I. Biografi Al-Ghazāli
a). Biografi Al-Ghazāli
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad
ibn Ahmad ath-Thousy. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1059 M di suatu
kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia mendapat
gelar Imam Abu Hamid al-Ghazali Hujjatul Islam.[1]Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya
mereka hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dan menenun wol.[2]
Ayahnya seorang miskin yang
jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan seringkali mengunjungi
rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka. Dia sering
berdoa kepada Allah agar diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi
belum sempat menyaksikan pengabulan Allah atas doanya, dia meninggal dunia pada
saat anaknya masih usia anak-anak.
Sebelum dia meninggal dunia, dia
menitipkan kedua anaknya kepada seorang sufi (sahabat karibnya) sambil
mengungkapkan kalimat bernada menyesal: ”Nasib saya sangat malang, karena
tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya kemalangan saya dapat
ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka dan pergunakanlah sampai
habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar mereka.”[3]
Akan tetapi hal ini tidak
berjalan lama. Harta warisan yang ditinggalkan untuk kedua anak itu habis, sufi
yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat sederhana ini
tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan
ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di madrasah inilah
al-Ghazali bertemu dengan Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan pada saat
itu, dan dari sini pulalah awal perkembangan intelektual dan spiritualnya yang
kelak akan membawanya menjadi ulama terkenal di dunia Islam bahkan sampai
disebut sebagai Hujjatul Islam dan Zain ad-Dîn.[4]
Dia mulai memasuki pendidikan di
daerahnya yaitu belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razkani al-Thusi. Setelah
dirasa cukup, dia pindah ke Jurjan dan memasuki pendidikan yang dipimpin oleh
Abu Nashr al-Isma’ili dengan mata pelajaran yang lebih luas meliputi semua
bidang agama dan bahasa. Setelah tamat di sini, dia kembali ke Thus dan
mengkaji ulang atas semua yang telah dipelajarinya sambil belajar tasawuf
dengan syekh Yusuf al-Nassaj (wafat 487 H). Al-Ghazali belajar pada gurunya
tersebut selama 20 tahun.[5]
Setelah dua atau tiga tahun dia
di Thus, dia berangkat kembali melanjutkan pelajaran ke Nisyapur dan belajar
pada Abul Ma’al al-Juwaini (wafat 478 H) yang bergelar Imam al-Haramain, dalam
beberapa ilmu keislaman. Di Nisyapur dia juga melanjutkan pelajaran tasawwuf
kepada Syekh Abu Ali al-Fādhil ibnu Muhammad ibnu Ali al-Farmadi (wafat
477 H). Di samping belajar tersebut dia juga mulai mengajar dan menulis dalam
ilmu fiqhi. Pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali pergi ke kampus Nizam al-Mulk,
yang menarik banyak sarjana dan di sana dia diterima dengan kehormatan dan
kemuliaan. Pada suatu saat yang tidak bisa dijelaskannya secara khusus, tetapi
dapat dipastikan sebelum perpindahannya dari Baghdad, al-Ghazali mengalami fase
skeptisisme, dan menimbulkan awal pencarian yang penuh semangat terhadap sikap
intelektual yang lebih memuaskan dan cara hidup yang lebih berguna. Paham ini kemudian dianut oleh
para sarjana Eropa pada masa berikutnya.[6]
Setelah Imam al-Juwaini wafat dan
pelajaran tasawuf sudah cukup dikuasainya, dia pindah ke Mu’askar mengikuti
berbagai forum diskusi dan seminar di kalangan ulama dan intelektual. Pada
tahun 483 H/1090 M, dia diangkat menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyah
Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu dia laksanakan dengan sangat berhasil.
Selama di Baghdad selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap
pikiran-pikiran golongan batiniyah, ismailiyah, filsafat dan lain-lainya.[7]
Para mahasiswa sangat menyukai
kuliah-kuliah yang disampaikan oleh al-Ghazali oleh karena begitu dalam dan
luas ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Para mahasiswa yang jumlahnya ratusan
tersebut sering terpukau dengan kuliah-kuliah yang disampaikan. Bahkan para
ulama dan masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya,
sehingga tidak heran jika dia menjadi sangat masyhur dan popular dalam waktu
yang relatif tidak lama.
Al-Ghazali mencapai kejayaan
tertinggi sebagai ulama dilihat dari segi lahirnya saja, tetapi dari segi
batinnya ia mulai mengalami krisis intelektual dan kerohanian yang amat dalam.
Keraguannya pada persoalan-persoalan yang ada mulai muncul dan ilmu-ilmu yang
tadinya diajarkan mulai dikritiknya. Dia merasa kekosongan dalam uraian-uraian
dan pikiran-pikiran di kalangan para fuqaha. Pemikiran di kalangan ahli kalam
mengenai perkara-perkara doktrinal tidak memberinya keyakinan karena hal
tersebut hanya membawa agama pada sistem ortodoksi dan perbincangan yang ada
menjadi sangat dangkal.[8]
Konsep Pendidikan Al-Ghazali
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali ini
dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya
yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu
aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru dan etika murid berikut
ini.
Tujuan pendidikan
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau
pemikiran yang mendalam tentang pendidikan
a.
Pemikiran
Al-Ghazali tentang pendidikan islam:
i.
Al-Ghazali
berpendapat, bahwa profesi guru merupakan profesi yang sangat mulia, dan hal
tersebut didasarkan pada acuan tekstual maupun rasional, diantara dasar atau
dalil tekstualnya adalah sabda nabi saw. Yang artinya:…..”saya ini sebenarnya
diutus sebagai seorang guru”….
ii.
Jadi profesi
guru merupakan warisan dari misi kerosulan.Pendidikan merupakan sebuah wasilah
untuk mencapai kemulian dan menserahkan jiwa, pendidikan yang benar merupakan
jalan mendekat kepada tuhan, al-ghazali menyatakan: selama ilmu itu dimiliki
seorang itu lebih banyak dan lebih sempurna, maka seharusnya ia menjadi lebih
dekat kepada Allah.
iii.
Guru harus
memiliki rasa kasih sayang kepada peserta didiknya, memandang mereka seperti
anaknya sendiri, karena nabi bersabda:…”sebetulnya saya ini bagimu semua adalah
seperti kedudukan orang tua terhadap anaknya.
II.
Ibnu sina
a). Biografi ibnu sina
Nama
lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada
tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah
pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman,[9] Di
Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama
Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam
dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya.[10] Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina
mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya
pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan
Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang
yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab..
Dengan
ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya,
kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya,
namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu
metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah
ia membaca Agradhu kitab ma waraet
thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat
jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi
segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa
dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi. [11]
Sesudah
itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum
lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran
sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru
kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga
melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit.[12] Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku -
buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada
Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering - sering ia
tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya
pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya[13]
Sewaktu
berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah
mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak
itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi
perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian
dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut
terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja
membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari
perpustakaan itu.[14] Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran,
kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu
kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap,
disusunnya secara sistematis.
1)
Konsep dan pemikiran kependidikan ibnu sina
a.
Pendidikan anak supaya di mulai dari hal-hal yang
mendasar, yakni belajar membaca al-quran, menghafal huruf atau dengan kata lain
belajar menbaca dan menulis, kesopan santunan, pengertahuan serta pengamalan
agama, dan menghafal syair-ayair yang bagus isinya.
b.
Mamberikan dasar-dasar keterampilan dan keahlian
(as-shina’ah wa al-mihnah) yang sesuai dengan bakat dan minat peserta didik,
bukan atas hobi atau kesenangan semata.
c.
Tujuan pendidikan yang komprehensif (untuk dunia akhirat)
tersebut memerlukan komponen kurikilum yang terpadu, oleh karena dalam
pendidikan islam disamping pembelajaran ilmu-ilmu agama, juga harus di ajarkan
ilmu umum.
d.
Perlu memperhatikan kualitas dan profesional guru,
menurut ibnu sina, syarat-syarat menjadi guru itu harus: pandai dan bijak,
saleh, agamis dan taqwa, berpakaian bersih dan rapi penampilannya, ihlas dan
kompeten balajar, bersikap adil dan jujur dalam profesinya.
Riwayat Hidup
Al-Mawardi
Nama Lengkapnya adalah Abu Al-Hasan Ali Ibn Muhammad ibn Habib al-Basry. Ia
dilahirkan pada tahun 364 H. bertepatan dengan tahun 974 M., dan wafat di
Baghdad pada tahun 450 H. bertepatan dengan tahun 1058 M.
Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa Al-Mawardi hidup pada masa
kejayaan Islam, yaitu masa di mana ilmu pengetahuan yang dikembangkan ummat
Islam mengalami puncak kejayaannya. Dari keadaan demikian tidaklah mengherankan
jika Al-Mawardi tumbuh sebagai pemikir islam yang ahli dalam bidang fiqh dan
sastrawan di samping juga sebagai politikus yang piawai.
Ketajaman pemikiran Al-Mawardi dalam bidang politik sebagaimana dapat
dijumpai dalam karyanya yang berjudul Al-Ahkam As-Sulthaniyah secara
antropologis dan sosiologis tidak dapat dilepaskan dari situasi politik yang
tengah mengalami krisis. Pada masa itu (abad X sampai pertengahan abad XI
Masehi ) kekuasaan Abbasiyah di Baghdad mulai melemah, sebagai akibat dari
desakan para pejabat tinggi keturunan Turki dan Persia yang ingin merebut kekuatan puncak. Sejarah mencatat, bahwa pada
masa itu pejabat tinggi keturunan etnis Turki dan Persia sudah berani menuntut
agar jabatan khalifah diserahkan kepada orang-orang dari keturunan non-Arab dan
non Quraisy. Kehendak itu tentu saja menimbulkan reaksi keras dari kelompok
penguasa yang menghendaki kemapanan dan status quo.
Dari segi pendidikannya, pada awalnya Al-Mawardi menempuh pendidikan di
Negeri kelahirannya sendiri, yaitu Basrah. Di kota tersebut Al-Mawardi sempat
mempelajari hadits dari beberapa ulama terkenal seperti Al-Hasan ibn Ali ibn
Muhammad ibn al-Jabaly, Abu Khalifah al-Jumhy, Muhammad ibn ‘Adiy ibn Zuhar
al-Marqy, Muhammad ibn al-Ma’ally al-Azdy serta Ja’far bin Muhammad ibn al-Fadl
al-Baghdadi. Menurut pengakuan muridnya, Ahmad ibn Ali al-Khatib, bahwa dalam
bidang Al-Hadits Al-Mawardi termasuk tsiqat. Selain mendalami bidang Al-Hadits,
Al-Mawardi juga mendalami bidang fiqh pada Syaikh Abu Al-Hamid al-Isfarayany,
sehingga ia tampil sebagai salah seorang ahli fiqh terkemuka dari madzhab
Syafi’i, Keahlian Al-Mawardi selanjutnya juga dalam bidang sastra dan sya’ir,
nahwu, filsafat, dan ilmu sosial, namun belum dapat diketahui secara pasti dari
mana ia mempelajari ilmu kebahasaan tersebut.
Sungguhpun Al-Mawardi tergolong sebagai penganut mazhab Syafi’i, namun bidang
teologi ia juga memiliki pemikiran yang bercorak rasional. Hal ini antara lain
dapat dilihat dari pertanyaan Ibn as-Salah yang menyatakan bahwa dalam beberapa
persoalan tafsir yang dipertentangkan antarra Ahli as-Sunnah dan Mu’tazilah,
Al-Mawardi ternyata lebih cenderung kepada Mu’tazilah.
Berkat keahliannya dalam bidang hukum islam, Al-Mawardi dipercaya untuk
memegang jabatan sebagai hakim di beberapa kota, seperti di Utsuwa (daerah
Iran) dan di Baghdad. Dalam kaitan ini Al-Mawardi
pernah diminta oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasi hukum dalam
mazhab Syafi’I, yang selanjutnya dinamai al-Iqra’.
Karier Al-Mawardi selanjutnya dicapai pada masa Khalifah Al-Qaim
(1031-1074). Pada waktu itu ia diserahi tugas sebagai duta diplomatic untuk
melakukan negosasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan para tokoh
pemimpin dari kalangan Bani Buwaihi Seljuk iran. Pada .gelar ini sempat
menimbulkan proses dari para fuqaha pada masa itu. Mereka berpendapat bahwa
tidak ada seorang pun boleh menyandang gelar tersebut. Hal ini terjadi setelah
mereka menetapkan fatwa tentang bolehnya Jalal ad-Daulah ibn Balau ad-Daulal
ibn ‘Addud ad-Daulah menyandang gelar malik al-Muluk (Rajanya Raja) sesuai
permintaan Menurut mereka bahwa yang boleh menyandang gelar tersebut hanyalah
Yang Maha Kuasa, Allah SWT.
Adanya pertentangan tersebut dapat memberi petunjuk bahwa di kalangan para
ulama fiqh pada waktu itu terjadi semacam perpecahan antara ulama fiqh yang pro
pemerintah dengan ulama fiqh yang kurang senang kepada pemerintah. Al-Mawardi kelihatannya
berada pada pihak ulama yang pro pemerintah. Latar belakang sosiologis ini
berguna untuk menjelaskan pemikiran politik Al-Mawardi as-Sulthaniyah
sebagaimana disebutkan diatas.
Di tengah-tengah kesibukannya sebagai qadi, Al-Mawardi juga sempat menggunakan
sebagian waktunya untik mengajar selama beberapa tahun di Bashrah dan di
Baghdad. Di antara muridnya yang terkenal bernama Ahmad ibn Ali al-Khatib
(392-463 H), seorang ulama ahli hadis yang terkenal, dan Abu al-‘Izz Ahmad ibn
Ubaidillah ibn Qadisy.
Terlepas dari pandangan-pandangan fiqihya, yang jelas sejarah mencatat,
bahwa Al-Mawardi dikenal orang yang sabar, murah hati, berwibawa dan berakhlak
mulia. Hal ini antara lain diakui oleh para sahabat dan rekan-rekannya yang
belum pernah melihat Al-Mawardi menunjukkan budi pekerti yang tercela.
Selain itu Al-Mawardi juga dikenal sebagai seorang ulama yang berani
menyatakan pendapatnya walaupun harus menghadapi tantangan yang keras dari
ulama lainnya. Keberaniannya memberikan gelar Malik al-Mulk kepada khalifah
Jalaluddin al-Buwaihi, serta menetapkan berbagai persyaratan kekhalifahan dan
pemerintahan merupakan bukti, bahwa Al-Mawardi seorang ulama yang tidak takut
mengeluarkan pendapat dan fatwanya.
Selain sebagai seorang ulama waktunya banyak digunakan untuk keperluan
pemerintah dan mengajar, Al-Mawardi juga tercatat sebagai ulama yang banyak
melahirkan karya-karya tulisnya dengan ikhlas.
Menurut catatan sejarah, bahwa Al-Mawardi memiliki karya ilmiah tidak
kurang dari 12 judul yang secara keseluruhan dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok pengetahuan.
Pertama, kelompok pengetahuan agama. Yang ternasuk ke dalam kelompok
pengetahuan agama ini antara lain Kitab tafsir berjudul An-Nukat wa al-‘Uyun.
Buku ini menurut catatan sejarah belum
pernah diterbitkan. Naskah buku ini masih tersimpan pada perpustakaan
College ‘Ali di Konstantiniyah dan Perpustakaan Kubaryali dan Rampur India.
III.
Ibn Taimiyah
a.
biografi Ibn Taimiyah
Ibnu taimiyah
dilahirkan pada tanggal 10 R. Awal tahun 661 H. Dengan nama Ahmad bin Abdul
Halim bin Abd Salam bin Taimiyah. Dia tumbuh dengan kecerdasan yang luar biasa,
mula-mula dia belajar pada Ibn Abd Daim, al-Qasim al-Irbili, Muslim bin `Allan
dan pada Ibn Abi Amr. Selanjutnya Ibnu Taimiyah mebaca sendiri ilmu keislaman
tampa bimbingan seorang guru.[15] Namun dengan berbekal kecerdasan yang tinggi Ibnu
Taimiyah mampu mengalahkan yang lain. Adz-Dzahahabi menceritakan bahwa Ibnu
Taimiyah sudah mempunyai kemampuan munâzharah (berdebad) sebelum masa baligh,
dan mampu mengarang, mengajar serta berfatwa padahal umurnya belum memasuki 20
tahun, sehingga dalam usianya yang masih belia dia sudah di anggap sebagai
pembesar Ulama?[16]
Keilmuan Ibnu
Taimiyah:
Tidak heran
kalau saat dewasa Ibnu Taimiyah menjadi seorang yang berpengaruh karena
kesalehan dan kemampuan intelektualnya melebihi kebanyakan manusia. Ibnu Hajar
Al-Asqalani menuturkan panjang lebar tentang ilmu Ibnu Taimiyah melalui tulisan
Al-Hafid Al-Dzahabi, murid Ibnu Taimiyah. Menurut adz-Dzahabi seorang yang
melihat kehebatan Ibnu Taimiyah dalam masalah khilafiyah, maka ia akan heran
dan kagum, Ibnu Taimiyah mampu mentarjih dan membandingkan segala perbedaan
dengan argument yang kuat, dia berhak berijtihad sendiri karena syarat-syarat
mujtahid telah dipenuhi. Tidak kutemukan seorang yang lebih cepat melebihi Ibnu
Taimiyah dalam mengeluarkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai dalil dalam suatu
masalah, hadits-hadits Nabi seakan akan berada di depan mata dan di ujung
lidahnya, disamping itu ia mampu mentafsiri Al-Qur’an dengan luas. Adapun falam
masalah ideologi berbagai aliran maka dia tiada berdebu. Sedang sifatnya sangat
dermawan, pemberani dan tidak pernah menyimpan dendam. Kata-kataku ini akan
dianggap kurang oleh pendukungnya dan akan dianggap berlebihan oleh para
penentangnya.[17]
Di
Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu
diantaranya
ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih.
Ia dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia
telah hafal Al-Qur'an. Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada
usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah
keagamaan.
Ibnu Taymiyyah
amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam
menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits
(macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua
hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan
ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa,
sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli
tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari
para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil)
yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan
dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul.
Karya-karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa
fatwa dalam agama Islam.
b. Pemikiran Ibn Taimiyah tentang pendidikan islam:
b. Pemikiran Ibn Taimiyah tentang pendidikan islam:
Menurut ibn Taimiyah bahwa menuntut ilmu itu merupakan
ibadah dan memahaminya secara mendalam merupakan sikap ketakwaan kepada
Allahdan mengkajinya merupakan jihad, mengajarkan kepada orang yang belum tau
dan mendiskusikanya merupakan tasbih.
dasar “tauhid” yaitu keyakinan yang benar tentang ke-mahaesaan Allah, yang
mengandung kepercayaan yang mendalam, bahwa tidak ada kekuatan dak kekuasaan
selain-nya yang beleh disembah, tidak ada harapan dan permohonan yang diajukan
kecuali kepadanya. Tauhid ini mencangkup tiga dimensi yaitu:
1. Tauhid rububiyah Meyakini bahwa Allah itu esa, yang menciptakan semua mahluq, mengatur dan membimbingnya.
2.Tauhid uluhiyyah Meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya tuhan yang pantas disebut tuhan, di taati dan dipatuhi segala perintahnya serta menjauhi segala laranganya.
3. Asmma dan sifat Meyakini bahwa segala yang berjalan dalam kenyataan di alam raya ini merupakan aturan Tuhan.[18]
[1]
Hasyhmsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. III; Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002), h. 77.
[2] Zaky
Mubarak, Al-Akhlāk “Inda al-Ghazāli (Mesir: Dar al-Kitab al-Arabiy
al-Taba’at al-Nasyr, 1968), h. 47.
[3] Ibid.
[5] Ibid.
[6]
Hasyimsyah Nasution, op.cit., h. 78.
[8] Muhammad Uthman el-Muhammady, Pemurnian Tasawuf
oleh Imam Al-Ghazali, www/Scribd/com/doc/2917072/ (19 November 2010).
[9]. Prof.
Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya,(Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia), 1996, hal. 50
[11]. H. Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang),
1949, hal. 49
[12]. Ahmad
Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta
: Bulan Bintang), 1996, hal. 115, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, hal. 65
[15] Ibnu
Hajar al-Asqalani Addurarul kaminah. Hal 88
[16] Ibid
Hal 95
[17] Ibid
hal 19
[18] . ibnu
taimiyah, fatawah ibnu taimiyah, jilid 1, hal.23-24.
ConversionConversion EmoticonEmoticon