BAB I
PENDAHULUAN
para
ulama dan pemikir islam yang secara khusus menekuni masalah pendidkan da
menuangkan pemikiran dan pemikirannya dalam karya tulis yang khusus, memng
begitu banyak, apabila disbanding dengan karya-karya tulis mereka dalam bidang
keilmuan islam yang lain, seperti hadist, tafsir, fiqih, kalam dan tashawuf.
Sebagian pemikiran mereka tenyang pendidikan islam bercampur dalam karya tulis
mereka yang membahas masalah-masalah ke-islaman yang lain, seperti Al-Ghazali
dengan ihya’nya dan ibnu khaldun muqaddimahnya. Pemikiran-pemikiran mereka itu
ternyata masih banyak yang relevan dengan masalah pendidikan yang kita hadapi
kita sekarang, mereka telah mewariskan gagasan-gagasan yang perlu kita kaji dan
kita lanjutkan.
Posisi manusia sebagai homo
educandum (makhluk yang dapat didik), homo education (makhluk
pendidik), dan homo religious (makhluk beragama) mengindikasikan bahwa
perilaku keberagamaan manusia, dapat diarahkan melalui pendidikan. Pendidikan
yang dimaksud di sini adalah pendidikan Islam, yakni dengan cara membimbing dan
mengasuhnya agar dapat memahami, menghayati ajaran-ajaran Islam, sehingga
tampak perilaku keberagamaan secara simultan dan terarah pada tujuan hidup
manusia. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang sangat ideal. karena
menyelaraskan antara pertumbuhan fisik dan mental, jasmani dan rohani,
pengembangan individu dan masyarakat, serta dunia dan akhirat.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Biografi Al-Qabisy Tokoh Pemikir Pendidikan Islam.
a)
Biografi Al-Qabisy dan Pandangan Umumnya tentang
Pendidikan
Nama lengkap Al-Qabisiy adalah Abu Al-Hasan
Muhammad bin Khalaf Al-Ma‘arifi Al-Qairawaniy. Al-Qabisiy adalah
penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih
mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy. Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia
pada tahun 324 H-935M.[2] Literatur-literatur tidak
menyebutkan perihal kedudukan orang tuanya. Barangkali Al-Qabisiy
bukan dari keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga
asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal
setelah ia menjadi ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam.
Semasa kecil dan
remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari Al-Qur’an, hadits,
fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira’at dari beberapa ulama yang terkenal di
kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah
Abu Al-‘Abbas Al-Ibyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik.
Al-Qabisiy pernah mengatakan tentang gurunya ini: “saya tidak pernah menemukan
di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-‘Abbas. Guru-guru lain yang
banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah Abu Muhammad Abdullah bin
Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy,
Ali Al-Dibagh dan Abdullah bin Abi Zaid.
Al-Qabisiy pernah
sekali melawat ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama 5 tahun,
untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmu. Ia pernah
menetap di bandar-bandar besar seperti Iskandariyah dan Kairo
(Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu yang relatif tidak begitu lama. Di
Iskandariyah ia pernah belajar pada Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang
ulama yang masyhur dalam meriwayatkan hadits Imam Malik dan mendalami
mazhab fikihnya,
Al-Qabisiy mengajar
pada sebuah madrasah yang diminati oleh penunut-penuntut ilmu. Madrasah
ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang menuntut
ilmu di madrasah ini banyak yang datang dari Afrika dan
Andalus. Murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Imran Al-Fasiy,
Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu
Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar ‘Atiq Al-Susiy dan lain-lain.
Al-Qabisiy terkenal luas
pengetahuannya dalam bidang hadits dan fikih di samping juga sastera Arab.[3]
Ia menjadi rujukan ummat dan dibutuhkan untuk menjawab masalah-masalah
hukum Islam, maka ia diangkat menjadi mufti dinegerinya. Sebenarnya, ia tidak
menyukai jabatan ini, karena ia memiliki sifat tawadlu‘ (merendah diri),
wara‘ (bersih dari dosa) dan zuhud (tidak mencintai kemewahan
hidup duniawi).[4] Salah
satu karyanya dalam bidang pendidikan Islam yang sangat monumental adalah
kitab “Ahwal al-Muta’allim wa Ahkam Mu’allimin wa al-Muta’allimin”, sebagai
kitab yang terkenal pada abad 4 dan sesudahnya.
Konsep pemikiran tujuan
pendidikannya Al-Qabisy secara umum, sebagaimana dirumuskan oleh al-Jumbulati,
yaitu: (1) mengembangkan kekuatan akhlak anak, (2) menumbuhkan rasa cinta
agama, (3) berpegang teguh terhadap ajarannya, (4) mengembangkan perilaku yang
sesuai dengan nilai-nilai yang murni, dan (5) anak dapat memiliki keterampilan
dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuan mencari nafqah. Sedangkan Abudin Nata memahami tujuan pendidikan
Islam al-Qabisy bercorak normatif, yaitu mendidik anak menjadi seorang muslim
yang mengetahui ilmu agama, sekaligus mengamalkan agamanya dengan menerapkan
akhlak mulia. Dengan demikian, dipahami
bahwa pandangan intisari pendidikan al-Qabisy menurut Abudin Nata bukan hanya
pada ranah pengetahuan kognitif, namun sekaligus pada ranah afektif dan
psikomotorik.
b)
Konsep Pendidikan
Al-Qabisy, Koedukasi dan Kurikulum
1. Koedukasi
Pendidikan
Koedukasi. berasalal dari kata “co” yang
berarti sama, sedangkan “ducation” adalah proses latihan dan
pengembangan pengetahuan, keterampilan, keterampilan dan karakter. Utamanya
dilaksanakan oleh lembaga formal melalui pengajaran dan latihan. Ali
Al-Jumbulati lebih detail menjelaskan bahwa koedukasi berarti “co
educational class” yang berarti percampuran antara laki-laki dan perempuan
dalam suatu kelas. Dengan demikian, koedukasi yang dimaksud
adalah sistem pendidikan yang dilakukan melalui proses belajar mengajar yang
menggambungkan pria dana wanita dalam suatu ruangan (kelas), atau sering pula
dikenal dengan pendidikan campuran.
Munculnya sistem koedukasi pendidikan dilandasi oleh
diizinkannya keberadaan lembaga-lembaga Asing di negeri-negeri Islam, dan
biasanya melaksanakan pendidikan melalui kebebasan penuh, tanpa pengawasan dari
pihak pemerintah. Artinya,
segala sistem operasional yang dijalankan terselubung ke dalam sistem
pendidikan dan berkedok sebagai sistem pendidikan Islam.
Al-Qabisiy menyatakan bahwa anak
mempunyai hak sepenuhnya untuk belajar. Anak-anak tidak boleh disibukkan dengan
pekerjaan sehingga mereka tidak sempat belajar Al-Qur’an dan menuntut ilmu
pengetahuan. Ketika seorang laki-laki melapor kepada Sahnun
(seorang pendidik abad III), bahwa ia tidak menghambat anaknya yang
sedang menuntut ilmu dengan pekerjaan, tapi semua pekerjaan diselesaikan
sendiri, Sahnun berkata kepadanya: “sesungguhnya fahala engkau lebih
besar daripada fahala menunaikan ibadah haji dan ibadah jihad”.
Demikian Al-Qabisiy mengutip pendapat Sahnun tentang pentingnya pendidikan bagi
anak remaja.
Al-Qabisiy tidak menyetujui
materi pelajaran diberikan kepada anak perempuan selain pelajaran agama.
Mengajar menulis dan syair bagi mereka dapat merusak kehidupan masa
depan mereka. Ia memisahkan antara ilmu-ilmu yang patut diajarkan kepada anak
perempuan dan ilmu-ilmu yang tidak boleh diberikan kepada mereka. Sebagian
ilmu, kalau diajarkan kepada anak perempuan, dapat membawa kepada fitnah
dan membahayakan kehidupannya sendiri. Al-Qabisiy melihat bahwa
syair-syair pada zaman kemajuan pendidikan Islam banyak yang mengarah
pada pujian kecantikan perempuan, ghazal (cumbu rayu) dan kisah-kisah
cinta muda-mudi. Maka ia melarang anak perempuan diberikan pelajaran mengarang
syair-syair yang dikhawatirkan terjerumus ke dalam bahaya semacam itu.
Namun demikian, Al-Qabisy
berpendapat bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas,
karena dikhawatirkan rusak moralnya. Hal yang demikian dapat memperburuk
tingkah laku anak-anak. Maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi
terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak.
Tidak diketahui secara pasti
tentang batasan umur tentang tidak bolehnya anak pria dan wanita bercampur
dalam suatu kelas, namun al-Qabisy hanya mengatakan bahwa anak yang berusia muharriqah
(masa pubertas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul dorongan yang
kuat untuk mempertahankan jenis kelaminnya hingga ia sampai pada usia dewasa.
Jika demikian, berarti anak dewasa dapat saja diadakan koedukasi pendidikan.
Dapat dipahami pula, bahwa al-Qabisy dapat saja menerima koedukasi, hanya saja
dengan syarat koedukasi diterapkan dalam batas kewajaran dan tidak menjadikan
kerusakan moral.
2. Kurikulum
Pendidikan
Kurikulum pendidikan Islam merupakan bagian integral
yang sangat vital dalam capaian hasil atau tujuan pendidikan. sehingga kemudian
menghasilkan mutu pendidikan,[5] yang lebih konfrehensif dan paripurna
sebagai wujud penghambaan kepada Sang Pencipta dan Pemelihara terhadap keutuhan
alam-ilmiyah. Kurikulum adalah sejumlah pengalaman, pendidikan, kebudayaan,
sosial, keolaragaan dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid di
dalam dan diluar sekolah dengan maksud menolong mereka untuk berkembang dan
mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan. Bahkan Hasan
langgulung menggambarkan pada tiga materi yang harus ada dalam kurikulum yaitu,
pertama, ilmu yang diwahyukan yang meliputi al-Qur’an dan Hadits serta
bahasa Arab. Kedua, ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia. Ketiga,
adalah sains tabi’I yang meliputi fisika, biologi, astronomi dan lain
sebagainya. Hanya saja menurut Hasan Langgulung pada esensinya ilmu itu
satu yang membedakan adalah analisa.[6]
Pada dasarnya, implementasi
kurikulum pada suatu sekolah merupakan suatu alat atau usaha mencapai
tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan sekolah tertentu yang dianggap cukup
tepat dan krusial untuk dicapai. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah
meninjau kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah. Dalam
pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut harus
dicapai secara bertahap yang saling mendukung. Sedangkan keberadaan kurikulum
disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sebagaimana substansi obyek
bahasan ini, Al-Qabisiy membagi tujuan pengajaran kepada dua tujuan utama;
yaitu tujuan agama dan tujuan akhlak. Ini dipahami dari tulisan-tulisan yang
dikemukakannya yang dianalisis kemudian oleh para peneliti yang
mengkaji ide-idenya di kemudian hari.
Al-Qabisiy selalu menyeru, di
manapun ia berada, agar ummat Islam harus berpegang teguh pada dasar-dasar
agama. Ia selalu mengisyaratkan pada ummat Islam untuk memperhatikan kelebihan
para pemimpin periode pertama ummat Islam ini. Ummat Islam pertama amat
memperhatikan Al-Qur’an, mencari guru-guru yang mengajar Al-Qur’an dan
mendalami maksud kandungan isi Al-Qur’an. Setelah mengajarkan Al-Qur’an kepada
anak-anak, diberikan pengajaran praktis yaitu cara-cara berwudluk dan praktek
shalat. Anak perlu dilatih secara kontinyu untuk melaksanakan shalat sampai ia
merasa senang mengerjakan ibadah dan merasa bersalah jika ia meningalkannya.
Pengajaran Al-Qur’an, menurut Al-Qabisiy, adalah suatu ilmu yang kekal yang
harus dimiliki oleh anak-anak dan itulah kejayaan yang paling abadi jika anak
memperolehnya. Pernyataan Al-Qabisiy di atas dapat dipahami bahwa kalau
anak-anak menghafal Al-Qur’an dan memahami maksudnya, maka itu kelak akan
menjadi inspirasi berharga untuk mengembangkan sejumlah ilmu pengetahuan
islami yang dikuasainya dan tidak akan melenceng dari tujuan-tujuan Islam. Anak
dapat saja menekuni matiq, filsafat, Ilmu Pengetahuan Alam, matemateka dan
lain-lain sebagainya sementara ia memilki asas Al-Qur’an yang kuat. Maka bidang
apa saja yang dikembangkannya kelak ia selalu berlandaskan pada asas yang
kuat yaitu dengan berorientasi pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Menyangkut dengan pendidikan
akhlak, Al-Qabisiy meminta para pendidik agar berpegang pada nilai-nilai
dan prinsip-prinsip yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ia
berkata: ”siapa yang mengajar anaknya dan memperbagus pengajarannya dan
siapa saja yang mendidik anaknya serta memperbagus pendidikannya, orang
tersebut telah berbuat baik kepada anaknya dan akan mendapat fahala di sisi
Allah”. Al-Qabisiy menyatakan bahwa antara pendidikan dengan pengajaran
saling mengisi. Akhlak mesti dibina oleh keluarga, lembaga pendidikan dan
masyarakat umum. Kalau anak menyimpang ataupun melakukan hal-hal yang buruk,
itu lebih disebabkan oleh keluarga yang tidak melaksanakan kewajiban
mereka. Anak-anak yang telah menyimpang dari prilaku agama perlu
diberikan hukuman serta mendidik ke arah yang benar.[7]
Ketika membahas isi sebuah kurikulum
pendidikan, Al-Qabisi mengklasifikasi pengajaran ke dalam dua
bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang
bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Ilmu-ilmu tersebut meliputi
ilmu-ilmu berikut:
1) Al-Quran. Al-Qur’an
merupakan mata pelajaran yang asasi dan wajib dipelajari oleh setiap anak pada
setiap ma‘had. Al-Qur’an wajib diperhafalkan kepada anak-anak, karena Al-Qur’an
merupakan modal dasar dalam upaya mengembangkan pengetahuannya di masa yang
akan datang.
2). Fiqih. Fiqih yang dimaksudkan
oleh al-Qabisiy adalah dasar-dasar hukum Islam yang wajib diketahui oleh setiap
anak agar ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Guru wajib membebankan kepada mereka untuk melaksanakan shalat ketika
mereka berumur tujuh tahun, demikian juga mengajarkan cara berwudluk yang
benar. Selain itu perlu juga diberikan dasar-dasar tauhid kepada mereka agar
mereka mengagumi Allah sebagai Tuhan mereka.
3).Akhlak. Akhlak sangat penting diberikan
kepada anak-anak, karena sisi ini ada yang menyangkut dengan Allah sendiri dan
ada juga terkait dengan sesama manusia. Anak-anak perlu ditanam dalam diri
mereka sifat-sifat yang baik sejak dini dan diarahkan tingkah laku mereka
pada jalan yang benar.
4). Khat, Mengeja dan Membaca. Anak-anak
sangat perlu mempelajari khat serta dapat mengheja dan membaca Al-Qur’an. Hal
ini penting sekali dalam pengajaran Al-Qur’an. Guru, menurut Al-Qabisiy, wajib
menuntun anak-anak pada dasar-dasar cara membaca Al-Qur’an sesuai dengan cara
bacaan yang benar sampai mereka dapat membaca dengan bagus.
5). Bahasa Arab. Yang dimaksud
dengan bahasa Arab di sini adalah dasar-dasar ilmu nahwu, namun bukan
pembahasannya yang mendetil. Tujuannya adalah agar anak-anak dapat membaca
setiap teks dengan benar dan dapat memahami kesalahan bacaan.
Sedangkan ilmu-ilmu yang tidak termasuk dalam
katagori asasi (ikhtiyariy), sebagai berikut:
1) Ilmu Hisab (berhitung). Al-Qabisiy
tidak menuntut pada guru untuk mengajar mata pelajaran ini sebagai mata pelajaran
yang wajib, tapi guru boleh memberi pelajaran ini sebagai pilihan pada
murid-muridnya. Ia mengaitkan urgensi pelajaran ini dengan tujuan
keagamaan, karena mempelajarinya akan membantu untuk memahami ilmu faraidl (pembagian
pusaka). Nampaknya, Al-Qabisiy menjadikan mata pelajaran ini diberikan pada
jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2) Sastra Arab. Kalau dasar-dasar
bahasa Arab dianggap asas, tapi mengkaji sastra adalah ilmu yang
bukan asasi lagi. Mempelajari syair, prosa dan pidato tokoh-tokoh
Arab merupakan mata pelajaran pilihan. Menghafal syair-syair dapat
membantu anak-anak untuk memngembangkan kemampuan bahasanya dan dapat berbicara
dengan bahasa yang santun. Faedah lain dari syair adalah menjadi hiburan pada
waktu-waktu sengggang.
3) Sejarah. Sejarah bukan materi
pelajaran yang asasi menurut Al-Qabisiy, tapi pelajaran sejarah dapat
melatih anak-anak untuk bertingkah laku yang baik dan berperilaku mulia.
Sejarah orang-orang yang baik sangat berguna bagi anak-anak untuk menjadi
pedoman hidup bagi mereka. Jadi pelajaran sejarah, menurut Al-Qabisiy lebih
ditekankan pada agar anak-anak bercermin pada perbuatan-perbuatan yang baik.
II.
Ibnu Maskawih
a). Riwayat hidap ibnu makawih
Maskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam
Islam yang memuaskan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun
seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang
kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat Yunani, sangat luas.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin
Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu
Maskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi
kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat
Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi
dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini
tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran
Syi’ah. Gelar ini juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti
bendaharawan, disebabkan kekuasaan Adhud al Daulah dari Bani Buwaihi, ia
memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.[8]
Maskawaih dilahirkan di Ray
(Teheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan
berbeda-beda, MM Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan
tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya, para
tokoh sepakat pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M.[9]
Dilihat dari tahun lahir dan
wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di
bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan
Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani
Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu’izz
al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil
menaklukkan Baghdad di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan
Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani
Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah
bani Abbas.[10]
Puncak prestasi bani
Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al Daulah (tahun 367 H – 372 H). Perhatiannya
amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada
masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud
al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib,
ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati
Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah
agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang
etika Islam
2. Pemikiran Filsafat Ibnu Maskawaih
a. Filsafat Jiwa (al nafs)
Menurut Ibnu Maskawaih, Jiwa
berasal dari limpahan akal aktif (‘aqlfa’al). jiwa bersifat rohani, suatu
substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera.
Jiwa tidak bersifat material, ini
dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima
gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan yang lain.
Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu dalam
waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau
hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang indrawi
maupun yang spiritual. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh
jangkauannya dibanding daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan dunia
materi semuanya tidak akan sanggup memberi kepuasan kepada jiwa.
Lebih dari itu, di dalam jiwa
terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi.
Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan
yang tidak benar berkaitan dengan hal-hal yang diperoleh panca indera.
Perbedaan itu dilakukan dengan jalan membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi
yang satu dengan yang lain dan membeda-bedakannya.
Dengan demikian, jiwa bertindak
sebagai pembimbing panca indera dan membetulkan kekeliruan yang dialami panca
indera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu bahwa jiwa itu
mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, dengan
demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subyek
yang berpikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketiga-tiganya merupakan
sesuatu yang satu.
Ibnu Maskawaih menonjolkan
kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang
menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan.
Lebih jauh menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang
bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya
sebagai berikut:
1) Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang
buruk.
2) Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas) yang
sedang
Manusia dikatakan menjadi manusia
yang sebenarnya jika ia memiliki jiwa yan cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu,
manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas
itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah
manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya selalu
cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya
oleh dua jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah
derajatnya dari derajat kemanusiaan.
Berkenaan dengan kualitas dari
tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Maskawaih mengatakan bahwa
jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat ‘ujub, sombong, pengolok-olok,
penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas mempunyai sifat-sifat adil,
harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta.[12]
b. Filsafat Akhlaq
Sebagai “Bapak Etika Islam”, Ibnu
Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (al Mu’allim al tsalits), setelah al
Farabi yang digelari Guru Kedua (al Mu’allim al tsani). Sedangkan yang
dipandang sebagai Guru Pertama (al Mu’allim al awwal) adalah Aristoteles. Teori
Maskawaih tentang etika dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Tahzib al
Akhlaq wa That-hir al ‘Araq (Pendidikan budi pekerti dan pembersihan watak).
Kata akhlaq adalah bentuk jamak
dari kata khuluq. Ibnu Maskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan
jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan
diperhitungkan sebelumnya.[13]
Dengan kata lain, khuluq merupakan
keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan secara spontan. Keadaan jiwa
tersebut bisa merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula berupa hasil latihan
membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan
baik. Dari pengertian itu dapat dimengerti bahwa manusia dapat berusaha
mengubah watak kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia
dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal
ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa
pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan
yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.
Ibnu Maskawaih menetapkan
kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah
maka diperlukan adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya
nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu
semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana
yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula Ibnu
Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam
hubungannya dengan pembinaan akhlaq.[14]
III.
Ibnu sina
a). Biografi ibnu sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn
Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat
Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman,[15] Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah
kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah
banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya.[16] Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu
Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari
buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya
pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan
Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang
yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab..
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat
dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan
bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu
saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali
membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu
kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua
persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia
mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas
dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi. [17]
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin
Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun,
kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang
yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori
kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit.[18] Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku -
buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada
Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering - sering ia
tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya
pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya[19]
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter
dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih
kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan
dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar
didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal,
perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa
ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari
perpustakaan itu.[20] Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran,
kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu
kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap,
disusunnya secara sistematis.
1)
Konsep dan pemikiran kependidikan ibnu sina
a. Pendidikan anak supaya di mulai dari hal-hal yang mendasar, yakni belajar
membaca al-quran, menghafal huruf atau dengan kata lain belajar menbaca dan
menulis, kesopan santunan, pengertahuan serta pengamalan agama, dan menghafal
syair-ayair yang bagus isinya.
b. Mamberikan dasar-dasar keterampilan dan keahlian (as-shina’ah wa al-mihnah)
yang sesuai dengan bakat dan minat peserta didik, bukan atas hobi atau
kesenangan semata.
c. Tujuan pendidikan yang komprehensif (untuk dunia akhirat) tersebut
memerlukan komponen kurikilum yang terpadu, oleh karena dalam pendidikan islam
disamping pembelajaran ilmu-ilmu agama, juga harus di ajarkan ilmu umum.
d. Perlu memperhatikan kualitas dan profesional guru, menurut ibnu sina,
syarat-syarat menjadi guru itu harus: pandai dan bijak, saleh, agamis dan
taqwa, berpakaian bersih dan rapi penampilannya, ihlas dan kompeten balajar,
bersikap adil dan jujur dalam profesinya.
IV.
Biografi Al-Ghazāli
a). Biografi Al-Ghazāli
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad ibn
Muhammad ibn Ahmad ath-Thousy. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1059 M di
suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia
mendapat gelar Imam Abu Hamid al-Ghazali Hujjatul Islam.[21]Orang tuanya gemar mempelajari ilmu
tasawuf, karenanya mereka hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri
dan menenun wol.[22]
Ayahnya seorang miskin
yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan seringkali
mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka. Dia
sering berdoa kepada Allah agar diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan
tetapi belum sempat menyaksikan pengabulan Allah atas doanya, dia meninggal
dunia pada saat anaknya masih usia anak-anak.
Sebelum dia meninggal
dunia, dia menitipkan kedua anaknya kepada seorang sufi (sahabat karibnya)
sambil mengungkapkan kalimat bernada menyesal: ”Nasib saya sangat malang,
karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya kemalangan saya
dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka dan pergunakanlah
sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar mereka.”[23]
Akan tetapi hal ini
tidak berjalan lama. Harta warisan yang ditinggalkan untuk kedua anak itu
habis, sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat
sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka al-Ghazali dan
adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para
muridnya. Di madrasah inilah al-Ghazali bertemu dengan Yusuf al-Nassaj, seorang
guru sufi kenamaan pada saat itu, dan dari sini pulalah awal perkembangan
intelektual dan spiritualnya yang kelak akan membawanya menjadi ulama terkenal
di dunia Islam bahkan sampai disebut sebagai Hujjatul Islam dan Zain ad-Dîn.[24]
Dia mulai memasuki
pendidikan di daerahnya yaitu belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razkani
al-Thusi. Setelah dirasa cukup, dia pindah ke Jurjan dan memasuki pendidikan
yang dipimpin oleh Abu Nashr al-Isma’ili dengan mata pelajaran yang lebih luas
meliputi semua bidang agama dan bahasa. Setelah tamat di sini, dia kembali ke
Thus dan mengkaji ulang atas semua yang telah dipelajarinya sambil belajar
tasawuf dengan syekh Yusuf al-Nassaj (wafat 487 H). Al-Ghazali belajar pada
gurunya tersebut selama 20 tahun.[25]
Setelah dua atau tiga
tahun dia di Thus, dia berangkat kembali melanjutkan pelajaran ke Nisyapur dan
belajar pada Abul Ma’al al-Juwaini (wafat 478 H) yang bergelar Imam
al-Haramain, dalam beberapa ilmu keislaman. Di Nisyapur dia juga melanjutkan
pelajaran tasawwuf kepada Syekh Abu Ali al-Fādhil ibnu Muhammad ibnu Ali
al-Farmadi (wafat 477 H). Di samping belajar tersebut dia juga mulai mengajar
dan menulis dalam ilmu fiqhi. Pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali pergi ke
kampus Nizam al-Mulk, yang menarik banyak sarjana dan di sana dia diterima
dengan kehormatan dan kemuliaan. Pada suatu saat yang tidak bisa dijelaskannya
secara khusus, tetapi dapat dipastikan sebelum perpindahannya dari Baghdad,
al-Ghazali mengalami fase skeptisisme, dan menimbulkan awal pencarian yang
penuh semangat terhadap sikap intelektual yang lebih memuaskan dan cara hidup
yang lebih berguna. Paham ini kemudian dianut oleh
para sarjana Eropa pada masa berikutnya.[26]
Setelah Imam
al-Juwaini wafat dan pelajaran tasawuf sudah cukup dikuasainya, dia pindah ke
Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar di kalangan ulama dan
intelektual. Pada tahun 483 H/1090 M, dia diangkat menjadi Guru Besar di
Universitas Nizamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu dia laksanakan
dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, juga mengadakan
bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan batiniyah, ismailiyah,
filsafat dan lain-lainya.[27]
Para mahasiswa sangat
menyukai kuliah-kuliah yang disampaikan oleh al-Ghazali oleh karena begitu
dalam dan luas ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Para mahasiswa yang jumlahnya
ratusan tersebut sering terpukau dengan kuliah-kuliah yang disampaikan. Bahkan para
ulama dan masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya,
sehingga tidak heran jika dia menjadi sangat masyhur dan popular dalam waktu
yang relatif tidak lama.
Al-Ghazali mencapai
kejayaan tertinggi sebagai ulama dilihat dari segi lahirnya saja, tetapi dari
segi batinnya ia mulai mengalami krisis intelektual dan kerohanian yang amat
dalam. Keraguannya pada persoalan-persoalan yang ada mulai muncul dan ilmu-ilmu
yang tadinya diajarkan mulai dikritiknya. Dia merasa kekosongan dalam uraian-uraian
dan pikiran-pikiran di kalangan para fuqaha. Pemikiran di kalangan ahli kalam
mengenai perkara-perkara doktrinal tidak memberinya keyakinan karena hal
tersebut hanya membawa agama pada sistem ortodoksi dan perbincangan yang ada
menjadi sangat dangkal.[28]
a.
Pemikiran
Al-Ghazali tentang pendidikan islam:
i.
Al-Ghazali
berpendapat, bahwa profesi guru merupakan profesi yang sangat mulia, dan hal
tersebut didasarkan pada acuan tekstual maupun rasional, diantara dasar atau
dalil tekstualnya adalah sabda nabi saw. Yang artinya:…..”saya ini sebenarnya
diutus sebagai seorang guru”….
ii.
Jadi
profesi guru merupakan warisan dari misi kerosulan.Pendidikan merupakan sebuah
wasilah untuk mencapai kemulian dan menserahkan jiwa, pendidikan yang benar
merupakan jalan mendekat kepada tuhan, al-ghazali menyatakan: selama ilmu itu
dimiliki seorang itu lebih banyak dan lebih sempurna, maka seharusnya ia
menjadi lebih dekat kepada Allah.
iii.
Guru
harus memiliki rasa kasih sayang kepada peserta didiknya, memandang mereka
seperti anaknya sendiri, karena nabi bersabda:…”sebetulnya saya ini bagimu
semua adalah seperti kedudukan orang tua terhadap anaknya.
V.
Ibn Taimiyah
a. biografi Ibn
Taimiyah
Ibnu taimiyah dilahirkan pada tanggal 10 R. Awal tahun 661 H. Dengan nama
Ahmad bin Abdul Halim bin Abd Salam bin Taimiyah. Dia tumbuh dengan kecerdasan
yang luar biasa, mula-mula dia belajar pada Ibn Abd Daim, al-Qasim al-Irbili,
Muslim bin `Allan dan pada Ibn Abi Amr. Selanjutnya Ibnu Taimiyah mebaca
sendiri ilmu keislaman tampa bimbingan seorang guru.[29] Namun dengan berbekal kecerdasan yang
tinggi Ibnu Taimiyah mampu mengalahkan yang lain. Adz-Dzahahabi menceritakan
bahwa Ibnu Taimiyah sudah mempunyai kemampuan munâzharah (berdebad) sebelum
masa baligh, dan mampu mengarang, mengajar serta berfatwa padahal umurnya belum
memasuki 20 tahun, sehingga dalam usianya yang masih belia dia sudah di anggap
sebagai pembesar Ulama?[30]
Keilmuan Ibnu Taimiyah:
Tidak heran kalau saat dewasa Ibnu Taimiyah menjadi seorang yang
berpengaruh karena kesalehan dan kemampuan intelektualnya melebihi kebanyakan
manusia. Ibnu Hajar Al-Asqalani menuturkan panjang lebar tentang ilmu Ibnu
Taimiyah melalui tulisan Al-Hafid Al-Dzahabi, murid Ibnu Taimiyah. Menurut
adz-Dzahabi seorang yang melihat kehebatan Ibnu Taimiyah dalam masalah
khilafiyah, maka ia akan heran dan kagum, Ibnu Taimiyah mampu mentarjih dan
membandingkan segala perbedaan dengan argument yang kuat, dia berhak berijtihad
sendiri karena syarat-syarat mujtahid telah dipenuhi. Tidak kutemukan seorang
yang lebih cepat melebihi Ibnu Taimiyah dalam mengeluarkan ayat-ayat Al-Qur’an
sebagai dalil dalam suatu masalah, hadits-hadits Nabi seakan akan berada di
depan mata dan di ujung lidahnya, disamping itu ia mampu mentafsiri Al-Qur’an
dengan luas. Adapun falam masalah ideologi berbagai aliran
maka dia tiada berdebu. Sedang sifatnya sangat dermawan,
pemberani dan tidak pernah menyimpan dendam. Kata-kataku ini akan dianggap kurang
oleh pendukungnya dan akan dianggap berlebihan oleh para penentangnya.[31]
Di Damaskus ia belajar pada
banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu
diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu
tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan mudah hafal
dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an. Kemampuannya
dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah
memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits
(perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau
pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau
shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan
Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki
kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan
para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir,
fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu
menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam
bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa
karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah
Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam.
b. Pemikiran Ibn Taimiyah tentang pendidikan islam:
b. Pemikiran Ibn Taimiyah tentang pendidikan islam:
Menurut ibn Taimiyah bahwa menuntut ilmu itu
merupakan ibadah dan memahaminya secara mendalam merupakan sikap ketakwaan
kepada Allahdan mengkajinya merupakan jihad, mengajarkan kepada orang yang
belum tau dan mendiskusikanya merupakan tasbih.
dasar “tauhid” yaitu keyakinan yang benar tentang
ke-mahaesaan Allah, yang mengandung kepercayaan yang mendalam, bahwa tidak ada
kekuatan dak kekuasaan selain-nya yang beleh disembah, tidak ada harapan dan
permohonan yang diajukan kecuali kepadanya. Tauhid ini mencangkup tiga dimensi
yaitu:
1. Tauhid rububiyah Meyakini bahwa Allah itu esa, yang menciptakan semua mahluq, mengatur dan membimbingnya.
2.Tauhid uluhiyyah Meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya tuhan yang pantas disebut tuhan, di taati dan dipatuhi segala perintahnya serta menjauhi segala laranganya.
3. Asmma dan sifat Meyakini bahwa segala yang berjalan dalam kenyataan di alam raya ini merupakan aturan Tuhan.[32]
VI.
Ibnu Khaldun
a.
Beografi Singkat Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin
Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan
tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu
Zaid adalah nama panggilan keluarga,
karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan
dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi
Ketua Pengadilan di Mesir. Adapun asal-usul Ibnu Khaldun menurut Ibnu Hazm
ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, disebutkan bahwa: Keluarga Ibnu
Khaldun berasal dari Hadramaut di Yaman, dan kalau ditelusuri silsilahnya
sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal meriwayatkan kurang lebih 70
hadits dari Rasulullah, yaitu Wail bin Hujr. Nenek moyang Ibnu Khaldun
adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol) bersama-sama para penakluk
berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M., karena tertarik oleh
kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap di Carmona,
suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova,
Granada dan Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi pusat kebudayaan
Islam di Andalusia.
Pada abad ke VII M, anak cucu Khaldun pindah ke Sevilla yang pada masa
pemerintahan Amir Abdullah Ibnu Muhammad dari Bani Umayyah (274-300 H.)
Andalusia dalam suasana perpecahan dan perebutan kekuasaan dan yang paling
parah adalah Sevilla. Dalam suasana seperti itu anak cucu Khaldun yang bernama
Kuraib mengadakan pemberontakan bersama Umayyah Ibnu Abdul Ghofir, dia berhasil
merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan (sebagai Amir) di Sevilla. Akan
tetapi karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak disenangi rakyat dan
akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H.Banu Khaldun tetap tinggal di
Sevilla selama pemerintahan Umayyah dengan tidak mengambil peranan yang berarti
sehingga datangnya pemerintahan raja-raja kecil (al-Thowalif) dan Sevilla
berada dalam kekuasaan Ibnu Abbad. Pada masa itulah bintang Banu Khaldun
meningkat lagi sampai pada masa pemerintahan Al-Muwahidun. Setelah raja-raja
Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja Muwahhidin menggeser
kekuasaan raja-raja Murabbith. Pada pemerintahan Muwahhidun inilah Banu Khaldun
menjalin hubungan dengan keluarga pemerintah, sehingga mereka mempunyai
kedudukan yang terhormat. Tatkala kerajaan Muwahhidin mengalami
kemunduran dan Andalusia menjadi kacau balau, maka Banu Khaldun pindah ke
Tunisia pada tahun 1223 M. nenek moyang Ibnu Khaldun yang pertama mendarat ke
Tunisia adalah al-Hasan Ibnu Muhammad (kakek keempat Ibnu Khaldun), kemudian
disusul oleh saudara-saudaranya yang lain seperti Abu Bakar Muhammad bin Abu
Bakar Muhammad dan lain-lain. Kakek Ibnu Khaldun itu rata-rata menduduki
jabatan penting di dalam pemerintahan waktu itu. Sedangkan anaknya Abu Abdillah
Muhammad (ayah Ibnu Khaldun) tidak tertarik kepada jabatan pemerintahan, akan
tetapi ia lebih mementingkan bidang ilmu dan pendidikan, sehingga ia dikenal
sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih, meninggal tahun 749 H/1349 M. Ia meninggalkan
beberapa orang anak diantaranya: Abu Yazid Waliuddin (Ibnu Khaldun), Umar,
Musa, Yahya dan Muhammad. Pada waktu itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun.
b.
Pemikiran Ibnu Khaldun
Tentang Pendidikan Islam
Pendidikan menurut Ibnu Khaldun
intinya bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan
perenungan yang jauh dari aspek- aspek pragmatis dalam kehidupan labih jelasnya
pendidikan bukan harus dibatasi dalam hal belajar mengajar melainkan suatu proses
dimana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati
peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
Tujuan pendidikan
islam menurut Ibnu Khaldun adalah meliputi lima hal:
a) Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan.
b) Menyiapkan seseorang dari segi akhlak
a) Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan.
b) Menyiapkan seseorang dari segi akhlak
c) Menyiapkan seseorang
dari segi kemasyarakatan dan sosial
d) Menyiapkan seseorang
dari segi pekerjaan
e) Menyiapkan seseorang
dari segi pemikiran dan kesenian supaya bisa berkreasi.
Jadi tujuan pendidikan bukan
hanya untuk mencapai ilmu pengetahaun saja, namun lebih jauh dari pada itu
semua yaitu seseorang harus mengamalkannya dalam akhlak sehari-hari serta
memiliki kemampuan untuk bisa berkreasi dan bekerja demi kehidupannya.
2)
Metode Pengajaran
Metode pengajaran yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun melalui tiga
langkah pokok:
1.
Didalam memberikan
pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan pengetahuan dan
problem secara umumnya saja secara menyeluruh.
2.
Anak didik ikut
interaktif dalam pemecahan masalah dan pengetahuan yang bersifat umum tadi
dengan bantuan pendidik.
3.
Pendidik menyampaikan
pengetahuan secara detaial dan lebih terperinci serta menyeluruh agar anak
didik mendapat pengetahuan yang lebih sempurnah.
Maka dari keterangan itulah, Ibnu
khaldun menawarkan metode yang bersifat diskusi, dimana dalam penyampaian
pembelajaran, pendidik bukanlah satu-satunya orang yang berperan aktif namun
anak didik juga diikut sertakan dalam proses pembelajaran dan pemecahan
masalahnya.
KESIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas maka dapat penulis
simpulkan bahwa tokoh2 di atas adalah seorang yang cinta terhadap ilmu
pengetahuan dan dapat menyikapi hakekat kehidupan secara baik. Beliau mempunyai
keberanian untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan mayoritas ulama.
Atas pemikiran dan keberaniaannya inilah, beliau telah menorehkan sejarah
perjuangan filsuf muslim. Singkatnya semua upaya mereka yang betul-betul ikhlas telah mewujudkan
keteladanan. Beliau sangat berakhlak, zuhud, sederhana, toleran, dan pemaaf.
Itulah hal-hal yang membuatnya begitu terhomat dalam sejarah manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Jumbulati, Ali. Dirasatun
Muqaranatun Fit Tarbiyyatil Islamiyyah, Terj. M. Arifin, Dengan Judul Perbandingan Pendidikan
Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Ridha, Muhammad
Rasyid. Tafsir Al-Manar, Mesir, Dar Al-Manar, Iv/1373, Juz I.
M. Luthfi Jum’ah, Tarikh Falsafah
Al Islam, (Mesir: T.P., 1927),
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. Arab Oleh
Edward Jurji Et.Al., (Beirut: T.P., 1952),
Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat
Islam, (Semarang: T.P., 1970),
Hsution, Harun, Prof., Dr., Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia,
1996
Hanafi, Ahmad, Ma, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat
Islam. Cet.Iii; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Mubarak, Zaky. Al-Akhlāk “Inda
Al-Ghazāli. Mesir: Dar Al-Kitab Al-Arabiy Al-Taba’at Al- Nasyr, 1968.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihyā
‘Ulūm Al-Dîn. Juz I; Beirut: Dar Al-Fikr, 1991.
[1] Pendidikan Islam mencakup kehidupan manusia seutuhnya, memperhatikan segi
akidah, ibadah, serta akhlak, bahkan pendidikan dapat bermakna merubah dan
memindahkan nilai kebudayaan kepada masayarakat dan individu. Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban
Islam; Suatu Analisa Sosio-Psikologi, (Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1985,),
h. 3. Lihat juga Mappanganro, Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah (Ujungpandang:
Yayasan Ahkan, 1996), h. 10.
[2] Ali al-Jumbulati, Dirasatun Muqaranatun fit Tarbiyyatil
Islamiyyah, terj. M. Arifin, dengan judul Perbandingan Pendidikan Islam,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 76. Menurut data yang ada, bahwa ia lahir
pada bulan Rajab, 224 M (13 Mei 936 M), dan wafat di negeri asalnya pada
tanggal 3 R. Awal 403 H (23 Oktober 1012 M).
[3] Selain dikenal sebagai
pemikir dalam bidang pendidikan, ia pun dikenal sebagai ulama hadis dan fiqih
yang terkemuka di samannya, bahkan dalam bidang hadis sebagai ulama terkemuka
dalam menghafal hadis dan alim dalam sanad dan matan. Abuddin Nata, loc.cit.
[4] Setelah wafat Ibnu Syilun, mufti negeri Tunis, ia terpaksa mengisi
jabatan yang kosong ini karena dialah yang pantas mengisinya. Keluasan ilmunya
pernah dipuji oleh Ibnu Syilun di hadapan orang banyak: bukalah pintu fatwa
kepadanya, karena ia termasuk orang yang wajib memberi fatwa. Ia lebih berilmu
dari orang lain yang ada di Qairawan, maka setelah wafatnya, ia menerima
jabatan tersebut.Ibid.
[5] Mengenai tujuan pendidikan kita tak dapat menarik satu kesimpulan
saja. Sebab tujuan pendidikan yang secara umum di tentukan oleh zaman dan
kebudayaan di tempat kita hidup dan ditentukan oleh pandangan hidup. Karena
pandangan hidup manusia itu berlain-lainan, berbeda-beda pula apa yang hendak
dituju berbeda-beda pula. Menurut al-Abrasyi menghendaki tujuan pendidikan
haruslah orang yang berakhlak mulia menurut Munir Marsyi berpendapat bahwa
tujuan pendidikan ialah manusia sempurna. Abdul Fattah Jalal berpendapat bahwa
tujuan pendidikan ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Ahmad
Tafisr, “Perkembangan Sisteim Pendidikan Islam”, Dinamika, 8 (Edisi
Mei-Juni 1998), h. 20.
[6] Sedangkan dalam Undang-Undang RI., Nomor 20 Tahun 2003, tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal
1 ayat 19, disebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, tambahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Lihat Mashur Mushlich, Seri Standar Nasional Pendidikan KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan) Dasar Pemahaman dan Pengembangan,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 1
[7] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Mesir, Dar
al-Manar, IV/1373, Juz I, h. 262.
[8] M. Luthfi Jum’ah, Tarikh Falsafah al Islam, (Mesir: t.p., 1927),
h. 304-305
[10] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. Arab oleh Edward
Jurji et.al., (Beirut: t.p., 1952), h. 566
[11] Ibid., h. 173
[12] Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: t.p., 1970),
h. 150
[14]. Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996),
h. 163
[15]. Prof. Dr. Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya,(Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia), 1996, hal. 50
[17]. H. Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang),
1949, hal. 49
[18]. Ahmad Hanafi,
MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta
: Bulan Bintang), 1996, hal. 115, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, hal. 65
[21] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. III; Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002), h. 77.
[22] Zaky Mubarak, Al-Akhlāk “Inda al-Ghazāli (Mesir: Dar
al-Kitab al-Arabiy al-Taba’at al-Nasyr, 1968), h. 47.
[23] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Hasyimsyah Nasution, op.cit., h. 78.
[28] Muhammad Uthman
el-Muhammady, Pemurnian Tasawuf oleh Imam Al-Ghazali, www/Scribd/com/doc/2917072/
(19 November 2010).
[29] Ibnu Hajar al-Asqalani Addurarul kaminah. Hal 88
[30] Ibid Hal 95
[31] Ibid hal 19
[32] . ibnu taimiyah, fatawah ibnu taimiyah, jilid 1, hal.23-24.
ConversionConversion EmoticonEmoticon