8
SHIGAT TAHAMMUL ‘ADA AL-HADITS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERSAMBUNGAN SANAD
Oleh:
Subur Wijaya
I.
PENDAHULUAN
Periwayatan
hadits adalah proses pemerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang perawi
dari gurunya, dan setelah dipahami, dihapal, dihayati, diamalkan (dhabith)
ditulis di tadwin (tahrir) dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid
(ada) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.[1]
Hadits
bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang disebut Shahih al-Riwayah, diwurudkan
kepada sahabat sebagai rawi pertama atau thabaqah pertama, kemudian thabaqah
tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan seterusnya, akhirnya ditadwin oleh mudawwin
sebagai rawi terakhir pada diwan/kitab hadits.
Kini
hadits terhimpun pada kitab Mushannif hasil tadwin pada masa pertama diawal
abad I Hijriyah, pada kitab musnad hasil tadwin kualifikasi diakhir abad II
Hijriyah, pada kitab sunan dan shahih hasil tadwin seleksi di akhir abad III
Hijriyah.
Esensi
periwayatan adalah tahammul, naql, dhabith, tahrir, dan ada’ al-Hadits,
atau disingkat tahammul wa al-ada’. Suatu thariqah atau cara
penerimaan dan penyampaian hadits.
II.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
tahammul al-hadits dan ada’ al-hadits
menurut bahasa dan istilah:
Menurut bahasa
tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung , membawa, atau
biasa diterjemahkan dengan menerima.[2]
Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa
adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul
al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab
taisir mushtholah hadits adalah:
التحمل:
معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para
syekh atau guru.[3]
Sedangkan
pengertian ada’ al-hadits menurut bahasa, ada’ (الأداء) adalah masdar dari
أَدَّى-يُؤَدٍّى- أَدَاءً:
إيصال
الشيئ إلى المرسل إليه
“menyampaikan sesuatu pada orang yang dikirim kepadanya”.
أدى-تأدية
الشيئ : أوصله
“Menyampaikannya”.[4]
Bararti ada’
al-hadits menurut bahasa adalah menyampaikan hadits. Sedangkan ada’ al-hadits
menurut istilah adalah:
الأداء : رواية الحديث
وإعطاؤه الطلاب
“Meriwayatkan hadits dan memberikannya pada para murid”.[5]
Kaifiyah
Tahammul wa al-ada’ ini termasuk kajian ilmu Hadits Dirayah karena berupa
system yang analitik, dan walaupun tidak menjadi persyaratan dasar dalam
penentuan maqbul-mardudnya hadits, namun mempengaruhi pengamalan hadits
dalam thariqah tarjib, yakni bila ada dua hadits maqbul yang saling
bertentangan (tanakud).
2.
8(delapan) Macam
Shigat Kaifiyah Tahammu Wa al-Ada’ atau system cara Penerimaan dan Penyampaian
Hadits, sebagai berikut:
1.
“Sama’ min
lafazh al-Syaikh”, yakni mendengar sendiri dari perkataan
gurunya baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dibaca dari
tulisannya, walaupun mendengar dari balik hijab, asal berkeyakinan bahwa suara
yang didengar adalah suara gurunya, kemudian ia sampaikan kepada orang lain.[6]
Cara sama’ ini tinggi
nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayah.
Lafazh-lafazh yang digunakan oleh rawi dalam menyampaikan hadits atas dasar
sama’ adalah:
a.
حدثنا : حدثني
“Seseorang telah bercerita kepadaku/kami”
b.
سمعنا : سمعت
“Saya telah mendengar, kami telah mendengar”
2. Al-Qira’ah ‘ala Syaikh (aradh)
yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik ia sendiri yang menyampaikan
atau yang mendengar yang meriwayatkannya.[7]
a.
قرآت عليه
“Saya telah
membacakan dihadapannya”
b.
قرئ عحفلان وأنا أسمع
“Dibacakan
oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang saya mendengarkan”.
c.
حدثنا او أخبرنا قرأة عليه
“Telah menceritakan kepadaku secara pembacaan
dihadapannya”.
3.
Ijazah, yaitu pemberian
izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits darinya atau
dari kitab-kitabnya:[8]
a.
Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin: izin untuk meriwayatkan untuk sesuatu yang tertentu
kepada oaring tertentu:
جزت لك رواية الكتاب الفلاني
“Aku mengijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkan si fulan dari saya”.
b.
Ijazah fi ghairi mu’ayyanin,
yaitu izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang
tertentu:
جزت لك جمبع مسموعاتي
“Saya
ijzahkan kepada seluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan”.
c.
Ijazah fi ghairi mu’ayyanin li ghairi mu’ayyanin, izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu
kepada orang yang tidak tertentu:
أجزت للمسلمين جميع مسموعاتي
“Saya ijazahkan kepada seluruh
kaum muslimin apa yang saya dengar semuanya”.
4.
Munaawalah. yaitu seorang
guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah
dikoreksinya untuk diriwayatkan[9]:
a.
Diberi ijazah:
هذا سماعي أومن روايتي عن فلان فاروه
“Ini adalah hasil pendengaranku
atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah”
Lafazh
periwayatannya:
أنبأني , أنبأ نا
b.
Tidak diberi ijazah:
هذا سماعي أومنروايتي
“Ini adalah hasil pendengaranku atau hasil dari
periwayatanku”
Lafazhnya:
ناولني , ناولنا
“Seseorang telah memberikan
kepadaku/kami”
5.
Mukatabah, yaitu seorang
guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa
hadits kepada orang di tempat lain atau ada yang dihadapannya:
a.
Dibarengi ijazah:
اجزت لك ما كتبته إليك
“Saya izinkan apa-apa yang telah
saya tulis kepadamu”
b.
Tidak dibarengi ijazah:
قال حدثنا فلان
“Telah memberikan seseorang
kepadaku”
Lafazhnya:
حدثني فلان كتابة
“Seseorang telah bercerita
kepadaku dengan surat menyurat”
اخبرني فلان كتابة
“Seseorang telah mengabarkan
kepadaku dengan melalui surat”
6.
Wijadah, yaitu
memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’,
qira’ah maupun selainnya, dari pemilik hadits maupun tulisan tersebut.[10]
Lafazhnya:
قرأت بخط فلان
“Saya telah membaca
khat/tulisan seseorang”
وجدت بخط فلان , حدثنا فلان
“Saya dapati khot/tulisan
seseorang, bercerita pada kami”
7.
Washiyah, yaitu pesan seseorang dikala akan meninggal atau bepergian
dengan sebuah kitab tulisannya supaya diriwayatkan.[11]
Lafazhnya:
اوصى الي فلان بكتاب قا ل فيه حدثنا الى أخره
“Seseorang telah berwasiat
padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu; telah bercerita
padaku si fulan”
8.
I’lam, yaitu
pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah
riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh)
agar si murid meriwayatkannya.[12]
Lafazhnya:
اعلمني فلان قا ل حدثنا
“Seseorang telah memberitahukan
padaku, ujarnya, telah berkata padaku”.
Memperhatikan cara di atas, maka ada dua tipe
periwayatan, yakni:[13]
1.
Rawi mendengar langsung dari gurunya, dengan demikian murid bertemu
dengan gurunya, dan diketahui betul tentang pertemuannya itu.
Lafazh-lafazh periwayatannya:
a.
سمعنا : سمعت
b.
حدثنا : حدثني
c.
اخبرني : اخبرنا
d.
أنبأني , أنبأ نا
e.
قال لي (لنا) فلان
f.
ذ كرلي (لنا) فلان
g.
قال حدثنا : قال حدثني
2.
Rawi yang belum pasti tentang pertemuan-pertemuannya dengan guru, mungkin
mendengar sendiri dengan langsung, atau tidak mendengar sendiri.
Lafazh-lafazh periwayatannya:
a.
روي ; diriwayatkan oleh,
b.
حكي ; dihikayatkan oleh,
c.
عن
; dari,
d.
أن ; bahwasannya,
Hadits yang diriwayatkan dengan lafazh tamrid ini tidak dapat untuk menetapkan
bahwa Nabi SAW atau guru benar-benar menyabdakan, kecuali dengan adanya qarinah
lain.
System periwayatan atau kaifiyat tahammul wa al-ada dari hadits tersebut, dapat dipahami dalam
teks dibawah ini.
حدثنا عبد الله بن مسلمة قال قرأت على ما لك ابن أنس عن
نافع عن بن عمر أنه قال أن اليهود جائو إلى النبي صلى الله عليه وسلم فذكروا له أن
رجلا منهم وامرأة زنا فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم ما تجدون فى التوراة
فى شأ ن الزنا ؟ فقالوا نفضحهم ويجلدون عبد الله ابن سلام كذبتم أن فيها الرجم فأ
تؤا بالتوراة فنشروها فجعل أحدهم يده على أية الرجم ثم جعل يقرأ ما قبلها وما
بعدها فقال صدق يا محمد فيها أية الرجم فأمر بهما رسول الله صلى الله عليه وسلم
فرجم قال عبد الله إبن عمر فرأيت الرجل يجنأ على المرأة بقيها الحجارة (رواه أبو
داود)
Dari hadits tersebut sanadnya adalah:
حدثنا عبد الله بن مسلمة قال قرأت على ما لك ابن أنس عن
نا فع عن إبن عمر
Dalam sanad tersebut lafazh sanad, yakni lafazh yang digunakan untuk
menulis sanad tersebut menunjukan kaifiyat tahammul wa al-ada’nya.
Lafazh
sanadnya adalah: حدثنا, عن, قرأت على
Lafazh حدثنا
menunjukkan kaifiyat riwayah “sama’ min lafazh al-syaikh”, maksudnya Abu Daud
sebagai mudawwin menerima dari gurunya (‘Abdullah ibn Maslamah) dengan cara
sama’ secara oral muhaddatsah.
Lafazh قرأت
على artinya saya membaca
dihadapan, menunjukan bahwa ‘Abdullah bin Maslamah menerima hadits dari gurunya
(Malik ibn Anas) dengan cara qira’ah. Maksudnya ‘Abdullah membaca hadits Malik
di hadapan Malik.
Lafazh عن, artinya “dari” hal ini menunjukkan bahwa
tidak diketahui dengan cara apa hadits itu diterima murid dari guru, yakni Abu Daud sebagai
mudawwin tidak tahu (lupa, atau tidak ada penjelasan dari gurunya karena juga
lupa) bagaimana Malik menerima hadits dari gurunya Nafi’. Begitu pula tentang
kaifiyat penerimaan Nafi’ dari ibn ‘Umar (‘Abdullah ibn ‘Umar al-Khattab).
III.
KESIMPULAN
Periwayatan
hadits adalah proses pemerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang perawi
dari gurunya, dan setelah dipahami, dihapal, dihayati, diamalkan (dhabith)
ditulis di tadwin (tahrir) dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid
(ada) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.
Esensi
periwayatan adalah tahammul, naql, dhabith, tahrir, dan ada’ al-Hadits,
atau disingkat tahammul wa al-ada’. Suatu thariqah atau cara
penerimaan dan penyampaian hadits.
Kaifiyah
Tahammul wa al-ada’ ini termasuk kajian ilmu Hadits Dirayah karena berupa
system yang analitik, dan walaupun tidak menjadi persyaratan dasar dalam
penentuan maqbul-mardudnya hadits, namun mempengaruhi pengamalan hadits
dalam thariqah tarjib, yakni bila ada dua hadits maqbul yang saling
bertentangan (tanakud).
DAFTAR
PUSTAKA
Khotib, Muhammad
Ijajil, 1989, Ushul al-Hadits, Beirut: Daar Fikr.
Nasir, Shidiq Basir,
1992, Dhowabitu ar-Riwayah, Beirut: Daar Fikr.
Soetari,
Endang, 2008, Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah, Bandung: CV.
Mimbar Pustaka.
Thohan, Mahmud, 1985, Musthalah
al-Hadits, Jeddah: Al-Haramain.
[1] Fachrur Rahman, Ikhtisar
Musthalah al-Hadis, Bandung: al-Ma’arif, 1987, hlm. 211-222
[2] Kamus al-Munjid fi al-lughot wa
al-a’lam, 2002, Beirut, Daar el-Machreq Cet. 39, hlm. 155.
[3] Dr. Mahmud Thohan, 1985, Taisir
Mushtholah Hadits, Songgopuro, haramain, hlm. 156.
[4] Kamus al-Munjid fi al-lughot wa
al-a’lam, Op. Cit. hlm. 6.
[5] Mahmud Thohan, Loc. Cit.
[6]Endang Soetari, Loc. Cit. 178
[7] Mahmud Thohan, Op. Cit, hlm. 159
[8] Ibid. Hlm, 160
[9] Dr. Muhammad Ijajil Khotib, Ushul
al-Hadis.Beirut, Daar Fikr, Hlm. 238
[10] Mahmud Thohan, Loc. Cit, hlm. 165
[11] Shidiq Basir Nasri,Dhowabitu
ar-Riwayah, hlm.146
[12] Endang Soetari, Op. Cit. 181
[13] Ibid. hlm. 182
ConversionConversion EmoticonEmoticon