Hosting Unlimited Indonesia

IKhwan As-Shafa

I. Pendahuluan
Sejarah mencatat bahwa setelah timbulnya seorang filusuf, muncul kemudain filusuf lainya yang mengoreksi penemuan yang pertama dan mengajukan gagasan-gagasan yang memperbaharui gagasan yang pertama, demikianlah seterusnya sepanjang kehidupan manusia berlangsung. Hal ini dimungkinkan keinginan tahu manusia yang besar sebagai refleksi dari potensi kemanusian yang dimilikinya yang dianugerahkan Allah swt kepada manusia, yang berupa akal, intuisi, alat deria, dan kekuatan fisik. Adapun penemuan-penemuan dimaksud mencakup seluruh pertanyaan-pertanyaan hidup mengenai arti, isi, dan makna dari segala sesuatu yang dilihat dan dialami manusia. Jadi, secara sederhana dapat dikatakan, filsafat adalah hasil kerja berfikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal. Sedangkan filsafat islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filusuf tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis.
Oleh karena itu, penulis akan membahas makalah ini tentang aliran filusuf dalam islam yang menyatakan dirinya sebagai Ikhwan Al-Shafa yang gerakannya tidak sama dengan aliran filusuf yang lainnya seperti al-Kindi, al-Razi, dan al-Farabi. Selain itu penulis akan membahas di dalamnya tentang sejarah lahir, karya dan berikut konsep filsafatnya. Harapan kami bila nantinya di dalam isi serta kandungan makalah ini ada kekurangannya kami mohon dengan sangat usul perbaikan makalah kami khususnya kepada pembimbing dan teman-teman yang kami cintai.

II. Pembahasan
A. Sejarah lahir dan Karyanya
Ikhwan Al-Shafa’ (Brethren of purity atau The Pure Brethen) adalah nama sekelompok pemikir Muslim rahasia (Filosifiko-religius) berasal dari sekte Syiah Ismailiyah yang lahir di tengah-tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H/ 10 M di Bashrah . Kelompok ini merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya di kalangan pengikutnya.
Kerahasian kelompok ini, yang juga menamakan diri mereka khulan al-wafa’, ahl al-Adl dan Abna’al-Hamd, baru terungkap setelah berkuasanya Dinati Buwaihi, yang berpaham Syiah di Baghdad pada tahun 983 M. Ada kemungkinan kerahasiannya ini dipengaruhi oleh paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan) ajaran Syiah karena basis kegiatannya berada di tengah masyarakat Sunni yang tidak sejalan dengan ideologinya.Tokoh terkemuka sebagai pelopor organisasi ini ialah Ahmad ibnu Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad ibnu Nashr Al-Busti yang terkenal dengan sebutan Al-Muqaddasi, Zaid ibnu Rifa’ah dan Abu Al-Hasan Ali ibnu Harun Al-Zanjani.
Menurut Hana Al-Fakhury dan Khalil Al-Jarr bahwa nama Ikhwan Al-Shafa diekspresikan dari kisah merpati dalam cerita Kalilat wa Dummat yang diterjemahkan oleh Ibnu Muqaffa’. Melihat pada kesetiaan dan kejujuran serta kesucian persahabatan dalam organisasi ini seperti terapat dalam kisah diatas, agaknya pernyataan Hana Al-Fakhury dan Khalil Al-Jarr dapat diterima. Namun, penjelasan dari abggota yang bersangkutan tentang hal ini tidak ditemukan.
Timbulnya organisasi yang bergerak dalam bidang keilmuan dan juga bertendesi politik ini ada hubungannya dengan kondisi dunia Islam ketika itu. Sejak pembatalan teologi rasional Mu’tazilah sebagai madzhab negara oleh Mutawakkil, maka kaum Rasionalis dicopot dari jabatan pemerintahan, kemudian diusir dari Baghdad. Berikutnya penguasa melarang mengajarkan kesusteraan, ilmu, dan filsafat. Kondisi yang tidak kondusif ini berlanjut pada khalifah-khalifah sesudahnya. Hal ini menimbulkan suburnya cara berpikir tradisional dan meredupnya keberanian berpikir rasional umat. Pada sisi lain, berjangkit pola hidup mewah di kalangan pembesar negara. Maka, masing-masing golongan berusaha mendekati khalifah untuk menanamkan pengaruhnya sehingga timbul persaingan tidak sehat yang menjurus pada timbulnya dekadensi moral .
Berdasarkan itulah lahirnya Ikhwan Al-Shafa’ yang ingin menyelamatkan masyarakat dan mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridhai Allah. Menurut mereka, syariat telah ternodai bermacam-macam kejahilan dan dilumuri keanekaragaman kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkannya adalah filsafat.
Dalam upaya memperluas gerakan, Ikhwan al-Shafa’ mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota tertentu untuk membentuk cabang-cabang dan mengajak siapa saja yang berminat kepada keilmuan dan kebenaran, terutama dari orang-orang muda yang masih segar dan cukup berhasrat agar mudah dibentuk. Walaupun demikian milintasi anggota dan kerahasiaan organisasi tetap mereka jaga. Calon-calon anggota perhimpunan ini dituntut keras untuk berpegang teguh satu sama lain dalam menghadapi segala bahaya dan kesukaran, untuk membantu dan menopang satu sama lain baik dalam perkara-perkara duniawi maupun rohani, dan untuk menjaga diri agar tidak bersahabat dengan persaudaraan yang tercela. Karena itu, ada empat tingkatan anggota, yaitu :
Tingkat I, terdiri dari pemuda cekatan berusia 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka ini berstatus murid, maka wajib patuh dan tunduk secara sempurna kepada guru.
Tingkat II, adalah al-Ikhwan al-Akhyar berusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara persasudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan.
Tingkat III, adalah al-Ikhwan al-Fudhala al-Kiram berusia 40-50 tahun. Merupakan tingkat dewasa. Mereka sudah mengetahui namus al-Ilahi sebagai tingkat para Nabi.
Tingkat IV, adalah tingkat tertinggi setelah seseorang mencapai usia 50 tahun ke atas. Mereka pada tingkat ini sudah mampu memahami hakikat sesuatu, seperti halnya malaikat al-Muqarrabun, sehingga mereka sudah berada di atas alam realitas syari’ .
B. Karya Tulisnya
Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan kelompok Ikhwan Al-Shafa ini menghasilkan karya tulis sebanyak 52 risalah yang mereka namakan dengan Rasail Ikhwan al-Shafa. Ia merupakan ensiklopedia popular tentang ilmu dan filsafat yang pada waktu itu. Ditinjau dari segi isi, Rasail ini dapat diklasifikasikan menjadi empat bidang:
1. 14 risalah tentang metematika, yang mencakup geometri, astronomi, music, geografi, seni, modal, dan logika.
2. 17 risalah tentang Fisika dan ilmu alam, yang mencakup geneologi, mineralogy, botani, hidup dan matinya alam, senang sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran;
3. 10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup metafisika pythagoreanisme dan kebangkitan alam;
4. 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, magic dan azimat.

Ringkasan ilmu-ilmu filsafat ini, diibaratkan oleh orang Arab pada abad ke-X dengan sebuah kebun mewah, dan pemiliknya seorang bijak dan pemurah, bahkan meminta setiap orang yang lewat untuk singgah sebentar dan menikmati buah-buahan dan naungan hijau di kebun tersebut. Tetapi, sebagian kecil saja yang benar-benar mengambil keuntungan dari kesempatan ini, karena keraguan dan kebodohan mereka. Agar hilang rasa ragu mereka, pemilik kebun itu memperlihatkan contoh-contoh dari buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan tersebut, dan dengan begitu terpikatlah orang-orang yang lewat di dekatnya untuk memasuki dan berbagai kesenangan yang ada di dalamnya .

C.Konsep Filasafatnya

1. Talfiq

Ikhwan al-Shafa berusaha memadukan atau rekonsiliasi (talfiq) agama dengan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa syari’at telah dikotori bermacam-macam kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan. Satu-satunya jalam membersihkan adalah filsafat. Kemudian mereka mengklaim bahwa apabila dipertemukan antara filsafat Yunani dan syari’at Arab, maka akan menghasilkan kesempurnaan.
Tampaknya Ikhwan al-Shafa’ menempatkan filsafat di atas agama. Mereka mengharuskan filsafat menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Kesimpulan ini didukung dengan pendapat mereka dalam bidang agama. Menurut mereka ungkapan al-Quran yang berkonotasi inderawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkatan nalar orang Arab Badui yang berkebudayaan bersahaja. Sedangkan bagi yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi mereka haruskan memakai ta’wil untuk melepaskan diri dari pengertian lafzi dan inderawi. Untuk itulah ikhwan berusaha dengan gigih memadukan Filsafat dengan agama dengan menurunkan metafisika dan ilmu pengetahuan dari puncak spekulatif murni yang tidak dapat dijangkau secara aktif-praktis. Dengan demikian, harus dimunculkan satu tingkatan keparcayaan yang menengahi tingkat kepercayaan yang telah ada- tingkat yang cocok bagi orang-orang pilihan dan tingkat cocok bagi orang kebanyakan – yaitu tingkatan kepercayaan yang cocok bagi keduanya (orang-orang pilihan dan awam), yang berakar pada akal, ditopang oleh kitab suci, dan dapat diterima oleh semua kelompok pencari kebenaran. (Rasail III, 452-3).
Sebenarnya pendapat mereka untuk memperguanakan ta’wil dalam memahami ayat-ayat yang mutasyabihat merupakan pendapat yang sama dikalangan para filsuf. Menurut filsuf, agama adalah tepat melambangkan secara inderawi (amtsal wa rumuz) agar mudah dipahami oleh kaum awam yang merupakan bagian terbesar umat umat manusia. Jika tidak demikian, tentu banyak ajaran agama yang mereka tolak karena mereka tidak memahami isinya. Sebaliknya, kaum filsuf harus mengambil makna metaforis terhadap teks al-Qur’an yang bernada antropomorphisme. Jika tidak, tentu banyak pula ajaran agama yang mereka tolak karena tidak masuk akal. Dengan cara seperti ini, para filsuf menempatkan Nabi sebagai pendusta untuk kepentingan manusia (al-kidzb mashlahah al-nas) .

2. Metafisika
Adapun tentang ketuhanan, Ikhwan al-Shafa’ melandasi pemikirannya kepada bilangan. Menurut mereka, ilmu bilangan adalah lidah yang yang mempercakapkan tentang tauhid, atl-tanzih, dan meniadakan sifat dan tasybih, serta dapat menolak sikap orang yang mengingkari keesaan Tuhan. Dengan kata lain, pengetahuan tentang angka membawa kepada pengakuan tentang keesaan Tuhan, karena apabila angka satu rusak, maka rusaklah semuanya. Selanjutnya mereka katakan, angka satu sebelum angka dua, dan dalam rangka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka permulaan, dan ia lebih dahulu dari angka dua dan lainnya. Karena itu keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka satu. Sedangkan angka dua dan lainnya terjadi kemudian. Karena itu terbuktilah bahwa Yang Esa (Tuhan) lebih dahulu dari lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka lain.
Ikhwan al-Shafa’ juga melakukan al-tanzih, meniadakan sifat dan tasybih kepada Tuhan. Tuhan adalah pencipta segala yang ada dengan cara al-faidh (emanasi) dan memberi bentuk, tanpa waktu dan tempat, cukup dengan firman-Nya kun fa kana, maka adalah segala yang dikehendaki-Nya. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur, seperti adanya angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak serupa dengan bilangan lain, demikian pula Tuhan tidak ada yang menyamai dan menyerupai-Nya. Tetapi, ia jadikan manusia untuk dapat mengenal-Nya tanpa belajar.
Dari pembicaraan diatas tampak pengaruh Neo-Phythagoreanisme yang dipadukan dengan filsafat keesaan Plotinus.

3. Emanasi (al-faidh)

Filsafat emanasi Ikhwan Al-Shafa’terpengaruh oleh Pythagoras dan Plotinus, menurut mereka, Allah adalah Pencipta dan mutlak Esa. Dengan kemauan sendiri Allah menciptakan Akal pertama atau akal aktif secara emanasi. Kemudian, Allah menciptakan jiwa dengan perantaraan akal. Selanjutnya, Allah menciptakan jiwa dengan perantaraan akal. Selanjutnya, Allah menciptakan materi pertama (al-huyula al-ula). Dengan demikian , kalau Allah kadim, lengkap, dan sempurna, maka akal pertama ini juga demikian halnya. Pada akal pertama lengkap segala potensi yang akan muncul pada wujud berikutnya. Sementara jiwa terciptanya secara emanasi dengan perantaraan akal, maka jiwa kadim dan lengkap, tetapi tidak sempurna. Demikian juga halnya materi pertama karena terciptanya secara emanasi dengan perantaraan jiwa, maka materi pertama adalah kadim, tidak lengkap, dan tidak sempurna.
Jadi, Allah tidak berhubungan dengan alam materi secara langsung sehingga kemurnian tauhid dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya. Secara ringkas rangkaian proses emanasi itu sebagai berikut :
Allah maha pencipta dan dari-Nya timbullah :
a. Akal aktif atau akal pertama (al-‘Aql al-Fa’al).
b. Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyyat)
c. Materi pertama (al-Hayula al-Ula).
d. Alam aktif (al-Thabiat al-Fa’ilat).
e. Materi Absolut atau materi kedua( al-Jism al-Muthlaq).
f. Alam planet-planet ( ‘Alam al-falk)
g. Unsur-unsur alam terendah (Anashir al-Alam al-Sufla), yaitu air, udara, tanah, dan api.
h. Materi gabungan, yang terdiri dari mineral, tumbuh- tumbuhan dan hewan. Sementara itu, manusia termasuk dalam kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan berpikir.
Kedelapan mahiyah di atas bersama dengan zat Allah yang mutlak, sempurnalah jumlah bilangan menjadi Sembilan. Angka Sembilan ini membentuk substansi organic pada tubuh manusia, yaitu tulang, sumsum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut, dan kuku.
Segala sesuatu di alam ini adakalanya berupa materi, bentuk, jauhar atau aradh, Jauhar yang pertama adalah materi dan bentuk. Sedangkan aradh yang pertama ada;ah tempat, gerak, dan zaman. Ikhwan al-Shafa juga menerima pemikiran Aristoteles yang mengemukakan bahwa segala sesuatu itu merupakan perpaduan antara materi dan bentuk (hilemorfisme), tetapi bagaimana hubungan antara materi dan bentuk itu tidak jelas.

4. Jiwa

Tentang jiwa manusia, bersumber dari jiwa Universal. Dalam perkembangan jiwa manusia banyak dipengaruhi oleh materi yang mengitarinya. Agar potensi jiwa itu tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal. Jiwa anak-anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih dan belum ada coretan. Lembaran putih tersebut akan tertulis dengan adanya tanggapan panca indera yang menyalurkannya ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi ( al-quwwah al-mutakhayyilah), dari sini meningkat kepada daya berpikir (al-quwwah al-mufakkirah) yang terdapat pada otak bagian tengah . Pda tingkat ini manusia sanggup membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu disalurkan ke daya ingatan (al quwwah al-nathiqah), yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada pendengar atau menuangkannya lewat bahasa tulis kepada pembaca.

5. Moral

Adapun tentang moral, Ikhwan al-Shafa’bersifat rasionalistis. Untuk itu suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka Dalam mencapai tingkat moral dimaksud, seseorang harus melepaskan dari dari ketergantungan kepada materi. Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai kepada ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan dan kehalusan kasih sayang, keadilan, rasa syukur, mengutamakan kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menjadi karekteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan,kezaliman, dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian perasaan, kecintaan, yang membara sessama manusia, dan keramahan terhadap alam, binatang liar sekalipun.
Jiwa yang telah dibersihkan akan mampu menerima bentuk-bentuk cahaya spiritual dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa dan tidak terbelenggu oleh ikatan jasmani, semakin dapat memahami makna dasar yang tersembunyi dalam kitab suci dan kesesuaiannya dengan data pengetahuan rasional dalam filsafat. Sebaliknya, selama jiwa terperosok dalam daya pikat tubuh dan terpikat oleh keinginan-keinginan dan kesenangan-kesenangannya, ia tidak dapat mengetahui makna kitab suci, dan ia tidak akan dapat beranjak kepada bola-bola langit dan secara langsung merenungkan apa yang ada disana. Demikian juga setelah peristiwa kematian, ia tak dapat terbebas dari beban atau bergabung dengan “rombongan malaikat”di surga. Malah ia akan tetap melayang-melayang di langit hingga Hari Kiamat dan pada akhirnya akan diseret oleh”roh-roh jahat” yang mengembalikannya ke dunia pembentukan dan kehancuran (sama halnya dengan neraka) dan “penjara bagi eksistensi jasmani. Bagi Ikhwan, neraka dipahami sebagai “dunia pembentukan dan kehancuran yang terletak dibawah bulan”, dan surga sebagai “tempat bersemayam roh-roh dan ruang langit-langit yang sangat luas”. Jiwa yang telah mencapai lingkaran samawi akan merasakan kebahagiaan abadi dan akan terbebas dari kesengsaraan dan penderitaan yang menjadi bagian tubuh untuk selama-lamanya. Kondisi yang demikian merupakan konsekwensi kekufuran, kesalahan, kebodohan, dan kebutaan terhadap makna dasar kitab suci.

Petunjuk utama manusia bagi pengenalan tentang dunia haruslah merupakan pengetahuan tentang dirinya sendiri. Karena itu psikologi bagi Ikhwan menjadi pengantar bagi metafisika dan kosmologi, dan juga bagi semua ilmu pengetahuan. Berkat renungan manusia terhadap kondisinya di dunia ini akan tersingkaplah kepadanya, bahwa ia berada dalam posisi pertengahan antara dua yang ekstrim, yaitu sangat kecil dan keluasan yang tak terbatas, tubuhnya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, masa hidupnya tidak terlalu lama dan tidak pula terlalu terlambat. Dalam hal pengetahuan manusia ini, Ikhwan pun berkesimpulan agnostic, yaitu akal manusia tidak berkemampuan meliput secara utuh tentang keagungan Tuhan dan esensi-nya, bentuk dunia sebagai keseluruhan, atau bentuk murni yang telah dipisahkan dari materi. Dalam hal itu, Ihkwan menawarkan solusi agar tunduk kepada para nabi, yang merupakan penyambung lidah Tuhan, dan mengakui ajaran mereka tanpa ragu-ragu.

6. Bilangan

Adapun tentang bilangan, Ikhwan mengakui Nichomacus dan Pythagoras. Tujuan Ikhwan membicarakan bilangan adalah untuk mendemintrasikan bagaimana sifat-sifat bilangan itu menjadi protopite bagi sifat-sifat sesuatu, sehingga siapapun yang mendalami bilangan dengan segala hukum-hukumnya, sifat dasarnya, jenis-jenisnya, spesis-spesis, dan sifat-sifat khususnya, akan memahami kuantitas (jumlah) macam-macam benda yang beraneka, spesis mereka dan kebijaksanaan yang mendasari kuantitas-kuantitas mereka yang khusus serta alasan mengapa mereka tidak lebih dan tidak kurang. Karena Tuhan, sang pencipta segala sesuatu, sebagai yang benar-benar esa dalam segala hal, merasa tidak patut menjadikan segala sesuatu sama sekali satu atau sama sekali banyak, tetapi memutuskan bahwa mereka harus satu dalam hal materi, banyak dalam hal bentuk. Dengan demikian, mempelajari bilangan merupakan pengantar tentang jiwa, dan mempelajari jiwa merupakan dasar pengetahuan tentang Tuhan. Hal itu sesuatu dengan ketentuan “siapa yang mengenal dirinya (jiwanya), maka ia akan mengenal Tuhannya”.

“ Satu yang sejati”, maksudnya sesuatu yang tidak mempunyai bagian, dan wujud yang tidak dapat dibagi. Sedangkan “Satu yang majasi” adalah mengacu pada jumlah atau koleksi benda-benda yang disebut sebagai sebuah satuan unit, seperti seratus atau setumpuk.

Sifat satu ialah dasar dan asal dari bilangan, dengan itu semua benda dibilang, yang ganjil dan yang genap. Dan sifat dari dua ialah, bahwa berbicara secara absolut ia adalah bilangan pertama; dengan itu orang menghitung setengah dan semua bilangan- yakni yang genap, tapi tidak yang ganjil. Sifat dari tiga ialah, bahwa ia adalah bilangan ganjil yang pertama; dengan itu orang dapat mengukur sepertiga dari semua bilangan, yang ganjil dan kadang-kadang genap. Sifat dari empat ialah, bahwa ia adalah bilangan kuadrat pertama. Sifat dari lima ialah, bahwa ia adalah bilangan lengkap pertama (sama dengan jumlah dari pembaginya), sedangkan sifat tujuh ialah ia bilangan sempurna pertama. Sifat dari delapan ialah, bahwa ia adalah bilangan kubik pertama. Sifat dari Sembilan ialah, ia adalah kuadrat ganjil pertama, dan angka tunggal terakhir. Sifat dari sepuluh ialah, bahwa ia adalah bilangan dua angka yang pertama. Sifat sebelas ialah, ia bilangan bisu pertama, Sifat dua belas ialah ia “bilangan melampaui” yang pertama. Sifat dua belas ialah ia “bilangan melampaui” yang pertama (jumlah dari pembaginya lebih besar dari bilangan itu sendiri).

III.Kesimpulan
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa Ikhwan Al-Shafa’ adalah nama sekelompok pemikir Muslim rahasia (Filosifiko-religius) berasal dari sekte Syiah Ismailiyah yang lahir di tengah-tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H/ 10 M di Bashrah.
Ikhwan Al-Shafa’ mempunyai beberapa karya tulis sebanyak 52 risalah yang mereka namakan dengan Rasail Ikhwan al-Shafa. Ia merupakan ensiklopedia popular tentang ilmu dan filsafat yang pada waktu itu. Sedangkan konsep filsafat Ikhwan Al-Shafa’ itu antara lain : talfiq, metafisika, emanasi, moral, dan bilangan.
Demikian yang dapat kami simpulkan, meskipun makalah ini membutuhkan referensi yang lebih banyak lagi untuk membahas secara mendalam siapa Ikhwan Al-Shafa’ itu sebenarnya dan apa ada konsep filsafatnya Ikhwan Al-Shafa yang lain selain yang ditulis oleh pemakalah di atas.

Daftar Pustaka
Al-Fakhuri, Hana dan Khalil Al-Jarr, Tarikh al-Falsafat al-Arabiyyat, (Beirut: Muassasat, 1968).
Al-Iraqy, Muhammad ‘Athif, al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Dar al-Ma’rif, 1978).
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam.( Jakarta: Gaya Media Pratama.2002).
Prof.Dr.H.Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004).
Previous
Next Post »