Ia mendapat didikan ilmu dan agama
di rumah dari ayahnya sendiri, seorang syekh
yang faqih fid din. Ayahnya seorang pengajar ilmu-ilmu
syari'ah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai
beberapa cabang ilmu syari'ah, yang diperolehnya dari ayahnya, Syekh Yusuf bin
Ismail bin Yusuf An Nabhani. Ia adalah seorang qadi
(hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama
terkemuka di daerah Turki Utsmani.
Pertumbuhan Syekh Taqiyyuddin dalam suasana keagamaan yang kental seperti itu
mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan
hidupnya. Ia telah hafal Al Qur'an seluruhnya
dalam usia yang amat muda, yaitu di bawah usia 13 tahun.
Syekh Taqiyyuddin menerima pendidikan dasar-dasar ilmu
syari'ah dari ayah dan kakeknya, yang telah mengajarkan hafalan Al Qur'an
sehingga ia hafal Al Qur'an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, ia juga
mendapatkan pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika
ia bersekolah di sekolah dasar di
daerah Ijzim.
Kemudian ia berpindah ke sebuah sekolah di Akko
untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum ia menamatkan
sekolahnya di Akko, ia telah bertolak ke Kairo
untuk meneruskan pendidikannya di Al Azhar, hasil dorongan kakeknya, Syekh
Yusuf An Nabhani.
Syekh Taqiyyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di
Tsanawiyah Al Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama ia
meraih ijazah dengan predikat sangat cemerlang. Lalu ia melanjutkan studinya di
Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar. Di samping itu ia
banyak menghadiri halaqah-halaqah ilmiah di Al Azhar yang diikuti oleh syekh-syekh
Al Azhar, semisal Syekh Muhammad Al Hidlir Husain --rahimahullah-- seperti yang
pernah disarankan oleh kakeknya. Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran
lama Al Azhar memungkinkannya.
Meskipun Syekh Taqiyyuddin menghimpun sistem Al Azhar
lama dengan Darul Ulum, akan tetapi ia tetap menampakkan keunggulan dan
keistimewaan dalam kesungguhan dan ketekunan belajar.
Syekh Taqiyyuddin telah menarik perhatian kawan-kawan
dan pensyarah-pensyarahnya karena kecermatannya dalam berpikir dan kuatnya
pendapat seta hujjah yang dilontarkan dalam perdebatan-perdebatan dan
diskusi-diskusi fikriyah, yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmu yang
ada saat itu di Kairo dan di negeri-negeri Islam
lainnya.
Syekh Taqiyyuddin An Nabhani menamatkan kuliahnya di
Darul Ulum pada tahun 1932. Pada tahun yang sama beliau menamatkan pula
kuliahnya di Al Azhar Asy Syarif menurut sistem lama, di mana para mahasiswanya
dapat memilih beberapa syekh Al Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka
mengenai bahasa Arab, dan ilmu-ilmu syari'ah seperti fiqih,
ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam),
dan yang sejenisnya.
Dalam forum-forum halaqah ilmiyah tersebut, An Nabhani
dikenal oleh kawan-kawan dan sahabat-sahabat terdekatnya dari kalangan Al
Azhar, sebagai seseorang dengan pemikiran yang genius, pendapat yang kukuh,
pemahaman dan pemikiran yang mendalam, serta berkemampuan tinggi untuk
meyakinkan orang dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi fikriyah.
Demikian juga ia sangat bersungguh-sungguh, tekun, dan bersemangat dalam
memanfaatkan waktu guna menimba ilmu dan belajar. Setelah menyelesaikan
pendidikannya, Syekh Taqiyyuddin An Nabhani kembali ke Palestina untuk kemudian
bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah atas
negeri di Haifa. Di samping itu ia juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyah
di Haifa.
Pada tahun 1940, ia diangkat sebagai
Musyawir (Pembantu Qadi) dan ia terus memegang jabatan ini hingga tahun 1945,
yakni saat ia dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadi
di Mahkamah Ramallah hingga tahun 1948. Setelah itu, ia keluar
dari Ramallah menuju Syam sebagai akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi.
Pada tahun 1948 itu pula, sahabatnya Al Ustadz Anwar
Al Khatib mengirim surat kepadanya, yang isinya meminta agar ia kembali ke
Palestina untuk diangkat sebagai qadi di Mahkamah Syar'iyah Al Quds. Syekh
Taqiyyuddin mengabulkan permintaan itu dan kemudian beliau diangkat sebagai
qadi di Mahkamah Syar'iyah Al Quds pada tahun 1948.
Pada tahun 1951, Syekh An Nabhani
menziarahi kota Amman untuk menyampaikan ceramah-ceramahnya
kepada para pelajar Madrasah Tsanawiyah
di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Hal ini terus berlangsung sehingga awal tahun 1953,
ketika ia mulai sibuk dalam Hizbut Tahrir, yang
telah dirintis antara tahun 1949 hingga 1953.
Sejak remaja Syekh An Nabhani sudah memulai aktivitas
politiknya karena pengaruh kakeknya, Syekh Yusuf An Nabhani. Pengalaman itulah
yang mengantarkannya mendirikan partai politik berasas Islam, Hizbut Tahrir di Al Quds (Yerusalem) pada tahun 1953. Syekh Taqiyyuddin An
Nabhani meninggal dunia pada tahun 1398 H/ 1977 M dan dikuburkan di Pekuburan Al Auza'i di Beirut.
Sumbangan Kepada Islam
Ia telah meninggalkan kitab-kitab penting yang dapat
dianggap sebagai kekayaan pemikiran yang tak ternilai harganya. Karya-karya ini
menunjukkan bahwa Syekh Taqiyyuddin An Nabhani merupakan seorang yang mempunyai
pemikiran brilian dan analisis yang cermat. Karya-karya Syekh Taqiyyuddin An
Nabhani yang paling terkenal, yang memuat pemikiran dan ijtihadnya antara lain :
- Nizhamul Islam.
- At Takattul Al Hizbi.
- Mahafim Hizbut Tahrir
- An Nizhamul Iqthishadi fil Islam.
- An Nizhamul Ijtima'i fil Islam.
- Nizhamul Hukm fil Islam.
- Ad Dustur.
- Muqaddimah Dustur.
- Ad Daulatul Islamiyah.
- Asy Syakhshiyah Al Islamiyah (3 jilid).
- Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir.
- Nazharat Siyasiyah li Hizbit Tahrir.
- Nida' Haar.
- Al Khilafah.
- At Tafkir.
- Ad Dusiyah.
- Sur'atul Badihah.
- Nuqthatul Inthilaq.
- Dukhulul Mujtama'.
- Inqadzu Filisthin.
- Risalatul Arab.
- Tasalluh Mishr.
- Al Ittifaqiyyah Ats Tsana'iyyah Al Mishriyyah As Suriyyah wal Yamaniyyah
- Hallu Qadliyah Filisthin ala Ath Thariqah Al Amrikiyyah wal Inkiliziyyah.
- Nazhariyatul Firagh As Siyasi Haula Masyru' Aizanhawar.
Semua ini belum termasuk ribuan risalah (nasyrah)
mengenai pemikiran, politik, dan ekonomi, serta beberapa kitab yang dikeluarkan
atas nama anggota Hizbut Tahrir.
ConversionConversion EmoticonEmoticon