oleh sejauh mana umat menyadari sepenuhnya akan hak dan kewajibannya dalam berbangsa dan bernegara. Hal itu tidak cukup hanya dengan menyadari dan melaksanakan kewajiban secara sepihak. Dalam hal ini, pertanyaannya adalah, sudahkah umat Islam di negeri tercinta ini mengetahui, menyadari, menerima, melakukan dan mengembangkan hak dan kewajibannya, sehingga bersikap dan berperilaku partisipatif dalam semua aspek kehidupan atas dorongan watak demokrasi?
Floating mass memang berjalan dengan dampak positifnya, berupa gairah membangun di kalangan umat bawah dan dicapainya stabilitas. Namun diakui atau tidak, di pihak lain umat Islam di pedesaan menjadi asing dan terasingkan dari arti kegiatan politik yang sebenarnya. Di kalangan mereka terjadi proses depolitisasi yang bermuara pada adanya sikap keawaman di bidang politik, sikap masa bodoh terhadap demokratisasi dan sikap antagonistik pada kegiatan politik yang dianggap mengganggu kepentingannya.
Kalau toh mereka menggunakan hak pilihnya dan mengikuti kampanye dalam pemilu, hanyalah didorong oleh keengganan menghadapi tuduhan menghambat pembangunan, tidak Pancasilais, tidak berpartisipasi dan kadang karena sungkan dengan tetangga atau teman sejawat. Kalau mereka dengar atau memabaca kalimat demokrasi Pancasila, demokrasi ekonomi, demokrasi pendidikan dan seterusnya, mereka akan hanya berhenti di situ saja tanpa menampakkan apresiasi yang sungguh-sungguh untuk mengetahui, apalagi menanggapi lebih jauh.
Ini memang bukan indikasi bagi kegagalan pendidikan politik di kalangan umat Islam di bawah. Akan tetapi paling tidak menghambat proses mengetengahkan umat Islam dalam pergumulan politik dan menjauhkan kesadaran penuh mereka atas hak dan kewajibannya dalam berbangsa dan bernegara. Akan tetapi apa pun yang terjadi, komitmen umat Islam atas bangsa dan negaranya tidak akan berubah karena telah terpatri oleh patriotisme yang tinggi, yang telah tertanam secara inhern dalam dirinya seperti pendahulu-pendahulunya. Oleh karenanya, kita harus bersyukur kepada Allah atas karuniaNya berupa hasil pembangunan yang telah kita rasakan bersama, sehingga pada gilirannya akan menambah karunia yang lebih memenuhi harapan dan cita-cita.
PENDIDIKAN SOSIAL KEAGAMAAN
PENDIDIKAN pada dasarnya adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis, terencana dan terarah. Sedangkan sosial, secara ensiklopedis berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat atau secara abstraksis berarti masalah-masalah kemasyarakatan yang menyangkut pelbagai fenomena hidup dan kehidupan orang banyak, baik dilihat dari sisi mikro individual maupun makro kolektif. Dengan demikian, sosial keagamaan berarti masalah-masalah sosial yang mempunyai implikasi dengan ajaran Islam atau sekurang-kuraangnya mempunyai nilai Islamiah.
Pendidikan sosial keagamaan seperti pada lazimnya mempunyai tujuan, media dan metoda serta sistem evaluasi. Media dalam hal ini bisa berupa kurikulum atau bentuk-bentuk kegiatan nyata. Yang terakhir inilah yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
***
AJARAN Islam atau lebih khusus syari'at Islam, mempunyai titik singgung yang sangat kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena, syari'at Islam itu sendiri justru mengatur hubungan antara manusia (individual mau pun kelompok) dengan Allah SWT, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Hubungan pertama terumuskan dalam bentuk ibadah (baik individual maupun sosial). Interaksi kedua terumuskan dalam bentuk mu'amalah dan mu'asyarah. Prinsip mu'amalah dalam Islam, tidak menitikberatkan pada penguasaan mutlak bagi kelompok atas pemilikan alam, sehingga menjadikan penguasaan individual, sebagaimana paham sosialisme (al-isytirakiyah al-mutlaqah). Ia juga tidak menitikberatkan penguasaan bagi individu secara mutlak yang cenderung pada sikap monopoli tanpa memiliki konsen (kepedulian) terhadap yang lain, sebagaimana dalam kapitalisme (al-ra'sumaliah al-mutlaqah).
Akan tetapi Islam menghargai hak penguasaan individual yang diimbangi dengan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing dan tanggung jawab kelompok. Pembuktian prinsip ini bisa dilihat pada pelbagai hal, antara lain berlakunya hukum waris, zakat, nafkah, larangan judi, larangan menimbun barang kebutuhan pokok sehari-hari dan lain-lain.
Sedangkan prinsip mu’asyarah dalam Islam dapat dilihat dalam pelbagai dimensi kepentingan dan struktur sosial. Dalam kepentingan kemaslahatan umum, kaum Muslimin dituntut oleh ajaran Islam sendiri agar bekerja sama dengan penuh tasamuh (toleransi) dengan pihak-pihak di luar Islam. Sedangkan antara kaum Muslimin sendiri, Islam telah mengatur hubungan interaksinya dalam kerangka ukhuwah Islamiah bagi segala bentuk sikap dan pelilaku pergaulan sehari-hari.
Dari sisi struktur sosial yang menyangkut setratifikasi sosial bisa dilihat, bagaimana ajaran Islam mengatur interaksinya, misalnya hubungan lingkar balik antara ulama, umara' (pemerintah), aghniya' (orang kaya) dan kelompok fuqara’ (orang fakir). Pendek kata, dalam Islam terdapat aturan terinci mengenai mu'asyarah antara pelbagai kelompok sosial dengan pelbagai status masing-masing.
***
DISIPLIN sosial secara sosiologis dapat diartikan sebagai suatu proses atau keadaan ketaatan umum atau dapat juga disebut sebagai "ketertiban umum". Ketertiban itu sendiri merupakan aturan mu'asyarah antar masyarakat baik yang ditentukan oleh perundang-undangan mau pun yang tidak tertulis, hasil bentukan dari suatu kultur atau budaya. Dapat juga, ia merupakan nilai-nilai yang berlaku, baik yang berorientasi pada budaya mau pun agama.
Bagi Islam, bentuk disiplin sosial adalah kesadaran menghayati dan melakukan hak dan kewajiban bagi para pemeluknya, baik dalam sikap, perilaku, perkataan perbuatan mau pun pemikiran. Dalam hal ini, di dalam Islam dikenal ada huquq Allah (hak-hak Allah) dan huquq al-Adami (hak-hak manusia). Sedangkan hak-hak manusia pada hakikatnya adalah kewajiban-kewajiban atas yang lain. Bila hak dan kewajiban masing-masing bisa dipenuhi, maka tentu akan tirnbul sikap-sikap sebagai berikut:
Solidaritas sosial (al-takaaful al-ijtima'i), toleransi (al-tasamuh), mutualitas/kerjasama (al-ta’awun), tengah-tengah (al-i'tidal), dan stabilitas (al-tsabat).
Sikap-sikap itu merupakan disiplin sosial yang sangat erat hubungannya dengan ajaran Islam yang mempunyai cakupan luas, seluas aspek kehidupan yang berarti, bahwa Islam sebenarnya mampu menjadi sumber referensi nilai bagi bentuk-bentak kehidupan sosial. Lebih dari itu, mengaktualisasikan sikap-sikap itu dengan motivasi ajaran dan perintah agama, berarti melakukan ibadah. Disiplin sosial dapat juga identik dengan ibadah dalam Islam (dengan amal).
Dari uraian pada ketiga kerangka di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa masalah-masalah sosial ke agamaan Islam meliputi semua aspek kehidupan sosial sementara itu ajaran Islam telah meletakkan landasan yang kuat dan fleksibel bagi sikap dan perilaku dalam disiplin sosial.
Pendidikan ke arah itu sebenarnya implisit masuk dalam pendidikan Islam. Karena pendidikan Islam seutuhuya yang menyangkut iman (aspek 'aqidah), Islam (aspek syari'ah), dan ihsan (aspek akhlaq, etika dan tasawuf) akan berarti melibatkan semua aspek rohani dan jasmani bagi kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun makhluk sosial.
KITAB KUNING DI PESANTREN
SEBAGAI lembaga tafaqquh fiddin pesantren yang tersebar luas di Indonesia sejak munculnya hingga sekarang memang mernpunyui daya tarik, baik dari sosok luarnya, kehidupan sehari-harinya, potensi dirinya, isi pendidikannya, sistem dan metodanya. Semua menarik untuk dikaji. Tidak aneh bila belakangan ini banyak ilmuwan dalam dan luar negeri dari kalangan Islam dan non-lslam, mengarahkan penelitiannya pada pesantren.
Tentu saja mereka mempunyai latarbelakang dan tujuan yang berbeda-beda. Namun yang jelas mereka berkesimpulan, di pesantren terdapat sesuatu yang spesifik, tidak akan ditemukan di luar pesantren atau lembaga pendidikan lain. Di pesantren terdapat pula nilai-nilai di dalam kulitnya yang sangat menarik untuk dijadikan sebagai bahan kajian.
Muncul juga berbagai skripsi, disertasi, dan tulisan tentang pesantren. Seminar, lokakarya, dan diskusi tentang kepesantrenan diadakan, bukan saja oleh kalangan pesantren sendiri, tetapi juga oleh lembaga-lembaga pemerintah mau pun swasta, bahkan di Jerman Barat tahun 1987 yang lalu.
Di antara sekian banyak hal yang menarik dari pesantren dan yang tidak terdapat di lembaga lain adalah mata pelajaran bakunya yang ditekstualkan pada kitab-kitab salaf (klasik) yang sekarang ini terintroduksi secara populer dengan sebutan kitab kuning. Disebut kitab kuning karena memang kitab-kitab itu dicetak di atas kertas berwarna kuning, meskipun sekarang sudah banyak dicetak ulang pada kertas putih. Kuning memang suatu warna yang indah dan cerah serta tidak menyilaukan mata.
Kitab kuning memang menarik, tentu saja bukan karena warnanya kuning, tetapi karena kitab itu mempunyai ciri-ciri yang melekat yang untuk memahami nya memerlukan keterampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab saja. Sehingga banyak sekali orang pandai berbahasa Arab, namun masih kesulitan mengklarifikasikan isi dan kandungan kitab-kitab kuning secara persis. Sebaliknya tidak sedikit ulama yang menguasai kitab-kitab kuning tidak dapat berbahasa Arab.
***
KITAB kuning di pesantren sebenarnya tidak hanya mencakup ilmu-ilmu tafsir, ulumu al-tafsir, asbabu al-nuzul, hadits, ulum al-hadits, asbabu al-wurud, fiqih, qawa’id al-fiqihiyah, tauhid, tasawwuf, nahwu, sharaf dan balaghah saja. Lebih dari itu -meskipun hanya sebagai referensi kepustakaan pesantren- kitab kuning mencakup ilmu ilmu mantiq, kalam,, faraidh, hisab, adabu al-bahtsi wa al-munadzarah (metode diskusi), thibb, hayatu al-hayawan, tarikh, thabaqat (biodata) para ulama, bahkan sudah ada katalogisasi atau anotasinya, misalnya kitab Kasyfu al-Dzunun fi Asm’i Kutub al-Funun.
Sistematika penyusunan kitab-kitab kuning pada umumnya sudah begitu maju dengan urutan kerangka yang lebih besar kemudian berturut-turut sub-sub kerangka itu dituturkan sampai pada yang paling kecil. Misalnya, kitabun kemudian berturut-turut babun, fashlun, far’un dan seterusnya. Sering juga dipakai kerangka muqaddimah dan khatimah. Bahkan tidak sedikit yang pada awal pembahasannya diuraikan sepuluh mabadi' (mabadi' 'asyrah) yang perlu diketahui oleh setiap yang mempelajari suatu ilmu tertentu.
Ciri lain yang ada pada kitab kuning adalah tidak menggunakan tanda baca yang lazim. Tidak pakai titik, koma, tanda seru, tanda tanya dan lain sebagainya. Subyek dan predikat sering dipisahkan dengan jumlah mu’taridlah yang cukup panjang dengan tanda-tanda tertentu. Hal inilah yang sangat memerlukan kecermatan dan keterampilan agar pembaca memahami bentuk makna dan kandungannya, bahkan dapat menginterpretasikan dan menganotasikan secara luas.
Masih ada ciri lain khususnya yang terdapat pada kitab-kitab fiqih mazhab Syafi'i. Pada kitab-kitab ini selalu digunakan istilah (idiom) dan rumus-rumus tertentu. Misalnya untuk menyatakan pendapat yang kuat dipakai kalimat al-mazhab, al-ashah, al-shahih, al-arjah, al-rajih dan seterusnya. Misalnya lagi, untuk mengatakan kesepakatan antar ulama beberapa mazhab digunakan kalimat ijma’an dan untuk menyatakan kesepakatan intern ulama satu mazhab digunakan kalimat ittifaqan. Padahal kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama menurut bahasa.
***
PROSES mengajarkan kitab kuning di pesantren melalui dua tahap. Tahap pertama dengan menggunakan metoda "utawi iki iku" dengan rumus huruf mim dan kha dan seterusnya, untuk menguraikan arti tiap kalimat dan huruf-huruf yang bermakna sekaligus juga rnenguraikan kedudukan tarkib dari sudut kaidah nahwu dan sharafnya. Tahap berikutnya adalah penjelasan dan ulasan dari isi kandungannya secara tekstual-harfiah (letterlijk) maupun sampai dengan pengertian-pengertian di baliknya (mafhumat).
Tahap pertama yang tradisional itu, meskipun kelihatan agak rumit dan unik serta memakan waktu cukup panjang, namun sangat menguntungkan para santri dan mempermudah penangkapan kandungannya pada tahap berikutnya. Karena untuk mengetahui dan memahami kandungan dari sebuah ungkapan kitab kuning secara benar, sangat bergantung pada pemahaman atas makna masing-masing kalimat dan huruf-huruf bermakna, serta kedudukannya menurut kaidah nahwu-sharaf, lengkap dengan konteks-konteksnya.
Sedangkan tahap kedua merupakan penjabaran tuntas secara analisis dari yang bersifat manthuqat sampai dengan mafhumat.Bahkan sering juga pada kedua tahap itu, para kiai pembaca kitab kuning merespon dengan alasan-alasan yang memperkuat ungkapan itu sendiri, atau kadang-kadang menentang atau meluruskan yang dipandang tidak benar atau tidak tepat, sebagaimana lazimnya dilakukan oleh ahli-ahli syarh dan hasyiyah.
Proses tersebut praktis dan relatif lebih cepat bila misalnya dibandingkan dengan cara mengajarkan kitab kuning di Masjid al-Haram Makkah. Di sana, seorang Syekh pertama-tama membaca seluruh lafal sampai batas tertentu, kemudian menguraikan arti masing-rna- sing kalimat, baru kemudian menerangkan kedudukannya menurut kaidah nahwu-sharaf, seperti Imam al-Kafrawi menguraikan i’rab matan al-Ajurumiyah. Terakhir, baru menguraikan isi kandungannya panjang lebar.
Namun dengan cara pesantren, para santri dapat secara aplikatif lebih memahami kaidah nahwu-sharaf, dibandingkan dengan bila pengajaran kitab dilakukan dengan metoda lepas, dengan penterjemahan langsung dan bebas. Lebih dari itu, para santri dapat menghayati dan menumbuhkan dzauq al-'Arabiyah, yang sangat mempengaruhi pemahaman atas nilai sastra yang dikandung Al-Qur'an.
Metode sorogan juga sering dilakukan di pesantren. Prosesnya sama dengan di atas. Bedanya, pada metoda sorogan, si santri membaca kitab, sedangkan kiai mendengarkan dan memberikan petunjuk. Metoda ini merupakan kategori kedua (bi al-qira'ah) dari pedoman meriwayatkan ilmu di dalam dunia pesantren (terutama bagi periwayatan hadits). Yang pertama adalah kiai (guru) yang membaca dan santri mendengarkan (bi al-sama’).(1) Dan, yang ketiga kiai dan santri sama-sama tidak membaca, tapi si kiai memberikan ijazah pada si santri untuk mengajarkan suatu hadits atau kitab. Kategori ini biasanya hanya diberikan kepada santri-santri senior.
***
CIRI lain yang tidak terdapat di luar kitab kuning adalah, para kiai mempunyni sambungan langsung dan berturut-turut dengan guru-gurunya sampai dengan pengarang (mu’allif) kitab itu. Ini menjamin materi yang dinjarkan dapat dipertanggungjawabkan sebagai sesuatu yang benar-benar didapat dari sumber-sumber terpercaya. Hal inilah yang dikenal di kalangan pesantren sebagai silsilah guru atau sanad.
Metoda pengajaran kitab kuning seperti di atas menumbuhkan kepekaan dan kejelian yang melekat bagi santri dalam mengkaji kitab kuning dari sisi bacaannya secara harfiyah. Sering terjadi di dalam forum munadzarah atau bahtsul masa'il, begitu ada yang keliru pada waktu membacakan nash kitab kuning, meskipun hanya satu harakat saja, para peserta yang lain spontan protes dan kadang mengambil kesimpulan, si pembaca kitab itu ilmunya belum begitu dalam. Padahal pemahaman isi pembaca atas kandungan ibarat yang dibaca itu belum tentu salah.
Kejelian dan kepekaan seperti di atas merupakan fenomena dan kecenderungan santri, lebih mengutamakan kulit (tekstual) yang hanya terpaku pada bunyi nash kitab kuning. Ketika masalah-masalah aktual harus dipdan dicari jawabnya, maka masalah itu ditarik ke atas untuk disesuaikan dengan nash tersebut. Ini membuat watak kitab kuning menjadi legalistik. Akibatnya, bila realitas masalah tidak mungkin ditarik ke atas, lalu dipending (mauquf).
Kitab kuning sebagai referensi ilmiah bagi pesantren seharusnya lebih merupakan garis mendatar yang memberikan konsep-konsep pendekatan terhadap masalah-masalah ritual maupun sosial. Dalarn hal ini, peningkatan kajian kitab kuning sebagai sumber pendekatan masalah, dapat diupayakan dengan metoda munadzrah yang tidak hanya sekedar mencari jawab atas suatu masalah global yang sering tidak dipertimbangkan implikasinya dengan aspek-aspek lain yang berkaitan, seperti yang sering terjadi pada bahtsul masa'il di beberapa pesantren.
Namun lebih dari itu, munadzarah dimaksud dimodifikasi sedemikian rupa, agar dapat menyusun konsep-konsep aktual yang mampu menjadi rujukan yang memadai bagi permasalahan sosial yang berkembang, sehingga pada gilirannya akan terjadi perubahan wawasan dari yang bersifat tekstual menjadi bersifat kontekstual.
Peningkatan munadzarah seperti ini tentu saja harus melibatkan berbagai disiplin ilmu dan profesi, di samping para ahli kitab kuning. Ini tidak berarti mengubah atau menghilangkan metoda tradisional di atas, akan tetapi mencoba mengurangi fenomena dan kecenderungan legalistik yang tumbuh akibat metoda itu sendiri. Bila peningkatan dimaksud tidak diupayakan, dikhawatirkan, kepercayaan masyarakat kepada keluasan kitab kuning cenderung melemah. Perkembangan wawasan sosial dan kemajuan teknologi selalu menuntut konsepsi-konsepsi yang dapat menjadi alternatif pemecahan masalah yang sedang dan akan dihadapi masyarakat maju atau masyarakat berkembang.
Kajian kitab kuning lalu tidak terbatas pada kalangan santri/pesantren, oleh dan untuk kalangan mereka saja. Dengan kata lain, kitab kuning dalam kajiannya akan mampu berdialog dengan referensi-referensi ilmiah di luar pesantren. Pada gilirannya, pesantren di tengah-tengah masyarakat modern ini, tetap tegar dan menjadi kebutuhan.
***
  1. Sesuai dengan versi cetaknya, poin kedua terlewatkan. Yang kedua adalah bi al-qira’ah, santri membaca, guru mendengarkan sambil memberikan petunjuk.
MADRASAH DARI MASA KE MASA
BERBICARA tentang perkembangan madrasah tidak bisa lepas dari perkembangan Islam di Indonesia. Bermula dari keinginan para pemeluk Islam mempelajari dan mendalami lebih jauh tentang ajaran agamanya, muncul pendidikan agama yang secara sporadis dilaksanakan di rumah-rumah, langgar, masjid, lalu berkembang menjadi lembaga yang disebut pondok pesantren.
Pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sejarah tidak mencatat secara persis kapan pesantren mulai ada. Namun sekurang-kurangnya bisa diketahui, pada awal abad ke-17 terdapat pesantren di Jawa yang didirikan oleh Sunan Malik Ibrahim di Gresik (tahun 1619).
Baru pada akhir abad ke-19, Belanda atas saran Snouck Hurgronje mulai memperkenalkan sistem pendidikan klasikal untuk memperluas pengaruh pemerintah kolonialnya dan menandingi pengaruh pesantren yang luar biasa. Pesantren selalu waspada terhadap politik etis Belanda.
Setelah menyadari perlunya perubahan atau penambahan sistem pendidikannya, maka baru pada awal abad ke-20, pesantren memperkenalkan sistem klasikal yang disebut madrasah. Sistem ini dilengkapi dengan pengetahuan umum -walaupun masih sangat terbatas- sebagai jawaban positif atas terjadinya perubahan-perubahan akibat politik etis kolonial.
Madrasah sudah mengajarkan pengetahuan umum sejak awal, sesuai dengan kebutuhan. Namun ia tetap merupakan pengembangan dari pesantren, menekankan pendidikan keagamaan Islam, terutama menyangkut disiplin akidah, syari'ah dan akhlak. Titik tekan ini masih mampu dipertahankan secara mencolok sampai akhir masa penjajahan Jepang.
Prestasi yang dapat dilihat adalah munculnya para alumni yang mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai. Mereka dinilai tangguh dan mampu mengembangkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam, juga memiliki kepekaan tinggi terhadap masalah sosial dan lingkungan.
Madrasah dengan titik tekan materi pendidikannya di atas, diperkuat lagi dengan sikap non-kooperatif para pendirinya terhadap pemerintah kolonial Belanda, sengaja tidak menelorkan anak didik sebagai tenaga kerja dan birokrat kolonial. Kegiatan pendidikan yang diciptakan pesantren dan madrasahnya tidak diproyeksikan pada produktifitas kerja.
Madrasah dan pesantren bahkan menentang paham priyayiisme yang sengaja diangkat oleh Belanda untuk
menarik pengaruh masyarakat terhadap timbulnya 'nilai lain' akibat perbedaan status sosial. Ijazah-ijazah formal sebagai tanda keberhasilan pendidikan murid, belum mampu mempengaruhi mereka untuk mengubah pandangan, dari dasar menuntut ilmu li wajhillah ke arah pandangan yang bersifat duniawi. Dari sini timbul watak kemandirian, sebuah ciri utama dan identitas madrasah waktu itu, sesuai dengan induk pengembangnya yaitu pesantren.
***
KETIKA awal masa kemerdekaan RI sampai adanya SKB Tiga Menteri, madrasah dengan persentase lumayan masih konsisten berdiri di atas orientasinya sendiri. Perubahan struktur sosial kemudian mendorong pesantren menyesuaikan diri dengan kebutuhan mendasar yang dipolakan oleh sistem pendidikan nasional. Berbagai komponen bidang studi yang semula belum menjadi wilayah garapan madrasah, lalu muncul.
Dulu madrash hanya mengenal sistem klasikal dalam bentuk shiff (kelas) satu sampai dengan enam atau sampai belasan (seperti di Madrasah Mamba’ul Ulum). Kini, pengelolaannya semakin meningkat dengan sistem manajerial madrasah. Ada komponen kurikulum secara teratur, ketatausahaan yang lengkap dan sebagainya. Pendek kata, madrasah mulai berusaha mengembangkan dirinya sesempurna mungkin, sebagai sisi lain dari sistem pendidikan nasional, terutama pada waktu lembaga ini menjadi rival Departeman Agama dengan kebijaksanaanya membentuk MWB (Madrasah Wajib Belajar).
Bila pada awal kemerdekaan, madrasah pada galibnya menolak campur tangan pemerintah, sikap itu muncul terutama karena negara baru ini berwatak duniawi dan nasionalistis. Sedangkan madrasah yang dikelola swasta memiliki tradisi keagamaan. Mulai masa MWB itu, rnadrasah mengakomodasikan sikap. Subsidi pemerintah dalam bentuk material mulai diterima. Maknanya, ia mulai membuka keterlibatan pemerintah dalam dunianya. Guru Agama Negeri -walaupun secara selektif- mulai diterima, bahkan menjadi kebutuhan terutama bagi yang kekurangan tenaga guru.
Ide peningkatan madrasah yang datang dari pemerintah untuk mengubah orientasi kepada pola sistem pendidikan mulai diterima, sekurang-kurangnya dipertimbangkan. Kurikulum mulai dibicarakan bentuk dan ragamnya yang sesuai dengan peningkatan kualitasnya. Sejak ini, banyak perubahan-perubahan besar di madrasah. Akan tetapi secara ideal saat itu madrasah masih dapat konsisten pada titik tekan disiplin ilmunya, walaupun dipandang dari sudut prestasinya mengalami penurunan.
Ilustrasi di atas memperlihatkan, madrasah mampu menunjukkan daya adaptasi untuk menyerap unsurunsur inovasi. Lebih dari itu, madrasah mempunyai daya tangkap terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sekelilingaya.
Yang menjadi masalah sekarang ialah, apakah proses penyerapan unsur-unsur baru dan perubahan hasil daya tangkap terhadap persoalan masyarakat itu memperkuat identitasnya semula (karakter keagamaan dan kemandiriannya), atau justru memperlemah dan akhirnya menghilangkan sama sekali identitasnya? Apakah proses dan perubahan itu memberikan makna baru bagi identitas lama tersebut?
***
SUATU fenomena lain yang merupakan kelanjutan dari proses itu ialah ketika SKB Tiga Menteri tahun 1975 diterapkan pada madrasah. Sejak itu madrasah dituntut mengikuti berbagai perkembangan sosial lebih jauh lagi dan beradaptasi dengan pola hidup masyarakat. SKB itu sebenarnya merupakan bentuk legalisasi saja dari tuntutan itu.
Mulailah madrasah menstandarkan kurikulumnya dengan sekolah dan madrasah negeri. Apalagi setelah terbukanya kesempatan penegerian madrasah atau sekurang-kurangnya memfilialkan dengan negeri, ujian persamaan negeri dan UUB di madrasah.
Perubahan di madrasah kini tidak hanya terjadi pada kurikulum silabusnya dengan literatur yang baru, akan tetapi wawasannya juga berubah. Pendidikan di madrasah mulai berimplikasi pada kebutuhan hidup murid dan status sosial mereka di masa mendatang. Ijazah formal madrasah, ijazah hasil ujian persamaan negeri menjadi amat penting dan berpengaruh mengubah pandangan ke arah duniawi.
Nilai belajar li wajhillah mulai pudar atau hilang sama sekali, digeser oleh niat lil ijazah. Pandangan priyayiisme yang dulu ditentang oleh madrasah, sekarang justru ditolerir. Penilaian prestasi madrasah diukur secara kuantitatif dengan banyak sedikitnya siswa yang lulus ujian negeri. Komponen pendidikan agama menjadi sesuatu yang rutin saja. Rasa ketergantungan kepada pihak lain mulai menggeser watak kemandiriannya.
Gambaran di atas menunjukkan adanya perubahan nilai di madrasah. Orientasi dan titik-tekan materi pendidikan yang secara esensial menjadi identitasnya semula, menjadi hambar dengan konsekuensi mengubah posisi madrasah menjadi tidak jelas. Akhirnya madrasah di mata para peserta didik yang kritis, kurang mendapat perhatian kecuali kadang-kadang dianggap hanya sebagai tempat pelarian belajar.
***
STRUKTUR sosial dan sistem nilai yang berkembang di masyarakat mempunyai dampak yang kuat terhadap pendidikan termasuk di madrasah. Jika pemerintah kini sedang mengupayakan agar tahun 2000 Indonesia sudah mampu tinggal landas terbang mencapai status "negara maju", tentu akan terjadi berbagai perubahan besar. Antara lain peranan sektor industri akan semakin besar, menggeser peranan sektor pertanian yang selama ini menjadi tumpuan lapangan kerja sebagian besar penduduk Indonesia, terutama 80% penduduk desa.
Bersamaan dengan itu, sektor jasa yang selama ini relatif masih terbatas juga akan mengalami perubahan besar, di mana peranan modal dan keterampilan akan sangat menentukan. Alam lingkungan tidak begitu ramah lagi, antara lain disebabkan laju pertumbuhan penduduk yang terus membengkak dan akan banyak mempengaruhi kebebasan dan kelestariannya.
Semua perubahan yang akan terjadi itu tentu akan mempengaruhi pendidikan madrasah. Sedangkan perubahan yang terjadi pada diri madrasah, dengan serinya rnembawa kemelut dalam wawasan yang dimilikinya. Madrasah tidak dapat mengubah wawasan pendidikannya begitu saja, tanpa kehilangan identitas diri semula.
Tanpa mampu memecahkan masalah dilematik seperti itu, madrasah jelas tidak mampu melakukan kerja pengembangan apapun yang bersifat konsepsional. Di sinilah madrasah dihadapkan kepada masa esok yang cerah atau suram, tergantung kemampuan madrasah mengembangkan dirinya sekaligus memecahkan masalah dilematik di atas.
Satu hal yang harus dilakukan oleh madrasah dalam pengembangan diri ialah, melihat masalah-masalah dasar yang dihadapi madrasah. Masalah-masalah dasar itu dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, baik yang bersifat internal (seperti kualitas pimpinan dan pengelola pendidikan madrasah), maupun yang bersifat eksternal (seperti aspirasi umat, perkembangan sosial dll). Namun pada dasarnya, masalah utama yang dihadapi madrasah adalah:
a. Masalah identitas diri madrasah, dalam hubungannya dengan karakteristik dan kemandiriannya terhadap lembaga-lembaga lain di masyarakat.
b. Masalah jenis pendidikan yang dipilih sebagai alternatif dasar yang akan dikelola untuk menciptakan satu sistem pendidikan yang masih memiliki titik-tekan keagamaan, tetapi pengetahuan umum tetap diberi porsi cukup sebagai basis mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat.
c. Masalah sumber daya internal yang ada dan pemanfaatannya bagi pengembangan madrasah sendiri di masa esok.
***
SATU hal yang rumit bagi madrasah adalah, usaha pengembangan yang diarahkan untuk mendekatkan atau menghilangkan sama sekali polarisasi dua orientasi-orientasi agama dan orientasi umum- menuju keseimbangan dalam porsi yang sama. Tujuan itu juga erat korelasinya dengan identitas madrasah. Madrasah adalah madrasah, bukan sekolah umum dan tentu memiliki identitas sendiri, walaupun "madrasah" dari segi bahasa adalah nama lain dari "sekolah".
Madrasah sebagai lembaga pendidikan lslam, kecuali memiliki identitas sendiri, juga mempunyai tujuan bagi sasaran didiknya. Dilihat dari sudut sasaran ini, ada dua dimensi yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan tujuan pendidikan. Secara mikro dapat dipandang, peserta didik sebagai makhluk individu, dan secara makro dipandang sebagai makhluk sosial.
Sebagai individu, ia diharapkan menjadi manusia "akram” dan "shalih" dalam artinya yang luas. Sedangkan sebagai makhluk sosial diharapkan menjadi manusia yang bertanggung jawab kepada masyarakat, dalam rangka melaksanakan dua tugas utama 'khalifatullah" di atas bumi ini, yaitu ’ibadatullah dan 'imaratul ardli (beribadah kepada Allah dan membangun di atas bumi). Kesemuanya itu diarahkan untuk mencapai tujuan hidup manusia, yakni sa'adatud darain.
Madrasah yang juga sebagai media perjuangan rnempertahankan ajaran Islam, amat penting diusahakan kelestarian dan keberadannnya di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan akan tinggal landas. Madrasah harus mampu secara dinamis dan kreatif menjawab segala tantangan seraya memperkuat misinya, tanpa kehilangan identitasnya yang hakiki. Dalam hal ini, madrasah tidak boleh menutup mata sebelah terhadap kenyataan-kenyataan yang dihadapi, akan tetapi juga tidak selalu melihat (meniru) perkembangan kemajuan yang terjadi di sekelilingnya.
***
PROBLEMATIKA madrasah dewasa ini perlu disimak dan diamati secara akurat, sebagai bahan mengaca diri untuk memetakan prospeknya di masa mendatang. Upaya ini mesti berangkat dari kondisi objektif, utamanya di bidang pendidikan yang mempengaruhi proses perkembangan madrasah itu sendiri.
Dewasa ini, setiap anggota masyarakat dengan berbagai latar belakang stratifikasi sosialnya mempunyai persepsi dan antisipasi pendidikan yang berbeda-beda. Ada yang melihatnya dari sisi kegunaan praktis sebagai suatu bidang usaha yang bersifat ekonomis. Di pihak lain pendidikan dipandang sebagai sarana pembinaan kehidupan nilai-nilai budaya.
Pandangan pertama menumbuhkan kecenderungan perlunya menempatkan usaha pendidikan sebagai sarana mutlak untuk membentuk kualitas manusia yang bertumpu pada produktivitas kerja. Sedangkan pandangan kedua menekankan pendidikan moral dan budaya. Sementara itu, tujuan pendidikan nasional seperti dalam GBHN, untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa-bangsa".
Pengertiannya, pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam proses pembangunan yang mempunyai cakupan lebih luas lagi ketimbang kedua pandangan di atas.
Madrasah pada umumnya, terutama dalam dekade terakhir ini, tampaknya mempunyai kecenderungan mencari pemecahan problematika dengan caranya sendiri. Rumusannya bisa jadi terpengaruh berbagai pola pandangan di atas atau karena lingkungan yang menuntut sikap akomodatif pada dirinya.
Pada prinsipnya, bentuk pemecahan itu ialah mengkompromikan antara wawasan di atas dengan konsekuensi orientasinya sendiri menjadi tidak jelas, walaupun arah sasaran akhirnya jelas untuk mengejar kredibilitas atau akreditasi langsung mau pun tidak langsung, demi mensejajarkan dirinya dengan "sekolah" (baca: bukan madrasah). Lalu berdirilah Madrasah Aliyah IPA (sekarang ada A2), ada lagi Aliyah IPS (sekarang A3) dan lain sebagainya.
Madrasah tidak lagi mempermasalahkan "identitas". Otonomi madrasah yang notabene "swasta" dan "mandiri" mulai berkurang. Upaya pengembangan kurikulum tersendiri untuk mengatasi problem-problem yang dihadapi masyarakat -termasuk komponen pendidikan agama sekalipun- mulai kurang dihiraukan demi mengejar status. Etatisme (kehidupan serba-negara) mulai mempengaruhi sikap, pandangan ataupun wawasannya.
Ijazah formal menjadi amat penting, bahkan manfaat ekonomisnya selalu diintrodusir kepada para peserta didik sebagai motivasi kegairahan peningkatan proses belajar-mengajar. Ironisnya, menurut Dr. Ir. Seno Sastroamidjojo -guru besar Universitas Diponegoro- masyarakat sendiri mendukungnya. Opini umum mengatakan, ijazah merupakan legitimasi untuk memperoleh pekerjaan.
Jadi proses pendidikan sekarang ini tidak lagi memacu kreativitas alumninya untuk menciptakan pekerjaan, namun mencari dan menunggu datangnya pekerjaan. Ini suatu proses ketergantungan. Lebih tandas lagi, sosiolog Dr. Loekman Sutrisno dari UGM- mengatakan, “Yang ada sekarang adalah intelektual-intelektual yang hanya berorientasi pada ekonomi. Kemudian timbul erosi, di antaranya gejala mahasiswa ingin cepat selesai, dapat pekerjaan dan jadi birokrat".
***
DAMPAK dari kenyataan-kenyataan di atas, secara kurang disadari oleh madrasah, ialah adanya semacam ambivalensi wawasan pada diri madrasah yang mengakibatkan makin kurang jelasnya orientasi yang dimiliki.
Kredibilitas formal sebuah lembaga pendidikan dengan segala konsekuensinya, secara argumentatif tidak mungkin dihindari. Tapi secara sportif harus diakui, hal itu melemahkan, bahkan mendangkalkan misi madrasah yang mempunyai ciri intrinsik berupa tradisi keilmuan agama Islam. Tata nilai Islami sebagai sumber referensi yang mampu melakukan transformasi kultural dan membentuk sikap rasional Islami dalam membangun manusia seutuhnya, mulai diabaikan.
Problem masyarakat yang belum mendapat perhatian serius dari kalangan madrasah, ialah kian meledaknya secara dahsyat jumlah anak usia sekolah yang sangat memerlukan bimbingan dan pendidikan agama Islam. Sebagai indikatornya, mushala, masjid, majelis ta'lim dan madrasah yang secara kuantitatif meningkat, semuanya dibanjiri oleh sekurang-kurangnya 70% dari kalangan muda, pelajar dan mahasiswa.
Namun bersamaan dengan itu, eksponen Muslim yang mampu menguasai ajaran Islam semakin langka. Apalagi sampai menguasai totalitas ilmu agama yang meliputi akidah, syari'ah dan akhlak. Kenyataan ini menunjukkan kemunduran kualitas ajaran Islam bagi peserta didik. Tenaga ahli agama secara kuantitatif mau pun kualitatif tidak memadai dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat. Kesenjangan yang mendasar antara Islam dan pemeltak terelakkan lagi.
Giliran berikutnya, tidak mustahil akan terjadi pemahaman dangkal terhadap ajaran Islam, dan akan muncul persepsi eksklusif atas ajaran Islam yang universal. Terbukti di dalam proses transformasi kultural dewasa ini, ada kecenderungan masyarakat untuk berorientasi pada tata nilai yang non-Islami. Ini mungkin karena kurangnya intensitas upaya mengangkat nilainilai Islamiyah ke perrnukaan secara aplikatif di tengah-tengah perkembangan masyarakat.
Sebab lain adalah, masih sulitnya menampilkan aktivitas bercorak Islam yang bertolak dari falsafah Pancasila. Hal ini menyangkut hubungan antara agama dan dasar negara yang rumit. Kenyataan yang diilustrasikan itu, memerlukan pemecahan tuntas dengan tahapan-tahapan yang sesuai dengan kondisi objektif mau pun potensi dan misi madrasah.
Madrasah (di samping pesantren) dewasa ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang masih mempunyai kredibilitas dari masyarakat di dalam menanamkan nilai-nilai Islami maupun penyebaran ajaran Islam. Namun sejauh mana madrasah mampu mengemban amanat tersebut, akan bergantung pada kemampuan mencari alternatif-altematif pemecahan problematika madrasah itu sendiri. Madrasah mesti mampu merumuskan sendiri prospeknya yang lebih utuh dengan konsep-konsep strategis dan rencana operasional yang tidak semata-mata utopis.
***
ANALISIS mengenai eksistensi madrasah dan masyarakatnya di atas, mengantarkan kepada penglihatan lebih jauh mengenai prospek madrasah berangkat dari kerangka acuan strategis. Pendidikan di madrasah tidak hanya diarahkan bagi peserta didik sebagai individu, tetapi juga sebagai anggota masyarakat. Jangkauan waktu pun tidak hanya untuk sekarang, tetapi jauh ke depan. Pembinnan semacam ini perlu direncanakan matang, karena hal itu merupakan proses normatif dan teknis, yang tentu saja akan bisa dicapai melalui satu pertumbuhan panjang dan kompleks, di mana semua aspek-aspeknya tidak mudah dikuantifikasikan.
Di sinilah diperlukan sebuah strategi yang, di satu segi mengutamakan kenyataan-kenyataan yang hidup "di sini hari ini", sedangkan di segi lain mengutamakan, aspirasi pendidikan Islam yang perlu direalisasikan "di hari esok". Segi pertama berjangka pendek, yang kedua berjangka panjang.
Agar bernilai strategis, kebutuhan jangka pendek tidak dapat dibiarkan berhubungan semata-mata atas pengaruh kebutuhan pragmatis, tetapi harus ditetapkan dan dirancang; secara selektif agar dengan perkembangan itu dapat dicapai sisi kedua secara sinkron dan serasi. Dalam hal tersebut, sejak sekarang madrasah perlu merumuskan langkah-langkah kongkrit yang mempunyai nilai spesifik dalam konteks komunitas nasional.
Tapi intensitas pendidikan dan pengajaran Islam yang universal tetap dicernakan dalam suatu kerangka acuan paripurna dan terpadu antara pemenuhan kebutuhan pragmatis (produktivitas kerja) dan pembentukan watak dan karakter ''ke-akram-an" dalam arti "kelebihtakwaan". Watak ketakwaan itu tidak saja menekankan hal-hal yang semata-mata ritual formal, akan tetapi meliputi etika kemasyarakatan dan segala aspek kehidupan.
Dalam tahapan tertentu harus ditanamkan juga kemampuan menerima kenyataan hidup dan penyesuaian antara kebutuhan manusia dan ajaran agama. Demikian juga kebutuhan akan penafsiran atau reinterpretasi ajaran agama sampai titik tertentu, untuk menjaga aktualitas dan kontekstualitas ajaran agama serta untak mengenali kaitan kuat antara agama dan kehidupan.
Konsep ini akan mengantarkan madrasah mampu melaksanakan transformasi kultural yang sarat dengan motivasi dan nilai-nilai Islamiyah. Bila madrasah tidak mampu melakukan tugas transformasi kultural secara total, ia justru akan terbawa proses transformasi budaya di luarnya.
Karena itu, pendidikan agama harus mampu menumbuhkan sikap dan tingkah laku pribadi yang tanggap terhadap masalah sektoral yang terjadi dalam kehidupan, baik yang berwawasan mikro mau pun makro. Konsekuensinya, pendidikan agama harus menumbuhkan keberanian manusia didiknya untuk melakukan pilihan-pilihan yang dianggap tepat bagi kehidupan, untuk merumuskan sendiri jawaban yang dituntut oleh berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemampuan madrasah dalam hal membentak dirinya sendiri seperti di atas dengan konsep-konsep yang aplikatif serta dapat diproyeksikan dalam berbagai kegiatan nyata, diharapkan akan dapat membentuk imuan-ilmuan Muslim yang akram serta shalih. Di samping itu, ia juga memiliki kepekaan yang tinggi dan antisipasi jauh terhadap problem dan kemaslahatan makhluk dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah, yakni 'ibadatullah dan 'imaratul ardli, yang pada gilirannya akan mampu rnencapai tujuan akhir dari kehidupan ini, yaitu sa'adatud darain.
Di sinilah letak tanggung jawab madrasah untuk mempertahankan identitasnya, menjadi lembaga tafaqquh fiddin secara utuh dan paripurna. Dalam komunitas nasional dan dalam lingkaran sistem pendidikan nasional, madrasah bisa menjadi alternatif ideal yang mampu melahirkan ilmuwan Muslim yang mempunyai integritas keagamaan dan sosial.
PESANTREN DAN PENGEMBANGAN SAINS
SAINS (science) dalam tulisan ini diartikan sebagai ilmu pengetahuan dalam cakupan yang luas. Bukan dalam batasan satu nilai atau satu bidang kebutuhan manusia. Arti lebih luas akan mencakup kepada setiap segi kehidupan dan kebutuhan manusia. Baik dalam pola bermasyarakat mau pun dalam pola kehidupan individu.
Ilmu pengetahuan akan mendukung struktur kehidupan yang seimbang dan stabil. Dengan ilmu pengetahuan, etika, tata hidup dan pola bermasyarakat akan terjaga. Dengan ilmu pengetahuan pula, kebutuhan hidup terpenuhi, dengan berfungsinya potensi-potensi alam menjadi pendukung bagi langkah maju manusia.
Secara kontinyu, ilmu pengetahuan berkembang dipengaruhi oleh aspek-aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, juga apresiasi intelektual masyarakat namun proses perkembangan tersebut sangat bergantung pada lembaga pendidikan, sebagai indikator partisipasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Pesantren adalah lembaga pendidikan dengan bentuk khas sebagai proyeksi totalitas kepribadiannya. Secara mendasar sistem pendidikan yang dipilihnya memberikan kebebasan bagi pesantren untuk menentukan pola dinamis kebijaksanaan pendidikannya. Sehingga, setiap tawaran pengembangan, berupa transfer ilmu dari luar (non-pesantren) mau pun atas prakarsa sendiri, akan melalui pertimbangan dari dalam pesantren sendiri. Yaitu, pertimbangan tata nilai yang berlaku dalam pesantren.
Mulanya falsafah pendidikan pesantren melulu bertujuan pada pendalaman ilrnu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keagamaan. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk mencetak santri menjadi tenaga-tenaga terampil yang mampu terjun ke bidang kemasyarakatan dengan baik, harus dibekali dengan pengetahuan yang luas. Kebutuhan masyarakat akan pengetahuan semakin berkembang, sehingga apresiasi terhadap ilmu menjadi lebih tinggi. Ini mendorong pesantren secara bertahap, mengubah struktur dan sistem pendidikannya.
Transformasi itu tidak secara radikal mengubah dan rnenghapus sistem dan struktur pendidikan yang telah menjadi dinamika pesantren, namun lebih menekankan pemeliharaan cara lama yang rnasih relevan dan pengembangan sesuai dengan cara baru yang lebih baik. Lambat laun visi kepesantrenan terhadap pengetahuan menjadi semakin mantap. Dan sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak lagi hanya berorientasi pada pengetahuan keagamaaan, melainkan lebih luas lagi pada bidang-bidang pengetahuan umum.
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan secara luas, yang menjadi pembahasan di sini, pesantren menempati posisi yang sangat berperan, karena posisinya sebagai lembaga pendidikan yang langsung berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Namun untuk menggariskan suatu konsep yang tepat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang, masih harus mempertimbangkan beberapa alternatif dan kemungkinan-kemungkinan.
***
APABILA dipahami secara mendasar, ilmu pengetahuan (science) menempati posisi yang sangat penting dalam tatanan Islam. Posisi utama tersebut diberikan, karena ilmu adalah sarana yang paling penting dan tepat untak mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencapai kebahagiaan dunia-akhirat. Dasar dari nilai-nilai science ini telah jelas digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik secara eksplisit mau pun implisit.
Posisi ilmu pengetahuan dalam tatanan Islam memiliki dua standar pokok. Yaitu standar ketuhanan dan kemanusiaan. Segala penilaian terhadap ilmu pengetahuan tertentu, berada dalam skema dua standar pokok tersebut. Standar ketuhanan menyeleksi ilmu pengetahuan dengan ketentuan, sejauh mana ia mampu secara mantap dan sempurna memenuhi kebutuhan pemahaman hubungan antara manusia dengan Allah SWT dan hubungannya dengan sesama makhluk dalam kaitannya dengan nilai keagamaan, etika dan tata hubungan bermasyarakat.
Standar kemanusiaan menelaah kualitas ilmu pengetahuan dalam tata peradaban dan kemanusiaan, sehingga menyangkut pola komunikasi dan pola manusiawi dalam kehidupan. Meskipun begitu, tidak berarti bahwa timbul dikotomi dalam kedua standar tersebut. Hanya saja skala prioritas yang berlaku, lebih menekankan pada pendalaman ilmu pengetahuan yang masuk dalam standar yang pertama, misalnya.
Pemahaman keilmuan dalam Islam, sebenarnya dipengaruhi oleh sistem berpikir yang berkaitan dengan tujuan keagamaan. Dari tinjauan ini, maka dapat dipahami, bahwa dalam hirarki ilmu yang terdapat dalam tatanan Islam, ilmu akidah, syari'ah dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya menempati posisi yang sangat penting. Lebih jelasnya masuk dalam keharusan yang mutlak (fardlu 'ain). Sedangkan ilmu-ilmu pengetahuan yang mempunyai implikasi sosial menyeluruh dan mendasar, menempati posisi yang harus dimiliki secara kolegial (fardlu kifayah). Termasuk kategori ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu pertanian, ilmu politik, teknologi, ilmu perindustrian, ilmu sosial, ilmu kebudayaan dan pelbagai cabang ilmu lainnya.
Kompetensi Islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari perhatiannya yang sangat besar dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan. Pendalaman ilmu pengetahuan dalam Islam digariskan sebagai suatu bentuk pendalaman terhadap segala ilmu pengetabuan yang mempunyai manfaat bagi manusia. Baik dalam kaitannya dengan kehidupan duniawi mau pun ukhrawi. Hal demikian masih ditambah dengan adanya tuntutan bagi pengembangan dan pengamalan, sehingga keadaan ilmu tidak mengalami stagnasi.
Sumber pertama bagi pengembangan ilmu tersebut adalah wahyu Allah dan tradisi Rasul, juga rasio (akal) dan kenyataan empirik. Dari sumber-sumber tersebut yang paling berperan adalah wahyu. Ini karena kemampuan akal untuk memahami dan mengontrol kehidupan mau pun tradisi Rasul, sangat terbatas dan terikat pada suatu kerangka waktu, sehingga memerlukan petunjuk yang bersifat dasar dan cocok dengan pelbagai keadaan.
Ilmu pengetahuan yang berkembang dalam tatanan Islam harus memiliki dimensi bathiniyah (esoteris) yang mempunyai kaitan yang bersifat ukhrawi atau untuk mencapai kebahagiaan di alam akhirat nanti. Begitu juga harus mempunyai kaitan manfaat dengan kehidupan duniawi yang banyak memberikan kemudahan dan keadilan bagi kehidupan manusia. Agar dengan demikian tidak timbul asumsi Islam adalah agama keakhiratan belaka.
***
POSISI pesantren dalam konstelasi ini, adalah sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Ia menekankan pada pendalaman pengetahuan agama sebagai orientasi sistem dan pola dasar pendidikannya. Posisi ini memberi identitas tertentu terhadap pesantren, bahwa ia merupakan lembaga takhassus (spesialisasi) bidang agama yang menanarnkan nilai-nilai etis dan budi luhur ke dalam sikap hidup para santrinya, di samping membekalinya dengan keterampilan untuk terjun ke masyarakat nanti hingga akan mencetak kader-kader ulama yang berkualitas.
Sistem pendidikan yang ditempuh pesantren memang menunjukkan sifat dan bentuk yang lain dari pola pendidikan nasional. Namun setidaknya juga menampakkan integrasi yang partisipatif terhadap pendidikan nasional. Pola pendidikan nasional sebagaimana dijelaskan GBHN, bertujuan meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti luhur dan akhlak yang mulia.
Meski pesantren menempuh pola teknik penyelenggaraan yang berbeda, ia tetap merupakan suatu lembaga pendidikan yang mendukung dan menyokong pencapaian tujuan itu. Karena, secara institusional dan melalui pranata yang khas, pesantren merangkum upaya pengembangan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan pola dasar pendidikannya.
Pola dasar pendidikan pesantren terletak pada fungsi dan relevansinya dengan segala aspek kehidupan. Dalam hal ini, ia merupakan cerminan untuk mencetak santrinya menjadi manusia shalih dan akram. Shalih berarti, manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, berguna dan terampil dalam kehidupan sesama makhluk. Untuk nnencetak manusia yang berguna terhadap sesamanya, pesantren membekali dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan kehidupan.
Sedangkan akram, merupakan pencapaian kelebihan dalam relevansinya dengan makhluk terhadap Khalik, mencapai kebahagiaan di akhirat. Untuk ini, pesantren secara institusmenekankan pendalaman ilmu-ilmu keagamaan (tafaqquh fiddin). Pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendalaman pengetahuan keagamaan, sebagaimana yang dikira banyak orang, namun secara integratif ilmu-ilmu umum secara intens juga dikembangkan dalam pesantren.
Lalu peran apakah yang dilakukan pesanten dalam pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan di masa mendatang? Untuk menjawab pertanyaan itu harus mempertimbangkan sistem dan pendidikan yang dikembangkan di pesantren. Antara pengembangan ilmu pengetahuan dengan sistem pendidikan mempunyai hubungan timbal balik. Pengembangan ilmu pengetahuan tak mungkin dapat dilaksanakan tanpa menempuh sistem pendidikan, begitu pula perkembangan ilmu pengetahuan membutuhkan sistem yang sesuai dengan perkembangan itu sendiri.
Untuk mendapatkan suatu sistem pendidikan yang sesuai dan bisa menumbuhkan motivasi ke arah pengembangan ilmu pengetahuan diperlukan suatu konsep sistem pendidikan yang tepat dan tidak statis. Konsep tersebut harus mampu menyeimbangkan antara penuntut ilmu pengetahuan dengan sistem nilai yang melembaga yang menuntut pelestarian dan pemeliharannnya.
Kedua tuntutan tersebut akan dapat diseimbangkan pemenuhannya dengan cara memformulasikan suatu kebijaksanaan yang mendukung pengembangan ilmuilmu pengetahuan tanpa mengabaikan tujuan dasar didirikannya pesantren. Namun hal tersebut tidak lepas dari pertimbangan relevan dan tidaknya kebijaksanaan itu dengan perkembangan yang berjalan. Konsep kebijaksanaan sistern pendidikan yang tidak relevan akan menimbulkan ketimpangan praktis yang berkelanjutan.
Dengan demikian secara posisional dan fungsional pesantren adalah lembaga pendidikan yang partisipatif menopang dan sebagai sarana bagi pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan. Kenyataan ini dapat dilihat dari modal dasar didiriikannya. Di antaranya adalah sebagai lembaga pendidikan. Sistem pendidikan yang digunakan pesantren menunjukkan sifat yang khas.
Untuk menjamin dan meningkatkan pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang kompleks pesantren harus mempunyai kebijaksanaan untuk mengembangkan sistem pendidikannya sesuai dengan tuntutan perubahan dan kebutuhan serta sesuai dengan risalahnya sebagai lembaga tafaqquh fiddin dan pencetak kader ulama.
***
TIDAK mungkin suatu sistem pendidikan bisa berjalan secara kontinyu dan lestari tanpa melalui proses perubahan dan perkembangan. Setiap sistem pendidikan yang telah berlaku dalam satu lembaga pendidikan akan berjalan dan berkembang sesuai dengan faktor-faktor kondisional yang mengelilinginya. Manakala faktor-faktor kondisional tersebut berkembang dan menuntut penyesuaian, mau tidak mau lembaga pendidikan harus menempuh transformasi kalau tidak ingin ketinggalan. Oleh karenanya sistem pendidikan akan selalu menempati proses penyesuaian dan pengembangan sebagai strategi kebijkannnya.
Secara bertahap pesantren juga menempuh trans- formasi yang mendasar pada elemen-elemen pendidikannya. Transformasi yang ditempuh pesantren merupakan desakan penyesuaian terhadap modus pendidikan yang berlaku dan populer, yang berkembang di luar pesantren. Tanpa menempuh jalan ini, anggapan ketertinggalan akan semakin menonjol.
Sementara di segi lain, pesantren juga memperhitungkan strategi pengembangan demi kebutuhan inovasi intern. Pada dasarnya transformasi hanya menonjol pada struktur dan sistem pendidikannya, termasuk metode dan materi pengajaran yang digunakan. Perubahan struktur pendidikan pesantren sangat nampak pada otonominya yang cenderung menipis dalam menentukan kebijaksannan pendidikan.
Posisi pesantren sebagai subyek dalam menentukan setiap kebijaksanann, lambat laun digusur oleh kondisi di mana pesantren telah menjadi salah satu obyek pendidikan nasional. Kenyataannya, modus pendidikan yang digunakan banyak mengambil dari SMP, SMA dan madrasah yang merupakan sub-sistem pendidikan nasional. Walaupun pada dasarnya pesantren masih punya otonomi bagi penentuan kebijaksanaan terhadap sistem pendidikannya, namun hanya pada hal-hal yang prinsipil bagi misi pesantren dan risalahnya.
Perubahan sistem pendidikan pesantren melahirkan perubahan pada metode dan materi pengajarannya. Metode pengajaran telah banyak menempuh kurikulum, campuran antara yang agama dan non-agama. Kurikulum campuran ini sebenarnya timbul dari tuntutan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan non-agama (pengetahuan umum) yang merupakan kebutuhan nyata yang harus dipenuhi para lulusan pesantren. Dari arah ini materi pengajaran juga ditambah dengan mentransfer jenis-jenis ilmu pengetahuan baru ke dalam sistem pendidikan pesantren, sehingga menimbulkan kecenderungan perluasan identitas pesantren.
Nampaknya transformasi yang telah ditempuh oleh beberapa pesantren banyak sekali menimbulkan pengaruh pada identitas pesantren yang telah menjadi cir pokoknya. Bahkan ada kecenderungan, pesantren akan mengalami krisis identitas. Sebenarnya pola-pola yang ditempuh masih merupakan penjajagan bagi penempatan sistem pendidikan yang cocok dan sesuai bagi kelangsungan hidup pesantren. Melalui proses bertahap, pesantren akan mampu memasok kebijaksanaan yang tepat bagi risalah dan misi pesantren.
***
DARI beberapa uraian yang telah disampaikan di atas, dapat diambil beberapa point yang sangat perlu diperhatikan.
Pertama, prospek pengembangan ilmu pengetahuan (science) merupakan tanggung jawab semua kalangan lembaga pendidikan, tanpa memandang dasar pendidikan yang dianut. Hanya saja skala prioritas penekanan terhadap ilmu pengetahuan yang dikembangkan, berlainan antara lembaga pendidikan yang satu dengan yang lain. Pesantren lebih menekankan pada pengetabuan yang sesuai dengan dasar pendidikannya, yakni tuntutan Islam.
Kedua, untuk lebih mendukung adanya pengembangan ilmu pengetahuan secara pesat, pesantren harus memperhatikan sistem pendidikannya. Dalam hal ini transformasi juga perlu dilaksanakan, sejauh bisa menyelamatkan nilai-nilai dan identitas pesantren, sehingga tidak hanyut oleh perubahan.
Ketiga, hendaknya dalam menempuh transformasi pesantren harus memperhatikan watak-watak, kondisikondisi, dan faktor-faktor yang sesuai dengan kepribadian dan latar belakang pesantren itu sendiri, sehingga tidak menimbulkan ketimpangan praktis.
Keempat, penanganan tidak melulu pada modus- modus klasikal yang dikembangkan. Namun lebih menekankan pada pengembangan secara intensif bagi pendidikan tambahan (ekstra kurikuler) yang merupakan ciri khas pendidikan pesantren.
URGENSI LEMBAGA KADER FUQAHA'
ISU krisis ulama fiqih sering membuat kita berfikir, meski hal itu hanya sebagai sinyalemen. Di satu pihak, sinyalemen itu sebagai isu cenderung kita ingkari, kare na ia memberi citra negatif tentang fenomena kekosongan pemuka agama. Mungkin akan muncul kekhawatiran berlebihan, yang dapat menimbulkan keputusasaan dan sikap pesimis di kalangan umat terhadap gejala kekosongan ulama, sehingga akan mendorong persiapan sedini mungkin.
Pembicaraan kali ini menyangkut ulama. Tidak sembarang orang boleh dan mampu memberikan kriteria ulama, karena ia memiliki nilai lebih yang sering kali tidak dapat dijangkau oleh keawaman umat. Saya hanya menggunakan kriteria dan batasan ulama menurut al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin yang menyebutkan, ulama adalah seorang yang rajin beribadah, zuhud, alim dalam berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu-ilmu ukhrowi, senantiasa ikhlas karena Allah dan faqih dalam segala aspek kemaslahatan umat.
Dari kriteria itu, yang seringkali tidak dipahami secara benar adalah sebutan “faqih" bagi ulama. Ada dua pengertian yang hampir sama, yakni faqih dan mutafaqqih. Faqih secara harfiah berarti seorang yang alim fiqih. Sementara mutafaqqih adalah orang yang menguasai fiqih. Kedudukan faqih berada di atas mutafaqqih, karena di dalam mengkaji masalah-masalah fiqih seorang faqih tidak hanya memahami teks-teks kodifikasi fiqih yang sudah matang, akan tetapi juga melalui kajian-kajian suplementer, seperti ushul al-fiqh, qowa'id al-fiqh, ishtilah al-fuqoha' dan lain sebagainya. Sedangkan mutafaqqih adaiah seorang yang hanya menguasai masalah-masalah yang telah terbukukan dalam kitab fiqih yang ada.
***
MENGAPA isu krisis ulama muncul? Barangkali melalui tarikan garis historis yang panjang kita akan dapat menyimak munculnya isu itu. Semenjak beberapa abad yang lalu, konsep fiqih yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia sempat menjadi sumber ni1ai. Fiqih tidak saja berlaku sebagai norma yang berwatak legalistik, tapi juga mewarnai sikap dan perilaku masyarakat. Bahkan sebagian konsep tersebut telah dianggap sebagai subkultur yang telah menyatu dengan kehidupan yang ada.
Kecenderungan seperti ini sebagai hasil nyata dari kemampuan para ulama yang telah mencoba memasyarakatkan fiqih, dengan pendekatan kultural sedemikian rupa, sehingga perubahan budaya dengan nilai-nilai Islami dari ajaran fiqih berjalan beriringan begitu mulus tanpa menimbulkan kerawanan yang berarti. Secara konvensional, ajaran-ajaran fiqih itu dimodifikasi oleh para ulama sedemikian rupa sesuai dengan tradisi yang ada pada zamannya.(1)
Membicarakan masalah ulama, konsep-konsep dan keadaan masyarakat yang berbudaya fiqih tentu tidak mungkin lepas dari membicarakan eksistensi pesantren yang telah memberikan kontribusi paling besar bagi pembudayaan fiqih itu sendiri. Sejak berdirinya, pesantren merupakan lembaga tafaqquh fiddin (memahami agama) yang begitu kuat, rnengakar dan sekaligus diterima oleh masyarakat pada zamannya. Lembaga ini memang lahir di tengah-tengah masyarakat kelas bawah, sehingga warna konvensional sangat pekat tampak dalam sikap, langkah dan pemikiran pesantren.
Namun justru berangkat dari kesederhanaan demikian, pesantren menjadi lebih mudah mengakomodasikan nilai-nilai fiqih ke dalam kehidupan yang ada. Bagaimanapun, masyarakat lebih suka menerima hal-hal yang tidak terlalu asing, aneh, dan berkesan baru serta modern bagi segala aspek perilaku kehidupannya. Masyarakat pada masa itu cenderung menolak apa saja datang dari penjajah, tentu saja bercorak modern, baru dan asing. Hal ini malah semakin mendukung langkah pesantren dalam mengkonsumsikan ajaran-ajaran fiqih.
Sebagai lembaga tafaqquh fiddin, pesantren membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu yang bermuara pada pendalaman masa’il diniyah (masalah-masalah agama). Ilrnu-ilmu fiqih paling kuat mempunyai manfaat dalam hal itu, karenanya pesantren menjadi getol mengkajinya ketimbang ilmu-ilmu yang lain, meski tidak berarti meninggalkannya. Kekentalan eksistensi pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin berjalan beberapa abad lamanya sampai suatu saat ketika pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan bentuk pendidikan baru yang benama sekolah, untuk mengimbangi pengaruh pesantren.
Perubahan pun tak terelakkan lagi. Pesantren juga mengimbangi sistem klasikal yang dimiliki oleh sekolah dengan mendirikan lembaga pendidikan dalam pesantren yang bertitel madrasah, yang secara harfiah adalah terjemahan dari sekolah.
Pada mulanya, pesantren dengan madrasahnya itu, meski wilayah garapannya bertambah akan tetapi justru semakin memantapkan eksistensinya di tengah masyarakat. Madrasah sebagai wujud pengembangan pesantren, juga tetap menitikberatkan tafaqquh fiddin sebagai garapan utamanya. Hanya saja, sistem dan metodenya berbeda dengan pesantren tradisional (salaf). Madrasah-madrasah pesantren pada waktu itu belum mengenal sertifikasi bagi setiap lulusannya dan juga akreditasi sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan lain.
Baru ketika mulai diperkenalkan pendidikan guru agama oleh pemerintah yang diikuti dengan pengangkatan guru negeri dengan gaji tetap, maka mulai tampak pergeseran nilai-nilai ikhlas, dari menuntut ilmu li wajhillah menjadi karena ijasah. Dampaknya, eksistensi pesantren menjadi kabur, bahkan hilang identitasnya secara perlahan.
Fenomena pergeseran nilai semacam itu tidak bisa semata-mata diartikan sebagai kemunduran pesantren secara total. Sampai saat ini masih cukup banyak ditemukan pesantren tradisional, baik di Jawa maupun luar Jawa, meski profilnya tentu saja tidak seperti yang ada pada tahun 60-an ke belakang, di mana para alumnus pesantren masih dapat digolongkan sebagai mutafaqqih. Pergeseran tersebut hanya merupakan kasus secara individual, yang menimpa para insan pesantren dan bukan secara kolektif.
***
LALU di mana letak krisis ulama terjadi? Kembali kepada kriteria al-Ghazali tentang ulama yang representatif dan mumpuni, maka kita bisa melihat dan menyimak nilai-nilai ikhlas telah tercederai oleh faktor-faktor eksternal. Produk yang lahir dari kaburnya orientasi itu adalah alumnus-alumnus pesantren yang kurang representatif untuk disebut ulama. Memang, kita tidak bisa mengambinghitamkan begitu saja terhadap faktor-faktor eksternal.
Kita tidak boleh menutup mata terhadap berkurangya animo santri sekarang ini untuk menggali kitab kuning secara baik dan benar. Bahkan ada beberapa pihak yang mencoba mencari jalan pintas di dalam mengkaji ilmu-ilmu agama dengan jalur penterjemahan kitab-kitab kuning, yang tentu saja tidak akan bisa sama persis dengan aslinya. Ini tidak kecil efek negatifnya, apalagi bagi orang yang telah berkecimpung lama di dunia pesantren. Ada reduksi dan kemerosotan yang sangat terasa, sebagai kesenjangan yang kentara dan tidak mustahil akan berubah menjadi satu-satunya momok bagi perjalanan pesantren.
Isu krisis ulama agaknya pernah coba dihadapi dan ditanggulangi oleh beberapa pihak, khususnya oleh pemerintah. Lebih dari setengah dasawarsa yang lalu, ada semacam langkah untuk mengisi posisi ulama dalam kehidupan yang semakin menuntut peran ulama lebih besar lagi. Meskipun banyak pihak yang kurang sependapat dengan isu kekosongan ulama, akan tetapi jumlah kuantitas umat yang kian bertambah, tentu tidak akan cukup hanya dihadapi dengan jumlah pemuka agama yang masih bisa dihitung dengan jari. Akan tetapi langkah tersebut ternyata tidak efektif, bahkan menimbulkan kesan akan menggeser posisi sentral ulama sebagai legitimator masalah-masalah fiqhiyah.
Gambaran situasi di atas sebagai kenyataan dan tantangan serius bagi para ulama dan pesantrennya, sekaligus merupakan dorongan yang kuat terhadap kebutuhan adanya lembaga kader fuqaha' (ahli-ahli fiqih) yang rapih dengan manajemen dan pendanaan yang memadahi.
Kebutuhan dan urgensi akan lembaga ini pernah muncul dan dibahas dalam sebuah forum ulama pada sekitar tiga tahun lalu. Waktu itu, alhamdulillah sambutan para ulama cukup positif. Saya beserta para ulama pengasuh pesantren yang hadir mencoba memformulasikan lembaga yang ideal bagi penempaan kader-kader fuqoha' yang alami, zuhud dan ikhlas itu.Alhamdulillah pula, gaung yanada terus bersambut. Pihak-pihak yang merasa terkait kemudian mencoba untuk berpartisipasi. Sebagai contoh, lahirlah madrasah aliyah program khusus yang diprakarsai Departemen Agama. Namun tentu saja hal itu masih belum mencukupi kebutuhan. Kita rnasih menanti uluran tangan dan partisipasi penuh dari umat sekalian.(2)
***
Catatan Kaki
  1. Menurut Kiai, apa dampak negatif yang terlihat dari keberhasilan sosialisasi fikih terutama dalam pola pikir masyarakat? Kelebihan apa yang bisa dirasakan dengan pola pikir fiqih yang legal-formal dan verbalistik? Contoh model-model perilaku dari pola pikir fiqih dan segi positif dan negatif? Dari penelusuran ini, di mana letak isu krisis ulama fikih muncul? Apa ada kaitannya dengan pergeseran pola pikir fiqih (normatif) kepada pola pikir yang lebih empirik?
  2. Apa bentuk-bentuk lain dan upaya mernbuat lernbaga kader fuqoha', selain melalui MAN Prograrn Khusus? Bagaimana evaluasi Kiai terhadap realisasi program khusus di Aliyah selama ini? Apakah hal itu lebih efektif ketimbang bila pesantren melakukan intensifikasi tafaqquh fiddinnya?
PERGURUAN TINGGI DI PESANTREN
PADA tahap 25 tahun mendatang, saat bangsa Indonesia memasuki era Pembangunan Jangka Panjang Tahap kedua (PJPT II), akan tiba suatu masa yang penuh tantangan. Masa itu juga merupakan masa yang menjanjikan harapan-harapan, namun belum dapat dipastikan karena perkembangan segala aspek kehidupan yang sulit diprediksi dan saling mempengaruhi. Tantangan-tantangan itu antara lain masalah tenaga kerja, kemiskinan, dampak globalisasi ekonomi dan kultur, dampak kemajuan iptek, partisipasi pendidikan, perubahan etika sosial dan moral keagamaan, masih rnenonjolnya dualisme sektor modern dan tradisional meskipun proses industrialisasi sudah berjalan, namun tumbuhnya kemakmuran di pedesaan masih terseok-seok jalannya dan tidak seimbang dengan tuntutan yang semakin meningkat.
Berat dan ringannya tantangan, akan berimplikasi langsung terhadap kepastian dan keraguan suatu harapan. Harapan yang dirumuskan tanpa memperhitungkan potensi dan tantangan, akan bermuara pada keyakinan kosong. Sebaliknya, menganalisis simpulsimpul tantangan masa depan tanpa didukung oleh potensi dan optimisme, hanya akan melemahkan etos kerja. Bisa jadi hal itu malah menimbulkan keputusasaan dan sikap fatalistik atau paling tidak akan lebih suka melestarikan rutinitas yang kurang menguntungkan.
Menganalisis tantangan masa depan sambil merencanakan harapan, memang merupakan suatu keharusan dalam membahasan prospek sesuatu. Tetapi tidak berarti hanya dengan menganalisis tantangan, prospek bisa diantisipasi secara jelas. Apalagi bila yang dibahas adalah prospek perguruan tinggi di lingkungan pesantren.
Permasalahannya akan menjadi kompleks dan berimplikasi luas, mengingat perguruan tinggi merupakan institusi pendidikan yang selalu dipengaruhi dan mempengaruhi aspek-aspek sosial yang terus menerus berubah -perubahan yang direncanakan mau pun alami, sebagai dampak dari kebijakan terencana.
Bila pembahasan dikhususkan pada keberadaan perguruan tinggi di pesantren, permasalahannya menjadi rumit, mengingat pesantren merupakan institusi pendidikan yang rnempunyai titik tekan berbeda dengan perguruan tinggi. Perbedaan visi dan posisi kedua institusi pendidikan itu sangat mempengaruhi pola, sistem dan pandangan hidup rnasing-masing, yang selanjutnya menentukan prospek lembaga itu.
***
PERBEDAAN watak antara perguruan tinggi dan pesantren sebagai lembaga pendidikan perlu dipahami lebih jauh, untuk kemudian dijadikan bahan dasar dalam rnenyusun konsep keterpaduan dua lembaga pendidikan yang berbeda. Keterpaduan itulah yang pada dasarnya akan menentukan prospek keberadaan perguruan tinggi di pesantren. Tanpa keterpaduan, pengaruh corak perguruan tinggi akan lebih mendominasi kehidupan pesantren, dan mungkin akan melahirkan krisis identitas atau malahan hilangnya identitas pesantren.
Pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin, sebagai lembaga tarbiyah, sebagai lembaga sosial sebagai gerakan kebudayaan dan bahkan sebagai kekuatan politik -meskipun sampai sekarang rnasih disebut lembaga tradisional- mempunyai ciri dan watak yang berbeda dengan lembaga-lembaga lainnya, termasuk perguruan tinggi.
Landasan filosofis pesantren adalah teologi dan religiusitas yang berposisi substansial dan bersifat menyeluruh. Sedangkan perguruan tinggi cenderung pada pragmatisme dan orientasi keduniawian, sementara itu ia menempatkan teologi dan religiusitas pada posisi instrumental dan merupakan bagian saja.
Bila perguruan tinggi aksentuasinya lebih ke pengajaran maka pesantren aksentuasinya lebih pada pendidikan. Bila perguruan tinggi berorientasi langsung pada lapangan kerja sesuai pesanan industri atau paling tidak mengantisipasi keperluan industrialisasi -di mana hal ini memang merupakan potensi dan kekuatan dari sudut kemudahan karier, tetapi sekaligus merupakan kelemahan dari sudut konsumtivisme mental, daya juang dan kreativitas menciptakan lapangan kerja- maka sebaliknya pesantren tidak berorientasi langsung pada lapangan kerja.
Hal ini memang merupakan kelemahan, jika dipandang dari sudut janji-janji masa depan yang cerah. Tetapi hal itu juga merupakan potensi dari sudut penumbuhan etos kerja, kemandirian dan penciptaan lapangan kerja.
Pesantren di samping merupakan lembaga pendidikan dan keilmuan, ia sekaligus juga merupakan lembaga moral. Ilmu di pesantren mengacu pada pembentukan moral dan akhlaq karimah. Seluruh proses belajar para santri berpusat pada pengenalan, pengakuan, kesadaran, dan keagungan Allah SWT dan akhlaq karimah yang terkait secara dialektis, kohesif dan terus menerus dengan seluruh mekanisme belajar para santri.
Ini semua berbeda dengan perguruan tinggi yang membatasi diri sebagai institusi keilmuan dan intelektual, dan tidak bertanggung jawab langsung dalam soal moral. Dosen tidak berkewajiban terhadap akhlaq, kecuali sekadar komitmen pribadi atau etika sosial dalam arti umum. Mahasiswa hanya didorong secara terencana untuk menjadi orang pandai dan intelek. Atau malahan hanya menjadi penghafal, karena kelulusan ujiannya lebih banyak ditentukan oleh sejauh mana ia menghafal literatur, bahan kuliah dan referensi yang diwajibkan. Perguruan tinggi memberikan kebebasan atau demokratisasi ilmiah untuk mengakui, menyadari dan menghayati atau tidak, akan keagungan Allah dan akhlaq karimah.
***
GERAKAN ilmiah Islam di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh politik kolonial Belanda yang menyudutkan kaum muslimin ke satu sudut pandang yang hanya menitikberatkan pada kehidupan ukhrawi. Akibatnya dinamika keilmuan hanya berkisar pada alumnus syari'ah dan tasawuf yang ditandai dengan munculnya karya-karya ulama Indonesia dari yang paling kecil sampai yang berjilid-jilid. Sedangkan dari sisi lain mengalami kemandegan karena anggapan, ilmu-ilmu itu semata-mata urusan duniawi. Mungkin dari sini mulai muncul dikotomi antara ulumu al-din dan ulumu al-dunya, sampai-sampai antara madrasah dan sekolah, antara kitab dan buku pun harus dibedakan.
Tafaqquh fiddin dipahami secara sempit dan terbatas pada apa yang dimaksud dengan 'ulumu al-din. Pemahaman ini secara ekslusif tidak pernah dikorelasikan dengan pemahaman al-din itu sendiri secara utuh, meskipun secara terpisah al-din telah dipahami sebagai wadl’un ilahiyun saaiqun lidzawi 'uquli al-salimah ilaa maa huwa khairun lahum fi dunyahum wa akhiratihim (ketentuan-ketentuan Ilahi yang mendorong siapapun yang berakal sehat, untuk berbuat sesuatu yang baik bagi mereka di dunia dan akhirat).
Bila al-din dipahami seperti itu, maka berarti ulumuddin secara luas adalah ilmu-ilmu yang mempunyai kaitan langsung atau tidak langsung dengan wadla’ Ilahi, menyangkut urusan duniawi mau pun ukhrawi. Kemudian bila wadla' Ilahi itu mendorong bagi para pemikir ke arah pencapaian sesuatu yang baik di dunia atau di akhirat mereka, maka mengapa dalam konteks ilmu-ilmu yang berwatak duniawi lalu diisolasikan dari klasifikasi ulumuddin? Persepsi dikotomis seperti itu mengkibatkan dinamika ilmiah dalam Islam cenderung lemah atau malah mandeg.
Kemandegan dinamika ilmiah itu tampaknya coba mulai digerakkan ketika di Indonesia muncul Perguruan Tinggi Agama Islam, negeri mau pun swasta. Malah ketika awal-awal kemerdekaan pun sudah ada upaya menggerakkan kembali dengan menambah mata pelajaran umum di madrasah-madrasah, meskipun masih dengan sikap dikotomis. Dari pihak pemerintah menurunkan proyek MWB (Madrasah Wajib Belajar) dilengkapi dengan UGA (Ujian Guru Agama), kemudian ada penegerian madarasah dan terakhir ada SKB Tiga Menteri. Semua itu merupakan upaya penyambungan mata rantai dinamika keilmuan dalam Islam yang sekarang ini sudah saatnya dievaluasi sejauh mana perkembangan dinamika keilmuan tersebut dapat memantapkan risalah lslamiyah.
Perkembangan dinamika tersebut merupakan jawaban atas tantangan-tantangan yang muncul akibat adanya arus globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Pada gilirannya dikotomi ilmu dan sikap ambivalen dari sebagian umat Islam akan makin berkurang, kalau tidak bisa hilang sama sekali.
Dampak lebih jauh dari dinamika itu adalah integrasi intelektual dan ulama. Perkembangan ini tentu saja menuntut sikap keterbukaan dari semua kaum intelektual dan ulama, salimemahami atas adanya kekurangan di satu pihak dan kelebihan di pihak lain.
Sikap keterbukaan ini menuntut keberanian ulama mau pun kaum intelektual muslim untuk tidak hanya saling mengritik, tetapi juga melakukan otokritik yang membangun. Kritik diri adalah bagian tak terpisah dari unsur-unsur dinamika ilmiah yang akan ditumbuh-kembangkan Dalam hal ini kajian kritis tentang transformasi sosial, selalu mempengaruhi satu pengembangan dinamika ilmiah. Ini berarti bahwa pengembangan dinamika keilmuan dalam Islam mempunyai implikasi yang luas dengan setiap perubahan yang terjadi, sehingga ilmu-ilmu itu tidak akan kehilangan relevansi dan konteksnya dengan berbagai aspek kehidupan.
***
PROSES pembangunan yang terjadi di Indonesia telah mempengaruhi perubahan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, baik sosial, ekonomi politik, budaya mau pun nilai dan wawasan. Perubahan yang terjadi secara terakselerasi menuntut kelenturan berpikir, daya-suai intelektual yang besar, keterbukaan dalam tata hidup yang manusiawi dan sikap kritis serta dinamis.
Perubahan mendasar yang terjadi adalah kecenderungan memisahkan atau mengasingkan norma agama, akibat pola pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Alienasi antara keduanya itu tercermin pada gerakan dan kelembagann agama yang tidak menyatu dengan aktivitas kelembagaan ekonomi yang rnembentuk nilai dan norma ekonomis.
Akibatnya gerakan ekonoi itu berhadapan dengan sistem nilai agama. Gerakan ekonomi cenderung berjalan bebas tanpa moralitas agama dan menumbuhkan sikap kompetitif yang tanpa dikendalikan oleh moralitas agama, cenderung ke arah individualisme, materialisme dan konsumerisme. Semua dampak itu justru bertentangan dengan ajaran Islam dan Pancasila.
Dalam hal ini, prospek perguruan tinggi di pesantren dalam upaya mengembangkan dinamika keilmuan dalam Islam dituntut kemampuannya mengaktualisasikan diri di tengah-tengah masyarakat yang selalu menuntut kemudahan di segala bidang. Ini berarti pula, bahwa pengembangan dinamika keilmuan itu harus mampu menjadi sarana pemandu transformasi sosial sekaligus sebagai sarana kontekstualisasi ajaran Islam dalam tata kehidupan masyarakat.
Pengembangan dinamika keilmuan Islam lalu tidak saja dipahami dari sisi kognitif, akan tetapi juga dari sisi afektif dan psikomotorik. Pengembangan yang dipahami hanya dari sisi kognitif saja akan cenderung menciptakan semacam "vanderplas-vanderplas" yang ahli di bidang keilmuan Islam tetapi sama sekali tidak meyakini kebenaran ajaran Islam, apalagi mengamalkannya.
Pada sisi lain perguruan tinggi di pesantren, dalam perannya mengembangkan ajaran dan pendidikan Islam serta dakwah Islamiyah, dituntut mampu membentuk masyarakat Islam secara integralistik. Antara aspek norma agama dan aspek ekonomi serta aspek positif lainnya, mesti terpadu utuh. Kajian intelektual tentang konsep pengembangan ekonomi, dengan demikian diperlukan, kajian mana merupakan proses materialisasi dari aspek normatif yang immaterial.
Surnber daya manusia, alam, ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai aset ekonomi yang sangat penting di negara-negara ekonomi maju, sering mengakibatkan krisis norma dan nilai. Kemiskinan nilai agama mendorong masyarakat ekonomi maju memandang alam dan manusia bukan sebagai sahabat yang setia, tetapi sebagai hamba dan kawulo yang harus ditaklukkan dan diberlakukan sewenang-wenang, tanpa harus ada pertimbangan moral dan etika religius.
Perguruan tinggi di pesantren dituntut kemampuannya merumuskan konsep pengembangan ajaran Islam sebagai tatanan sosial, bukan hanya sebagai lembaga legalistik hitam putih. Dalam hal ini kemampuan antisipatif dan keterbukann akan mempermudah perguruan tinggi menjalankan peranannya. Keterbukann akan menumbuhkan sikap lentur dan akomodatif.
Adalah benar, bahwa perguruan tinggi di pesantren menentang eksistensinya sendiri bila di satu sisi menerima tugas sebagai pelopor perubahan sosial untuk menatap masa depan, sedangkan di lain sisi ia tertutup terhadap pembaharuan dan malah mencurigai masa depan. Dan adalah benar juga, perguruan tinggi di pesantren mengingkari missinya, bila ia menerima dan mengemban tugas mendidik generasi muda sebagai potensi penerus perjuangan Islarn, dengan jalan memprogram mereka agar mencerna dan hanya mengawetkan nilai-nilai kehidupan yang sudah kehilangan relevansi aktualnya. Sementara di luar lembaga itu, terjadi berbagai perubahan yang sangat serius dan dahsyat dalam hampir semua bidang kehidupan.
Kemampuan perguruan tinggi di pesantren berperan seperti itu, berarti melestarikan sekaligus mengembangkan eksistensinya di tengah-tengah era globalisasi. Dengan demikian perguruan tinggi di pesantren tidak akan diposisikan pada ruang isolasi, karena mampu menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dari komunitas nasional dan akhirnya terlepas dari posisi marginal.
***
PERGUURUAN tinggi dalam pesantren dengan prospek seperti itu, diharapkan lebih mengembangkan dinamika keilmuan dan kepekaan sosial para santri, serta mengembangkan metodologi di pesantren yang shalih agar menjadi ashlah, sehingga mereka mampu mengantisipasi dan menganalisis segala perubahan yang sedang dan akan terjadi.
Para santri akan menjadi manusia yang berkepribadian akram, shaleh dan fungsi mereka menjadi manusia yang qawiyun dan makinun, mempunyai quwwah dan potensi diri yang cukup, sekaligus mempunyai amanah, dapat dipercaya, jujur dan melaksanakan amanat Allah dan masyarakat. Kalau mereka menjadi ulama, mereka pun tafaqquh fi mashalihil khalqi, sebagai salah satu identitas ulama menurut Imam Ghazali.
Namun di samping itu, perguruan tinggi di pesantren harus mau dan mampu menyerap secara utuh ciri-ciri dan karakteristik pesantren. Sehingga ia mampu memproduk sumber daya manusia muslim yang mampu berintegrasi dengan segala aspek kehidupan global, tetapi mempunyai pertimbangan nilai idealistik transendental. Lebih dari itu mereka menjadi manusia intelek yang berwatak kesantrian. Untuk itu perguruan tinggi di pesantren dituntut mampu mengembangkan pendidikan Islam dan keilmuan Islam.
Pendidikan, bila dipahami sebagai suatu tindakan sadar untuk membentuk watak dan tingkah laku secara sistematik, terencana dan terarah, maka pendidikan agama Islam harus merupakan proses interaksi dari pendidikan, peserta didik dan lingkungan yang mengarah terbentuknya karakter Islami pada peserta didik, yang kemudian mampu memotori sikap dan perilaku yang sarat dengan nilai-nilai Islami. Dengan kata lain, pendidikan Islam seharusnya bisa mengembangkan kualitas keberagamaan Islam, yang bersifat afektif, kognitif mau pun psikomotorik.
Pada gilirannya pendidikan Islam merupakan sarana pengembangan kepribadian muslim Indonesia yang sedang menghadapi berbagai bentuk transformasi muslim yang berkepribadian Islam, yang meletakkan keimanan dan ketaqwaan di atas segalanya dalam berbagai komunitas yang digumuli, muslim yang mampu hidup di tengah-tengah masyarakat industrial yang didominasi oleh kesadaran teknokratik tinggi yang memandang iptek sebagai juru selamat, namun ia masih meyakini adanya kekuatan transendental yang mengalahkan segala kekuatan yang lain.
PROFESIONALISME GURU AGAMA
MASALAH pendidikan, khususnya yang menyangkut agama Islam selalu menghadapi tantangan dan problematika yang tidak kunjung henti. Ia senantiasa aktual dengan berbagai perkembangan dan perubahan kehidupan manusia, karena ia memang merupakan kebutuhan inheren bagi kehidupan manusia sebagai sarana mempertahankan "karamah" yang diberikan oleh Allah. Meskipun karamah manusia diberikan menyatu dengan eksistensinya, secara fungsional ia tidak bisa berkembang secara alami, melainkan harus melalui proses. Satu-satunya jalan untuk itu adalah melalui pendidikan.
Manusia menurut Rasulullah dilahirkan di atas fitnah, suci dan bersih. Ketika masih di alam arwah, ia telah berikrar mengakui ketuhanan Allah. Tetapi Rasulullah sendiri kemudian mengisyaratkan kemungkinan adanya perubahan, tergantung bagaimana orang tuanya mendidik dan mengarahkan. Pendidikan agama Islam paling tidak mempunyai fungsi esensial, yaitu mempertahankan eksistensi fitrah manusia itu dan mengembangkannya sedemikian rupa.
***
PENDIDIKAN Islam pada dasarnya adalah proses pembentukan watak, sikap dan perilaku Islami yang meliputi iman (aqidah), Islam (syari'at) dan ihsan (akhlaq, etika dan tasawuf). Tujuan pokoknya adalah mempersiapkan peserta didik agar mampu menjadi khalifah Allah yang akram (mulia) yang berarti lebih bertakwa kepada Allah dan yang shalih dalam arti mampu mengelola, mengembangkan dan melestarikan alam.
Fungsi mereka sebagai khalifah adalah pertama, ibadatullah baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, di mana di dalam komunitas berbangsa, mereka juga dituntut oleh ajaran Islam untuk memberikan manfaat kepada orang lain dalam kerangka ibadah sosial. Fungsi kedua ‘imaratul ardli, yakni membangun bumi ini dengan berbagai upaya untuk menunjang kebutuhan hidup sebagai sarana melakukan ibadah dalam rangka mencapai tujuan hidupnya, yakni sa'adatud darain.
Selain itu, dari sudut pandang yang lain, pendidikan keagamaan merupakan manifestasi dan upaya peningkatan kualitas kemanusiaan, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, manusia yang beriman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab.
Rumusan itu jelas menunjukkan, kualitas manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa serta berbudi luhur menupakan tujuan yang mesti dicapai melalui pendidikan keagamaan. Sementara itu, UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memilahkan pendidikan agama menjadi dua bentuk yang berbeda, yaitu:
  • Bidang studi pendidikan agama sebagai bagian dari kurikulum/program lembaga pendidikan umum.
  • Lembaga-lembaga pendidikan dengan ciri khas keagamnan, yang dikelola oleh pemerintah mau pun masyarakat.
Pada bentuk pertama, di samping pendidikan agama mempunyai porsi yang relatif kecil, sering pula dipahami dan diimplementasikan sebagai pengajaran agama. Dengan metode tertentu, pengajaran agama itu bersifat kognitif dan kecil sekali sumbangannya dalam membentuk kepribadian peserta didik.
Bila pendidikan dipahami sebagai suatu tindakan sadar untuk membentuk watak dan tingkah laku secara sistematis, terencana dan terarah, maka pendidikan agama Islam harus merupakan sistem yang mengarah pada terbentuknya karakter, sikap dan perilaku peserta didik yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam seharusnya bisa mengembangkan kualitas keberagamaan Islam baik yang bersifat affektif, kognitif maupun psiko-motorik. Pada gilirannya, pendidikan Islam merupakan produk pengembangan kepribadian muslim Indonesia yang sedang menghadapi berbagai bentuk transformasi.
Pengembangan kepribadian muslim yang berarti proses interaksi dari serangkaian kegiatan dan pendukung pendidikan itu, kini menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan yang paling mendasar adalah keterkaitan pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja. Pendidikan selalu dianggap tidak menjanjikan terbentuknya manusia produktif, manusia siap kerja, mampu bersaing dalam mencapai taraf hidup yang memadai. Ini berarti bahwa pertimbangan praktis dan pragmatis lebih mendominasi kehidupan, termasuk juga pendidikan, dengan mengabaikan pertimbangan idealistik spiritual.
Pengembangan sebagai proses seperti dimaksud di atas, dititiktekankan pada perubahan sikap dan wawasan sesuai dengan perkembangan komunitas yang ada. Pengembangan itu harus bisa mendinamisasi gagasan, ide baru dan penyebarannya dengan pendekatan yang tepat. Dan sebagai program, ia harus merupakan kegiatan yang terencana dan tertanam dalam suatu bingkai manajerial yang profesional.
***
RASULULLAH bersabda, "Sesungguhnya aku diutus sebagai pengajar”. Dalam hadits lain Rasulullah menegaskan, "Barang siapa mendidik seorang anak kecil hingga ia mampu mengucapkan kalimat laa ilaaha illa Allah, maka Allah tidak akan menghisabnya kelak". Sementara Allah dalam surat al-Jumu'ah ayat 2 berfirman: "Dialah yang rnengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang rnembacakan ayat-ayatNya kepada mereka, rnensucikan rnereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan benar-benar mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata".
Meskipun pengajar dan pendidik mempunyai konotasi yang berbeda, namun masing-masing mempunyai fungsi yang seharusnya tidak bisa terpisah dari guru. Rangkaian dua hadits dan ayat Al-Qur’an di atas, secara esensial menunjukkan hal itu. Dari sini, banyak ulama yang kemudian merumuskan kriteria guru, baik dan sifat, sikap dan kepribadian serta wataknya.
Secara umum, paling tidak seorang guru harus memiliki beberapa sifat, yaitu: zuhud, ikhlas, suka mema’afkan, memahami tabi'at murid, berkepribadian yang bersih, bersikap sebagaimana bapak terhadap anaknya dan menguasai mata pelajaran yang menjadi bidangnya.
Lebih lanjut, Imam al-Ghazali mengembangkan rumusan tersebut, sebagairnana termaktub dalam Ihya ‘Ulumuddin berikut ini. Pertama, kerja mengajar dan membimbing/mendidik adalah tugas seorang guru. Sifat pokok yang harus dimiliki guru adalah kasih sayang dan lemah lembut. Pergaulan murid dengan guru akan melahirkan sikap percaya kepada diri sendiri dan rasa tenteram bersama gurunya. Hal ini sangat membantu murid menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya. Karenanya, guru hendaknya berperan sebagai ayah atas anak didiknya, bahkan hak guru atas anak didiknya lebih daripada hak ayah atas anaknya.
Kedua, meminta upah dalam mengajar adalah sesuatu yang perlu ditinjau lebih lanjut. Dalam sejarah Yunani Kuno, seorang guru yang mendapat gaji ternyata tidak mendapatkan penghormatan yang cukup dari masyarakat. Dalam hal ini al-Ghazali berkata: “Barang siapa rnencari harta dengan ilmu pengetahuan, maka ia seperti orang yang mengusap alat penggosok dengan mukanya sendiri untuk membersihkannya. Maka terjadilah penjungkirbalikan, majikan menjadi pelayan dan pelayan menjadi majikan". Rumusan ini dalam konteks kekinian memang akan menimbulkan kontroversi berkepanjangan, kemudian terjadilah lingkaran setan yang tak pernah selesai. Pertimbangan bahwa guru adalah manusia biasa yang secara ekonomis tidak bisa tidak harus mencari nafkah bagi kehidupannya, adalah merupakan pemikiran tersendiri yang tidak bisa diabaikan. Ia menuntut kita, sebagai insan pendidik untuk merenungkannya lebih lanjut.
Ketiga, hendaknya guru mampu menjadi pembimbing yang jujur dan terpercaya bagi muridnya. Juga hendaknya ia senantiasa menanamkan keyakinan pada hati murid bahwa menuntut ilmu hanyalah semata untuk mendekatkan diri kepada Allalh, bukan kesombongan, mencari harta dan kedudukan, pamer ilmu, bersilat lidah, bertengkar dan berdebat.
Keempat, guru tidak layak menyebarluaskan kekurangan dan kesalahan murid karena akan merangsang timbulnya protes murid secara demonstratif. Mereka akan dihantui rasa bersalah yang bisa membuat mereka protes sebagai cara mempertahankan diri. Arahan, teguran dan juga bimbingan guru dapat disampaikan dengan penuh kasih sayang tanpa emosi.
Kelima, karena guru adalah teladan yang diikuti oleh murid, maka sejadini ia harus memiliki keluhuran budi dan toleransi. Konsekuensinya, seorang guru harus menghormati ilmu-ilmu di luar spesialisasinya. Begitu pula ia tidak boleh fanatik terhadap disiplin ilmunya sendiri.
Keenam, guru harus menyesuaikan kemampuan intelektual murid dalam menyampaikan pengajaran. Nabi Isa AS pernah bersabda: “Jangan mengalungkan seuntai kalung mutiara kepada seekor babi". Dan Allah sendiri menegaskan: "Dan janganlah kamu memberikan kepada orang yang belum sempurna harta mereka, apa yang ada pada kekuasaanmu".
Ketujuh, guru harus mendalami faktor-faktor kejiwaan sang murid. Karena itu tidak layak bagi seorang guru untuk menyampaikan pikiran-pikiran kontroversial yang bisa membingungkan murid, utamanya dalam mengajarkan ilrnu-ilmu agama.
Kedelapan, di samping sebagai orang yang ‘alim, guru juga harus 'amil. Dalam hal ini, guru harus mempunyai kesungguhan untuk merealisasikan apa yang diajarkannya, tidak hanya sanggup berbicara saja. Dalam surat al-Baqarah ayat 44 Allah bersabda: "Apakah engkau suruh orang berbuat baik, sementara engkau lupakan dirimu sendiri”.
***
DARI sudut pedagogis, guru yang ideal itu mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai obyek (terdidik) dan sebagai subyek (pendidik).
Kedua fungsi yang melekat pada diri guru ini harus sama-sama aktif. Oleh karenanya guru dalam posisi atau fungsi apapun dituntut untuk berwatak kreatif, produktif, dan inovatif. Dalam setiap kondisi dan situasi ia haruslah selalu dalam proses yang dinamis, tidak monoton. Sifat monoton dapat menumbuhkan situasi statis.
Di sini peningkatan kemampuan seorang guru jelas hanya akan tergantung pada sejauh mana proses tersebut di atas dapat diwujudkan secara terus menerus untuk mencapai suatu tujuan yang terkait dengan bidang studi mau pun lembaga (sekolah) tempat ia mengajar. Sebagai guru agama Islam ia terikat oleh tujuan bidang studinya, baik tujuan instruksional mau pun tujuan umum termasuk tujuan pribadi. Yang dimaksud tujuan pribadi adalah penanaman atau sosialisasi karakter atau kepribadian (syakhshiyah), sehingga dengan demikian seorang guru agama Islam dituntut berkarakter yang baik.
Watak bagi seorang guru agama Islam seperti di atas sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak didik yang Islami, yaitu kepribadian yang diorientasikan pada al-akhlaq al-karimah dan keimanan serta keislaman yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku anak didik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pendekatan yang paling penting adalah pendekatan keteladanan seorang guru. Unsur pendidikan di sini harus lebih dominan daripada unsur pengajaran, karena pembentukan watak karakteristik yang disebut kepribadian lebih dipengaruhi oleh cara pendekatan persuasif yang berbeda-beda, berdasarkan pluralitas latar belakang ego para peserta didik.
Pembentukan karakter murid kurang tepat menggunakan pendekatan instruksional dengan metodologi pengajaran tunggal. Di sini sering terjadi kerancuan antara pendekatan pendidikan yang mengarah pada pembentukan kepribadian dengan pendekatan pengajaran yang mengarah pada pembentukan intelektualitas. Akibatnya ialah terbentuknya intelektual yang tidak berkepribadian atau terbentuknya kepribadian tanpa daya intelektual. Maka keterpaduan antara keduanya harus ditingkatkan agar terbentuk manusia yang qowiyyun amiinun. Manusia al-amin yang sarat dengan kepribadian Islami sekaligus manusia al-qowiy yang sarat dengan intelektualitas, potensi dan profesi.
BILA PESANTREN MASUK GBHN
LAGI-LAGI pesantren menjadi bahan pembicaraan kalangan yang berkompeten. Menjelang Sidang Umum MPR 1988 dan 1993, pesantren diusulkan masuk GBHN. Keinginan itu berangkat dari beberapa asumsi atas kiprah pesantren selama ini, baik semenjak perang kemerdekaan mau pun dalam proses pembangunan manusia seutuhnya dalam beberapa Pelita.
Diakui atau diingkari, tercatat dalam sejarah resmi atau diabaikan penulisannya, pesantren mempunyai posisi strategis sebagai tempat penempaan kiai, ulama dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Pesantren dengan segala peranannya telah mampu memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi usaha pemerataan hasil pembangunan sekaligus pemerataan partisipasi rakyat bawah bagi pembangunan itu sendiri.
Membicarakan masalah ini akan mencakup beberapa kewenangan dan kepentingan. Apakah kewenangan dan kepentingan politis atau sekedar kepentingan sosio kultural sebagai antisipasi terhadap gejala pelecehan budaya yang ada.
Dikatakan demikian, karena pada dasarnya pesantren merupakan kreasi budaya Indonesia, atau paling tidak budaya Jawa. Sehingga keinginan memasukkan pesantren dalam GBHN pada akhirnya tidak saja merupakan fenomena politik, namun juga fenomena budaya. Juga mengingat keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, sehingga persoalannya kemudian berkait dengan pranata keagamaan yang semenjak berdirinya menjadi ciri intrinsik dari pesantren itu sendiri. Terlepas dari alasan politis apa pun -karena tulisan ini memang diarahkan ke situ- sebenarnya permasalahn ini bisa dilihat melalui kacamata yuridis formal dan material hukum.
***
DALAM beberapa tulisan terdahulu telah diuraikan eksistensi pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional. Meskipun pola teknik penyelenggaraan pendidikan pesantren berbeda dengan pendidikan nasional, akan telapi sistem yang dianut pesantren juga menampakkan integrasi yang partisipatif terhadap pendidikan nasional.
Buktinya bisa ditelusuri dari pola pendidikan nasional yang tertuang dalam GBHN, yaitu pendidikan yang bertujuan meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti luhur dan akhlak yang mulia.
Secara implisit, Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUPN) tahun 1989 pasal 47 menyebutkan, “Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional".
Pasal itu tampak memberikan landasan kokoh bagi eksistensi pesantren dalam kerangka kenegaraan untuk meningkatkan segala peranannya. Dalam pasal 11 ayat 6 dari UUPN itu juga terdapat jenis-jenis pendidikan keagamaan yang tentu saja pesantren termasuk di dalamnya.
Kalau permasalahannya hanya ingin menjadikan pesantren sebagai sub-sistem dalam sistem pendidikan nasional yang ada -dan karenanya sebagai lembaga pendidikan, pesantren dapat memperkokoh kedudukannya dan semakin jelas pengakuan terhadapnya- maka agaknya ketiga aspek formal yuridis di atas telah menunjukkan kepada keinginan itu.
Akan tetapi permasalahannya tidak sesederhana itu. Beberapa kalangan berpendapat, dengan masuknya pesantren ke dalam GBHN, maka beberapa nilai positif strategis akan dapat diproses. Satu di antaranya soal dana APBN yang akan mengalir ke pesantren, akan sangat menunjang sarana pendidikan keterampilan, sehingga para santri tidak hanya menggumuli teori-teori saja, melainkan juga dapat mengamalkan ilmu-ilmunya dengan sarana tersebut. Dana APBN dimaksud juga dapat digunakan untuk mendirikan pesantren-pesantren baru di berbagai daerah terpencil yang notabene masih marginal.
***
TIDAKLAH mungkin, suatu sistem pendidikan, bisa berjalan kontinyu dan lestari tanpa melalui proses perubahan dan perkembangan. Setiap sistem pendidikan yang telah berlaku dalam suatu lembaga pendidikan akan berjalan dan berkembang sesuai dengan kondisi dan faktor-faktor yang mengelilinginya. Manakala faktor-faktor tersebut menghendaki penyesuaian-penyesuaian, maka tidak bisa tidak lembaga pendidikan harus menempuh transformasi bila tidak ingin ketinggalan.
Pesantren selama ini telah menempuh transformasi mendasar pada elemen-elemen pendidikannya. Transformasi yang ditempuh pesantren merupakan desakan penyesuaian terhadap makna pendidikan yang berlaku dan populer di luar pesantren. Jika tidak menempuh jalan itu, anggapan ketertinggalan akan semakin melekat pada pesantren. Sementara pada segi lain, transformasi itu merupakan perhitungan strategis pengembangan yang dilakukan atas prakarsa intern pesantren, sebagai upaya inovasi yang mutlak diperlukan.
Perubahan mendasar diawali ketika di Indonesia mulai kenal denngan lembaga pendidikan yang disebut sekolah oleh pemerintah kolonial Belanda. Sekolah sengaja diciptakan untuk mengimbangi penganuh pesantren yang pada waktu itu telah mencoba dengan sistem pendidikan baru, yaitu madrasah.
Perubahan berikutnya ditunjang oleh SKB Tiga Menten (Mendikbud, Menag dan Mendagri) yang menyamakan lulusan madrasah dengan sekolah negeri. Disusul kemudian -secara gradual dan pasti- dengan adanya usaha penegerian madrasah-madrasah pesantren. Pesantren lantas berkenalan dengan sistem sertifikasi dan akreditasi yang pada gilirannya sedikit banyak memberi warna lain bagi pesantren.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua sekaligus sebagai lembaga tafaqquh fiddin dan lembaga sosial kemasyarakatan, pada dasarnya memiliki karakter Islami yang kuat, watak kemandirian, jiwa perjuangan, kebiasaan bermusyawarah, dan lebih dari itu adalah watak ikhlas.
Jiwa dan watak seperti inilah yang jarang ditemui pada lembaga pendidikan lain, sehingga untuk berintegrasi ke dalam pesantren atau mengintegrasikannya pada sistem lain, mutlak diperlukan kajian mendalam dan serius. Maka, apapun perubahan dan perkembangan yang terjadi atau yang diinginkan, tentu tidak seharusnya mengganggu -kalau tidak bisa dikatakan menghilangkan- jiwa dan watak pesantren.
Kita ingat ketika SU-MPR di tahun 1988 membicarakan masuknya pesantren ke dalam GBHN seperti yang terjadi dalam SU-MPR 1993. Pendapat kontroversial bermunculan sebagai respon atas masuk tidaknya pesantren dalam GBHN. Silang pendapat antara masuk dan "tetap di luar" yang semula bermotivasi pada eksistensi pesantren, justru sempat bergeser pada tendensi politis.
Sementara itu, dari pihak pesantren sekurangnya ada tiga sikap yang muncul. Pertama, ada yang berambisi harus jelas dan tegas masuk GBHN dengan alasan mempertahankan eksistensinya, tanpa menyampaikan konsep eksistensi dalam formulasi yang tuntas dan lengkap.
Sikap kedua, justru menentang yang pertama, karena dikhawatirkan masuknya intervensi dari luar ke dalam pesantren secara lebih dominan, akan rnempengaruhi kemandirian pesantren. Agaknya selama ini rnasih ada yang belum menyadari adanya intervensi pihak luar dan lebih dari itu mereka beranggapan, masuknya peranan luar ke dalam pesantren berarti akan mengganggu eksistensi pesantren. Sikap kedua ini tidak rnau tahu terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.
Sedangkan sikap ketiga, memilih berdiam diri. Tidak jelas, apakah sikap ini muncul dari keputusasaan atau dari kedewasaannya dalam menerima sebuah kenyataan secara konsekuen.
Nuansa perbedaan sikap di kalangan pesantren seperti itu apabila dianalisis agak jauh paling tidak dapat mengacu pada suatu hipotesis, bahwa eksistensi pesantren secara utuh perlu dikaji ulang baik dari sisi makrohistorisnya yang tentu mengenal adanya perubahan sesuai dengan proses sejarahnya, mau pun dari mikro-sinkronisnya yang menyangkut ciri intrinsik, visi dan fungsi dasarnya. Sehingga dengan demikian, untuk memasukkan pesantren ke dalam GBHN, terlepas dari kepentingan apapun, tentu memerlukan pula analisis-analisis seperti itu. Tidak asal memasukkan ke GBHN, yang tentu saja akan mengarah pada ketidakjelasan demi ketidakjelasan.(1)
Pesantren dari dulu senantiasa berprinsip al-muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Dengan prinsip yang lentur itu, pesantren senantiasa mencoba terus terbuka.
***
  1. Persoalan pesantren masuk GBHN, tampaknya memang lebih cenderung bersifat politis. Abdurrahman Wahid yang pertama mengusulkannya menjelang SU MPR 1988 mengakui bahwa isu itu sebagai pertama test case akan kepercayaan pemerintah terhadap umat Islam kaitannya dengan ideologi Pancasila dan kedua dalam jangka panjang sebagai upaya integrasi nasional. Ada versi lain yang mendasari usulan itu dari Kiai Shohib Bisri, yaitu pengakuan atas keterlibatan pesantren dalam perjuagnan menegakkan bangsa ini. Memang bukan sekedar soal dana. Namun bagaimanapun menurut Kiai dengan adanya kenyataan, bahwa SU MPR akhirnya tidak meloloskan usulan itu? Implikasi apa yang akan muncul jika pesantren benar-benar masuk GBHN, keuntungan bagi pesantren sendiri mau pun pemerintah? Bagaimana tentang kekhawatiran sebagian kalangan akan terancamnya kemandirian pesantren? Atau sebenarnya isu-isu itu tidak penting untuk ditanggapi?
PESANTREN MEMBENTUK GENERASI BERTAKWA
SETIAP institusi agama atau pun yang lain, memberikan kedudukan sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Dalam Islam, ilmu pengetahuan menduduki posisi utama, karena ia adalah sarana yang paling tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda: "Barang siapa menghendaki kehidupan dunia, maka ia harus berilmu, begitu juga apabila ia menghendaki kehidupan akhirat. Apalagi jika ia menghendaki keduanya (dunia dan akhirat)".
Yang dimaksud science di sini adalah ilmu pengetahuan dalam pengertian yang luas, bukan dalam batasan satu nilai atau disiplin tertentu. Secara kontinyu ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dan sangat dipengaruhi oleh aspek kehidupan yang luas, mulai dari ekonorni, sosial, budaya dan juga apresiasi intelektual masyarakat. Akan tetapi di balik itu, proses perkembangan tersebut sangat bergantung pada lembaga pendidikan.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dengan totalitas kepribadiannya yang khas, selalu memberikan kebebasan untuk menentukan pola dinamis kebijaksanaan pendidikannya. Sehingga setiap tawaran pengembangan, baik benupa transfer dari luar (non-pesantren) mau pun atas prakarsa sendiri, tentunya akan melalui sektor pertimbangan dari dalam pesantren sendiri yaitu pertimbangan tata nilai yang telah ada dan berlaku di pesantren selama ini.
Istilah "pesantren" mulai dikenal sejak pertama kali lembaga itu didirikan. Untuk mengetahui sejarah pesantren, ada beberapa pendapat yang umum berlaku. Di antaranya disebutkan, pertama kali pesantren didirikan oleh Sunan Malik Ibrahim di Gresik pada awal abad ke-17 (tahun 1619 M).
Dalam perjalanannya, pesantren begitu mengakar di tengah-tengah masyarakat dengan prestasi yang sangat kentara, yaitu munculnya para alurnni pesantren yang mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai yang tangguh dan mampu mengembangkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam, dibarengi dengan kepekaan yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan. Hal ini berangkat dari titik tekan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin yang senantiasa dipertahankan dan kemauan membuka diri dari segala perubahan dan perkembangan zaman.
Akan tetapi, satu dan lain hal yang perlu dimengerti adalah keteguhan sikap para pendiri pesantren yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda pada waktu dulu, sehingga segala bentuk kegiatan pendidikan pesantren tidak diproyeksikan untuk memproduksi tenaga kerja. Maka, ijasah-ijasah formal pun pada awalnya sama sekali tidak dikenal oleh kalangan pesantren. Pesantren hanya terfokus pada pandangan dasar thalab al-'ilmi li wajhi Allah. Prinsip demikian ini masih dapat ditemui di beberapa pesantren sampai sekarang.
Sistem pendidikan pesantren yang ditempuh selama ini memang menunjukkan sifat dan bentuk yang lain dari pola pendidikan nasional. Akan tetapi hal ini tidaklah bisa diartikan sebagai sikap isolatif, apalagi eksklusif pesantren terhadap komunitas yang lebih luas. Pesantren pada dasarnya memiliki sikap integratif yang partisipatif terhadap pendidikan nasional.
Pendidikan nasional yang tertuang dalam GBHN bertujuan meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan YME, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti luhur dan akhlak yang mulia. Dari sinilah, rneskipun pola penyelenggaraan pendidikan pesantren berbeda dengan pendidikan nasional, akan tetapi ia tetap merupakan suatu lembaga pendidikan yang mendukung dan menyokong tercapainya tujuan pendidikan nasional. Secara institusional dan melalui pranata yang khas, pesantren merangkum upaya pengembangan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan dasar pendidikannya.
Pola dasar pendidikan pesantren terletak pada relevansinya dengan segala aspek kehidupan. Dalam hal ini, pola dasar tersebut merupakan cerminan untuk mencetak santrinya menjadi insan yang shalih dan akram. Shalih, berarti manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, berguna dan terampil dalam kaitannya dengan kehidupan sesama makhluk. Filosofi "shalih" diambil dari surat Al-Anbiya' 105:
Sesungguhnya bumi ini diwariskan kepada orang-orang yang shalih”.
Sehingga untuk melestarikan bumi seisinya beserta seluruh tatanan kehidupannya, pesantren coba membekali santrinya dengan ilmu pengetahuan yang punya implikasi sosial menyeluruh dan mendasar. Seperti: ilmu pertanian, ilmu politik, teknologi, perindustrian, ilmu kebudayaan dan lain sebagainya. Menurut kalangan pesantren, pengkajian ilmu-ilmu semacam itu bersifat kolegial (fardlu kifayah).
Sementara "akram" merupakan pencapaian kelebihan dalam kaitan manusia sebagai makhluk terhadap khaliqnya, untuk mencapai kebahagian di akhirat, seperti firman Allah dalam Al-Qur'an:
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu seklian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.”
Dalam kaitan ini, pesantren secara institusional telah menekankan pendalaman terhadap ilmu pengetahuan keagamaan (tafaqquh fiddin).
Berangkat dari sikap pendirinya pada sebelum masa kemerdekaan yang sama sekali tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda, maka pesantren praktis menolak campur tangan pemerintah. Akibatnya kesan tertutup dan eksklusif begitu lekat di tubuh pesantren. Akan tetapi setelah masa kemerdekaan, pesantren mulai membuka diri seluas-luasnya kepada ‘dunia luar’ dengan digalangnya banyak kerjasama antara pesantren dan pemerintah atau dengan lembaga-lembaga lain, seperti LSM-LSM di negeri ini.
Macam dan bentuk pesantren yang amat banyak, sebanyak kiai yang mempunyai otoritas tertinggi atas pesantren, adalah hal yang selama ini menjadi sorotan para ahli dan pengamat masalah pesantren. Namun justru dari keberagaman bentuk pesantren inilah, akan dapat dicapai insan kamil. Adalah mustahil, bila kesempurnaan tersebut dicapai dengan bentuk pendidikan yang hanya satu macam.
Pesantren dengan tujuan utamanya mencetak insan yang shalih dan akram, merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai implikasi dunia dan akhirat. Tidak hanya shalih saja, akan tetapi juga akram. Keduanya haruslah tidak terpisahkan, sehingga di samping mendalami ilmu-ilmu keagamaan, pesantren juga harus rnulai mendalami ilmu pengetahuan umum. Apalagi pesantren telah melebarkan sayap dengan membentuk lembaga madrasah sebagai lembaga pendidikan klasikal dan perguruan tinggi yang kian hari semakin ditingkatkan mutu manajerialnya dan proses belajar mengajarnya.
Pesantren yang lahir dan berbasis di pedesaan, di dalamnya terbentuk suatu miniatur kehidupan masyarakat luas. Ia adalah sebuah lembaga yang memiliki kemnungkinan dan kesempatan besar membentuk kader berwawasan sosial dan peka terhadap lingkungannya, di samping memupuk ketakwaan terhadap Allah SWT.
Prospek pengembangan ilmu pengetahuan merupakan tanggung jawab semua kalangan lembaga pendidikan, tanpa memandang pada dasar pendidikan yang dianut. Hanya saja, skala prioritas penekanan terhadap ilmu pengetahuan yang dikembangkan, berlainan antara satu lembaga pendidikan dengan yang lain. Sementara pesantren lebih menekankan pada pengetahuan yang sesuai dengan dasar pendidikannya, sesuai dengan nafas dan tuntutan Islam.
Untuk lebih mendukung adanya pengembangan ilmu pengetahuan secara pesat, pesantren masih saja memperhatikan sistem pendidikannya sendiri. Dalam hal ini, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi akan terus dilaksanakan, sejauh tetap menyelamatkan nilai-niilai dan identitas pesantren, sehingga tidak hanyut oleh perubahan-penubahan. Dalam kaitan ini, pesantren memiliki prinsip:
“Memelihara sistematika dan metodologi lama yang masih relevan dan mengambil serta mengembangkan cara baru yang lebih baik".
Dengan demikian pesantren tidak akan pernah terkesan sebagai lembaga pendidikan konvensional yang menutup diri dan mengisolasi dari perkembangan kehidupan.
DIALOG PESANTREN DENGAN UMATNYA
ADALAH suatu nilai lebih, bila banyak kalangan rnembicarakan pesantren dengan segala implikasi dan peranannya. Apalagi jika yang membicarakan, bukan orang pesantren. Hal ini semakin memberi penegasan terhadap eksistensi pesantren yang telah mampu berperan secara positif dalam kehidupan yang ada.
Akan tetapi tentu tidak mubazir dan justru lebih adil, bila "orang dalam" pun ikut membicarakannya. Justru ini merupakan sarana alih informasi yang diharapkan mampu memberi input obyektif kepada pihak luar yang berkepentingan tertentu dalam upaya membicarakan pesantren tersebut. Diharapkan pula akan terjadi dialog.
Fenornena dialog memang tidak bisa dihindarkan, karena sifatnya yang alamiah, sejalan dengan proses interaksi antar individu, antar komunitas, bahkan antara umat manusia. Segala aktivitas yang cenderung menolak dan antipati terhadap dialog, adalah tidak bertanggung jawab sama sekali.
Beranjak dari kesadaran akan pentingnya dialog itu, pesantren sejak berdirinya senantiasa berupaya berdialog dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Kedudukannya yang mengakar di tengah-tengah masyarakat tidak memungkinkan pesantren untuk tampil terisolir, apalagi eksklusif.
Filosofi lahirnya pesantren menurut sementara kalangan, sama persis seperti filosofi wujudnya pasar sebagai tempat jual beli, di mana para pembeli dan penjual tidak dapat begitu saja "dipaksa" menempati pasar tersebut. Namun interaksi antara pembeli dan penjual itu sendiri yang menciptakan tempat, yang disebut pasar. Gambaran seperti itulah yang semula melahirkan pesantren. Ini merupakan cermin intensifnya dialog antara pesantren dengan lingkungannya.
***
DIALOG ini tercipta secara alamiah, karena berdirinya pesantren adalah kehendak masyarakat. Justru tidak masuk akal, apabila pesantren tidak dapat berdialog dengan "pemilik"-nya sendiri. Tidak pernah tersebut dalam sejarah, bahwa pesantren adalah hasil paket dari kalangan tertentu. Dengan demikian, setidaknya ada dua hal yang mendukung terciptanya fenomena dialog pesantren dengan masyarakat. Pertama, karena tempat dan kedudukannya yang berada di tengah-tengah masyarakat. Dan kedua, pendirian pesantren itu sendiri berasal dari karsa masyarakat yang memang membutuhkan kehadirannya.(1)
Yang kita coba bicarakan kali ini adalah peranan dan tugas pesantren dalam pembicaraan umat di abad modern. Telah kita awali pembicaraan kita ini dengan fenomena dialog yang pada dasarnya juga merupakan satu ciri umat modern. Sebagaimana dimaklumi, umat berarti kelompok orang. Dalam setiap kelompok orang tentu ada komunitas. Setiap komunitas, kecuali mempunyai kepentingan masing-masing, juga mempunyai pandangan dan wawasan yang berbeda.
Pluralitas pandangan dan keragaman wawasan biasanya mulai berproses di negara berkembang. Sesuai dengan cirinya, proses modernisasi berjalan wajar seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semuanya berjalan serba berkembang, begitu juga kebutuhan masyarakat pun makin meningkat dan beragam, yang pada gilirannya muncul sikap dinamis dan kompetitif. Kesadaran kritis muncul, meski selalu ada usaha untuk menekannya sedemikian rupa dengan dalih agar tidak menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial mau pun politik.
Bersamaan dengan itu, kebutuhan hidup rnasyarakat yang sedang berkembang dan dalam proses modernisasi itu selalu menuntut segala hal yang serba pragmatis, praktis, dan tentu serba lebih. Konsekuensi mengejar "yang lebih" atau dalam bahasa ekonominya, strategi yang menekankan pertumbuhan (growth), berarti meninggalkan "yang kurang". Meskipun pada kenyataannya, sejak proses awal sampai pada pertengahan (hingga sekarang), "yang kurang" itu tetap masih cukup dominan. Artinya, kesenjangan yang diciptakan sangat lebar.
Akibat mengejar "yang lebih" ini, terjadilah kompetisi yang sering tidak sehat, di mana kepentingan individu atau kelompok tertentu lebih dominan ketimbang kepentingan umum. Kecenderungan sikap dan perilaku individualistis di kalangan masyarakat tersebut, dapat membentuk sikap kekerasan, konflik dan masa bodoh bagi pihak yang tidak beruntung. Sedangkan di pihak lain, akibat tekanan-tekanan sosial dari sikap tersebut sering juga menimbulkan stress dan putus asa.
Gambaran seperti itulah yang selalu mewarnai kehidupan masyarakat dan umat modern, sebagaimana terjadi pula di negara-negara maju. Dalam hal ini, salah satu upaya pengendalian umat adalah mencanangkan keseimbangan antara unsur duniawi dan unsur ukhrowi.
Hal ini sudah sering dikemukakan oleh banyak kalangan, tetapi pada realitasnya belum memenuhi hasil yang diharapkan karena kurang jelasnya standar nilai yang digunakan sebagai penyeimbang atas distorsi yang ada. Di sinilah kemudian terlihat pentingnya fungsi pesantren yang menitikberatkan tafaqquh fiddin (pendalaman agama).
***
MENGAPA pesantren dengan tafaqquh fiddin-nya? Sebagaimana dimaklumi, pesantren merupakan lambang pendidikan Islam yang tentu saja memiliki titik tekan sebagai garapan yang mendasar yaitu tafaqquh fiddin. Di samping itu, di dalamnya juga diajarkan beberapa ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagai upaya untuk menyiapkan tenaga-tenaga terampil yang mampu mengabdi dan berperan dalam masyarakat. Garapan semacam ini merupakan sasaran mikro pesantren sebagai pengabdiannya kepada masyarakat, karena seperti disinggung di atas, betapapun pesantren merupakan bagian dari masyarakat yang tak mungkin dipisahkan.
Dalam skala makro, sasaran pesantren adalah masyarakat luas. Keberadaan pesantren di tengah masyarakat sebagai suatu lingkungan kehidupan, pada hakikatnya membawa sebuah misi yaitu upaya merangkum kehidupan dalam jalinan nilai-nilai spiritual dan moralitas yang Islami. Adalah merupakan tanggung jawab yang nyata, pesantren dalam hal ini berfungsi kontrol dan sekaligus stabilisator dalam proses perkembangan masyarakat yang sering menimbulkan ketimpangan sosial mau pun kultural. Apabila terjadi ketimpangan, pesantren tentu tidak lepas menjadi sasaran kritik dan gugatan.(2)
Bagaimanapun proses modernisasi sering nampak sebagai suatu perubahan yang mempunyai dampak sangat mendasar dan mendalam pada struktur nilai yang telah berlaku dalam kehidupan. Tidak mustahil sering terjadi pergeseran nilai atas perkembangan modernisasi. Pesantren dalam kaitannya dengan permasalah ini, mempunyai tugas yang harus mampu memberikan motivasi dan arahan terhadap perkembangan yang ada.
Di samping itu pesantren harus mampu memproyeksikan nilai-nilai transendental secara tetap dan tepat sebagai realisasi pembinaan terhadap umat yang dimulai dari titik tekan tafaqquh fiddin. Dengan demikian, benteng isolasi dalam diri masyarakat dan umat akan tumbuh secara inhern, untuk menghadapi ekses-ekses negatif produk modernisasi yang mengancam keberadaan nilai-nilai transendental.
Fungsi dan posisi pesantren dalam upaya pembinaan umat modern, akan sangat erat kaitannya dengan keberadaan Islam sebagai sebuah sentral nilai dan dengan serta sikap dalam kehidupan umat. Islam secara mendasar rnemberikan arahan dan batasan tertentu sebagai suatu sistem nilai yang harus dijalankan umatnya. Arahan dan batasan tersebut dimasuklcan dalam pola yang dinamakan syari'at, yaitu aturan-aturan dalam kaitannya dengan hubungan antara manusia dengan Allah serta antara manusia dan sesama manusia. Bersamaan dengan itu, realisasi pola tersebut dalam Islam dilandasi oleh keimanan sebagai orientasi kerja, dilengkapi dengan akhlak yang secara lahiriah membentuk sikap dan perilaku etis pada setiap komunitas sesuai dengan lingkungan dan situasi. Secara batiniah, ia juga menumbuhkan rasa tenteram, karena makin meningkatnya pendekatan diri kepada Allah SWT.
Kerangka-kerangka ideal sebagaimana terurai itu, memang bukan merupakan hal baru, akan tetapi tetap memiliki relevansi tersendiri terhadap perjalanan pesantren, untuk senantiasa membina umat sepanjang waktu. Masalah ini bukan soal remeh. Adalah sikap besar kepala dan rnustahil, jika lembaga pesantren meremehkan permasalahan itu. Justru akan terjadi kemunduran dan kemerosotan di kalangan pesantren sendiri, sebagai akibat dari kurangnya perhatian terhadap hal-hal yang berkesan remeh itu.
***
Catatan Kaki:
  1. Ada beberapa pesantren yang melarang santrinya bergaul dengan masyarakat sekitarnya, justru untuk menjaga kewibawaan pesantren itu sendiri, bagaimana ini? beberapa pesantren modern juga menerapkan aturan yang ketat bagi santrinya yang hendak berbaur dengan masyarakat, untuk kepentingan menjaga intensitas belajar?
  2. Wujud yang lebih kongkrit dialog pesantren dengan masyarakat modern itu bagaimana?
PESANTREN DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
PESANTREN sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial keagamaan yang pengasuhnya juga menjadi pemimpin umat dan menjadi sumber rujukan umat dalam memberikan legitimasi terhadap tindakan warganya, sudah barang tentu mempunyai dasar pijakan yang bersifat keagamaan dalam melakukan tindakannya, terutama jika itu dianggap ''baru" oleh masyarakatnya. Hal tersebut, karena watak pimpinan keagamaan dan rnasyarakat pendukungnya yang fiqih oriented selalu meletakkan kegiatan yang dilakukan dalam pola hitam-putih atau salah-benar menuntut hukum Islam.
Salah satu kegiatan yang dianggap baru menurut kalangan masyarakat pesantren adalah pengembangan masyarakat, setidaknya kalau dilihat secara kultural dari misi utama pesatren, serta porsi kegiatannya secara global, dalam bidang pendidikan. Sedangkan pengembangan masyarakat, meskipun selama ini sudah dilakukan, hanya bersifat sporadis. Kegiatan pengembangan masyarakat belum dilakukan pesantren secara kelembagaan, di samping tanpa disertai visi yang jelas, serta perangkat pendukungnya yang memadai.
Sementara itu pengembangan masyarakat yang bermuara pada peningkatan tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan kebutuhan dan permasalahan masyarakat sebagai subyek atau obyek, sedangkan kebutuhan masyarakat itu selalu berkembang dan permasalahan masyarakat pun hampir tidak pernah absen di semua lapisan masyarakat, baik secara moril mau pun materiil, maka sesungguhnya pengembangan masyarakat akan selalu mendapat tempat sepanjang masa di masyarakat mana pun, baik kota mau pun desa, yang masih bersifat agararis mau pun masyarakat industri.
Namun kalau pesantren ingin berhasil dalam melakukan pengembangan masyarakat yang salah satu dimensinya adalah pengembangan semua sumber daya, maka pesantren harus melengkapi dirinya dengan tenaga yang terampil mengelola sumber daya. yang ada di lingkungannya, di samping syarat lain yang diperlukan untuk berhasilnya pengembangan masyarakat. Sudah barang tentu, pesantren harus tetap menjaga potensinya sebagai lembaga pendidikan.
Pesantren yang mampu mengembangkan dua potensinya, yaitu potensi pendidikan dan potensi kemasyarakatan, bisa diharapkan melahirkan ulama yang tidak saja dalam ilmu pengetahuan keagamaannya, luas wawasan pengetahuan dan cakrawala pemikirannya, tetapi juga mampu memenuhi tuntutan zamannya dalam rangka pemecahan persoalan kemasyarakatan.
***
UNTUK meletakkan pengembangan masyarakat atau pembangunan dalam dimensi agama, terlebih dulu perlu dilihat kaitan kewajiban seorang muslim yang telah siap menerima amanat atau tanggung jawab dari Allah SWT. Untuk itu di samping memberi ajaran yang tertuang dalam bentuk Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup, Allah menciptakan manusia terdiri atas lima komponen(1): (1). Jasad, (2). Akal, (3). Perasaan, (4). Nafsu, (5). Ruh.
Dari terkumpulnya lima komponen itu, rnanusia mempunyai dua potensi atau kemampuan, yaitu pertama kemampuan fisik (quwwah 'amaliyah) atau kemampuan untuk melakukan kerja, yang kedua, kemampuan berpikir (quwwah nadhariyah). Kemampuan berpikir ini sehat, bila akal, perasaan dan nafsu berjalan sekaligus. Berpikir tanpa menggunakan akal akan menjadikan seseorang emosi. Maka atas dasar kemampuan yang diberikan oleh Allah di atas, manusia mempunyai tanggung jawab melaksanakan peritahNya dan meninggalkan laranganNya secara simultan.
Mahmud Syaltut melihat bahwa ajaran Islam itu pada dasarnya dibagi dua komponen pokok, yaitu 'aqidah dan syari’ah.(2) Dalam menghampiri masalah ‘aqidah yang menyangkut aspek kepercayaan manusia banyak dituntut menggunakan kemampuan berpikir. Dalam menghampiri masalah syan'ah yang menyangkut aspek perilaku, manusia dituntut banyak menggunakan kemampuan fisik.
Dari aspek syari'ah yang mengatur hubungan manusia inilah pada dasarnya lahir taklif, yang mesti dilakukan manusia dalam menjalin hubungan dengan empat macarn sasaran terjadinya proses pembangunan atau pengembangan masyarakat. Empat macam sasaran dimaksud tidak bisa diabaikan dan dipisahkan salah satu dari yang lainnya, sebab dengan mengabaikannya akan terjadi ketidakseimbangan kehidupan seseorang. Atau dengan ungkapan lain, kehidupan seseorang yang mengabaikan salah satu hubungan dari empat macam sasaran tersebut tidak akan mencapai hasanah di dalam kehidupan dunia kini atau hasanah di dalam kehidupan akhirat kelak, di mana keduanya menjadi tujuan akhir kehidupan seseorang beragama.
Adalah tidak mungkin mengetengahkan semua dasar-dasar agama yang menjadi pangkal tolak para tokoh Islam, khususnya para pengasuh pesantren dalam melakukan kegiatan pengembangan masyarakat baik yang bersumber dari nash-nash Al-Qur’an, Hadits, mau pun Atsar (pendapat, atau perilaku para sahabat Nabi). Sesuai dengan alur pemikiran yang membagi syari'ah kepada empat rnacam hubungan manusia, maka ada baiknya di sini diketengahkan dasar-dasar keagamaan dengan empat pola hubungan yang mendorong para pengasuh pesantren (setidaknya kami sendiri) untuk melakukan pengembangan masyarakat.
***
SEPERTI dijelaskan di atas bahwa aspek syari'ah merupakan perwujudan dari aspek 'aqidah. Dengan kata lain, sebagai orang yang percaya kepada Allah, ia harus melakukan perintahNya dan menjauhkan laranganNya. Aturan mengenai "perintah dan larangan" yang mendasari hubungan manusia dengan Allah, disebut ‘ibadah, yaitu upaya seseorang dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Ibadah ini ada dua macam, pertama, ibadah yang bersifat qoshirah, yaitu ibadah yang manfaatnya kembali kepada pribadinya sendiri. Kedua, ibadah muta'addiyah yang bersifat sosial. Ibadah sosial ini manfaatnya menitikberatkan pada kepentingan umum. Dalam kaidah fiqih(3) disebutkan: Ibadah yang bermanfaat kepada orang lain lebih utama daripada ibadah yang manfaatnya hanya kepada diri sendiri".
Akan tetapi dalam hal ini tidak bisa diartikan, lebih baik beribadah yang muta'addiyah saja, dan ibadah yang qashirah kita tinggalkan. Kecuali apabila terjadi keadaan yang dilematis (ta'arudl) antara ibadah qoshirah dan ibadah muta'addiyah diutamakan untuk memilih muta'addiyah sepanjang yang qashirah tidak berupa fardlu 'ain. Dalam kaitan ini pula perlu diketengahkan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban (di hadapan Allah) seperti disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits(4), yang artinya: "Kamu semua adalah penanggung jawab, dan akan dimintai pertanggunjawaban atas yang dipercayakan padamu". Sudah barang tentu setiap pemimpin diharapkan melakukan tanggung jawab sebaik-baiknya, sehingga orang yang dipimpin, orang yang diasuh, bisa menikmati kehidupan, menikrnati kemerdekaan dan sebagainya.
Hadits di atas juga berkaitan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an yang mengatakan bahwa, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi dengan firmanNya yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat; Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi, orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman, "Sesungguhya Aku mengetahui yang tidak kamu ketahui".
Dari sini bisa dipahami, bahwa tugas kekhalifahan manusia di bumi ini sebenarnya agar manusia berbuat baik di atas bumi tidak merusak, baik merusak kehidupan, lingkungan atau tatanan yang ada. Dengan demikian sebenamya kuatlah dasar dan motivasi pengasuh pesantren untuk melakukan kerja membangun, baik untuk dirinya sendiri, keluarganya mau pun masyarakat. Sebab agama memberi wahana ibadah yang bersifat individual, di samping wahana ibadah yang bersifat sosial. Dan keduanya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mencari ridlaNya dalam arti melakukan tanggung jawab di hadapanNya.
***
ISLAM mengatur hubungan antar manusia, baik antar muslim dengan muslim, atau muslim dengan non-muslim. Apakah antara kedua belah pihak ada hubungan kekerabatan persaudaraan, atau hubungan sosial. Dengan demikian satu sama lain saling mengakui keberadaannya. Nabi memberikan dorongan perlunya memperhatikan damemecahkan masalah yang menimpa umat Islam, sebagai berikut: “Barang siapa yang tidak memperhatikan urusan umat Islam, tidak termasuk golongan mereka".(5)
Lebih lanjut untuk memberi gambaran betapa perlunya pemimpin umat agar selalu memperhatikan nasib dan kehidupan kaum dlu'afa, ada baiknya diketengahkan surat Khalifah Umar Ibn Khattab RA kepada Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, “Hendaknya engkau takut, jangan sampai menjauhi masyarakat, dan dekati mereka yang dla’if bahkan mereka yang di bawahnya, dan berilah mereka kesempatan untuk menyampaikan pendapat, sehingga luaslah kesempatan mereka untuk berbicara, kenalilah orang asing karena apabila mereka ditekan, lemahlah pemikirannya dan meninggalkan haknya".(6) Surat ini memberikan kesan agar para pemimpin umat selalu memikirkan keadaan masyarakat, mengetahui keadaan mereka, memberi kesempatan mereka untuk menyampaikan pendapat, agar dengan demikian terbuka pula kesempatan untuk pengembangan diri mereka dan pengembangan potensi manusiawinya.
Kalau melihat permasalahan orang desa di sekitar pesantren, yang pada umumnya pesantren berada di daerah pedesaan, banyak masyarakat desa dililit oleh permasalahan yang kompleks, seperti pendapatan rendah, ketidakmampuan membiayai pendidikan anak, ketidakberdayaan mereka untuk mendapatkan hak-hak yang asasi, lebih-lebih kalau mereka berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar seperti kekuatan negara, mereka tak berdaya. Hanya saja karena penduduk desa ini sudah terbiasa dengan serba kesulitan, maka masalah yang mereka derita tidak dirasakan sebagai masalah, padahal orang lain melihatnya sebagai masalah serius yang perlu segera diatasi. Di sinilah kewajiban para pengasuh pesantren sebagai pemimpin umat untuk memperhatikan permasalahan umat tersebut.
***
PADA prinsipnya manusia diberi kebebasan berpikir tentang alam, di samping memanfaatkannya untuk diri sendiri atau kepentingan bersama. Bahkan dalam al-Qur’an surat Huud ayat 61, Allah berfirman, “Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari tanah dan menuntut kalian membangun (memakmurkan) di atasnya". Setidaknya dari ayat yang diperintahkan Allah di atas, memberi himbauan kepada hambaNya, untuk meramaikan bumi atau membangun di atas bumi ini. Jelas perintah di sini adalah untuk berbuat baik, bukan sebaliknya, untuk melakukan kerusakan seperti yang dikhawatirkan para malaikat dalam dialognya dengan Allah dalam menanggapi proses awal penciptaan manusia.
Kewajiban membangun di atas bumi yang berwajah duniawi ini tentu perlu dilengkapi ilmu-ilmu pengetahuan dan keterampilan pendukungnya. Sebab, banyak Hadits Nabi yang mengacu pada hal ini, misalnya; “Barang siapa yang menghendaki dunia, maka ia harus menguasai ilmunya, dan barang siapa yang menghendaki akhirat maka ia harus menguasai ilmunya, dan barang siapa yang menginginkan keduanya, maka ia harus juga menguasai ilmunya."(7)
Banyak persoalan yang menyangkut apa dan bagaimana hubungan manusia dengan alam semesta ini. Di balik perintah memanfaatkan alam, manusia juga dilarang memanfaatkannya secara berlebihan. Apalagi pada saat sekarang ini, perlu disebarluaskan isu tentang lingkungan, misalnya bahaya radiasi nuklir, sehingga orang mempunyai kesadaran dan berperilaku shalih, yang menyangkut kelestarian, kebersihan dan kesehatan lingkungan -suatu kesadaran yang bertumpu pada ajaran agama.
Banyak petunjuk agama yang mengisyaratkan perlunya menjaga keseimbangan kehidupan yang berwajah duniawi dan ukhrawi; yang artinya tidak harus mementingkan hidup dan kehidupan yang berwajah ukhrawi saja, lalu meninggalkan kehidupan yang duniawi. Sebab manusia hidup di dunia tentu membutuhkan apa saja yang bersifat duniawi dan kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka manusia yang bersangkutan tidak bisa melakukan aktivitas yang bersifat ukhrawi dengan baik.
Sebaliknya seseorang pun tidak boleh mementingkan kehidupan yang berwajah duniawi lalu meninggalkan kehidupan ukhrawi. Orang yang demikian, hidupnya menjadi keras dan panas, terutama sisi ruhaniahnya. Orang yang mementingkan kehidupan duniawinya saja belum tentu bahagia dalam arti sesungguhnya. Sebab kebahagiaan yang ia capai hanya dari segi lahiriah, sedangkan yang dari sisi batiniah ia tidak bisa menikmati.
Untuk mengisi kehidupan yang seimbang antara duniawi dan ukhrawi itu, Allah memberi kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan manusia yang bersifat ukhrawi seperti tercemin dalam rukun Islam, di samping memberi kesempatan bahkan kewajiban untuk melakukan usaha yang berwajah duniawi seperti pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan Nabi, kecuali sebagai pemimpin kehidupan keagamaan, juga sebagai pemimpin kehidupan masyarakat, telah menjadi petunjuk untuk itu. Secara individual, Islam juga memerintahkan berusaha untuk mencukupi kehidupan ekonomi. Kata Nabi, "Apabila kamu telah selesai melakukan shalat fajar (subuh) maka jangan terus tidur lalu tidak berusaha mencari rezeki".(8) Secara ekstrem Khalifah Umar Ibn Khattab ra. berkata, "Jangan sekali-kali engkau duduk saja meninggalkan usaha mencari rezeki sembari berdo'a: ''Ya Allah, berilah kami rezeki", padahal eugkau mengetahui bahwa sesungguhnya langit itu tidak akan pernah memberi hujan emas dan perak".(9) Bahkan Islam melarang menganggur, seperti disampaikan oleh sebuah hadits Nabi, "Orang yang paling berat siksanya di hari kiamat, adalah orang yang dicukupi rezekinva tetapi ia menganggur".(10)
***
KALAU dilihat dari sejarah munculnya pesantren dan penerapan ajaran 'aqidah dan syari'ah pada masyarakat pendukungnya, tidaklah berlebihan apabila disebut, pesantren itu merupakan kesatuan dalam keragaman. Kesatuan dalam pemihakannya dalam Islam Sunni, kesatuan dalam misinya yaitu menyampaikan dakwah dan pesan keagamaan kepada masyarakatnya di samping lembaga yang menekuni tafaqquh fiddin. Namun pesantren beragam dalam cara, metoda, taktik dan strategi untuk melakukan dakwahnya. Bahkan dalam satu sisi dakwahnya sekalipun, seperti yang tercermin dalam pola pendidikannya.
Persoalan yang terakhir dapat dimengerti, karena dipengaruhi oleh pendiri pesantren dan masyarakat pendukungnya, atau salah satu dari dua faktor tersebut. Kedua faktor itu berkaitan dengan tantangan yang ada dan jawaban yang muncul. Bahkan hubungan saling mempengaruhi ini terus berlangsung pada periode pengasuh pengganti. Hanya saja pesantren itu sebenarnya sangat tergantung kepada pengasuh sebagai elemen yang paling esensial dan pemegang otoritas di pesantren.(11) Karena itu pula, arah, taktik, strategi, sistem dan organisasi pendidikan dalam pesantren sangat dipengaruhi oleh pengasuhnya.
Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan masyarakat yang merupakan peningkatan peran pesantren ini,(12) respon para pengasuh pesantren pun menjadi beragam. Meskipun sebenarnya banyak nash al-Qur'an, Hadis atau Atsar para sahabat Nabi yang memberikan dorongan untuk melakukan usaha pembangunan kemasyarakatan seperti sudah dijelaskan pada permulaan tulisan ini. Memang ajaran tersebut tidak merupakan sesuatu yang baru, tetapi karena usaha pembangunan itu dianggap kegiatan baru, maka respon para pengasuh menjadi beragam.(13)
Sekali lagi hal tersebut tergantung kepada wawasan dan visi pengasuh pesantren tentang pengembangan masyarakat. Sebagai contoh dalam kasus ini, pada tahun 1984 BPPM Maslakul Huda Kajen, Pati bekerjasama dengan P3M mengajak 12 pesantren di Jawa Tengah, ternyata 3 dari jumlah itu (25 persen) tidak dapat menerima kegiatan pengembangan masyarakat dengan alasan yang tidak sama. Pada umumnya, alasan mereka tidak bisa melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat, karena misi pesantren adalah tafaqquh fiddin. Perluasan kegiatan di bidang kemasyarakatan selain dianggap asing, juga dikhawatirkan terabaikannya fungsi utama tersebut. Jadi antara tafaqquh fiddin dan pengembangan masyarakat belum dilihat kaitannya yang esensial, akibat dan belum lengkapnya informasi yang mereka terima tentang apa, bagaimana, mengapa pengembangan masyarakat itu, di samping belum banyaknya contoh kongkrit wujud pesantren yang melaksanakan pengembangan masyarakat.
Untuk menyebarkan ide, makna dan tujuan pengembangan masyarakat, barangkali lebih baik dkan dengan berkomunikasi secara lisan dengan para pengasuh pesantren. Dalam hal ini komunikasi tulis apakah lewat surat menyurat, penyebaran majalah atau buletin yang mempunyai pesan pengembangan masyarakat tidak cukup, mengingat budaya yang berkembang di pesantren masih kuat melalui komunikasi lisan.
***
DI banyak negara berkembang, strategi pembangunan yang mengutamakan pembangunan ekonomi dengan mengejar peningkatan pendapatan perkapita belaka, tidak bisa menyelesaikan masalah kemiskinan, pengangguran, kesenjangan antara kaya-miskin, antara sektor desa-kota; kecuali bila strategi tersebut dilengkapi dengan strategi yang mengarah pada pemerataan hasil pembangunan dan pemenuhan kebutuhan pokok rnasyarakat.(14)
Demikian pula kasus Indonesia, lebih-lebih pada dasawarsa delapan puluhan ini, di mana ekonomi Indonesia dilanda resesi, di samping masih dipengaruhi oleh berkurangnya penerimaan pendapatan negara dari sektor minyak. Maka dengan strategi yang kedua, (pemenuhan kebutuhan pokok) dirasa agak bisa mengurangi masalah kemiskinan, kesenjangan pendapatan dan pengangguran yang masih banyak dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Namun sekali lagi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah jumlah penduduk yang berkekurangan sangat besar, tersebar di beberapa daerah pedesaan, dengan adat istiadat yang tidak sama, serta permasalahan yang bermacam-macam, sehingga dalam kondisi yang demikian tidak dapat diterapkan kebijaksanaan sentral atau pendekatan teknokratis -meminjam istilah Ismed Hadad- yang hanya mengejar target, baik target waktu mau pun hasil riil. Sebab kondisi alam, dan budaya masyarakat satu daerah dengan yang lain sangat berbeda.
Dalam kondisi demikian lebih tepat apabila dilakukan pendekatan yang mengajak peran serta (partisipasi) masyarakat dalam proses pembangunan. Pendekatan ini harus dilakukan sejak awal melihat permasalahan mereka sendiri, merencanakan kegiatan yang dipilih dalam mengatasi permasalahan, melakukan kegiatannya dan mengevaluasi hasil kerja yang dilakukan.
Dengan demikian semua proses kegiatan akan disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di rnasyarakat. Masyarakat tidak saja menjadi obyek, tetapi menjadi subyek pembangunan yang pada sisi lain akan mengembangkan keswadayaan dan sumber daya yang ada di sekitar mereka.
Tidak dapat dielakkan memang, strategi pemenuhan kebutuhan pokok yang membutuhkan peran-serta memerlukan waktu, di samping itu fasilitas pemandu, baik orang-perorang atau lembaga yang dapat berperan sebagai motivator, fasilitator untuk memunculkan atau mengembangkan peran-serta, atau swadaya masyarakat. Sebab pada dasarnya strategi pendekatan ini intinya usaha penyadaran masyarakat agar mereka bisa mengembangkan sumber daya yang ada pada diri mereka, lingkungan dan alam sekitar.
Di sinilah pesantren dengan potensi sosial keagamaannya bisa melakukan peran sebagai lembaga pengembangan swadaya masyarakat, terutama melalui nilai-nilai keagamaan seperti kemandirian, keadilan, kerja sama dan sebagainya. Mengingat kebutuhan masyarakat itu selalu ada dan bahkan selalu berkembang, maka apabila pesantren bisa melakukan peran sebagai lembaga swadaya masyarakat, ia akan selalu mendapat tempat di masyarakat, bahkan bisa lebih mengembangkan potensi kemasyarakatan.
Selanjutnya bagi pesantren diperlukan syarat yang mendukungnya, antara lain: 1) Wawasan yang benar dari pengasuh pesantren tentang pengembangan masyarakat, di samping kepekaannya terhadap permasalahan yang berkembang, baik yang menyangkut sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, dan 2) Tersedianya tenaga dari kalangan pesantren yang menjadi motivator pembangunan masyarakat dan yang mampu menjadi manager of resources yang ada di sekitarnya.
Sudah barang tentu apabila pesantren melakukan peran pengembangan swadaya masyarakat sebagai upaya untuk mengikuti petubahan sosial yang ada, ia tetap harus menjaga kelestarian fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan keilmuan.
***
DALAM suatu makalah berjudul Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Kegiatan Sosial, Soedjatmoko (15) memberi kesimpulan, pendidikan agama akan dapat memenuhi suatu fungsi yang sangat penting dalam perkembangan sosial yang ada di Indonesia. 1). Berusaha memupuk beberapa sifat tertentu, di antaranya keberanian hidup, bersedia mandiri dan berinisiatif, peka terhadap hak dan keperluan manusia, sanggup kerjasama untuk kepentingan umum, di dalam proses perubahan sosial terus menerus, tanpa ketakutan akan perubahan itu sendiri. 2). Berusaha merangsang anak didik untuk mengamalkan ilmu mereka. 3). Berusaha memupuk motivasi yang kuat pada anak didik untuk mempelajari dan memahami kenyataan sosial yang terdapat di masyarakat. 4). Berusaha untuk berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan non-agama.
Dari uraian terdahulu tulisan ini dan kesimpulan Soedjatmoko di atas dapat ditarik benang merah, pesantren yang melakukan pengembangan masyarakat punya prospek sebagai berikut:
1). Pesantren akan selalu dapat mengikuti perkembangan sosial, sebab dari segi visi, orientasi dan programnya ada pemihakan untuk mengembangkan masyarakat sekitarnya. Implikasi dari kepeduliannya terhadap permasalahan masyarakat ini, pesantren akan dapat memberi arah perkembangan masyarakat dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi yang ditindaklanjuti dengan kerja nyata dalam rangka pemecahan permasalahan yang ditentukan di masyarakat. Sehingga kalau ada permasalahan yang menyimpang dari tujuan serta nilai dan ajaran yang dikembangkan, pesantren tidak saja memberikan keputusan halal-haram, tetapi melihat permasalahan lebih dahulu dan mencarikan jalan keluar, sehingga masyarakat tidak terperangkap dalam kegelapan dan keharaman terus.
2). Pesantren yang bersangkutan mempunyai laboatorium sosial, yaitu adanya kelompok-kelompok swadaya yang difasilitasi pesantren. Baik kelompok dalam bidang ekonomi seperti kelompok pedagang kecil, perajin; mau pun kelompok di bidang sosial seperti kelompok taman gizi, kelompok pemakai air, kelompok kesehatan, kelompok belajar, kelompok wanita produktif dan sebagainya.
Sejalan dengan dinamika masyarakat, kelompok swadaya ini tidak bisa berhenti, harus selalu mempunyai inisiatif untuk pengembangan kelompok mereka, baik dari segi jumlah anggota, kualitas, pelayanan, mau pun perluasan sasaran. Dan karena kelompok swadaya diprakarsai dan difasilitasi oleh pesantren, maka kelompok itu akan melakukan komunikasi dengan pesantren secara timbal balik. Proses interaksi ini tentu mempengaruhi wawasan santri, terutama para santri senior yang sudah mempunyai pemikiran tentang masalah-masalah sosial.
Pengembangan masyarakat yang menjadi wahana laboratorium sosial ini selanjutnya akan menjadi bahan untuk tambahan khazanah ilmu pengetahuan santri yang pada gilirannya akan menambah wawasan pemikiran, sehingga menambah kepekaan mereka terhadap masalah-masalah sosial. Di sinilah perlunya bagi perpustakaan pesantren sekarang ini untuk melengkapi bahan bacaan non-kitab, apakah buku-buku keterampilan, ilmu-ilmu sosial, majalah, koran dan lain-lain. Dengan demikian ada media bagi para santri untuk melengkapi ilmu pengetahuannya, tidak saja dalam ilmu agama, tapi juga ilmu non-agama, sehingga terjadilah proses interaksi antara keduanya.
Untuk menutup tulisan ini ada baiknya kita perhatikan identitas ulama menurut Imam Ghazali seperti yang terekam dalam Ihya Ulumuddin, "Setiap ulama adalah orang yang 'abid (ahli ibadah); zuhud, mengerti ilmu-ilmu akhirat; pengetahuannya diabdikan untuk Allah; peka, jeli dan paham benar akan kemaslahatan makhluk".
Dari ciri yang terakhir jelas sekali, apa yang seharusnya dilakukan oleh para ulama pengasuh pesantren dalam rangka membina umat. Bukan saja membina dalam kehidupan beragama, tapi juga kehidupan sosial ekonomi, serta membina kehidupan berbangsa dan bernegara.
***
Catatan Kaki:
  1. Sahal Mahfudh, Makalah Tenaga Pengembangan Masyarakat, 1984 (tidak dipublikasikan) hal. 63
  2. Mahmud Syaltut, Al-Islam 'Aqidah wa Syari'ah, Dar al-Qalam, cetakan ketiga, hal. 12
  3. Imam Suyuti, Mawahib al-Saniah, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Nabhan, Surabaya, hal. 237
  4. Muhyiddin al-Nawawi, Riyadl al-Sholihin,hal. 142
  5. Muhammad Athiyah al-Ibrasyi, Ruh al-Islam, Daru Ihya’i Kutubi al-Arabiyyah, tanpa tahun, cetakan kedua, hal. 220
  6. Ibid
  7. Ibid, hal. 336
  8. Jami’ al-Shaghir, juz I hal. 30
  9. Al-Ibrasyi, Op. Cit., hal. 311
  10. Ibid., hal. 312
  11. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, hal. 55. Profil Pesantren, LP3ES. hal. 112
  12. Profil Pesantren, LP3ES, hal. 112
  13. Ibid, hal. 79-80
  14. Ismed Hadad, Pembangunan Swadaya Masyarakat, dalam Prisma, April 1983 hal. 5-7
  15. Soedjatmoko, Pengaruh Pendidikan Agama Terhadap Kehidupan Sosial, dalam Etika Pembangunan, LP3ES, hal. 274~275
PESANTREN DAN LINGKUNGAN HIDUP
KESEIMBANGAN dan kelestarian lingkungan hidup -bahkan seluruh aspek kehidupan manusia- merupakan kunci kesejahteraan. Stabilitas hidup memerlukan keseimbangan dan kelestarian di segala bidang, baik yang bersifat kebendaan mau pun yang berkaitan dengan jiwa, akal, emosi, nafsu dan perasaan manusia. Islam sebagaimana dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits juga menuntut keseimbangan dalam hal-hal tersebut, keseimbangan mana sering disebut al-tawassuth atau al-i’tidal.
Kenyataan di mana-mana menunjukkan lingkungan hidup mulai tergeser dari keseimbangannya. Ini merupakan akibat dari pelbagai kecenderungan untuk cepat mencapai kepuasan lahiriah, tanpa mempertimbangkan disiplin sosial, dan tanpa memperhitungkan antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa mendatang yang akan menyulitkan generasi berikut.
Pembinaan lingkungan hidup dan pelestariannya menjadi amat penting artinya untuk kepentingan kesejahteraan hidup di dunia mau pun akhirat, di mana aspek-aspeknya tidak dapat terlepas dari air, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lain sebagai unsur pendukung. Keseimbangan dan keserasian antara semua unsur tersebut sangat rnempengaruhi dan dipengaruhi oleh sikap rasional manusia yang berwawasan luas dengan penuh pengertian yang berorientasi pada kemaslahatan makhluk.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai fungsi ganda, sebagai lembaga pendilikan yang mampu mengembangkan pengetahuan dan penalaran, keterampilan dan kepribadian kelompok usia muda dan merupakan sumber referensi tata-nilai Islami bagi masyarakat sekitar, sekaligus sebagai lembaga sosial di pedesaan yang memiliki peran sosial dan mampu menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat, mampu melakukan perbaikan lingkungan hidup dari segi rohaniah mau pun jasmaniah.
Pesantren yang menyatu dengan masyarakat tahu benar denyut nadi masyarakat. Sebagaimana masyarakat pun tahu siapa pesantren dengan kiai dan para santrinya. Para santri di pesantren tidak hanya belajar ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga di dalam kehidupan nyata mereka belajar tentang hidup. Karena bersatunya santri dan masyarakat itulah, pesantren kemudian tidak kebingungan meneliti lingkungan hidup.
Bilamana mereka harus mengabdi kepada masyarakat, mereka merumuskan sikapnya terhadap masyarakat sejak masih dalam status kesantriannya. Kehidupan di pesantren itu sendiri merupakan deskripsi ideal bagi kehidupan luas di masyarakat.
Atau dapat juga disebut, kehidupan pesantren adalah miniatur kehidupan masyarakat. Sehingga fungsi sosial pesantren seperti di atas mempunyai arti penting di dalam penyebaran gagasan baru atau perambatan modernisasi di masyarakat melalui kegiatan-kegiatan dakwah dan pelayanan masyarakat.
Tujuan umum pendidikan di pesantren, ialah membentuk atau mempersiapkan manusia yang akram (lebih bertakwa kepada Allah SWT.) dan shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola, memanfaatkan, menyeimbangkan dan melestarikan) dengan tujuan akhirnya mencapai sa'adatu al-darain. Bertolak dari prinsip itu, pesantren memberikan arahan pendidikan lingkungan hidup dengan pelbagai macam aspeknya.
Pada gilirannya para santri tahu dirinya sebagai makhluk sosial yang di dalam hidup nyata tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan orang lain dan alam. Sebagaimana orang lain dan alam pun, tidak bisa lepas dari keterkaitan mereka dalam pelbagai konteks sosial, di mana rnereka berarti mempunyai tanggung jawab atas apapun yang mereka lakukan, terhadap dirinya sendiri dan orang lain mau pun terhadap Allah SWT.
Dalam hal tersebut pesantren menekankan pentingnya arti tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, berarti keharusan meningkatkan kemampuan pribadi untuk memusatkan dirinya pada pewarisan bumi (alam) dalam rangka ibadah yang sempurna. Sedangkan tanggung jawab terhadap orang lain, merupakan sikap dan perilaku yang rasional di dalam berkomunikasi dengan orang lain dan alam di mana kehidupan manusia secara lahiriah selalu tergantung padanya.
Kemudian tanggung jawab terhadap Allah SWT adalah dalam bentuk disiplin norma dan ajaran di dalam pengelolaan alam. Disiplin sosial sesuai dengan norma mu'asyarah dan mu’amalah antar sesama makhuk. Ini dalam rangka meningkatkan “keakroman" yang dapat menumbuhkan lingkungan hidup yang seimbang dan lestari.
***
UPAYA pembinaan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan dua pokok pendekatan. Pertama, pendekatan proyek dan kedua, pendekatan motivasi. Atau keduanya sekaligus dilakukan secara terpadu.
Pendekatan kedua (motivasi) walaupun akan memerlukan waktu yang relatif panjang, akan berdampak lebih positif karena pihak sasaran secara berangsur akan mau mengubah sikap dan perilaku secara persuasif. Perilaku dan sikap acuh tak acuh terhadap masalah lingkungan hidup akan berubah menjadi suatu sikap dinamis yang terus berkembang yang akan berkulminasi pada stabilitas pembinaan lingkungan hidup.
Pendekatan motivasi seperti itu dapat dilakukan dalam pola pendidikan di pesantren. Kesadaran akan keseimbangan lingkungan hidup yang muncul dari pengertian dasar tentang masalah-masalahnya serta implikasinya terhadap kesejahteraan ukhrawi dan duniawi dapat ditanamkan dan dikembangkan melalui jalur pendidikan di pesantren.
Keterlibatan pesantren memberi pengertian mengenai dampak lingkungan hidup secara duniawi dan ukhrawi, merupakan peranan dan peran serta nyata dalam pembinaan lingkungan hidup. Bila peranan itu mampu dilembagakan, akan banyak berpengaruh positif di kalangan masyarakat sekelilingnya. Mengingat posisi pesantren sebagai lembaga dakwah, berfungsi pula sebagai titik sentral legitimasi keilmuan agama Islam bagi masyarakatnya, melalui kegiatan pendidikan formal pesantren (yaitu madrasah) dan pengajian weton maupun pengajian rutin yang melibatkan masyarakat di sekelilingnya.
Pendidikan itu dilakukan secara integratif ke dalam komponen-komponen akidah, syari'ah dan akhlak. Namun diberikan atau dikenalkan dalam satu paket ikhtiar peningkatan sarana keberhasilan sa'adatud darain.
Faktor integratif yang mengatur pola hubungan antar sesama di tengah-tengah masyarakat di dalam menyumbangkan nilai-nilai kehidupan, juga merupakan peranan lain yang mampu dilakukan oleh pesantren untuk mengembangkan dirinya dan masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya pembinaan lingkungan hidup.
Pesantren dengan fungsi dan peranannya seperti tadi, sarat dengan pelbagai kegiatan edukatif mau pun pelayanan masyarakat. Sehingga untuk diperansertakan dalam pembinaan lingkungan hidup, perlu adanya pola pendekatan yang tidak mengganggu tugas-tugasnya. Lebih-lebih tidak akan mengganggu identitas pesantren. Langkah awal yang perlu ditempuh, adalah pengenalan masalah-masalah lingkungan hidup dan implikasinya terhadap segala aspek kehidupan. Kemudian penumbuhan kesamaan wawasan keagamaan yang berkait dengan lingkungan hidup yang mampu memotivasi pesantren dalam mencari sendiri alternatif-alternatif pemecahannya sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Kesiapan pesantren untuk melakukan pembinaan lingkungan hidup sangat mempengaruhi efektivitas kerja secara dinamis. Namun kesiapan itu akan banyak tergantung pada wawasan dan potensinya. Sementara itu masih ada pesantren yang berwawasan eksklusif di dalam mencerna ajaran Islam. Oleh karenanya pengenalan dan penumbuhan dimaksud, memerlukan pola pendekatan yang berorientasi pada kenyataan di masing-masing pesantren yang berbeda-beda, dalam hal wawasan, potensi antisipasi ke depan maupun tenaga ahli dan tenaga dukungnya.
Kemungkinan-kemungkinan proyeksi pesantren pada pembinaan lingkungan hidup itu perlu perumusan matang. Apakah pesantren bertindak sebagai penunjang atau pelengkap, ataukah sebagai motivator, dinamisator dan fasilitator? Semuanya akan menuntut adanya program tertentu yang tentu akan berbeda satu dengan yang lain karena perbedaan status tersebut.



Previous
Next Post »