QAWAID FIQHIYYAH SEBAGAI
LANDASAN PERILAKU EKONOMI UMMAT ISLAM:
SUATU KAJIAN TEORETIK
Abstrak
Qawa’id fiqhiyyah sebagai landasan umum dalam perilaku sosial memberikan panduan bagi masyarakat untuk melakukan interaksi dengan sesamanya. Tulisan ini melaporkan hasil penelitian terhadap qawa’id dan implikasinya dalam pemikiran dan perilaku ekonomi dalam masyarakat.
Dalam hal ini, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran. Para ulama dan fuqaha terdahulu, sejak akhir abad ke-2 Hijriyyah telah merintis batu peletakan qawa’id melalui karya-karya agung mereka, yang sampai kini masih terlihat manfaatnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan modern, termasuk ekonomi. Para ulama/fuqaha dari keempat madzhab fiqh tersebut menyusun qawa’id dalam jumlah yang begitu banyak, sebagiannya sama atau serupa, sehingga susah untuk diketahui jumlahnya secara pasti.
Fokus penelitian ini pada 99 (sembilan puluh sembilan) qawa’id yang disusun para ulama pada Dinasti Turki Usmani, yaitu al-majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah pada sekitar awal abad ke-13 Hijriyah atau tepatnya sekitar tahun 1286 H. Dari keseluruhannya, terdapat lebih dari 70 (tujuh puluh) qawa’id yang dapat dijadikan rujukan untuk diturunkan ke dalam pemikiran dan perilaku ekonomi modern.
Keywords: qawa’id (qai’dah) fiqhiyyah, qa’idah asasiyyah¸asybah wan-Nadzair.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai landasan aktifitas ummat Islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-maksud ajaran Islam (maqasidusy syaricah) secara lebih menyeluruh, keberadaan Qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting, termasuk dalam kehidupan berekonomi. Baik di mata para ahli usul (usuliyyun) maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran dalam masalah muamalat atau lebih khas lagi ekonomi. Manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari nash asalnya yaitu al-qur’an dan al-Hadits kepada masyarakat. Maqasidusy syaricah diturunkan kepada manusia untuk memberi kemudahan dalam pencapaian kebutuhan ekonomi, yang dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:
1) Menjaga dan memelihara kepentingan primer atau Dharuriyyat (basic necessities) yang biasa didefinisikan oleh para ulama dengan 5 (lima) elemen cakupan yaitu: agama, kehidupan (jiwa) akal, keturunan dan kekayaan
2) Memenuhi kebutuhan sekunder atau Hajjiyyat yaitu kebutuhan-kebutuhan seperti kendaraan dan sebagainya sebagai fasilitas hidup manusia; serta
3) Mencapai kebutuhan tersier atau Tahsiniyyat (kemewahan) untuk melengkapi kebutuhan manusia dalam hal memperindah kehidupan dengan sedikit kemewahan secara tidak berlebihan,
Dengan qawa’id fiqhiyyah ini para ulama dan fuqaha dapat menyiapkan garis panduan hidup bagi ummat Islam dalam lingkup yang berbeda dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Sebagaimana diketahui Islam memberi kesempatan kepada ummatnya melalui mereka yang memiliki otoritas yaitu para ulama untuk melakukan ijtihad dengan berbagai caara yang dituntunkan oleh Rasulullah, melalui ijma’, qiyas, istihsan, istishab, istislah (masalihul-mursalah) dan sebagainya untuk mencari kebenaran yang tak ditemukan dalam al-Qur’an maupun Hadts Rasulullah SAW. Demikian pula, dalam kehidupan ekonomi, atau yang dalam khazanah karya para fuqaha terdahulu biasa disebut muamalat, pemakaian qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting.
Ratusan atau bahkan mungkin ribuan qawa’id telah dirumuskan oleh para fuqaha dari kalangan empat madzhab. Ash-Shiddieqie (1981) memandang qa’idah sebagai sebuah perangkat yang cukup penting sebagai panduan untuk menurunkan kaidah yang memerlukan pembuktian. Para fuqaha terdahulu menyusun qawa’id dalam suatu panduan yang disebut al-Asybah wan-Nazhaair. Istilah ini dipakai pertama kali oleh Khalifah Umar bin Khaththab ketika menunjuk Abu Musa al-‘Asycari menjadi Qadhi di Bashra, dengan menyatakan “Fahami tentang penampakan dan kemiripan suatu masalah (al-Asybah wan-Nazhaair), kemudian tetapkan qiyas untuk masalah yang serupa.” Para fuqaha sepakat bahwa proses pemahaman dan penurunan qawa’id ini sama dengan proses yang dilakukan oleh para usuliyyun dalam menurunkan panduan hukum berupa Qawa’id al-Usuliyyah berdasarkan metode qiyas.
Terdapat sejumlah qawa’id fiqhiyyah yang dirumuskan oleh para ulama/fuqaha, sebagai bagian dari fatwa mereka, yang menyinggung persoalan perilaku ekonomi umat Islam. Sebagi contoh: ‘al-aadah muhakkamah atau kebiasaan dapat menjadi dasar hukum. Dalam suatu masyarakat, dimana transaksi jual beli dalam skala kecil biasa dilaukan tanpa harus menyebutkan ‘aqadnya, maka apabila antara penjual dan pembeli sudah saling memahami akan terjadinya transaksi tersebut, sebagaimana kebiasaan pada masyarakat yang bersangkutan, maka proses transaksi yang memberi kemudahan tersebut dianggap sah.
1.2. MAKSUD DAN TUJUan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
a) Mengetahui besarnya kontribusi para fuqaha terdahulu dalam meyusun qawa’id fiqhiyyah;
b) Mengetahui kontribusi dan mengukur relevansi qawa’id fiqhiyyah dalam pemikiran dan perilaku ekonomi ummat; dan
1.3. METODOLOGI
1.3.1. Sumber Pustaka
Penelitian ini berbentuk studi literatur yang berkaitan dengan topik utama yaitu qawa’id fiqhiyyah. Sumber-sumber pustaka didapatkan dari sumber-sumber berikut:
a) Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY);
b) Koleksi buku-buku pribadi penulis tentang ekonomi Islam;
c) Perpustakaan International Islamic University Malaysia (IIUM); dan
d) Sumber-sumber lain yang dirasa perlu.
1.3.2. Metode Analisa
Literatur yang relevan diteliti secara langsung, baik dari karya-karya para fuqaha terdahulu dalam bentuk manuskrip, maupun karya-karya para ulama, cendekiawan atau fuqaha terkemudian dalam bentuk komentar atau hasil penelitian terhadap manuskrip tersebut. Qawa’id tersebut selain diklasifikasikan berdasar:
1) Madzhab dalam pemikiran fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hanbali); dan
2) Qawa’id sebagai landasan pemikiran, gerak dan perilaku ekonomi.
Kendala penelitian menghendaki peneliti untuk membatasi analisa hanya berdasarkan 99 (sembilan puluh sembilan) qawa’id yang terdapat dalam Al-majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah karya para ulama Dinasti Turki Usmani, yang dianggap cukup representative.
bab 2
Studi tentang Qawa’id Fiqhiyyah
2.1. Pengertian dan Batasan
Dalam Dictionary of Modern Written Arabic, karya Milton Cowan (ed) kata qa’idah (قاعدة) atau jama’nya qawa’id (قواعد) secara literal berarti: asas, landasan, dasar, basis atau fondasi suatu bangunan atau ajaran agama dan sebagainya. Dalam pengertian yang lebih khas, qa’idah dapat juga bermakna ajaran, garis panduan, formula, pola atau metode. Qa’idah memiliki makna yang sama dengan ‘asas’ atau ‘prinsip’ yang mendasari suatu bangunan, agama atau yang semisalnya (al-Nadwi, 1991).
Dari sisi pengertian menurut ilmu fiqh, Nadwi (1991) dan juga al-Jurjani (Djazuli, 2006) mendifinisikan qai’dah sebagai aturan umum atau universal (kuliyyah) yang dapat diterapkan untuk semua yang bersifat khusus atau bagian-bagiannya (juz’iyyah). Sedang dalam pandangan para fuqaha yang lain qa’idah adalah aturan umum yang mencakup sebagian besar (aghlabiyyah) dari bagian-bagiannya (Nadwi). Mukhtar dkk (1995b) menyimpulkan qa’idah sebagai aturan umum yang diturunkan dari hukum-hukum furu’ yang sejenis dan jumlahnya cukup banyak.
Berdasarkan penelitian terhadap kitab-kitab dan riwayat hidup para penyusunnya, aturan fiqih dalam bentuk qa’idah ini dapat tersusun melalui suatu proses yang panjang dan tidak terbentuk sekaligus sebagai sebuah bangunan pengetahuan (body of knowledge) tentang qa’idah sekaligus, melainkan secara bertahap (Jazuli, 2006). Menurut Jazuli, sebelum al-Karkhi dari madzhab Hanafi, sebelumnya telah ada pengumpulan qa’idah, namun tampaknya tidak tersusun menjadi karya sistematis, oleh seorang ulama madzhab Hanafi lainnya, yaitu Abu Thahir ad-Dibasi hidup diakhir abad ke 3 Hijriyah sampai dengan awal abad ke empat. Sebanyak 17 qa’idah telah disusun oleh ad-Dibasi, yang kemudian juga disampaikan kepada seorang ulama madzhab as-Syafii yaitu Abu Sa’id al-Harawi. Dari sumber ad-Dibasi, al-Karkhi mengembangkannya lebih lanjut menjadi 36 qa’idah (an-Nadwi, 1997) atau 37 qa’idah (Jazuli). Proses pembentukan qa’idah dilukiskan oleh Jazuli sebagai berikut:
|
Qawa’id disusun berdasarkan materi-materi fiqh, untuk selanjutnya diverifikasi untuk mendapatkan hasil qawa;id yang lebih sempurna, untuk kemudian tersusun kembali fiqh sebagai kelengkapan dari khazanah fiqh yang telah ada, kemudian ketentuan-ketentuan hukumnya menjadi hasil akhir dari proses tersebut.
2.2. Posisi Qawa’id Fiqhiyyah dalam Syari’ah Islam
Proses penerapan aturan syar’i dalam qa’idah menurut Mahmassani (1980) sama dengan penerapan metodologi qiyas dalam memilih aturan yang tepat dalam usul fiqh. Apabila aturan rinci sebagaimana dijumpai pada al-Asybah wan-Nazhair muncul dari kasus yang serupa, maka qa’idah dengan sendirinya dapat diterapkan. Nadwi (1991) dan Mahmassani berpendapat bahwa tulisan tentang qawa’id fiqhiyyah tersusun sejak mulai abad ke delapan Hijriyah, melalui karya Ibnul Wakil as-Syafi’i (716 H), Tajuddin as-Subki (771 H), Ibnul Mulaqqin (804 H), dan yang lebih monumental lagi karya Jalaluddin as-Suyuti (911 H). Satu karya yang juga tak kalah pentingnya adalah berasal dari madzhab Hanafi yaitu karya Ibnu Nujaim (970 H).
Dalam ketiga kitab al-Asybah wan-Nazhair karya Tajuddin as-Subki, Jalaluddin as-Suyuti maupun Ibnu Nujaim (970 H), pembedaan antara qa’idah umum atau asas dengan qa’idah khusus atau rinci (detail) dijelaskan secara memadai. As-Subki dan as-Suyuti merumuskan Lima qa’idah asasiyyah yang dikenal dengan al-Asasiyyatul-Khamsah, yang kemudian disusun dalam al-Majallah yang dikeluaran pada jaman pemerintahan Turki Usmani, yaitu:
1) Artikel-2 Al-umuur bimaqaasidihaa (الأمور بمقاصدها) atau setiap perkara itu ditetukan berdasarkan niatnya;
2) Artikel -4 Al-yaqiin laa yuzaalu bisy-syakk (اليقين لا يزال بالشك) yaitu sesuatu yang pasti tidak dapat dihapus oleh keraguan. Dalam hal lain disebutkan Al-yaqiin laa yazuulu bisy-syakk (اليقين لا يزول بالشك) atau sesuatu yang pasti tidak dapat berubah disebabkan oleh keraguan;
3) Artikel -17 Al-musyaqqah tajlibut taysiir (المشقة تجلب التيسير) atau kesulitan itu mendatangkan kemudahan;
4) Artikel -21 Adh-dhararu yuzaalu (الضرر يزال) atau kemadharatan hendaknya dihapuskan; dan
5) Artikel -36 Al-‘aadah muhakkamah (العادة محكمة) atau adat kebiasaan dapat menjadi sumber hukum.
Sementara itu Ibnu Nujaim menambah satu lagi qa’idah asas sehingga menjadi enam, yaitu laa tsawaaba illaa bin-niyyah
لا ثواب الا بالنية
atau tidak ada pahala bagi perbuatan yang tidak disertai dengan niat, yang kemudian menjadi qa’idah asas yang berlaku di kalangan madzhab Hanafi. Sementara itu di kalangan madzhab Maliki, qa’idah ini menjadi cabang dari qa’idah al-umuur bimaqaasidihaa.
Dalam penerapannya, Jazuli mengklasifikasikan qawa’id dalam enam bidang, yaitu ibadah mahdhah (khusus), ahwal as-Syahshiyyah (hal-ikhwal pribadi dan keluarga), mu’amalah (transaksi ekonomi), jinayah (kriminalitas), siyasah (politik), dan fiqh qadha (hukum acara dan peradilan). Namun demikian penerapan qa’idah untuk bidang mu’amalah tidak banyak menyinggung masalah penerapan untuk perekonomian modern secara umum. Disini keberadaan qawa’id fiqhiyyah menjadi lebih jelas maknanya.
2.3. Qawa’id Fiqhiyyah dalam Masalah Ekonomi
Beberapa qa’idah fiqhiyyah memberi ruang kepada pemikiran ataupun praktek-praktek ekonomi, sebagaimana yang juga diklasifikasikan oleh Jazuli (2006). Dalam karyanya, al-Fiqh al-Islam fi Tsaubihi at-Tajdid, terbitan tahun 1963, Muhammad Mustafa az-Zarqa, sebagaimana dikutip oleh Jazuli (2006), menyebutkan setidaknya 25 qawa’id yang terkait dengan transaksi muamalah. Seiring perkembangan jaman, keperluan adanya kaidah yang lebih banyak, nampaknya tidak dapat dihindarkan. Sedangkan Jazuli sendiri menyebutkan 20 qawa’id yang memberi ruang kepada transaksi ekonomi dan muamalah.
Diantara qawa’id yang paling mendasar dalam masalah ini adalah al-aslu fi al-mu’amalah al-ibaahah illaa an-yadull daliil ‘alaa tahriimihaa.
الأصل فى المعاملة الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Ini menjadi alasan bagi setiap bentuk transaksi perdagangan dan ekonomi menjadi halal kecuali jelas ada alasan yang melarangnya. Hanya penulis tidak menemukan qawa’id ini dalam al-majallah.
BAB 3
QAWA’ID DALAM PEMIKIRAN EMPAT MADZHAB FIQH
Berdasarkan sumber-sumber yang diteliti, keempat madzhab banyak memberikan kontribusi dalam pengembangan qawa’id fiqhiyyah. Masing-masing madzhab memiliki setidaknya seorang termasyhur dalam pengembangan qawa’id fiqhiyyah tersebut. Pemikiran keempat madzhab dalam qawa;id dipaparkan dalam keempat sub-bab dibawah ini.
3.1. Qawa’id dalam Pemikiran Madzhab Hanafi
Berdasarkan bahan yang terkumpul dalam penelitian, terdapat enam karya dari kalangan madzhab Hanafi antara lain
a) Usuul al-Karkhi karya cUbaidullah ibn Hasan al-Karkhi (260-340 H)
b) Ta’siis al-Nadzr karya al-Qadhi, cUbaidullah ibn cUmar ad-Dabusi (430 H)
c) Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Zainudddin ibn Ibrahim Ibn Nujaim (970 H)
d) Majaamic al-Haqaa’iq yang ditulis oleh Abu Sa cid al-Khadimi. ( 1176 H),
e) Al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah oleh Komite ‘Ulama Daulah cUsmaniyyah (1286 H), dan
f) Al-Faraa’id al-Bahiyyah fi al-Qawaacid al-Fawaa’id al-Fiqhiyyah karya Ibn Hamzah al-Husaini (1305 H).
Diantara keenam karya tersebut, Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah merupakan satu-satunya karya yang ditulis oleh sebuah tim yaitu para ‘Ulama yang ditunjuk oleh Pemerintah Daulah Usmaniyah di Turki. Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah terdiri dari 99 qawa’id ditambah dengan sebuah pendahuluan, yang tersusun dalam 1851 ayat.
Ushuul Al-Karkhi memuat 36 qawa’id yang menurutnya disebut qawa’id al-Asl atau qawa’id asal, yang kemudian diberikan komentar atau syarah oleh Najmuddin an-Nasafi yang juga dari madzhab Hanafi. Sementara itu, karya Ibnu Nujaim, Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir, merupakan sebuah karya yang masyhur dari kalngan madzhab Hanafi. Karya ini terdiri dari 6 (enam) qawa’id dasar (qawa’id al-asasiyyah)—5 (lima) diantaranya juga dimuat dalam al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah ayat-ayat 2, 4, 17, 21 dan 36—ditambah dengan 19 (sembilan belas) qawa’id cabang atau al-furu’iyyah. Karya Ibnu Nujaim ini juga mendapat tanggapan luas dari berbagai kalangan madzhab Hanafi, dengan ditulisnya beberapa ulasan atau komentar para fuqaha terkemudian, empat diantaranya adalah:
a) Tanwiir al-Bashaa’ir calal-Asybaah wan-Nazhaa’ir (1005 H) oleh cAbdul-Qadir Sharif uddin al-Ghazzi;
b) Ghamzu cUyuun al-Bashaa’ir Syarh al-Asybaah wan-Nazhaa’ir (1098 H) oleh Ahmad ibn Muhammad al-Hamawi;
c) cUmdatu dzawil-Basyaa’ir li-Halli Muhtamaati al-Asybaah wan-Nazhaa’ir (1099H.) karya Ibrahim ibn Hussain, yang lebih dikenal sebagai Ibnu Biri al-Makkati.
d) cUmdatu an-Naadzir cala al-Asybaah wan-Nazhaa’ir oleh Abu Su cud al-Husaini.
3.2. Qawa’id dalam Pemikiran Madzhab maliki
Dari mahdzhab Maliki, beberapa ulama juga menyumbangkan tulisan tentang qawa’id fiqhiyyah. Karya dari kalangan madzhab Maliki tidak sebanyak dari madzhab Hanafi dan Syafii. Karya-karya tersebut antara lain adalah:
a) Anwaar al-Buruuq fi Anwaar al-Furuuq atau lebih dikenal juga sebagai: Al-Furuuq; Kitab al-Anwaar wal-Anwaa’; atau Kitab al-Anwaar wal-Qawaacid as-Sunniyyah oleh al-Imam Syihabudin cAbdul-Abbas Ahmad as-Sonhaji al-Qarafi (260-340 H);
b) Al-Qawaacid oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Muqarri (758 H);
c) Iidhaah al- Masaalik ilaa Qawaacid al-Imaam Maalik hasil karya Ahmad ibn Yahya ibn Muhammad at-Tilmisani al-Winsyarinsi (914 H);
d) Al-Iscaaf bit-Thalab Mukhtasar Sharh al-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab karya as-Syaikh Abul-Qasim ibn Muhammad at-Tiwani ( 995 H)
Karya terakhir, at-Tiwani, al-Is’aaf, diulas dengan sajian ringkas oleh setidaknya Abul-Hasan cAli ibn Qasim al-Zaqqaq, al-Fasi, at-Tujibi dalam al-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab (912 H), dan dikomentari oleh Ahmad ibn cAli al-Fasi al-Maghribi
Sementara itu madzhab Syafii paling banyak memberikan kontribusi qawa’id fiqhiyyah dalam khazanah fiqh Islam. Pengaruhnya di Indonesia juga cukup meluas, utamanya karya salah seorang faqih besar seperti Jalaludin as-Suyuti yang menulis al-Asybaah wan-Nazhaa’ir dalam beberapa jilid. Jilid 1 berisi tentang qawa’id dasar (asas) sebanyak lima buah sebagaimana yang disebutkan dalam al-Majallah di atas. Qawa’id ini juga cukup popular, bukan saja di indoneisa melainkan juga di wilayah negeri-negeri Muslim lainnya, termasuk Malaysia dan juga di Timur Tengah. Di kalangan madzhab Syafii, kelima qawa’id ini dianggap sebagai qawa’id yang utama. Kitab 2 al-Asybaah wan-Nazhaa’ir berisi tentang qawa’id umum (‘amm) sebanyak 40 qawa’id, sedang 20 qawa’id lagi masuk dalam kategori diperselisihkan kedudukannya, termuat dalam Jilid 3 – 7.
3.3. Qawa’id dalam Pemikiran Madzhab syafi’i
Secara lengkap, karya-karya tentang qawa’id fiqhiyyah di kalangan madzhab Syafii berdasarkan urutan sejarahnya antara lain adalah:
a) Qawaacid al-Ahkaam fi Masaalih al-‘Anaam oleh cIzzuddin cAbdul cAziz ibn cAbdus Salam ( 577 - 660 H);
b) Kitaab Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir karya Sadraddin Abi cAbdullah ibn Murahhil, Ibn Wakil al-Syafi ci (716 H);
c) Majmuuc al-Mudzhab fil-Qawaacid al-Madzhab oleh Salahuddin Abi Sa cid al-cAla’i as-Syafi ci (761 H);
d) Al-Asybaah wa al-Nazhaa’ir oleh cAbdul-Wahhab ibn cAli Tajuddin as-Subki (771 H);
e) Al-Manthuur fi Tartiib al-Qawaacid al-Fiqhiyyah aw al-Qawaacid fi al-Furuuc oleh Muhammad ibn Bahadur Badruddin az-Zarkashi (794 H);
f) Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir karya Sirajudddin cUmar ibn cAli al-Ansari, yang lebih terkenal dengan pangggilan Ibnul-Mulaqqin (804 H);
g) Al-Qawaacid oleh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad ibn cAbdul-Mu’min, al-Hisni (829 H);
h) Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Jalaluddin cAbdur Rahman ibn Abi Bakr ibn Muhammad as-Suyuthi (al-Asyuthi) (804 H); dan
i) Al-Istighnaa’ fi al-Furuuq wa al-Istithnaa’ karya Badruddin Muhammad ibn Abi Bakr ibn Sulaiman al-Bakri
Di atas telah disinggung sedikit tentang karya as-Suyuthi, al-Asybaah wan-Nazhaa’ir, yang cukup masyhudr di kalangan madzhab Syafi’i. Selain karya as-Suyuthi, kitab Majmuu’ul Madzhab karya al-‘Alai jug amendapat perhatian para fuqaha madzhab Syafii, seperti ulasan-ulasan yang diberikan dalam kitab Mukhtashar al-Qawaacid al-‘Alai seperti oleh:
a) Al-‘Allamah as-Syarkhadi (792 H) yang merupakan kombinasi dengan tulisan al-Isnawi untuk topik yang sama; dan
b) Al-‘Allamah ibn Khatib ad-Dahsyah yang mengkombinasikan dengan kuliah-kuliah dari al-Isnawi
3.4. Qawa’id dalam Pemikiran Madzhab HANBALI
Di kalangan madzhab Maliki, terdapat setidaknya lima kitab karya para fuqaha mulai dari pertengahan abad ke-7, sejak karya Ibnu Taymiyyah hingga abad ke-14 Hijriyyah pada periode al-Qari. Mereka antara lain:
a) Al-Qawaacid al-Nuuraaniyyah al-Fiqhiyyah oleh Taqiyyuddin Abu al-cAbbas Ahmad ibn cAbd al-Halim ibn Taymiyyah (661 - 728 H);
b) Al-Qawaacid al-Fiqhiyyah oleh Sharifuddin Ahmad ibn al-Hasan, ibn Qadhi al-Jabal al-Maqdisi (771 H);
c) Taqriir al-Qawaacid wa Tahriir al-Fawaa’id (al-Qawaacid) karya cAbdurrahman Shihab ibn Ahmad ibn Abi Rajab (Ibn Rajab) al-Hanbali (795H);
d) Al-Qawaacid al-Kulliyyah wa al-Dhawaabit al-Fiqhiyyah (771 H) karya Jamaluddin Yusuf ibn Hasan ibn Ahmad ibn cAbdul-Hadi (1309-1359 H); dan
e) (Qawaacid) Majallah al-Ahkaam al-Shar ciyyah calaa Madzhab al-Imaam Ahmad ibn Hanbal oleh Ahmad ibn cAbdullah al-Qari (1309-1359 H)
Secara ringkas, karya tentang qawa’id fiqhiyyah dan para penulis yang memberikan kontribusinya dapat dipaparkan dalam Table 1 berikut ini:
Table 1
Qawa’id dalam Karya Empat Madzhab Fiqh
Nama/Sebutan Kitab | Penulis | Periode (Hijriyah) | Jumah Qawaid |
1) Hanafi | |||
Usuul al-Karkhi | al-Karkhi | 260-340 | 36 (asl) |
Ta’siis an-Nadzr | Abi Zaid al-Dabusi | 430 | 86 |
Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir | Ibn Nujaim | 6 Asas 19 Furu’ | |
Majaamic al-Haqaa’iq | al-Khadimi | 1176 | 154 |
Majallah al-Ahkaam al- cAdliyyah | Daulah al- cUsmaniyyah | 1286 | 99 |
Al-Faraa’id al-Bahiyyah fil-Qawaacid al-Fawaa’id al-Fiqhiyyah | Ibn Hamzah al-Husaini | 1305 | 30 |
2) Maliki | |||
Al-Furuuq; Kitab al-Anwaar wal-Anwaa’; or Kitab al-Anwaar wal-Qawaacid as-Sunniyyah | Syihabuddin al-Qarafi | 260-340 | 548 |
Al-Qawaacid | al-Muqarri | 758 | 100 |
Iidhaah al- Masaalik ilaa Qawaacid al-Imaam Maalik | Ahmad al-Winsyarinsi | 914 | 118 |
Al-Iscaaf bit-Talab Mukhtasar Syarhul-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab | at-Tiwani | 912 | |
3) Syafii | |||
Qawaacid al-Ahkaam fi Masaalih al-‘Anaam | cIzzuddin cAbd as-Salam | 577-660 | - |
Kitaab Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir | Ibn Wakil as-Syafii | 716 | - |
Majmuuc al-Mudzhab fi al-Qawaacid al-Madzhab | Salahuddiin al-cAla’i | 761 | 20 |
Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir | Tajuddin as-Subki | 771 | 60 |
Al-Mantsuur fi Tartiib al-Qawaacid al-Fiqhiyyah awil-Qawaacid fil-Furuuc | Badruddin az-Zarkashi | 794 | 100 |
Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir | Ibn al-Mulaqqin | 804 | |
Al-Qawaacid | cAbd al-Mu’min, al-Hisni | 829 | |
Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir | as-Suyuthi | 804 | 5 asas 40 ‘amm 20 ikhtilafi |
Al-Istighnaa’ fil-Furuuq wal-Istitsnaa’ | Badruddin al-Bakri | - | 600 |
4) Hanbali | |||
al-Qawaacid al-Nuuraaniyyah al-Fiqhiyyah | ibn Taymiyyah | 661-728 | - |
al-Qawaacid al-Fiqhiyyah | Syarifudin al-Maqdisi | 771 | |
Taqriir al-Qawaacid wa Tahriir al-Fawaa’id (al-Qawaacid) | Ibn Rajab al-Hanbali | 795 | 160 |
al-Qawaacid al-Kulliyyah wa al-Dhawaabit al-Fiqhiyyah | ibn cAbd al-Hadi | 1309-1359 | |
(Qawaacid) Majallah al-Ahkaam al-Shar ciyyah calaa Madzhab al-Imaam Ahmad ibn Hanbal | Ahmad cAbdullah al-Qari | 1309-1359 | 160 |
BAB 4
APLIKASI QAWA’ID DALAM PEMIKIRAN EKONOMI
4.1. PENDAHULUAN
Analisa dalam baba ini lebih terfokus pada pembahasan qawa’id yang terkait dengan persoalan ekonomi. Oleh sebab beberapa kendala, termasuk waktu dan pendanaan, penelitian dibatasi pada qawa’id yang terdapat dalam al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah terbitan Daulah Turki Usmani yang disusun sekitar tahun 1286 H. Cakupan qawa’id dalam al-Majallah ini dirasa cukup lengkap dan merepresentasikan hampir semua qawa’id yang pernah ditulis oleh para fuqaha/ulama dari keempat madzhab, sekalipun tidak dapat dipungkiri, bahwa al-Majallah merupakan karya kumpulan qawa’id yang dihasilkan oleh para ulama madzhab Hanafi. Sebagaai konsekwensinya, banyak qawa’id yang tidak dapat diakomodasi dalam penelitian ini, baik dari kalangan madzhab Hanafi sendiri maupun yang lainnya.
4.2. Qawa’id dalam Pemikiran Ekonomi
Dalam aspek transaksi muamalah, terdapat sekitar 25 qawa’id menurut Syeh Muhammad Mustafa Zarqa, sebagaimana dikutip oleh Jazuli (2006). Namun apabila diperluas cakupannya ke dalam ekonomi secara keseluruhan, maka jumlah qawa’id yang dapat diaplikasikan akan menjadi lebih banyak.
Dari 99 qawa’id dalam al-Majallah, lebih dari 70 qawa’id dapat diinterpretasikan secara langsung sebagai memiliki implikasi yang bersifat ekonomis, sekalipun tidak dapat lepas dari perspektif yang lain, seperti social, politik, hukum, dan sebagainya. Ini sesuai dengan pngertian atau definisinya, sebagaimana telah didiskusikan di atas (Bab 2), yaitu qa’idah berfungsi sebagai aturan umum atau universal (kuliyyah) yang dapat diterapkan untuk semua yang bersifat khusus atau bagian-bagiannya (juz’iyyah). Atau dengan kata lain, sebagaimana kesimpulan Mukhtar dkk (1995b) qa’idah sebagai aturan umum yang diturunkan dari hukum-hukum furu’ yang sejenis dan jumlahnya cukup banyak.
Apabila diperbandingkan dengan tulisan Jazuli (2006), maka hasil penelitian ini memberi gambaran bahwa jumlah qawa’id yang terkait dengan masalah ekonom ijauh lebih banyak, dari pada jumlah yang terkait dengan transaksi muamalah sebagaimana ditulis karya Jazuli. Akan tetapi perlu dicatat pula bahwa dari 20 qawa’id yang ditulisnya, hanya ada 8 (delapan) qawa’id yang sama, sedangkan selebihnya didapatkan dari karya-karya ulama lainnya. Kedelapan qawa’id tersebut dipaparan dalam Tabel 2 berikut:
Table 2
Qawa’id sebagai dalam Pemikiran Ekonomi/Muamalat dalam
al-Majallah dan dalam kKarya Jazuli (2006)
1 | Apabila sesuatu itu batal maka batallah apa yang ada didalammnya | إذا بطل الشيء بطل ما فى ضمنه |
2 | Tidaklah sempurna ‘aqad tabarru’ (pemberian) kecuali setelah diserahkan, (sebelum diminta sudah diberi) | لا يتم التبرع إلا بقبض |
3 | Hak mendapat hasil itu sebagai ganti kerugian (yang ditanggung) | الخراج بالضمان |
4 | Pendapatan/upah dengan jaminan itu tidak datang secara bersamaan | الأجر والضمان لا يجتمعان |
5 | Risiko itu sejalan dengan keuntungan | الغرم بالغنم |
6 | Hal yang dibolehkan syariat tidak dapat dijadikan beban/tanggungan | الجواز الشرعي ينافي الضمان |
7 | Perintah menasarufkan (memanfaatkan) barang orang lain (tanpa ijin pemiliknya) adalah batal | الأمر بالتصرف فى ملك الغير باطل |
8 | Tidak boleh bagi seorang pun merubah /mengganti milik orang lain tampa izin pemiliknya. | لا يجوز لأحد أن يتصرف فى ملك الغير بلا إذنه |
Ini memberitahukan kepada kita betapa jumlah qawa’id yang disusun para ulama/fuqaha terdahulu jumlahnya cukup banyak dan susah ditentukan secara pasti. Pada sisi lain, ia juga memberi gambaran betapa keseriusan mereka benar-benar luar biasa, sehingga generasi terkemudian dapat memanfaatkannya dengan lebih mudah.
BAB 5
PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
Qawa’id fiqhiyyah merupakan landasan umum dalam pemikiran dan perilaku sosial memberikan panduan bagi masyarakat untuk melakukan interaksi dengan sesamanya. Panduan yang diberikan menyangkuit beberapa aspek kehidupan seperti hukum, ekonomi, sosial, politik dan kenegaraan, budaya, dan sebagainya sampai pada masalah pernikahan
Penelitian ini memfokuskan pada qawa’id dalam karya-karya para ulama/fuqaha dari kalangan empat madzhab fiqh, dan implikasinya dalam pemikiran dan perilaku ekonomi dalam masyarakat.
Dalam hal ini, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran. Para ulama dan fuqaha terdahulu, sejak akhir abad ke-2 Hijriyyah telah merintis batu peletakan qawa’id melalui karya-karya agung mereka, yang sampai kini masih terlihat manfaatnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan modern, termasuk ekonomi. Para ulama/fuqaha dari keempat madzhab fiqh tersebut menyusun qawa’id dalam jumlah yang begitu banyak, sebagiannya sama atau serupa, sehingga susah untuk diketahui jumlahnya secara pasti.
Fokus penelitian ini pada 99 (sembilan puluh sembilan) qawa’id yang disusun para ulama pada Dinasti Turki Usmani, yaitu al-majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah pada sekitar awal abad ke-13 Hijriyah atau tepatnya sekitar tahun 1286 H. Dari keseluruhannya, terdapat lebih dari 70 (tujuh puluh) qawa’id yang dapat dijadikan rujukan untuk diturunkan ke dalam pemikiran dan perilaku ekonomi modern.
5.2. SARAN UNTUK PENELITIAN KE DEPAN
Oleh sebab keterbatasan waktu dan financial, penelitian ini tidak dapat meneruskan pada masalah implikasi pemikiran dan perilaku ekonomi secara sektoral. Selain itu, kebanyakan materi qawa’id juga berlaku sangat umum, sehingga hamper dapat diberlakukan secara keseluruhan bagi semua sector dalam ekonomi. Akan tetapi, apabila dilacak karya-karya diluar al-Majallah, ada kemunginan beberapa qawa’id yang dapat diinterpretasikan secara khas untuk setiap masalah atau sector dalam ekonomi. Untuk itulah penelitina secara lebih detail untuk setiap aspek perlu dilakukan secara terpisah.
DAFTAR PUSTAKA
Alwani, Taha Jabir al-. Source Methodology in Islamic Jurisprudence: Usul al-Fiqh al-Islami, Revised English Ed. By Yusuf Talal DeLorenzo and Anas S. Al-Shaikh-Ali. Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1415/1994.
Djazuli, H.A. (2006). Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis. Kencana, Prenada Media Group
Kamali, Muhammad Hashim, 1989, Principles of Islamic Jurisprudence, Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd., Petaling Jaya, Malaysia.
Mahmassani, Sobhi. 1980, Falsafah al-Tashric fi al-Islam, English translation by Farhat J. Ziadeh, Shah Alam, Malaysia, Penerbitan Hizbi, 1987. The original Arabic, Beirut, Dar al-cilm li al-Malayin.
Muqorobin, Masyhudi (2003). Legal Maxim Related to Islamic Economics. ISEFID Review 2(1): 131-143.
Muchtar, Kamal, dkk (1995). Ushul Fikh (Jilid 1), Yogyakarta: Penerbit Dana Bakti Wakaf.
Nadwi, Ali Ahmad al-. 1412H/1991M, Al-qawacid al-fiqhiyyah: Mafhumuha, Nash-atuha, Tatawwuruha, Dirasatu Mu-allafatiha, Adallatuha, Muhimmatuha, Tatbiqatuha, Dar al-Qalam, Damascus.
Rahman, Fazlur, 1965, Islamic Methodology in History, Islamic Research Institute, Karachi, Pakistan.
Shiddieqy, T.M. Hasbi, ash-, 1981, Pengantar Hukum Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta.
Syabir, Muhammad Usman (2000). Al-Qawa’id al-Kulliyyah wad-dhawabith al-Fiqhiyyah. Yordania: daarul-Furqaan.
Weeramantry, C.G. Islamic Jurisprudence: An International Perspective, Hampshire and London: The Macmillan Press Ltd.
lampiran
Qawa’id fiqhiyyah dalam
Al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah
Artikel No. 1 | Artikel.1…Para peneliti dari ahli fiqh mengembalikan persoalan-persoalan fiqh kepada kaidah-kaidah umum, semuanya itu otentik untuk seluruh permasalahan-permasalahan yang ada,…maka dari itu disusun 99 kaidah fiqhiyyah…, dan diantara kaidah-kaidah ini, jika dilihat secara mufrad (tersendiri), terdapat pengecualian tertentu diantara kesempurnaannya, akan tetapi tidak menutupi keumumannya dari sisi keseluruhan, karena itu sebagiannya mengikat sebagian yang lain. Keterangan: 1. Sesuatu yang menyeluruh maka dikecualikan 2. Sesuatu yang umum maka dikhususkan 3. Sesuatu yang banyak maka ditentukan satu (diikat) | المادة 1- .... إن المحققين من الفقهاء قد أرجعوا المسائل الفقهية إلى قواعد كليه، كل منها ضابط وجامع لمسائل كثيرة. ... فلذا جمع تسع وتسعون (99) قاعدة فقهية. ... وأن بعض هذه القواعد، وان كانت بحيث إذا انفرد، يوجد من مشتملا ته بعض المستثنيات، لكن لا تختل كليتها و عمومتها من حيث المجموع، لما إن بعضها يخصص ويقيد بعضا آخر. |
2 | Setiap perkara (perbuatan) itu tergantung pada tujuannya. | الأمور بمقاصدها |
3 | Patokan dalam akad (Ibrah) diambil dari maksud/tujuan dan maknanya bukan dari ungkapan dan bentuknya | العبرة فى العقود للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني |
4 | Sesuatu yang sudah diyakini tidak dapat dihapus oleh keragu-raguan | اليقين لا يزال بالشك (اليقين لا يزول بالشك) |
5 | Yang menjadi patokan adalah tetapnya sesuatu menurut keadaan semula | الأصل بقاء ما كان على ما كان |
6 | Sesuatu yang lama akan ditinggalkan sebagaimana asalnya | القديم يترك على قدمه |
7 | Kemadharatan tidak akan terjadi sejak awal | الضرر لا يكون قديما |
8 | Bebas dari tanggungan adalah prinsip yang mendasar. | الأصل براءة الذمة |
9 | Asal dari sifat-sifat yang nyata (terlihat) adalah ketiadaan | الأصل فى الصفات العارضة العدم |
10 | Sesuatu yang tetap pada zamannya akan dinilai kekal kecuali terdapat dalil yang membuktikan penolakannya. | وما ثبت بزمان محكم ببقائه مالم يوجد دليل على خلافه |
11 | Asal suatu perubahan pristiwa baru dianggap sebagai peristiwa yang berlangsung dalam waktu terdekat (dari sekarang) | الأصل إضافة الحادث إلى أقرب أوقاته |
12 | Asal dalam perkataan itu adalah hakikat. (Artinya jika ada perkataan yang bisa diartikan secara hakiki dan majasi, maka perkataan mesti diartikan secara hakiki) | الأصل فى الكلام الحقيقة |
13 | Tidak perlu ambil perhatian terhadap dalil apabila ada pernyataan yang jelas | لا عبرة للدلالة في مقابلة التصريخ |
14 | Tidak ada tempat untuk berijtihad jika ada nasth yang menerangkannya (al-Qur’an dan al-Hadits) | لامساغ للاجتهاد فى مورد النص |
15 | Sesuatu yang tetap atas penolakan terhadap qiyas maka tidak (boleh dipakai) untuk menetapkan qiyas yang lain. | ما ثبت على خلاف القياس فغيره لا يقاس عليه |
16 | Sebuah ijtihad tidak dapat membatalkan yang semisalnya (ijtihad yang lain) | الاجتهاد لا ينقض بمثله |
17 | Kesulitan itu akan menarik kemudahan | المشقة تجلب التيسير |
18 | Perkara yang berlaku dalam kesempitan, harus diberikan kelonggaran atasnya | الأمر إذا ضاق إتسع (إذا ضاق الأمر إتسع) |
19 | Madharat tidak bisa diselesaikan dengan kemadharatan juga | لا ضرر ولا ضرار |
20 | Kemadharatan itu harus dihilangkan. | الضرر يزال |
21 | Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang | الضرورات تبيح المحظورات |
22 | Sesuatu yang dibolehkan karena darurat itu mesti disesuaikan dengan kadar kedaruratannya. | الضرورات تقدر بقدرها |
23 | Sesuatu yang dibolehkan karena uzur, maka batallah sebab hilangnya uzur tersebut | ما جاز لعذر بطل بزواله |
24 | Apa bila hilang penyebab yang melarang sesuatu maka yang dilarang itu boleh dilakukan | إذا زال المانع عاد الممنوع |
25 | Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan yang semisal | الضرر لا يزال بمثله |
26 | Menanggung suatu Kemadharatan khusus untuk menolak Kemadharatan umum. | يحتمل الضرر الخاص لمنع الضرر العام |
27 | Kemadharatan yang lebih besar/ berat dihilangkan dengan Kemadharatan yang lebih ringan | الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف |
28 | Apabila dua kerusakan bertabrakan maka dilihat/dipilih yang lebih ringan | إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما |
29 | Memilih yang lebih kecil dari dua keburukan | يختار أهون الشرين |
30 | Menolak suatu kerusakan didahulukan dari pada menarik kemaslahatan. | درء المفاسد أولى من جلب المنافع |
31 | Kemadharatan itu sedapat mungkin harus ditangkis | الضرر يدفع بقدر الإمكان |
32 | Kebutuhan bisa menjadi sesuatu kepentingan | الحاجة تنزل منزلة الضرورة |
33 | Sesungguhnya sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi tidak membatalkan hak bagi yang lain | إن الإضطرار لا يبطل حق الغير |
34 | Sesuatu yang diharamkan mengambilnya maka diharamkan juga memberikannya | ما حرم أخذه حرم اعطاؤه |
35 | Sesuatu yang haram mengerjakannya maka haram juga meminta mengerjakannya | ما حرم فعله حرم طلبه |
36 | Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum | العادة محكمة |
37 | Jika manusia sudah sepakat dengan sesuatu (kesepakatan umum) maka wajib dikerjakan | استعمال الناس حجة يجب العمل بها |
38 | Larangan adat adalah menjadi larangan sebenarnya (secara hakikat) | الممتنع عادة كالممتنع حقيقة |
39 | Tidak dipungkri perubahan hukum dengan adanya perubahan zaman | لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان |
40 | Suatu kenyataan akan ditinggalkan berdasarkan adat | الحقيقة تترك بدلالة العادة |
41 | Hanya akan dianggap sebagai suatu adat jika apa bila menjadi suatu mayoritas dalam masyarakat | إنما تعتبر العادة إذا اضطردت أو غلبت |
42 | Perhatian lebih diberikan pada kejadian yang sering (mayoritas), bukannya yang jarang (minoritas) | العبرة للغالب الشائع لا للنادر |
43 | Sesuatu yang dikenal akan menjadi adat seperti yang disyaratkan menjadi syarat | المعروف عرفا كالمشروط شرطا |
44 | Sesuatu yang dikenal diantara masyarakat itu seperti menjadi syarat dikalangan mereka | المعروف بين التجار كالمشروط بينهم |
45 | Penetapan secara adat seperti penetapan secara nash (teks) | التعيين بالعرف كالتعيين بالنص |
46 | Apa bila bercampur suatu larangan dengan perintah maka didahulukan larangan | إذا تعارض المانع والمقتضى يقدم المانع |
47 | Sesuatu yang terkait dengan sebuah obyek, maka ia diakui keabsahannya | التابع تابع |
48 | Sesuatu yang terkait dengan sebuah obyek tidak dihukumi secara terpisah. | التابع لايفرد بالحكم |
49 | Seseorang yang memiliki sesuatu maka ia juga memiliki segala kepentingan atasnya | من ملك شيئا ملك ما هو من ضروراته |
50 | Apabila terputus sesuatu yang dasar maka terputus pula suatu cabangnya | إذا سقط الأصل سقط الفرع |
51 | Sesuatu yang terputus itu tidak akan kembali seperti sesuatu yang hilang tidak kembali | الساقط لا يعود كما أن المعدوم لا يعود |
52 | Apabila sesuatu itu batal maka batallah apa yang ada didalammnya | إذا بطل الشيء بطل ما فى ضمنه |
53 | Apa bila batal suatu yang dasar /asal maka ia merubah menjadi perubahan,maka asal itu menjadi berubah | إذا بطل الأصل يصار الى البدل |
54 | Tidak diperbolehkannya sesuatu yang terkait dengan barang tidak berarti dilarangnya yang lain yang terkait dengan barang tersebut | يغتفر التوابع مالا يغتفر فى غيرها |
55 | Sesuatu yang dilarang dengan cara yang baru, mungkin diperbolehkan dengan cara melanjutkan. | يغتفر فى البقاء ما لا يغتفر فى الابتداء |
56 | Meneruskan sesuatu lebih mudah dari pada memulainya | البقاء أسهل من الابتداء |
57 | Tidaklah sempurna ‘aqad tabarru’ (pemberian) kecuali diberikan/diserahkan, (sebelum diminta sudah diberi) | لا يتم التبرع إلا بقبض |
58 | Tasharruf (tindakan –pemimpin-) terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemashlahatan -kepentingan umum-. | التصرف على الرعية منوط بالمصلحة |
59 | Kewenangan khusus (pribadi) lebih kuat dari pada kewenangan umum (publik) | الولاية الخاصة أقوى من الولاية العامة |
60 | Mengamalkan maksud suatu kalimat, lebih utama dari pada mengabaikannya (menyia-nyiakannya) | إعمال الكلام أولى من إهماله |
61 | Apabila maksud hakiki tidak dapat ditangkap, maka pengertian majazi (metaforis) dapat dipakai | إذا تعذرت الحقيقة يصار إلى المجاز |
62 | Apabila perkataan itu lemah dalam pelaksanaan maka abaikan saja | إذا تعذر إعمال الكلام يهمل |
63 | Hubungan terhadap bagian-bagian yang takterpisahkan dinilai seperti hubungan terhadap keseluruhan | ذكر بعض مالا يتجزأ كذكر كله |
64 | Sesuatu yang mutlaq berjalan dengan kemutlakannya selama tidak ada nash atau dalil yang mengikatnya | المطلق يجري على إطلاقه ما لم يقم دليل التقييد نصا أو دلاله |
65 | Sifat yang tampak tidak memiliki nilai kebenaran, maka sifat yang tidak tampak dapat dipakai | الوصف فى الحاضر لغو وفى الغائب معتبر |
66 | Pertanyaan itu diulangi di dalam jawaban | السؤال معاد فى الجواب |
67 | Perkataan tidak dapat dinisbatkan kepada orang yang diam, tetapi diam adalah sama dengan pernyataan, ketika bicara diperlukan. (Artinya orang yang diam ketika berbicara itu menjadi keharusan, maka ia dianggap membuat pernyataan (menyetujui/menolak). | لا ينسب إلى ساكت قول، لكن السكوت فى معرض الحاجة بيان |
68 | Bukti atas sesuatu yang tidak jelas dikembalikan pada kedudukannya | دليل الشيئ فى الأمور الباطنة يقوم مقامه |
69 | Tulisan seseorang itu seperti halnya perkataan | الكتاب كالخطاب |
70 | Isyarat yan dikenal karena kebisuan seperti suatu keerangan dengan lisan | الإشارات المعهودة للأخرس كالبيان باللسان |
71 | kata terjemahan diterima secara mutlaq. | يقبل قول المترجم مطلقا |
72 | Tidak dipegangi sesuatu (hukum) yang berdasarkan pada Dhon -persangkaan yang kuat- yang jelas salahnya. | لا عبرة للظن البين خطؤه |
73 | Tidak di jadikan hujjah sesuatu yang berdasarkan kemungkinan yang berlawanan dengan dalil | لا حجة مع الاحتمال الناشئ عن دليل |
74 | Tidak bia dijadikan patokan sesuatu yang bimbang/was-was | لا عبرة للتوهم |
75 | Keputusan dengan bukti yang otentik seperti kepastian melihat dengan mata kepala sendiri | الثابت بالبرهان كالثابت بالعيان |
76 | Bukti dituntut atas orang yang menggugat/menuduh, sedangkan sumpah atas yang menolak/ mengingkarinya | البينة على المدعي واليمين على من أنكر |
77 | Bukti adalah untuk memastikan sesuatu yang berlawanan secara lahiriyah, sedang sumpah untuk memastikan sesuatu yang asal | البينة لإثبات خلاف الظاهر واليمين لإبقاء الأصل |
78 | Bukti adalah kepastian mutlak (bagi fihak ketiga), sedang ikrar (pengakuan) hanyalah bukti relatif bagi yang menyatakannya. | البينة حجة متعدية والإقرار حجة قاصرة |
79 | Seseorang itu terikat oleh pengakuannya | المرء مؤاخذ بإقراره |
80 | Sesuatu yang diperdebatkan tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi jga tidak dapat menafikan keputusan hakim | لا حجة مع التناقض ولاكن لا يختل معه حكم الحاكم |
81 | Sesungguhnya ditetapkannya cabang itu tidak berarti dengan meniadakan yang asal/pokok | قد ثبت الفرع مع عدم ثبوت الأصل |
82 | Fihak yang dibebani oleh syarat wajib memenuhinya ketika syarat disebutkan. | المعلق بالشرط يجب ثبوته عند ثبوت الشرط |
83 | Lazimnya pemenuhan syarat itu sesuai kemampuan yang memungkinkan | يلزم مراعة الشرط بقدر الإمكان |
84 | Janji yang diiringi persyaratan adalah lazim | المواعيد باكتساء صور التعاليق تكون لازمة |
85 | Hak mendapat hasil itu sebagai ganti kerugian (yang ditanggung) | الخراج بالضمان |
86 | Pendapatan/upah dengan jaminan itu tidak datang secara bersamaan | الأجر والضمان لا يجتمعان |
87 | Risiko itu sejalan dengan keuntungan (yakni orang yang memperoleh manfaat atas sesuatu, pada saat yang sama ia harus mau berkorban). | الغرم بالغنم - ( يعني إن من ينال نفع شيئ يحتمل ضرره ) |
88 | Kenikmatan itu setaraf dengan pengorbanan dan pengorbanan setaraf dengan kenikmatan | النعمة بقدر النقمة والنقمة بقدر النعمة |
89 | Perbuatan itu disandarkan pada pelakunya kecuali pada suatu kasus yang belum terjabarkan | يضاف الفعل الى الفاعل لا الآمر مالم يكن مجبرا |
90 | Apabila terdapat dua orang terlibat suatu perkara, yang seorang terlibat langsung dan yang lain hanya terlibat sebab-sebab, maka hukum dibebankan pada orang yang terlibat secara langsung saja | إذا اجتمع المباشر والمتسبب يضاف الحكم الى المباشر |
91 | Hal yang dibolehkan syariat tidak dapat dijadikan beban/tanggungan | الجواز الشرعي ينافي الضمان |
92 | Orang yang berbuat sesuatu, meskipun tanpa sengaja, tetap harus menanggung beban | المباشر ضامن وان لم يتعمد |
93 | Tidak dikenai beban orang yang terlibat dalam sebab suatu kejadian kecuali dengan sengaja ia hendak melakukannya | المتسبب لا يضمن ءالا بالتعمد |
94 | Tidak ada beban yang terkait dengan kecelakaan disebabkan oleh binatang atas kemauanya sendiri. | جناية العجماء جبار |
95 | Perintah menasarufkan (memanfaatkan) barang orang lain (tanpa ijin pemiliknya) adalah batal | الأمر بالتصرف فى ملك الغير باطل |
96 | Tidak boleh bagi seorang pun merubah /mengganti milik orang lain tampa izin pemiliknya. | لا يجوز لأحد أن يتصرف فى ملك الغير بلا إذنه |
97 | Tidak boleh bagi seseorang mengambil milik orang lain tanpa sebab syar’i | لا يجوز لأحد أن يأخذ مال أحد بلا سبب شرعي |
98 | Perubahan sebab kepemilikan barang adalah setara dengan perubahan pada barang itu sendiri | تبدل سبب الملك قائم مقام تبدل الذات |
99 | Barang siapa yang mendahulukan sesuatu sebelum waktunya, maka ia dibebani atas larangan yang ada didalamnya | من استعجل الشيئ قبل أوانه عوقب بحرمانه |
100 | Barang siapa berusaha menyanggah perbuatannya sendiri, maka usahanya itu tertolak | من سعى فى نقض ما تم من جهته، فسعيه مردود عليه |
1 comments:
Click here for commentsBoleh saya tahu artikel ini dikeluarkan oleh siapa dan bila tahun dia keluar?
ConversionConversion EmoticonEmoticon