Kajian hadits dha’if
I.
Pendahuluan.
Dengan
rahmat Alloh SWT ahirnya sampailah pada giliran saya untuk membahas dan
mempresentasikan tentang kajian hadits dha’if yang meliputi :
a.
Pembagian hadits
dha’if sebab diluar tidak ada
persambungan sanad, Pengertian dan contohnya masing-masing.
b.
Kekuatan hadits
dha’if.
Namun
sebelum jauh membahas hal tersebut penulis akan sedikit menguraikan tentang definisi
hadits dha’if baik secara etimologi
maupun terminology sebagai berikut :
·
Kata dho’if
( ضعيف ) : miliki arti lemah ( lawan kata
kuat).[1]
Sehingga dalam konteks ilmu hadits
dapat dikatakan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang lemah,
namun pada perihal tersebut dalam pendeskripsiannya terdapat heterogenisme para
ulama’ al-hadits untuk memberikan makna terminologinya misalnya :
·
ما
لم يو جد فيه شروط الصحة ولا شروط الحسن ( hadits dha’if menurut an-Nawawi).
·
ما
فقد شرطا من شروط الحديث المقبول (hadits dha’if menurut Nur ad-Din ‘athr).
·
كل
حديث لم يجتمع فيه صفات القبول (hadits dha’if menurut ulama’ lain).
Dari berbagai deskripsi tersebut
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hadits dha’if adalah sebuah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shohih maupun hasan sehingga tidak bisa
diterima adanya karena mungkin tidak bersambung sanadnya, kualitas perowinya,
karena ada pertentangan dalam matan dengan hadits yang lebih tsiqah dsb,
namun yang lebih menonjol dalam penentuan hadits dha’if adalah terkait
pada sanad dan matan.
Kemudian bila dalam pembahasan
yang sudah maupun belum terdapat pelbagai kesalahan ataupun kerancuan bahasan
penulis hanya dapat meminta kritikan dan saran yang bersifat membangun
dan tidak menerima saran dan kritikan yang bersifat menjatuhkan dan atas
partisipasinya penulis ucapkan terima kasih dan mohon maaf atas segala
kesalahan.
II.
Pembahasan.
2.1 Pembagian hadits
dha’if sebab diluar tidak adanya persambungan
sanad.
Dalam
pengaplikasian pembagian hadits dha’if selain dari pada persambungan sanadnya adalah
karena adanya cacat pada pribadi rawi itu sendiri yang kemudian dapat dibagi
atas dua kategori yaitu:
a. Dha’if sebab cacat keadilan.
1.Hadits
matruk.
§ Pengertian.
Kata
matruk berasal dari kata : ترك (ودعك شيء)[2]
yang memiliki arti sesuatu yang ditinggalkan..
Kemudian
orang arab menyebut kulit telur setelah mengeluarkan anak ayam juga dengan
sebutan تريكه : tertinggal tidak ada faedahnya.jadi hadits matruk maksudnya
bahwa hadist ini tidak didengar, tidak dianggap, tidak dipercaya oleh karena
menyangkut pribadi perawi yang kurang baik. Dalam istilah, hadist matruk
adalah :
الحديث
الذي يكون احد رواته متهم با الكدب
Hadist
yang salah satu periwayatnya seorang tertuduh dusta.
Diantara sebab-sebab
tertuduhnya seorang perawi, ada beberapa kemungkinan yaitu sebagai berikut :
1.
Perawi yang
meriwatkan hadist tersebut tunggal ( tidak ada orang lain yang meriwayatkan
hadist tersebut melainkan dia ).[3]
2.
Rawi hadits
disepakati kedhaifannya oleh para ulama hadits.[4]
3.
Perawi terkenal
pembohong atau pendusta.
4.
Fasik atau suka
menyepelekan ibadah.
Contoh
hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan ‘Amr bin Syamr, dari Jabir al-luthfi dari Haris dari Ali.
Dalam hal ini ‘Amr termasuk orang yang haditsnya ditinggalkan.[5]
2.
Hadits Majhul.
§ Pengertian.
Dalam
bahasa arab kata لا اعلام بها ) مجهول )[6] artinya tidak diketahui. Jadi secara
istilah bahwa hadits matruk adalah hadits yang tidak jelas siapa yang
merawikannya dalam konteks yang dimaksud adalah jati diri sang prawi( jahalah).Ada
beberapa faktor penyebabnya diantaranya :[7]
1.Seseorang
memiliki banyak nama (mungkin nama julukan).
2.
perowi yang hanya memiliki sedikit periwayatan hadits, sehingga sedikit pula orang yang menerima hadits darinya.
§
Pembagian.
a. Majhul al-ain : Perawi disebut
dalam sanad tetapi tiada yang menerima atau mengambil periwatannya selain satu
orang saja.[8]
Misalnya
hadits yang diriwayatkan oleh tirmidli dari hakim melalui jalan Hisyam bin
Yusuf dari Abdullah bin Sulaiman an-Nufali dari Muhammad bin Ali bin Abdullah
bin Abbas dari Ayahnya dari Kakeknya secara marfuk.
Dalam
periwayatan ini Abdullah bin Sulaiman an-Nufail tidak diketahui jatidirinya
karena tidak ada yang meriwayatkan dari padanya melainkan Hisyam bin Yusuf.
b.
Majhul al-Hali
: Periwayatan diambil dari dua orang atau lebih, tetapi tidak ada yang tsiqoh.
Misalnya
hadits yang diriwayatkan Ibnu Majjah melalui Itsam bin Ali dari al-‘Amasyi dari
Abu Ishaq dari Hani’bin Hani’. Ternyata Hani’bin Hani’tidak diketahui
identitasnya karena tidak ada orang yang menerangkan bahwa ia atau orang yang
meriwayatkan hadits darinya itu tsiqoh.
3. Hadits Mubham.
§
Pengertian.
Dalam
bahasa arab mubham berarti samar atau tidak jelas. Yaitu Perawinya tidak disebutkan namanya baik dalam
sanad atau matan melainkan hanya disebutkan identitas secara umumnya saja misalnya
kata fulan atau fulanah.
Hadits mubham ini terbagi menjadi dua macam
yaitu : [9]
1.
Mubham dalam
sanadnya : dalam persambungan sanadnyanama dari sebagian perawinya. Missal : “Dari Sufyan, dari fulan”.dan hokum
kemubhamannya sampai pada status dha’if.
2. Mubham
dalam matannya : dalam matan hadits tidak ada kejelasan dalam menerangkan
subyek hadits. Missal : “bahwa seorang
laki-laki perempuan bertemu dengan Nabi
saw”.namun statusnya tidak membayakan kedudukan hadits.
b. Dha’if
sebab cacat ke-dhabith-an.
1. Hadits
Munkar.
Kata
munkar berarti inkar yaitu : menolak
atau tidak menerima. Jadi secara istilah adalah ada kesalahan, kelupaan atau
bahkan kefasikan yang parah pada sanadnya.
Misalnya
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah melalui Usamah bin zaid al-madani
dari ibnu syihab dari abu salamah bin Abdurrahman bin auf dari ayahnya secara
marfuk. Yang indikasinya bahwa hadits itu bertentangan dengan hadits
periwayatan Ibnu abi Abi Dzibin yang tsiqoh krena mauquf pada Abdurrahman bin
Auf.
2.
Hadits
Mu’allal.
Kata mu’allal
berasal dari kata ‘illah : penyakit. Jadi
yang dimaksud yaitu bahwa hadits yang didalamnya terdapat ‘illah yang
menimbulkan kecacatan pada status keshahihannya[10].
Dan ‘illah bias terjadi pada matan atau sanad.
Misalnya hadits yang diriwayatkan tirmidzi
dan Abu Daud dari qutaibah bin Sa’id memberi tahukan kepada kami Abdussalam bin
Harb al-Mala’I dari al-Amasy dari anas.
3.
Hadits
Mudraj.
Kata mudraj berasal dari kata idraja : memaukkan, menghimpun dan menyisipkan.
Mudraj dibagi dua[11]
:
a.
Mudraj Matan (sebagian rawi
memasukkan kata-kata lain pada matan hadits). Misalnya hadis yang diriwayatkan
Aisyah ra tentang tahannus, yang dalam matannya diselikan kata ta’abbudu.
b.
Mudraj Sanad ( beda sanad diahir
atau dicampur dengan jalur periwayatan lain). Misalnya hadits yang diriwayatkan
Anas tentang larangan saling benci,mendengki yang kemudian disisipkan oleh sa’id bin Abu Maryam,
sehim\ngga menjadi satu bentuk sejalur periwayatannya.[12]
4.
Hadits Maqlub.
Kata maqlub berasal dari akar
kata qalaba yang artinya : mengubah, mengganti, berpindah atau
membalik. Jadi maksudnya ialah hadits yang terbalk pada redaksinya baik
sanad maupun matannya.
Misalnya yang terbalik sanad
adalah hadits yang diriwayatkanKa’ab bin Murrah diucapkan Murrah bin ka’ab. Dan
yang terbalik pada matannya seperti yang diriwayatkan Ibnu Umar tentang Nabi
yang duduk menghadap qiblat dan membelakangi syam terbalik menjadi menghadap
syam membelakangi qiblat.
5.
Hadits
Mudhtharib.
Kata mudhtharib artinya gncang atau getar
seperti ombak., karena ada dua hadits yang bertentangan ( dalm segi yang
berbeda) yang sama kualitasnya.[13]
Misalnya hadits Abu Bakar yang bertanya
seutar berubannya rambut Rosulullh saw yang diklaim mudhtharib oleh
ad-Daruquthni.
6.
Hadits
Mushahhaf dan Muharraf.
Kata
mushahhaf memiliki arti salah baca
ada tulisan.[14]baik
karena salah melihat atau mendengar sehingga memiliki makna istilahhadits yang
terdaat perbedaan pada titik hurufnya. sedangkan kata muharraf memiliki artimengubah atau mengganti sehingga maknanya
perbdaan hadits karena bbeda harakat saja.
Misalnya (mushahhaf ) hadits
tentang puasa Ramadan yang kemudian diikuti enam hari puasa syawal yang
redaksinya kata sittan dibaca syaian. Contoh dari (muharraf) adalah hadits tentang Ubai
yang terkena panah pada lengannya, yang kemudian kata Ubay dibaca Abii.[15]
7.
Hadits
Syadz.
Kata syadz
berarti ganjil yang maksudnya adalah perowi meriwayatkan haditsnya hanya
sendirian baik parawinya tsiqah ataupun tidak.
Misalnya hadits yang diriwayatkan Abu
Daud dari at-Tirmidli melalui Abdulwahid bin Zayyad dari al-Amasy dari Abu
Shalih dari Abu Hurairah tentang tidur miriring pada lambung kanan setelah
sholat fajar dua rokaat yang menurut Baihaqi periwayatan Abdul wahid bin zayya
menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkan melalui segi perbuatan Nabi.[16]
2.2
Kekuatan
hadits dha’if.
Kehujjahan hadits dhaif
, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani[17]
menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
a. Level
Kedhaifannya Tidak Parah Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak
jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati
shahih atau hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang
bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum
halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh
digunakan untuk perkara fadahilul a'mal (keutamaan amal).
b. Berada di bawah Nash Lain yang
Shahih. Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam
fadhailul a'mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya
itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus
berada di bawah nash yang sudah shahih.
c. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh
Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
Selain
itu Al-Imam
An-Nawawi[18]
rahimahullah, juga mensyaratkan hadits dha’if dapat diterima jika :
• Hadits dhaif itu tidak terlalu
parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha'if yang perawinya sampai ke tingkat
pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap
tidak bisa diterima.
• Hadits itu punya asal yang
menaungi di bawahnya.
• Hadits itu hanya seputar masalah
nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah
dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
• Ketika mengamalkannya jangan
disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar
berhati-hati. Semua keterangan di atas, jelas bukan pendapat kami. Semua itu
adalah pendapat para ulama pakar ilmu hadits. Kami ini bukan berada dalam
posisi untuk mengkritisi salah satunya. Sebab beda maqam dan beda posisi.
III.
Penutup.
Banyak
macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq,
tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat
adil pada rawi. Sering keliru, banyak
waham, hafalan yang buruk, atau lalai
dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini
dapat menghilangkan sifat dhabith
pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di
tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian
yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya. Sehingga dalam
pengklasifikasiannya seperti yang telah tertulis dalam makalah ani dan
selanjutnya penulis hanya dapat mengcakan mohon maaf yang sebesar-besrnya atas
segala kekurangan.
Daftar Pustaka
Abu fadli.lisan al-arab.1997.dar al-shadar.Beirut.
Alwi al-Maliki Muhammad.Ilmu Ushul Hadits.2009.Pustka
Pelajar.Yogyakarta.
Thahhan, Mahmud.Taisir Mushthalah al-Hadits.1985.Haramain.Sankapura
Jeddah Indonesia.
Majid khon,Abdul.Ulum al-hadits.2009.Amzah.Jakarta.
Syarakh al-Nukhbah.
Al-Taqrib.
[1]
Thahhan, Mahmud.Taisir Mushthalah al-Hadits.1985.Haramain.Sankapura
Jeddah Indonesia.hlm.63
[2]
Abu fadli.lisan al-arab.1997.dar al-shadar.Beirut.hal.405
[3]
Alwi al-Maliki Muhammad.Ilmu Ushul Hadits.2009.Pustka
Pelajar.Yogyakarta.hlm.140
[4]
Ibid.hal.139
[5]
Ibid.hal.140
[6]
Abu fadli.Opcit.hal.130
[7]
Majid,Abdul.Ulum al-hadits.2009.Amzah.Jakarta.hlm.185
[8]
Ibid.
[9]
Alwi al-Maliki Muhammad.Opcit.hlm.105
[10]
Majid,Abdul.Opcit.hlm.189
[11]
Alwi al-Maliki Muhammad.Opcit.hlm.126
[12]
Ibid.
[13]
Majid,Abdul.Opcit.hlm.194
[14]
Ibid.
[15]
Ibid.
[16]
Ibid.
[17]
Syarakh al-Nukhbah.
[18]
Al-Taqrib.
ConversionConversion EmoticonEmoticon