Kalau
sastra adalah seni bahasa, tari adalah seni gerak, bernyanyi adalah seni suara,
musik adalah seni nada, maka tasawuf adalah seni ibadah kepada Allah
SWT. Dan kalau ibadah kita maksudkan untuk menjalani hidup ini dengan cinta
kepada-Nya, maka tasawuf adalah seni menjalani hidup dengan cinta dan mesra
kepada Dzat Yang Maha Indah, Allah Swt.
Para sufi (pelaku tasawuf) itulah
orang yang cinta kepada-Nya. Dan cinta kepada Allah berarti cinta kepada
nilai-nilai luhur yang datang dari-Nya, cinta kebenaran, kejujuran, kesetiaan,
kemerdekaan, dan sederetan panjang nilai-nilai luhur lainnya.
Rabi'ah al-Adawiyah (lahir sekitar
95-99 H), misalnya, menyatakan bahwa beribadah kepada Allah, hanya karena
cintanya yang mendalam, rindu yang begitu syahdu untuk melihat wajah-Nya. Dalam
sya'irnya, ia nyatakan:
"Tuhanku
Kalau
aku mengabdi-Mu karena takut akan neraka-Mu
Maka
bakarlah aku di neraka jahanam itu
Kalau
aku mengabdi-Mu karena ingin surga-Mu
Maka
tampiklah aku dari surga-Mu itu
Tetapi
kalau aku mengabdi-Mu karena cintaku kepada-Mu
Maka
janganlah tampik aku untuk melihat keindahan wajah-Mu"
Al-Hallaj (244-309 H), ketika akan
dibunuh, tubuhnya akan dicincang dan dibakar, dan abunya akan disebarkan ke
seluruh penjuru angin, sama sekali ia tak gentar dan takut. Karena ia merasa
akan bertemu dengan Sang Kekasih yang sangat dirindukannya.
Imam al-Qusyairi (376-465 H),
penulis kitab al-Risalah al-Qusyairiyah, yang tidak takut menghadapi ancaman
fuqaha serta Mutakllimin Muktazilah yang selalu memusuhi dan
menjebloskan ke dalam penjara, karena mereka berkuasa pada waktu itu dan
menggunakan kekuasaan tersebut sesuai dengan hawa nafsu mereka. Al-Qusyairi
tidak takut karena cintanya kepada Allah SWT mengalahkan segala-galanya. Dalam
menafsirkan Basmalah pada awal surat Al-Hijr, Al-Qusyairi
menyatakan:
"Bismillah, minuman yang diregukkan oleh al-Haq, kepada para
kekasih-Nya, Setelah mereka minum, mereka berdendang. Setelah berdendang,
mereka beriang gembira, kemudian mereka sama-sama menyaksikan kebenaran-Nya dan
pada terbuai mesra oleh kedekatan-Nya. Kesadaran mereka jadi putus lenyap, akal
mereka jadi tenggelam dalam kelembutan-Nya, dan qolbu mereka jadi lebur dalam
penyingkapan-Nya."
Begitu
pula al-Niffari (w.354 H), penyair sufi yang begitu kental penyerahan dirinya
kepada Allah SWT, yang merupakan puncak kepasrahan dan cinta kepada-Nya yang
mendalam, katanya:
"Ilmu adalah huruf, yang tak terungkap kecuali oleh perbuatan
Dan perbuatan adalah huruf, yang tak terungkap kecuali oleh keikhlasan
Dan keikhlasan adalah huruf, yang tak terungkap kecuali oleh kesabaran
Dan kesabaran adalah huruf, yang tak terungkap kecuali oleh
kepasrahan".
Kanjeng
Nabi Muhammad SAW, pernah mengungkapkan dalam doanya:
"Ya Allah, karuniailah aku dengan cinta kepada-Mu, cinta kepada
orang-orang yang mencintai-Mu, cinta kepada orang-orang yang mendekatkan aku
akan cinta-Mu, dan jadikanlah cintaku kepada-Mu lebih dari cintaku kepada
diriku sendiri dan dari kecintaanku akan air yang sejuk."
Demikianlah sekelumit contoh dari
orang-orang yang menjalani hidupnya dengan penuh cinta kepada Allah SWT. Dengan
cinta kepada-Nya yang dalam itulah, mereka sanggup mencintai manusia dan
kemanusiaan yang sangat dalam. Akar pijakannya begitu dalam dan kuat. Tidak
takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah SWT. Sehingga hidupnya tidak akan plin-plan
atau munafik dalam hidupnya. Teladan seperti inilah yang kita perlukan terutama
di zaman akhir seperti sekarang ini.
Maqamat
Jika kaum sufi ingin mendekatkan diri kepada Allah, tidak
hanya sekedar dekat, tetapi ingin sedekat mungkin, sehingga mereka dapat
melihat Allah (ma'rifat), malahan lebih dekat dari itu, mereka bisa
mengalami persatuan (ittihad) dengan Allah, maka harus melalui
terminal-terminal (maqamat). Karena maqamat adalah landasan tasawuf.
Sebagai ilustrasi dan contoh untuk mengadakan perjalanan
kepada Allah (suluk) adalah sebagai berikut:
Allah adalah bersifat Immateri dan Mahasuci. Maka unsur
dari manusia yang dapat bertemu dengan Allah adalah unsur immateri manusia, yaitu
hati, dan hati
harus suci. Yang dapat mendekati Mahasuci adalah yang suci.
Hati
manusia, yang masuk ke dalam tubuh manusia, bisa dibuat kotor oleh hawa nafsu.
Oleh karena itu ruh harus disucikan terlebih dahulu dari kotoran-kotoran yang
melekat dari dirinya.
Pembersihan itu dapat dilakukan melalui ibadah shalat,
puasa, zakat, haji, membaca al-Qur'an, dan selalu mengingat Allah dengan
berdzikir. Memang tujuan dari ibadah adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan
keji dan munkar. Dan dengan demikian, dapat membuatnya bertakwa, bersih, dan
dekat dengan Allah SWT.
Jika sufi melakukan ibadah shalat, maka shalat yang
dilakukan tidak hanya cukup shalat wajib, tetapi juga shalat-shalat sunnah, dan
ditambahi dengan dzikir-dzikir. Ia banyak membaca Al-Qu'ran, bahkan
mengkhatamkannya dalam waktu satu atau dua hari. Lidahnya selalu dihiasi dengan
bacaan-bacaan ayat-ayat al-Qu'an.
Jika sufi ingin menjauhkan dari dari kotoran dosa,
biasanya ia melakukan puasa. Karena puasa tidak hanya sekedar menghindari makan
dan minium, tetapi juga dapat mengurangi godaan hawa nafsu. Kalau perut
kenyang, orang menjadi kuat dan banyak bernafsu. Tetapi jika perut kosong, maka
dapat membuat orang lemah, dan nafsunya mengecil. Dan dalam dunia sufi,
biasanya dengan puasa akan dapat mematikan nafsu. Sehingga sufi-pun akan
terbebas dari godaan-godaan nafsu, seperti cinta dunia, dan juga terhindar dari
penyakit-penyakit hati. Akhirnya hati-nya
menjadi suci. Setelah itu, sufi baru dengan mudah mendekatkan diri dengan
Allah. Namun untuk menuju dekat dengan-Nya, ia harus menempuh jalan (thariqah)
yang panjang dan penuh duri, dan berisi terminal-terminal (maqamat).
Misalnya maqam pertama, adalah taubat.
Taubat dari dosa besar dan kecil. Taubat ini biasanya memakan waktu yang cukup
lama, bisa bertahun-tahun. Dan setelah selesai dari taubat ini, calon sufi
mulai taubat dari hal-hal yang makruh dan syubhat.
Untuk memantapkan taubat, calon sufi harus memasuki maqam
zuhud, yaitu menghindari dari ketertarikan urusan-urusan duniawi.
Biasanya, dengan cara mengasingkan diri dari khalayak ramai. Ia ber-khalwat.
Seperti yang pernah dilakukan oleh Imam Ghazali (450-505 H) di menara masjid
Damsyik. Di tempat penyendiriannya itu, calon sufi banyak melakukan shalat,
dzikir, membaca al-Qur'an, dan lain-lain. Setelah bertahun-tahun berzuhud, ia
sudah tidak lagi digoda oleh urusan-urusan duniawi, maka ia kembali ke hidup
sebelumnya, bercampur dengan masyarakat dan memberi nasehat- nasehat kepadanya.
Imam Ghazali kembali kepada keluarganya setelah sepuluh tahun mengembara untuk
ber-khalwat.
Jadi sufi tidak selamanya mengasingkan diri dari dunia
ramai. Ia menjahui masyarakat, hanya dalam waktu sementara.
Setelah selesai dari zuhud, calon sufi memasuki
maqam wara'. Ia menjadi orang wara' dengan meninggalkan
hal-hal yang syubhat dan makruh. Menurut literatur tasawuf: tangan sufi tidak
bisa mengulurkan tangannya untuk mengambil perkara-perkara yang syubhat.
Kemudian, ia pindah ke maqam faqr. Di sini
ia hidup sebagai orang fakir. Baginya cukup satu atau dua helai pakaian. Kalau
ada makanan ia makan, kalau tidak, ia puasa. Ia tidak meminta sungguhpun ia
tidak punya. Tetapi kalau diberi orang, ia tidak menolak pemberiannya.
Setelah memasuki maqam faqr, ia masuk kepada maqam
shabr. Ia sabar menghadapi segala yang datang dari Allah. Ia
tidak mengeluh, dan menerima cobaan yang menimpanya. Ia tidak menunggu datangya
pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia beralih ke maqam tawakkal.
Ia menyerah sebulat-bulatnya kepada putusan Allah. Ia tak memikirkan
hari-hari yang akan datang. Apa yang ada hari ini sudah cukup. Ia tidak mau
makan kalau ada orang yang lebih membutuhkan terhadap makanan itu darinya. Ia
bersikap bagaikan telah mati.
Akhirnya, calon sufi sampai kepada maqam ridlo.
Di sini, ia ridho dan bahkan kadang-kadang merasa senang dengan cobaan yang
ditimpakan kepadanya. Ia tidak meminta apa-apa dari Allah, surga pun tidak.
Rasa takut dalam hatinya telah hilang, dan sebagai gantinya adalah rasa cinta
kepada Allah.
Dari maqam ridho itulah, seorang sufi merasa dekat dengan
Allah. Rasa cinta yang bergelora dalam hatinya, membuatnya sampai ke maqam mahabbah
(cinta ilahiyyah). Hatinya telah begitu penuh dengan rasa cinta,
sehingga tidak terdapat lagi tempat di dalamnya untuk rasa benci kepada apa dan
kepada siapapun. Ia mencintai Allah, dan juga mencintai makhluk Allah.
Rasa cinta yang tulus di dalam hatinya dibalas oleh
Allah, akhirnya ia pun dapat melihat Allah dengan mata hatinya. Tabir antara
dirinya dengan Allah telah hilang, dan ia pun akhirnya telah berhadapan dengan
Allah. Ia telah mencapai maqam ma'rifat.
Peralihan dari maqam mahabbah ke maqam ma'rifat
telah dirasakan oleh Rabi'ah al-Adawiyyah, seperti tergambar dalam sya'irnya di
atas.
Di maqam ma'rifat, sufi telah dekat sekali dengan Allah.
Tetapi itu belum memuaskan baginya. Ia belum puas hanya dekat dan berhadapan
dengan Allah, ia ingin dekat lagi, dan menyatu dengan Allah.
Ia
berusaha melupakan dirinya dan memusatkan kesadaran pada diri Allah. Ia pun
rampai ke tingkat fana', hancur kesadarannya tentang dirinya, dan
tinggal kesadarannya tentang diri Allah. Yang terakhir ini disebut baqa'.
Fana' dan baqa' adalah kembar dua. Ada yang menyebut baqa' adalah
ketika sufi telah sadar kepada kondisi semula. Kembali kepada kesadaran dirinya
sebagai manusia.
Dengan
hancurnya kesadaran sufi tentang dirinya, dan tinggal kesadarannya tentang diri
Allah, berarti ia telah sampai ke tingkat ittihad, bersatu dengan
Allah. Akhirnya keluarlah ungkapan-ungkapan ganjil dari seseorang yang telah
kasmaran dengan Allah ini. Seperti ungkapan Abu Yazid Al-Bustami:
"Aku
adalah Engkau, Engkau adalah Aku
Melalui
diri-Nya, aku berkata: Hai Aku". [hafana-des 2010]
ConversionConversion EmoticonEmoticon